Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, March 4, 2011

Sayonara Evelyn


Hari Kamis (3/3) ini adalah hari terakhir Evelyn mengajar. Setelah itu dia tidak akan mengajar lagi di sini. Nah, lagi-lagi saya kehilangan partner karena alasan kehamilan & akan melahirkan. Dulu Yohana. Sekarang Evelyn.

Di satu sisi saya tentunya gembira mereka hamil tapi di sisi lain saya membenci kehamilan itu karena membuat mereka harus berhenti kerja. Mencari rekan kerja yang enak itu bukan hal yang mudah, saudara-saudara. Jadi alangkah menyebalkan & menyedihkan kalau setelah menemui rekan kerja yang bisa klop dengan kita tiba-tiba ybs harus berhenti kerja.

Jadi itu alasan utama saya merasa kesal & sedih harus ‘kehilangan’ Yohana & kemudian Evelyn. Saya tidak mengkhawatirkan harus mengajar 16 anak sendirian. Saya tidak takut harus kembali ber-solo karier di dalam kelas karena selama kira-kira 3 tahun saya memegang kelas Playgroup sendiri dengan hanya sesekali ditemani teteh & digerecoki kepsek. Hehe.

Yah, saya & Evelyn sama-sama berhasil menutupi beratnya perasaan kami karena perpisahan ini. Sulit. Terutama waktu melihat anak-anak menyalami, memeluk & bahkan ada yang mencium Evelyn sebelum mereka pulang.

Ibadah di rubah jadwalnya dari Sabtu ke hari ini karena Sabtu libur. Wah, tidak terlintas dalam pikiran saya tentang hal itu sehingga kemarin saya tidak memberitahu anak-anak. Wali kelas TK B sama saja.

Haduh, untung saja hal ini tidak mengundang ‘komentar’ dari kepsek. Saya sempat deg-degan karena sudah terlalu mengenal adat kepsek yang tanggap terhadap kekurangan-kekurangan yang kami perbuat. Syukurlah hari ini Tuhan melindungi telinga saya dari ‘pencobaan’. Slamet. Slamet. Hehe.

Wah tapi hari ini suara saya betul-betul jadi parau. Serak. Bukan karena hari ini saya sering bicara tapi karena terlalu di paksa untuk berbicara dengan volume yang keras.

Saya tidak terlahir dengan memiliki pita suara yang tebal. Saya tidak terbiasa bicara dengan suara keras, kecuali kalau saya sedang marah. Jadi setiap kali saya harus menaikkan volume suara maka hasilnya suara saya pasti akan menjadi parau.

Hari ini mau tidak mau saya harus beberapa kali berbicara dengan suara sangat lantang karena anak-anak yang tidak mau mendengar saat saya & Evelyn meminta mereka untuk melakukan sesuatu. Kami dicuekin. Sampai akhirnya saya pikir ‘Cukup!’ & keluarlah suara rendah saya dengan volume ekstra lantang.

Nah, setiap kali saya menaikkan suara seperti itu maka anak-anak tahu saya tidak main-main. Karena saya bukan seorang yang keras terhadap mereka. Saya boleh jadi disiplin tapi saya juga orang yang lembut terhadap mereka. Tegas tapi jarang marah. Galak tapi saya adalah guru yang paling mau saja di ajak bermain, bercanda dan ledek-ledekan dengan mereka.

Yah, mau tidak mau ‘domba’ pun kadang harus menjadi ‘macan’ juga saat menghadapi ‘gerombolan’ yang berjumlah lebih dari 10 anak. Hehe. Maka ‘mengaum’lah Bu Keke hari ini di kelas & semua langsung ‘cep’.

Aih, nak, nak, kalau kalian mau mendengar tanpa harus saya harus bersuara sekencang ini kan lebih enak. Tapi kalian membuat ibu guru kadang merasa kalian tidak memiliki telinga. Kita harus belajar untuk mendengar dong.

Manusia pada dasarnya memang sulit untuk mau menjadi pendengar. Banyak konflik terjadi karena kita hanya ingin di dengar & mendengar apa yang ada dalam pemikiran kita.

Siangnya Evelyn memandang saya yang sedang menyiapkan buku-buku les anak TK B.

“Hari ini hari apa sih?” dia bertanya bingung dan heran.

“Kamis. Emang elu kata hari apa?” saya tertawa.

“Ya ampun! Gue pikir ini hari Sabtu” dia ikut tertawa.

“Gara-gara ada karpet di kelas kita ya?”.

“Iya, udah gitu kan tadi ada ibadah”.

Hehe. Jadilah kami berdua tertawa karena tadi pagi pun saya sempat kecele saat melihat karpet sudah terbentang di lantai ruang kelas kami. Rasanya semalam waktu saya tidur itu masih hari Rabu. Kok paginya tiba-tiba sudah meloncat jadi hari Sabtu. Hehe. Ini karena karpet di gelar di ruang kelas kami hanya pada hari Sabtu.

“Bu, mau kemana?” mamanya Justin & mamanya Noel ikut-ikutan bingung sewaktu melihat saya keluar masuk kantor untuk mengambil meja-meja lipat.

“Mau ke kelas” jawab saya belum mengerti kemana arah pertanyaan itu.

“Kok bawa meja lipat?”.

Oh. Ini karena saya malas menurunkan lagi meja kursi yang sudah rapi di tumpuk & di susun merapat ke tembok.

Karpet biru kami lipat sementara karpet merah dibiarkan tetap tergelar di lantai. Karena itu saya mengambil 5 meja lipat. Hari ini saya & ke 5 anak dalam rombongan saya akan belajar sambil duduk di atas karpet dengan memakai alas meja lipat itu. Wah, mereka senang sekali karenanya. Bahkan Evelyn & teteh pun ikut ‘melantai’ bersama kami. Hehe.

Nah, saya kira ‘singa’ bisa kembali menjadi ‘domba’. Tapi ternyata saya masih harus ‘mengaum’ beberapa kali kepada anak-anak dalam rombongan saya. Brili yang menjadi sasaran utamanya. Ya habis kok susah sekali mengerti konsep penambahan dengan 0 (nol).

Saya sudah berkali-kali mengajarkan pada ke 5 anak itu (Tania, Satrio, Agel, Noel & juga Brili) bahwa setiap kali bertemu dengan 0 (nol) maka tidak usah bingung. Anggap saja 0 (nol) itu telor. Telornya dipecahin & di buang. Jadi tinggal lihat angka berapa yang tertinggal. Karena itu paling enak kalau dalam soal tambah / kurang bertemu dengan 0 (nol). Ga usah mikir lagi soalnya. Ga usah repot menghitung jari lagi.

Ke 4 anak yang lain sudah mengadaptasi pengertian tentang konsep 0 (nol) dengan telor ini. Tapi Brili berulang-ulang mandek setiap kali bertemu soal penambahan dengan 0 (nol) sampai saya nyaris putus asa karenanya. Aduh, bagaimana ya supaya dia bisa mengerti?

“Tolong ambilin telor-teloran itu dong” kata saya pada Evelyn yang duduk di sebelah kanan saya karena posisinya paling dekat dengan loker tempat keranjang berisi mainan masak-masakan diletakkan.

Evelyn mengambilkan mainan plastik berbentuk telor yang dapat di belah 2 itu. Sementara itu saya mengambil kartu-kartu angka. Lalu saya letakkan 1 kartu angka di atas meja lipat Brili. Saya susun 2 pensil menjadi bentuk tanda + (tambah). Kemudian saya letakkan mainan telor-teloran itu disebelahnya.

“Lihat” saya mulai mensimulasikan konsep penambahan dengan 0 (nol) dengan cara mengambil mainan telor-teloran, membelahnya menjadi 2 & melemparkannya ke belakang saya “Nah, jadi kalau nol sudah dipecahin & di buang jadi angka berapa yang masih tersisa di atas meja lipat kamu?”. Hmm. Akhirnya mengerti juga doi. Tapi itu pun begitu dipindahkan ke dalam soal di buku sempat terbingung-bingung juga dia hingga saya memberinya lebih banyak lagi soal latihan penambahan dengan 0 (nol). Waduh, bener-bener nih. Baru sekali ini saya bertemu dengan anak yang kok ya susah sekali mengerti konsep matematika yang amat sangat sederhana seperti ini.

Tania  lain lagi ceritanya. Bingung dengan soal cerita pengurangan. Ibu membawa 5 piring. 3 piring jatuh & pecah. Jadi tinggal berapa piring yang di bawa ibu? Lagi-lagi diperlukan simulasi. Untung kami punya piring-piring plastik kecil jadi saya ambil 5 piring lalu saya jatuhkan 3 piring. Nah, jadi berapa yang masih ada di tangan Bu Keke?. Barulah dia tersenyum lebar karena mengerti.

“Bu, sudah selesai” Satrio menyerahkan bukunya kepada saya. Dia, Agel, Tania & Noel sebagian besar waktu 1 jam les ini memang dapat bekerja sendiri dengan hanya sesekali saja saya awasi atau saya berikan petunjuk.

“Ok, Yo. Kalau ini betul semua kamu boleh pulang ya” saya menerima buku itu & mulai meneliti hasil pekerjaannya. Detik berikutnya saya tertawa ngakak membaca tulisannya. Aduh, itu spontan, lho. Habis, di soal pertama saya menulis pertanyaan ‘Nama saya ….’ & di situ Satrio menulis ‘Kangkung’.

“Yo, sejak kapan kamu berganti nama menjadi Kangkung?” saya betul-betul semakin geli melihat mukanya yang keheranan.

“Tapi itu kan di tanya nama sayur” katanya kebingungan.

“Baca dulu dong, coy” saya terkekeh “aku nulis ‘saya’. Bukan ‘sayur’. Tuh kan, salah baca jadi beda artinya. Coba ini kamu baca baik-baik”.

Dia menerima bukunya & membacanya lalu tertawa malu sementara riuhlah yang lainnya ikut tertawa. Haduh. Haduh. Anak-anak ini.. Hehe.

Yee, kok hujan? Deras pula. Wah, mau nebeng ikut motor salah satu dari para penjemput anak TK B pun tidak kondusif sikonnya. Gile aja mau hujan-hujanan naik motor sekalipun bertopi & berpayung tapi wah, jangan nekad deh. Mau membuka peluang untuk jadi sakit apa??. Hari Rabu minggu depan sekolah akan mengadakan rekreasi ke Taman Safari. Kondisi badan harus di jaga, cing. Jangan sampai deh sakit waktu pas di hari H.

Saya, Evelyn, Clemens, Tania, Cindi termasuk kepsek ‘sabar’ menunggu mobil jemputan sekolah datang jam 12 siang lebih sekian menit. Sementara itu hujan tidak mereda. Bahkan semakin deras.

Nah, ceritanya begitu mobil tiba persis di depan pintu gerbang sekolah, saya pun langsung buka payung nih. Sudah ganti sepatu dengan sandal. Dengan Evelyn yang setengah meringkuk menggandeng lengan saya saat kami berdua bernaung di bawah payung saya hendak melangkah keluar gerbang, eh, tahu apa yang terjadi? Hujan deras tadi berhenti total begitu kami melangkah keluar halaman sekolah. Kering. Hah?? & jadilah kami tertawa beramai-ramai.

“Gile, mantra doa kita manjur persis pas kita keluar dari sekolah ya” saya terkekeh antara bersyukur tapi juga agak kesal. Mbok ya dari tadi kek berhentinya. Kan saya jadi bisa nebeng pulang naik motor orang tua murid TK B. Lebih cepat sampai di rumah dari pada harus duduk dulu sekian menit di sekolah menunggu mobil jemputan datang. Lalu sekian menit lagi duduk di dalam mobil yang jalannya tentu tidak segesit & secepat motor.

Yah, maunya Tuhan berbeda dengan maunya saya.
___________________________________________________________________
 
Today (Thursday, March 3rd) is Evelyn’s last day in school. She resigns due to her pregnancy. The birth is due this week. & she won’t get back to teach after she gives birth. Once again I had to say goodbye, sayonara to a fellow teacher. The thing that makes it hard to swallow is because it’s not easy to find a good working partner. It’s the second time I had to lose a partner due to pregnancy. Well, I’m happy for them but I also hate it.

Well, we both managed to cover our feelings though it’s hard. Especially upon seeing the kids shook hands with her, hugged & some even kissed her. Hard to see a farewell.

Saturday’s service is shifted to today because Saturday is a public holiday. I completely forgot about it. We all did. Except the headmaster. So I held my breath as I nervously thought if I’d get any comment from her because she’s known to be quick to find our wrong doings & then say ‘nice comments’ about them. I was so glad & so thank God she didn’t say a word about it.

But today I got home with hoarse voice. I’m not used to speak loudly but today was forced to do that because the kids didn’t hear what they were told to do by us. It turned a ‘lamb’ into a ‘lion’ & so I ‘roared’ in class & it was enough to make them behaved. They knew whenever I raise the volume of my voice so loud like that, it meant business.

I am a strict teacher but also a gentle one. I’m disciplinarian but a loving one. I’m the only teacher here who don’t mind to join their number when they’re playing, to be joked & teased, who love to be around them, talk to them, hug them. Who wipes their tears, give them comfort, stand by their side, encourage them, forgive them & able to accept their imperfectness. We love each other. But sometimes it’s needed to be tough too. Especially when you have to deal with more than 10 kids who sometimes don’t know how to listen.

Well, in general it’s hard for human to listen to others. We tend to be driven by our compulsiveness that makes us prefer to speak & not to listen. How many conflicts are driven by our inability to listen?

After class I was busy preparing the books of the 5 kids in my tutoring group. Evelyn looked puzzled.

“What day is today?” she asked me.

“What day do you think today is?” I asked her back with a grin.

“Oh dear” she laughed “I thought it was Saturday” & I laughed with her.

“It’s the carpet, isn’t it?” I smiled pointing at the blue & red carpets lying on our classroom’s floor. They are only put there every Saturday because we have service in school on that day. I thought today was Saturday too when I got in school this morning & saw those carpets in our classroom. I thought it was Wednesday when I went to bed last night & I woke up in the morning & it was Saturday already?. Lol.

Well, the ‘lion’ couldn’t turn back into a ‘lamb’ even after class. Brili made me roared because he failed to understand the most simpliest math concept of do additional with zero.

I have taught them to picture the zero as an egg. You break the egg & throw it away so what number is left there then is the answer. Brili was still unable to grasp the picture so I asked Evelyn to hand my the plastic toy egg, that can be break into two, from the locker because she sat near it. While I took the numbers written in card.

I placed the number card infront of Brili, placed 2 pencils in the shape of  + & then placed the plastic toy egg. I made a simulation of do additional with zero. I took the plastic toy egg, break it & threw it away. So after the egg is gone, what number is left infront of you? I asked Brili. He got the picture. But got confused again once it was made in writing on his book so I had to give him more exercise. This is the first time I met a kid who needed more time to understand this very simple math concept.

Tania in the meantime had difficulty to understand abstraction. Mother carried 5 plates. 3 plates fell & broken. How many plates do mother have now? Well, luckily we have small plastic plates so I took 5 & then dropped down 3. So how many plates do I still have in my hand? Tania smiled in relief as she understood the concept.

“Ok, I’m done” Satrio handed me his book.

“Good. If you make this without any error you can go home” & the next second I bursted out my laugh when I saw his answer to the first question. There I wrote a question “my name is …” to which he wrote his answer “Kangkung” (the kind of leafy vegetable that grows in water).

“I don’t know you’ve changed your name” I handed his book so he could see it himself as I laughed more. This time it was seeing the puzzleness on his face.

“But you asked about the name of vegetable”

“I wrote ‘your name’ not vegetable name” it is because ‘saya’ (or me, my, I in English) rhym almost the same with ‘sayur’ (or vegetable in English).

He read it carefully & laughed of embarrassement followed by all of us. Kids...

Oh no! it was pouring down. I couldn’t go home riding on the parent’s motorcycle. Better not get sick now with our school’s recreation day is due on next Wednesday. So I waited for the school bus to arrive in school to drive home Tania, Clemens & Cindi. Evelyn & headmaster did too.

The strangest & funniest things happened when we were about to get into the school bus. I’ve opened my umbrella. I have changed my shoes to sandals. Evelyn has hold on to my arm as she & I walked under the umbrella. But once we stepped out of school’s gate the pouring rain stopped. It stopped completely!. Making us stood in disbelief & then chorused in laughter.

“Now our mantra of prayer worked till the last minute when we left school” said Evelyn. Geez. Tell me about it. Lol. If only it did so earlier I could be home by now.

Well what can I say, God’s will isn’t my will.

No comments:

Post a Comment