Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, July 31, 2013

Get The Hell Out of My Room!

Di pagi hari belum lama berselang dari saat saya memasukkan postingan ini..

In the morning not so long ago from the day I upload this post..

Senior saya masuk ke ruangan saya membawa 5 orang.

My senior got inside my room with 5 other people.

“Keke, kita mau doa pagi diruangan kamu ya, soalnya di luar hujan” senior saya nyengir menatap saya yang bengong menatap mereka.

“Keke, we are having our morning prayer here in your room, it is raining outside” my senior grinned seeing me staring at them with what must be a big surprise written all over my face.

Ya, saya tahu di luar hujan. Tapi omong-omong itu cuma gerimis kok. Kenapa tiba-tiba mereka semua jadi takut air?

Yeah, so I knew it was raining outside. But by the way, it was just drizzling. Howcome everyone freaked out with it?

Bruk.. bruk.. senior saya di bantu seorang dari mereka membawa kursi lipat ke dalam ruangan saya.

Thump.. thump.. my senior, helped by one of those people, brought folding chairs into my room.

Hmm…

“Karena kita berdoa diruangan kamu, kamu ikutan juga ya” celoteh senior saya lagi, sambil menatap saya dengan cengiran lebar “Keke yang berdoa duluan”

“Since we are going to pray in your room, you join us, ok” said my senior as he looked at me with his big grin “Keke will say the first pray”

Jiah! Saya sontak menggaruk-garuk kening. Jengkel bercampur geli dan bingung.

Yeah, right! I scratched my forehead. Feeling upset mixed with tickled and puzzled.

“Kamu bikin Keke jadi bingung sampai garuk-garuk gitu” seorang ibu tertawa melihat kelakuan saya. Hehe.

“You give Keke the confusion that she scratched her forehead like that” a lady laughed as she saw my gesture. Lol.

“Jangan diruangan saya, pak” kata saya sambil bertanya-tanya kenapa senior saya menggiring mereka ke ruangan saya. Biasanya mereka berdoa diruangan lain. Ok di luar hujan tapi kan cuma gerimis. Lagi pula jarak menuju bangunan dimana mereka biasa berdoa tidak sampai sepuluh langkah. Kalau pun pagi itu semua mendadak jadi takut air, memangnya tidak ada payung?

“Not in my room, sir” I said as I wondered why my senior brought them to my room. They usually use other room. Ok, so it was raining outside but it was just a drizzle. Besides, it takes only about ten steps to get to the building where they use to pray. Even when everyone suddenly freaked out to rain, no one had umbrella?

“Orang sering masuk ruangan saya, pak” lanjut saya “nanti terganggu”

“People come into this room often” I continued “it would distract you all”

“Ayo, Keke” kata senior saya lagi, seakan tidak mendengar argumentasi saya, sambil mengambil tempat duduk di depan meja saya.

“Come on, Keke” said my senior, as if he did not hear my argumentation, he took a seat infront of my desk.

“Ogah ah, pak” jawab saya tegas. Heh, saya sudah tidak percaya lagi dengan segala hal itu dan saya di suruh berdoa? Sungguh menggelikan. Apa yang mau saya doakan? Apa saya harus bicara pada sesuatu yang tidak lagi saya percayai?

“Nope, I pass, sir” was my firm answer. Heck, I do not believe in that kind a thing and I was asked to pray? How ridiculous. What would I pray? Would I speak to a thing that I no longer have faith in?

Dan mereka berdoa di dalam ruangan saya sementara saya tetap melanjutkan pekerjaan saya.

And so they prayed in my room while I continued my work.

Benar juga kata saya tadi. Tidak sampai 2 menit mereka berdoa, pintu terbuka dan masuklah seorang rekan. Semenit kemudian pintu terbuka lagi dan masuklah orang lain sambil bersuara keras memanggil saya.

Just like I said earlier. Less than 2 minutes later, the door flung opened and a colleague came in. Another minute another person came in as she loudly called out for me.

Selama mereka berdoa itu, saya hitung ada lima kali pintu di buka. Ada yang masuk. Ada yang langsung keluar lagi begitu melihat kegiatan yang sedang berlangsung di dalam ruangan saya.

All the time they were praying, I counted the door was opened five times. Few came in. Another left when they saw what was going on in my room.

Diam-diam saya menyeringai. Kan tadi sudah saya peringatkan. Ruangan saya laris manis kalau pagi begini. Tapi tidak seorang pun yang mau mendengarkan saya. Jadi tanggung resiko kalau susah konsentrasi karena mendengar bunyi pintu dibuka, suara orang memanggil saya atau orang masuk sambil mengobrol. Sudah begitu pintu ruangan saya itu mengeluarkan suara lumayan keras kalau digerakkan. Hehe.

A grimace showed on my face. Have I not warned you guys. Plenty of people coming in to my room at this morning hours. But nobody listened to me so take the consequence of having your concentration distracted by the loud noise of squeaking door, the sound people called out my name or people came inside while they were talking in loud voice. There you had it. Lol.

with my little guest in the room
“Ruangan itu harusnya di ganti namanya” gerutu saya malam itu setelah menceritakannya pada Andre “bukan sekretariat tapi ruang serba guna karena fungsinya bukan cuma jadi ruang kerja saya dan ruang tamu tapi juga tempat kongkow, dengar musik, pake komputer, online, curhat, rapat sampai jadi gudang”

“The room should be renamed” I grumbled in the evening after I told Andre about that morning scene “not a secretariat but all purpose room because of its function not just as my room and guest room but has also become a hangout place, to listen to music, use the computer, go online, a cubicle to have your confession, a meeting room all the way to become a storage”

Andre ngakak mendengarnya.

It made Andre laughed hard.

Saya menatapnya sambil cemberut. Apanya yang lucu sih?

I stared at him. my face sullen. What was so funny?

“Aduh, manis betul muka kamu” Andre terkekeh “sini deh”

“Now there, you really look so sweet” Andre laughed “come here”

Dipeluknya saya “kamu dan ruanganmu sama-sama multi fungsi. Semua menyukai kamu dan ruanganmu. Semua membutuhkan kamu dan ruanganmu. Semua merasa nyaman dengan kamu dan ruanganmu. Semua betah berlama-lama bersama kamu dan berada diruanganmu”

He hugged me “you and your room are both multi function. Everybody likes you and your room. Everybody needs you and your room. Everybody feels comfortable being with you and in your room. Everybody likes to be around you and your room”

Hmm… saya kok tidak pernah berpikir begitu ya?

Hmm… howcome I never thought that way?

“Yang menyukai kamu ternyata bukan saya saja ya” Andre mencium kening saya, hidung saya, pipi saya dan… mm… “sampai ada beberapa yang benar-benar jatuh cinta ke kamu. Mungkin saya memang harus membawa kamu pergi jauh dari tempat itu”

“So I am not the only one who likes you” Andre kissed my forehead, my nose, my cheek and… mm.. “few really fell for you. Maybe I really must take you away from that place”

Saya tersenyum “lalu saya mau kamu simpan di dalam lemari pakaian kamu?”

I smiled “so are you going to put me in your closet?”

Kami bertatapan dan tertawa.

We stared at each other and just bursted our laugh.

“Taruh aja tulisan ‘yang tidak berkepentingan dilarang masuk’ di depan pintu elu” kata sahabat saya.

“Put the signage ‘personnel only’ on your door” said my bestfriend.

Itu cuma satu dari beberapa komentar atas status facebook yang saya buat saat sedang emosi jiwa gara-gara ruangan saya dipakai sebagai tempat untuk curhat. Ya, bukan perkara curhatnya yang bikin saya sewot. Tapi maaf, permisi, gimana saya bisa kerja kalau kursi saya diduduki orang, kursi di depan komputer juga diduduki orang.

That was just one of the comment I received for my furious facebook status. My room was made as a place to make confession or something like that. I had no problem with it. What put me in fury was, well, excuse me, how could I do my work when someone sat on my chair and the other sat on the chair infront of the computer.

Tidak lama berselang setelah itu, peristiwa yang kira-kira sama terulang lagi.

Not long after that incident, an almost similar incident occurred.

Saya meninggalkan ruangan saya sebentar karena di panggil oleh seorang rekan yang berada di ruangan lain. Ketika saya kembali, mata saya melotot melihat kursi di depan komputer sudah tidak ada. Di ambil oleh seorang rekan. Padahal saat itu saya harus melakukan pekerjaan dengan komputer.

I left my room for a while as a colleague, who was in other room, called me. My eyes were like popping out when I went back to my room and saw the chair infront of the computer was taken by a colleague. And I needed to do some work on the computer.

Dalam dua tahun bekerja di tempat ini saya tidak pernah marah. Baru kali itu amarah saya marah ketika melihat bahwa kursi komputer di ambil oleh rekan saya karena dia akan di pijat oleh seorang ibu!

I have never got mad in my two years working in this place. That was the first time I got angry when I learned that the chair was taken by my colleague because a lady was about to give him a massage.

Kursi lipat begitu banyak di luar.

There are many folded chairs outside.

Kenapa harus ambil kursi yang ada di ruangan saya? Tidak mau repot, gitu?

Why had to take the chair in my room? Because that was easier to do, is that so?

Lalu saya yang harus mengalah dengan menggeret kursi saya atau kursi dari luar, gitu?

So I would be the one who had to drag my chair or took chair from outside of my room, is that so?

Nanti kalau sesi pijat sudah selesai lalu saya yang harus membenahi kursi itu, gitu?

And after the massaging session was done, it would be me who has to return that chair, is that so?

Darah saya mendidih, naik ke otak dan saya pun mengomel dengan galaknya.

My blood boiled, ran straight up to my brain and I yelled with all the furry.


“Gimana saya mau kerja, coba? Kursi saya di ambil. Kalau mau buka panti pijat, sana, pakai ruangan lain. Jangan di ruangan saya!”

“How am I suppose to do my work, huh? My chair was taken. If you want to open a massage parlour, go to other room. Don’t do that in my room!”

Saya sendiri kaget kok bisa segalak itu. Tapi sampai detik ini pun, saya tidak menyesal. Saya terlalu mengalah. Orang mengenal saya sebagai sosok yang selalu ramah, ceria dan mengalah. Ada beberapa yang akhirnya jadi bertindak semena-mena, seenak-enaknya saja. Jadi tidak ada salahnya kalau sekali-sekali saya menggonggong. Bahkan perlu juga sih.

It surprised myself to see how furious I was. But I never feel sorry, not even to this very second. I am being too soft. People know me as a nice, friendly, cheerful and soft. Some have then act like they could treat me any way they wanted. So I think I need to bark sometimes. It is even necessary.

Saya ingat kejadian setahun sebelumnya. Seorang teman akan menikah. Entah bagaimana, pada suatu hari mereka memutuskan untuk mengadakan rapat di ruangan saya. Dan jumlah mereka tidak sedikit. Selesai rapat, semua langsung kabur meninggalkan kursi-kursi berantakan.

It reminded me to an incident occurred last year. A friend was getting married. I don’t know why one day they decided to have a meeting in my room. And there were many of them. After the meeting, everyone just left. Leaving the chairs scattered in my room.

Anjrit!

Damn!

Saya ingat bagaimana saya membenahi kursi-kursi itu dan mengembalikan ke tempatnya. Oh, lebih tepatnya adalah saya melakukannya sambil memaki-maki dalam hati dan sambil setengah membanting serta melemparkan semua itu.

I still remember how I put all those chairs back to where they were taken. Oh, to be precise is I did that as I cursed in my heart and half banging, half threw them all.

Entah karena suara gedubrakan kursi atau ada yang tiba-tiba teringat pada kursi-kursi itu, seorang dari mereka ditemani oleh seorang satpam kembali ke ruangan saya sehingga saya tidak harus membereskan semua kursi keparat itu sendirian.

Whether it was the loud noise of crashing chairs at one another when I half threw them, half banging them, one of those people accompanied with the security guard  returned to my room so I did not have to deal with those darn chairs all by myself.  

“Kalau ruangan saya berfungsi ganda, sekalian saja besok-besok dukun beranak buka praktek di situ” gerutu saya.

“If my room is a multi function one, then let’s have the midwive has her practice there” I grumbled.

Andre ngakak mendengarnya.

Andre laughed loudly when he heard that.

Kalau mengingat perjalanan karir saya sejak tahun 1994, saya punya pengalaman panjang berkaitan dengan ruang kerja.

I have many experiences regarding my room at work as it started in 1994.

Dari yang harus numpang di meja kerja orang ketika saya berstatus sebagai karyawan magang, sampai punya ruang sendiri yang menempel dengan ruang atasan karena jabatan saya adalah sekretaris direktur.

From had to use other people’s desk when I was an apprentice all the way to have my own room next to the big boss’s room when I was a secretary to the director.

Kemudian harus bekerja di ruangan seperti aula, hanya meja-meja panjang, deretan kursi, tanpa loker atau lemari untuk karyawan menaruh tas atau file.

Another time I had to work in a wide room like a hall, there were long desks, lines of chairs, no lockers or cabinet for the employess to put their bags or files.

Hal yang kira-kira sama terulang ketika saya menjadi guru. Punya kelas sendiri tapi mejanya cuma meja plastik kecil seperti yang ada di warung atau pasar. Saya sempat kehilangan hp karena tidak ada lemari yang bisa di kunci untuk menaruh tas.

The almost similar condition was when I taught in kindergarten. I had my own classroom but the desk was a small plastic desk like the one in stall or in the market. I lost my cellphone because there was no cabinet that could be locked to put my backpack.

Anehnya dalam beberapa tahun terakhir saya memimpikan bekerja di alam terbuka. Menjadi guru di daerah pedalaman. Konsekuensinya ya, jangan harap bisa sebagus, sebaik dan selengkap kondisi di kota tapi saya ingin berada di tempat yang benar-benar membutuhkan ketulusan hati dari pada ruangan yang nyaman, mencari pengabdian dari pada penampilan necis, cinta yang murni kepada anak-anak serta masyarakat dari pada saling bersaing untuk mendapatkan jabatan atau penghormatan.

Strange thing is in the past few years I dream to work in open air. Becoming a teacher in the rural. Yes, so can't expect it to be as nice or well equipped like in the city but I want to be in a place that really need sincere heart than comfortable room, looking for dedication than fancy clothes, hunger for honesty than competing each other to get position or respect. 

Monday, July 29, 2013

Room For Improvement

“Blog kamu kelihatan beda” Andre berkomentar sewaktu melihat saya sedang asyik mengutak-atik blog hari Minggu sore (28/7).

“Your blog looks different” Andre said that when he saw me worked on my blog that Sunday afternoon (July 28th).

“Ya, kemarin saya rubah”

“Yes, I changed the template yesterday”

Dia duduk di sebelah saya dan memperhatikan saya merubah warna huruf pada postingan-postingan blog saya.

He sat by my side and looked at me changing the font color on my previous blog posts.

“Kelihatannya lebih bagus”

“It looks better”

“Makasih, sayang” saya nyengir “tapi karena warnanya jadi lebih cerah, warna tulisan harus pada dibuat lebih tua”

“Thanks, hun” I grinned “but since it is brighter, the font color should be made darker”

Andre memeluk saya “memangnya kenapa dengan tampilan yang lama?”

Andre hugged me “what was it with the old template?”

“Karena saya bosan lihat tampilannya begitu-begitu terus”

“It bored me seeing the old template”

“Ruang untuk perubahan” dia menggumam.

“Room for improvement” he murmured.

“Kenapa, say?” saya berhenti sejenak untuk menoleh ke arahnya.

“What’s that, hun?” I stopped for a while to look at him.

“Kayaknya dulu saya pernah nonton acara tv berjudul room for improvement”

“I think I watched a tv program that called room for improvement”

“Kayaknya saya juga pernah nonton. Yang betulin rumah orang, kan?”

“I think I have watched that too. It was about fixing people’s houses, right?”

“Ya, yang itu”

“Yep, that one”

Saya mengangkat bahu, tersenyum dan melanjutkan pekerjaan saya.

I shrugged off, smiled and continued my work.

“Manusia selalu mencari perbaikan”

“People always looking for improvement”

“Karena perbaikan adalah bagian dari hidup” saya berhenti untuk berpikir.

“Because improvement is part of life” I stopped to think.

"Begitu?" Andre terdengar menghela napas panjang. 

“Is that so?" Andre took a deep breath.

“Apa sih yang ada dalam diri laki-laki itu yang tidak ada dalam diri saya?” pertanyaan ini mengagetkan saya. Bingung, saya berbalik untuk menatapnya. Tapi Andre terlihat biasa saja. Nada suaranya pun tidak menunjukkan tanda bahaya.

“What does that man has that you don’t find in me?” this question surprised me quite a lot. Stunned, I turned around to stare at him. But there was no sign of him feeling upset. Not even in his voice.

“Kita sedang ngobrolin blog saya dan acara tv itu, kok tiba-tiba jadi meloncat ke pertanyaan seperti itu?” sekuat tenaga saya menjaga supaya nada suara saya biasa saja karena saat itu hati saya dag-dig-dug karena bertanya-tanya apa maksud di balik pertanyaan itu “saya kira masalah itu sudah selesai”

“We were talking about my blog and that tv program, why asked me that question?” I tried as best as I could to keep my voice low because the question rang the bell in me as I wondered what was behind it “I thought we have put the matter behind us”

Andre menatap saya. Menghela napas. Menepuk pipi saya “saya tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkannya. Apa yang kamu lihat ada dalam dirinya? Apa yang kamu temui dalam dirinya? Apa yang dia berikan ke kamu? Semua yang tidak ada pada saya dan yang tidak bisa saya berikan ke kamu. Apa dia lebih baik dari saya? Apa kamu mencari seorang laki-laki yang lebih baik dari saya?”

Andre stared at me. Sighed. Patted my cheek “I can’t stop thinking about it. What do you see in him? What do you get from him? What does he give you? Everything that I don’t have and can’t give you? Is he better than me? are you looking for a better man?”

“Kalian berdua justru punya banyak kesamaan” kata saya beberapa saat kemudian “tidak ada yang lebih baik karena tiap manusia punya lebih dan kurangnya”

“The two of you have lots in common” I said after seeing Andre was sat there in silence “no one is better than the other because we all have our positive and negative sides”

"Kesamaan dalam hal apa selain bahwa kami sama-sama mencintai kamu?"

"What do we have in common apart from the fact that we both are in love with you?"

Saya nyengir mendengarnya "begini aja deh, say, kalian berdua saling melengkapi diri saya. Hal-hal yang tidak ada dalam diri kamu, saya dapatkan dari dia dan begitu juga sebaliknya"

I grinned "well, let me put it this way, hun, the two of you complete me. Because he has the things that you don't have and vice versa"

"Kurang..." Andre mendelik sementara saya tertawa "awas kamu kalau berani pacaran dengan dia!" dan dia mencubit pipi saya keras-keras, menarik hidung saya, menggelitiki saya sampai saya jatuh ke lantai dan kepala saya terbentur pada ujung meja. Adooohh!! Saya meraih bantal sofa dan menggebuk Andre keras-keras dengan bantal itu. 2-3 menit kemudian kami berhenti, kehabisan napas karena tertawa dan bergulat seperti anak umur 5 tahun. Hehe. 

"Whatta..." Andre's eyes seemed like to pop out while I laughed "Oh, no, you are not gonna be together with him!" and he pinched my cheek hard, pulled my nose, tickled me until I fell to the floor and bumped my forehead to the tip of table. Awww!! I grabbed the sofa's bolster and smacked Andre with it. 2-3 minutes later we stopped, gasping for air, out of the laugh and wrestling like a couple of 5 year olds. Lol. 

Tapi malam itu saya jadi tidur dengan gelisah karena jadi kepikiran dengan pembicaraan kami.

But that conversation made me had restless sleep.

Ya, manusia selalu mencari perbaikan. Itu naluri alami. Mencari perbaikan memberi semangat untuk hidup dan menjadi tujuan yang kuat tapi kadang juga membuat kita keluar dari jalur ketika kita menjadi terlalu terobsesi dan ambisi mengejarnya.

Yes, we all always seek for improvement. It is natural. Looking for improvement can become life booster and strong motivator but sometimes it can make us over ridden when we became obsessed by it and turned it into an ambition.

Keinginan untuk mendapatkan perbaikan sempat membuat saya depresi ketika mendapatkan kenyataan bahwa hal itu tidak berjalan secepat, selancar dan sedrastis yang saya inginkan, harapkan dan butuhkan.

The desire to get improvement got me into depression when reality shows that it does not go as fast, smooth and drastic as I wanted, hoped and needed.

Anehnya dalam hubungan pribadi, saya bisa menerima dan menjalaninya dengan jauh lebih santai. Saya tidak menuntut Andre untuk selalu menelpon, chatting, datang ke Bogor dan juga tidak merongrongnya untuk berhenti merokok (walau tetap tidak bisa menunjukkan kebencian saya pada rokok.. hehe). Bisa dikatakan saya hampir bisa menerima Andre seperti apa adanya.

Strange thing is in personal relationship I am more acceptable and relax. I don’t demand Andre to have always call me, chatting, visit me in Bogor and not even nagging him to quit smoking (though I don’t hide my hatred for cigarette.. lol). So it can be said that I almost can accept Andre just the way he is.

Ketertarikan saya pada laki-laki lain rasanya lebih banyak disebabkan oleh ketidakhadiran Andre. Saya kehilangan sosok orang yang penuh perhatian, lemah lembut, banyak mengalah, mengayomi, melindungi, membela dan ngemong. Kelebihannya dari Andre tidak terlalu banyak.

My attraction to other man was more because of Andre’s absence. I miss the figure of a man who is full of attention, gentle, give me guidance, stand by my side and looking after me. He is not a whole lot better than Andre.

Saya memang perempuan yang kuat dan mandiri tapi saya memerlukan sosok lain yang tidak takut menghadapi kemandirian saya, yang bisa mendinginkan hati saya tanpa memadamkan semangat, cita-cita, harapan, keinginan atau ambisi saya, yang berdiri menopang saya ketika saya sedang oleng, yang menjadi rem ketika saya melaju terlalu kencang, yang mampu menjinakkan emosi dan gairah saya yang masih meletup-letup, yang tidak berkeberatan membiarkan saya menjadi diri saya. Laki-laki yang membuat saya merasa aman.

I am a strong and independent woman but I still need a man who does not feel intimidated by my independentcy, who can cool me down without put my spirit, life purpose, wishes, will or ambition down, who can support me when I am loosing my ground, becoming my break when I am going too fast, someone to tame my emotion and passion, who does not mind to let me stay as myself. A man who can make me feel safe. 

Saya menemukan semua itu dalam diri Andre dan juga dalam diri laki-laki itu. Jadi ini bukan soal yang satu lebih baik dari yang lain. Mereka berdua sangat mirip. Bahkan keduanya pun sama-sama pencemburu dengan kecenderungan ke arah posesif.

I find it all in Andre and also in that other man. So this is not about one is better than the other. The two of them are a like. They both are even have the tendency to become possessive lovers.

Tinggal beberapa hari lagi sebelum Andre akan kembali ke negerinya. Bulan September dia akan balik lagi. Tapi ada selang waktu dua bulan saya akan hidup tanpa dia. Di pihak lain laki-laki lain itu masih ada di sekitar saya.

In few more days Andre will return to his country. He will be back in September. There will be two months of his absence. In the meantime the other guy is pretty much around me.

“Kalau seandainya laki-laki itu berstatus lajang dan dia mengejar kamu, apa kamu akan lebih memilih dia?” pertanyaan Andre betul-betul menohok saya.

If the guy were single and he came after you, would you fall for him?” Andre’s question really felt like a big blow to me.

Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya.

I don't know how to answer it. 

Saturday, July 27, 2013

Get Inside People's Mind

Enak betul ya kalau bisa membaca pikiran orang. Hemat enerji. Soalnya kita tidak perlu berlama-lama mutar otak, mengamati prilaku orang, mencoba mengartikannya, menebak tanpa mengetahui tebakannya benar atau tidak.

 Is itn't it so cool if we can read other people’s mind. It saves energy. We don’t have to spend a lot of time to watch people’s behavior, trying to understand them, guessing without knowing if we have hit the jackpot.

Sebagai contoh, saya jadi ingat pengalaman belum lama ini ketika saya bertemu dengan seorang laki-laki lain yang nyaris membuat hubungan saya dan Andre berantakan.

For example, my own recent experience when I met another man who almost ruined my relationship with Andre.

Pada waktu itu saya sempat gamang karena sekali pun judulnya punya banyak pengalaman didekati lawan jenis, naksir-naksiran dan jatuh cinta tapi akhirannya saya bertanya-tanya apa sebetulnya yang ada dalam hati dan pikiran laki-laki itu.

I was losing my ground at that time because though I have plenty experience being wooed by men, have liked and falling in love but at the end I asked myself what really in that man’s heart and mind.

Apakah dia mencintai saya? Ataukah hanya nafsu? Menjadikan saya sebagai pelarian? Perempuan yang bisa menghibur hatinya ketika dia sedang menghadapi masalah dalam negeri?

Was it love? Or just lust? Making me as a comfort woman to soothe his troubled heart when he was having problem with his partner?

Sahabat saya, kepada siapa saya mengkonsultasikan perkara ini, tanpa pernah bertemu langsung dengan lelaki itu dan hanya menyimpulkan dari apa yang saya ceritakan kepadanya serta memakai penalaran akal sehatnya akhirnya mengatakan dengan tegas bahwa untuk kebaikan semua pihak, terutama demi kebaikan saya, lebih baik saya mundur.

My bestfriend, whom I consulted this thing, having never met the man in person and just concluded from what she heard from me and applying her common sense, firmly told me that for everybody’s sake, my own foremost,  it is better for me to back off.

Saya membenarkan hasil pemikiran akal sehatnya itu dan saya padamkan seluruh rasa suka saya pada lelaki itu, saya menjauhkan dan menjaga jarak dengannya.

I agreed with her common sense and thus I put the fire off, I distance myself from that man.

Tapi untuk sampai ke titik itu diperlukan waktu berhari-hari. Belum lagi enerji yang keluar karena merasa senang, ragu, kesal, penasaran, sedih dan marah. Coba bayangkan betapa enaknya seandainya saya bisa membaca isi hati dan pikiran laki-laki itu dari awal. Kan kalau saya tahu tidak ada cinta dalam hatinya, dari awal saya tidak akan jadi rada-rada mabuk kepayang menerima segala perhatian dan kebaikannya. Hehe. Atau kalau memang ada cinta dihatinya tapi ada pertimbangan atau keraguan lainnya, kan lebih enak kalau saya tahu dari awal sehingga saya juga bisa menentukan sikap.

But it took me days to get to that point. Not to mention the energy I have spent when I felt happy, uncertain, upset, curious, sad and angry. Just imagine how nice it would be if I could read his mind and heart from the start so when I knew it was not love then his attention and kindness would not turn me head over heels. Lol. Or if there was love it would also do me a favor if I could tell if it was love he had for me so I could make up my mind.

Tapi di sisi lain, untung juga manusia tidak mempunyai kemampuan bisa membaca pikiran. Kalau tidak, bisa ketahuan dong segala kebohongan dan kepalsuan dalam hati dan pikiran. Hehe.

But in other side, lucky us that we don’t have the ability to read each other’s mind. Because if not all the lies and fakes would be known by others. Lol.

Contohnya, dulu ada orang yang merasa tersinggung hanya oleh karena hal yang menurut saya amat sangat sepele. Tapi menurut orang-orang itu, saya telah menunjukkan sikap yang amat sangat tidak sopan dan tidak hormat kepada mereka.

For example, there were people who felt offended by something that in my opinion as a very minor thing. But they thought that I have shown such a very impolite and disrespectful attitude to them.

Saya mengalah. Saya meminta maaf. Bila mereka ingin saya memperlakukan mereka dengan sopan dan hormat, yah, apa susahnya sih buat saya? Sejak itu pula saya memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan tapi tahukah mereka kalau sembari melakukan hal itu, dalam hati saya memaki fuck you atau mengacungkan jari tengah saya? Hehe. Jadi kesopanan dan hormat yang saya tunjukkan adalah palsu seribu persen. Hehe. Bukan salah saya. Mereka bisa memaksa saya melakukan apa yang tidak ingin saya lakukan tapi mereka tidak bisa melakukan hal yang sama untuk hati dan pikiran saya.

I bowed. I apologized. If they want me to treat them with respect, hell, that is not a hard thing to do. Eversince that I give them what they want but would they guess that while I am doing it, in my heart I curse fuck you or point my middle finger? Lol. So my courtesy and respect are one thousand person fake. Lol. They can force me to do what they want but they can never do the same about my heart and my mind.

Saya orang yang lebih mementingkan apa yang ada dalam hati dan pikiran dari pada apa yang orang tampilkan dari luar. Karena muka, lidah dan prilaku bisa di setel sesuai dengan waktu, situasi dan siapa yang sedang dihadapi. Tapi hati dan pikiran berisi kejujuran.

I am someone who thinks what is in heart and mind are more important than what people put on show. Because face, tongue and attitude can be altered according to time, situation and whom we are with. However, heart and mind speak about honesty.

Kalau saya mencintai seseorang maka saya melakukannya dengan seluruh kejujuran dalam hati dan pikiran.

When I love someone, I am doing it with all the honesty in my heart and mind.

Ketika saya menerima seseorang sebagai sahabat, saudara atau orang tua maka saya juga melakukannya dengan seluruh kejujuran dalam hati dan pikiran.

When I am accepting someone as bestfriend, brother/sister or parents, I am doing it with all the honesty in my heart and mind.

Ketika saya merasakan kekaguman dan rasa hormat kepada seseorang tanpa paksaan atau kewajiban maka yakinlah bahwa hal itu saya lakukan dengan seluruh kejujuran dalam hati dan pikiran.

When I have admiration and respect toward someone with no force or obligation, be certain that I am doing it with all the honesty in my heart and mind.

Sampai pada suatu hari saya melihat rekaman yang di buat oleh sebuah rumah sakit. Rekaman dari youtube ini di taruh oleh seorang teman di wall facebooknya dan tidak sengaja saya melihatnya ketika sedang membacai status teman-teman facebook saya. Ya, sesibuk-sibuknya saya, setiap hari selalu saya sempatkan untuk membacai status mereka.

Until one day I saw a video made by a hospital that was in youtube and attached to my facebook friend. I saw it when I was reading my facebook friends statuses. Yep, everyday I make time to read their status no matter how busy I am.


Cleveland Clinic di Amerika membuat rekaman yang menurut saya sangat unik dan bagus karena mereka merekam beberapa orang yang berada atau datang ke klinik itu, mewawancarai mereka dan kemudian dengan kalimat yang tidak terlalu panjang menuliskan hasil wawancara itu yang menggambarkan dengan sederhana tapi menyentuh tentang apa yang sedang dihadapi, dipikirkan dan dirasakan oleh orang-orang tersebut.

Cleveland Clinic, in USA made this footage that I think very smart and good because they interviewed the patients who were in there or who came there and then summarized it with short, simple but touching sentences.

Ada dampak baik terhadap diri kita bila kita tidak menjalani hidup dengan hanya berfokus kepada diri sendiri, pada hal-hal dalam pikiran atau perasaan kita, pada keadaan yang sedang kita hadapi.

It will do us good if we live our lives not focusing on ourselves, on the things in our minds or feelings, on the situation that we are facing.

Ini bukan pelajaran tentang bagaimana berempati kepada orang lain.

This is not to tell you about empathy.

Ini adalah tulisan ke empat setelah The Impossible, The Pursuit of Happyness dan Nick Vujicic yang saya buat dengan tujuan supaya saya sendiri tidak lupa dengan hal-hal positif yang saya dapatkan dari dua film dan Nick ketika saya sedang tenggelam dalam berbagai emosi negatif akibat dari hal-hal yang menimpa diri saya dan orang tua saya dalam setahun terakhir ini.

This is my fourth post after The Impossible, The Pursuit of Happyness and Nick Vujicic so I don’t forget about the positive things I got from those two movies and Nick when I was dealing with negative emotions, side effects of the hardship my parents and I endured in this past year.

Ketika masalah, penderitaan, penyakit, kegagalan atau kesusahan menimpa kita, apalagi kalau itu terjadi untuk waktu yang panjang dan tidak menunjukkan tanda-tanda menuju perbaikan atau menunjukkan tidak ada jalan keluar maka alam pikiran serta perasaan kita dipenuhi dan dibebani oleh semua itu.

When problem, misery, illness, failure or hardship fell upon us, especially when it happens for quite a long time and shows no sign of improvement or no way out, it makes our minds and feelings fill and burdened with it.

Kalau hal memikirkan dan merasakan semua hal itu tidak memberikan dampak negatif seperti menjadi depresi, putus asa atau menciptakan penyakit seperti migran, maag, anoreksia.. ya, silahkan saja dipikirkan dan dirasakan siang dan malam. Hehe.

If thinking and feeling all those things will not bring negative side effects such as depression, desperation or creating illness like migraine, digestive problem, anorexia.. well, go ahead with thinking and feeling them day and night. Lol.

Saya sudah merasakan sendiri bagaimana saya jatuh dalam depresi dan harus bersusah payah bangkit, keluar dan mengalahkan depresi itu.

I have had it myself how I fell on depression and had to struggle my way to get up, get out and conquered it.

Jalan untuk keluar dari fokus terhadap diri sendiri adalah dengan melihat ke sekitar kita. Bicara dengan orang lain. Mendengarkan orang lain. Ini cara paling manjur untuk membuat kita tidak merasa sebagai orang yang paling susah dan paling menderita di dunia ini. Cara paling berhasil untuk mengurangi egoisme, ketakutan dan ketidakpuasan kita.

The way out from being self centered is by seeing around. Talk to other people. Listen to them. This is the best way to make us feel not as the only one who suffer on earth. This is the right way to make us less selfish, less scared and less content.

Saya masih menghadapi keadaan yang tidak menunjukkan tanda perubahan sebesar, sedrastis dan secepat seperti yang saya inginkan dan harapkan tapi saya belajar untuk bisa menerimanya, menyederhanakan diri saya, berbahagia dengan apa yang ada, berdamai dengan kemarahan, kekecewaan dan ketakutan tanpa kehilangan tujuan, harapan serta cita-cita hidup.

I am still facing situation that does not showing changement as big, drastic and fast as I want and expect but I learn to accept it, to simplify myself, to be happy with what I have, to make peace with anger, disappointment and fear without losing my life purpose, hope and dreams.

Tidak mudah memang. Saya menghadapinya setiap hari, setiap detik. Tapi saya tetap berusaha.

Yes, it is not easy. I deal with this every day, every second. But I keep trying. 

Friday, July 26, 2013

Nick Vujicic

Aneh dan lucu juga kalau baru pada bulan Juni tahun ini saya tahu tentang keberadaan orang luar biasa ini.

It is strange and funny that I just knew about existence of this remarkable person in June.

Kalau bukan karena teman di facebook yang menemukan Nick di youtube dan menaruh di wall-nya, mungkin sampai kapan pun saya tidak akan pernah tahu apa-apa tentang dirinya.

If it was not because of a facebook friend who found Nick in youtube and shared it on her facebook wall, I probably would know nothing about him.

Padahal Nick sudah berkeliling ke berbagai negara, bahkan pernah sampai ke Indonesia pada tahun 2006. Tapi bisa-bisanya saya sama sekali tidak pernah tahu tentang dirinya.

The fact is Nick has traveled to many countries, including to Indonesia in 2006. That is strange that I heard or know nothing about it.

Setelah film The Impossible dan The Pursuit of Happyness yang saya jadikan sebagai pembangkit dan pendorong semangat, Nick Vujicic adalah pemberi semangat yang terbesar.

After making the movies The Impossible and The Pursuit of Happyness as my spirit lifter, Nick Vujicic is the biggest life motivator.


Bukan itu saja, saya bahkan ingin supaya semua orang tahu tentang Nick.

Not just that, I even want everyone to know about Nick.

Bukan karena saya sedang mempromosikan dia. Hehe. Tapi karena saya mengaguminya.

Not because I am promoting him. Lol. But it is because I admire him.

Ada banyak orang-orang yang bisa memberikan inspirasi kepada sesamanya. Saya telah membaca dan menonton cerita tentang orang-orang ini. Saya mengagumi mereka juga tapi saya merasa lebih bisa merefleksikan Nick dengan diri saya.

There are many inspiring people. I have read and seen their stories. I admire them too but I feel I can relate myself more to Nick.

Ini karena Nick adalah orang luar biasa yang biasa-biasa saja. Mengerti maksud saya?

This is because Nick is an extraordinary person who is an ordinary one. Do you know what I mean?

Nick bukan seorang atlit, bukan ilmuwan, bukan seniman, bukan politisi, bukan pengusaha, bukan seorang yang punya segudang prestasi atau amat sangat jenius. Beda dengan rata-rata kisah orang-orang dengan keterbatasan fisik atau mental yang kemudian menjadi berprestasi di bidang olah raga, seni, pendidikan, bisnis, politik atau bidang lainnya. Dia bukanlah seorang berbakat ganda. 

Nick is not an athlete, not a scientist, not an artist, not a politician, not a businessman, he is not a person with lots of achievements or a genius. So it is different with most people with handicapped who usually shone in sports, art, education, business, politics or other field.  He is not a multi talented person.

Tapi ketika dia bicara tentang dirinya, tentang hal-hal yang pernah dirasakannya dan dipikirkannya dan ketika di usia 8 tahun dia merasa ingin mati saja karena tidak tahu apakah kelak dia bisa mendapatkan pekerjaan, bisa punya istri dan anak, bukankah semua itu ada dalam rasa dan pikiran semua manusia?

But when he speaks about himself, about the things he felt or thought and when at the age of 8 he thought he wanted to die because he did not know if he could get a job, if he could have a wife and children, don’t we all have the same thoughts?


Karena siapa yang tidak pernah merasakan kecemasan, ketakutan, kemarahan, keputusasaan, kebencian dan keraguan?

Because who never feels worry, scared, angry, despair, hatred and doubt?

Melawan semua itu saja sudah terasa sangat berat dan susah bagi kita yang bertubuh sehat, dengan anggota tubuh lengkap, punya gelar sarjana, pekerjaan, pasangan, anak, harta, jadi bagaimana rasanya kalau harus melawan seluruh emosi negatif itu bila kita adalah Nick.

Fighting those things are not easy for us who have healthy bodies, not handicapped, have college or university degree, jobs, spouse, children, wealth, so imagine how would it feel to fight those negative emotions or thoughts if we were Nick.

Kekurangan, kelemahan, kesusahan dan penderitaan kita akan terasa sangat kecil dan ringan kalau kita melihat Nick.

Our shortages, limitances, hardships and misery will feel so small and light if we see Nick.

Saya mengalami banyak hal dalam satu tahun terakhir ini. Lebih banyak dan lebih berat dari yang pernah saya alami di tahun-tahun sebelumnya. Dan saya bukanlah seorang yang terlahir dengan memiliki kepribadian optimis, tahan banting, pemaaf, penyabar serta berkepercayaan diri tinggi.

I have been through a lot in the past year. More and harder than what I have been through in the previous years. And I am not born with an optimistic personality nor do I have natural self resilient, forgiving, patient or have high self confidence.

Perjuangan saya adalah perjuangan ganda karena tidak hanya harus menghadapi dan melawan fisik, keuangan, orang tua yang sakit, tapi juga ketakutan, kecemasan, kekecewaan, kemarahan, ketidaksabaran dan kekesalan.

I am having fights against physic, financial, ill parents and also fear, worries, disappointment, anger, impatience and upsetness.

Kepribadian saya yang tertutup membuat saya lebih banyak diam dan menyimpan semua konflik batin itu. Saya baru mau membagikannya kalau saya merasa saya telah berhasil mengatasinya sehingga orang yang mendengar tidak jadi gerah dan sebal karena isi pembicaraan saya hanya tentang keluhan dan gerutuan tentang masalah atau kesusahan saya. 

Being a reserved person makes me prefer to be quiet and keep those soul conflicts inside. I only share it after I feel I have overcame it so I don’t bored people with my conversation that only about grumbling over my problems or hardship.

Saya ingin ketika orang mendengar saya bicara, mereka mendengar bagaimana kesusahan dan kepahitan itu tidak mengalahkan saya. Akan lebih berguna bagi mereka untuk mengetahui bagaimana perjuangan saya mengatasi semua itu dari pada bila saya mendatangi mereka dengan muka muram, air mata bercucuran atau pembicaraan yang isinya keluhan melulu. 

I want that when I speak, people hear me talking how I did not and do not let hardship and bitterness defeat me. It is much more benefit them to know about my struggle to overcome those things than to see me appear before them with sad face, tears came down my cheek or hear me grumbling endlessly.

Kita harus malu kalau karena perkara kecil, masalah sepele, kesalahpahaman ringan sudah membuat kita menyerah, mengamuk, tersinggung, ngambek, mengadu kemana-mana atau kehilangan semangat hidup.

We should be ashamed if small incident, minor problem, tiny misunderstanding can make us give up, enraged, offended, upset, running to get backups from other people or lose the spirit.

Kalau yang melakukan ini adalah anak berusia 5 tahun atau 15 tahun, yah, saya masih bisa memakluminya. Tapi dalam kehidupan setelah tidak lagi mengajar di taman kanak-kanak, saya sangat malu untuk mengatakan bahwa saya menemui banyak orang dewasa yang kelakuannya sama saja dengan anak usia antara 5-15 tahun.

If a 5 or 15 year olds do this, well, I can understand. But life after not teaching in kindergarten has brought me to meet adults whom I am so ashame to see them behave no difference with 5-15 year olds.

Berhentilah menjadi cengeng.

Stop being such a baby.


Tontonlah film The Impossible dan The Pursuit of Happyness serta lihat rekaman tentang Nick Vujicic. Hal-hal yang mereka alami mengajarkan kepada kita tentang ketabahan, semangat dan kedewasaan.

Go and watch the movies The Impossible and The Pursuit of Happyness, see also the footages about Nick Vujific on youtube. The things they have been through teach us about big heart, spirit and maturity.

Thursday, July 25, 2013

The Pursuit Of Happyness

Ini film ke dua setelah The Impossible yang sangat saya rekomendasikan untuk di tonton saat sedang menghadapi masalah atau kesukaran dalam hidup.

This is the second movie after The Impossible that I highly recommend you to watch when you are in the midst of problem or having hardship in life.

Soalnya begini, ketika sedang tertimpa masalah atau kesukaran, biasanya kita berpikir atau merasa bahwa masalah atau kesukaran itu teramat sangat besar dan berat.

The thing is when problem occurs or hardship hits us, we would think it were so huge and unbearable.

Reaksi yang sering muncul adalah marah. Entah itu marah kepada diri sendiri atau marah kepada orang lain.

The common reaction is get angry. Whether it is angry to yourself or to other person/people.

Kadang membuat dalih atau mencari kambing hitam.

Sometimes making excuses or looking for a scapegoat.

Ada yang membenarkan diri. Ada yang mengasihani diri.

Some make self justification. Others feel self pity.

Itu sebabnya kita harus berusaha untuk keluar dari perangkap itu.

It is why we have to try to set ourselves out of the trap.

Ya, masalah boleh ada. Kesukaran memang tidak langsung hilang seperti orang main sulap. Penyakit tidak langsung sembuh. Uang tidak tiba-tiba jatuh ke atas pangkuan. Pekerjaan tidak serta merta didapatkan dalam sekali mengirim lamaran kerja. Kesalahan yang sama tidak bisa diharapkan untuk tidak terulang lagi. Tidak mungkin berharap berjodoh dengan orang pertama yang dipacari.

Yes, so problem is very much exist. Troubles don’t disappear magically. Illness is not cured. Money does not fall on to our lap. One job application does not earn us that job. Same mistake can not be expected from not happening again. Do not hope the first person who became our boy/girlfriend would end up in marriage.

Jadi yang pertama kali dilakukan adalah realistis. Boleh sedih, boleh kesal, boleh putus asa, boleh bingung.

So the first thing to do is to be realistic. Yes, we can feel sad, upset, despair, confuse.

Film The Pursuit Of Happyness (Mengejar Kebahagiaan) adalah film yang di angkat dari kisah nyata tentang satu masa dalam kehidupan seseorang yang mengalami masalah demi masalah, baru mengalami sedikit kelegaan kemudian harus menghadapi kesulitan berikutnya.

The Pursuit Of Happyness is a true story movie about a man who for some period of time had to go through one problem after another, one small good thing followed by another hardship.

Dari seorang yang memiliki tempat tinggal sampai harus pindah ke motel dan karena tidak punya uang untuk membayar maka dia harus bermalam di toilet stasiun kereta api dan akhirnya di rumah singgah untuk gelandangan. Untuk bisa mendapat tempat di rumah singgah itu dia harus mengantri karena begitu banyaknya gelandangan yang juga membutuhkan tempat untuk bermalam.

Father & son

From someone who had a place to stay then forced to move to a motel and because he had no money to pay the rent he had to spend a night at the train station’s toilet. Later he stayed in a house for homeless people. To be able to get a place at that house he had to stand in a long line along with other homeless people.

Spending a night at train station toilet

Istrinya meninggalkannya karena mendapat pekerjaan di kota lain. Putra mereka satu-satunya ditinggalkan. Jadi putranya itu ikut terseret-seret dalam berbagai kesusahannya.

His wife left him because she got a job in other town. Their only son was left under his custody. So the boy was dragged from one tough time to another one.

Pekerjaannya sendiri adalah menjual alat medis dan benda itu tergolong mahal serta tidak semua dokter atau rumah sakit memandangnya sebagai benda yang sangat dibutuhkan sehingga bukan perkara mudah untuk bisa menjualnya. Membutuhkan waktu berhari-hari atau malah berminggu-minggu untuk bisa menjual satu.

His business was selling this medical equipment and it was quite expensive, plus not all doctor or hospital think it as a necessary equipment so it was not an easy thing to sell it. It took days or even weeks to sell just one of that thing.

Demi mendapatkan uang untuk makan putranya, dia sampai harus mendonorkan darahnya. Di Amerika rupanya menerima bayaran untuk mendonorkan darah. Di Indonesia hanya menerima susu, telur atau mie instan.

To get money to buy food for his son, he had to sell his blood. I just knew that people in America get paid when they donate their blood. In Indonesia red-cross just give milk, egg or instant noodle as a reward.

Pokoknya menonton film ini bisa membuat kita tertawa, gemas dan juga meneteskan air mata.

This movie can make us laugh, shake our heads in disbelief and also cry.

Soalnya itu yang terjadi pada saya selama menonton film itu. Hehe.

I laughed, I shook my head in disbelief and I cried when I watched it. Lol.


Yang paling penting adalah saya merasa semua masalah, penderitaan dan penyakit saya jadi seperti kecil sekali bila dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh si tokoh yang kisah hidupnya di angkat dalam film itu.

The most important thing is I felt all my problem, suffering and illness are small if they are compared with what the man had to deal with.

Seburuk-buruknya keadaan saya, saya masih punya pekerjaan tetap, gaji tetap setiap bulan, segala pengeluaran ekstra karena sakit bisa dilunasi tanpa harus berhutang, masih ada rumah sendiri dan kami tetap utuh sebagai satu keluarga.

No matter how worst my situation was, I have a job, I get paid every month, every extra expenses could be paid without leaving us in debt, we have our own house and we remain as a family.

Inilah yang saya maksudkan dengan kita harus keluar dari perangkap.

This is what I meant when I wrote we have to get ourselves out of the trap.

Perangkap dalam bentuk kemarahan, kesedihan, rasa mengasihani diri sendiri, putus asa, kekesalan, mencari kambing hitam, membuat dalih, membenarkan diri sendiri, iri, benci, bersikap kekanak-kanakan.

The trap in the form of anger, sadness, self pity, despair, upsetness, looking for scapegoat, making excuses, envy, hatred, act childishly.

Saya tidak suka melihat orang yang membesar-besarkan perkara setiap kali ada masalah. Yang bereaksi seakan langit runtuh di atas kepalanya ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapannya.

I dislike anyone who exaggerates thing when problem occurs. Who reacts as if sky fell on his/her head when things don’t go according to his/her wishes.

Atau orang yang lebih suka mengasihani diri sendiri. Memasang muka muram atau berkeliling menceritakan tentang penderitaannya.

Or to anyone who likes to dwell in self pity. Putting sad face or walk around telling everybody about his/her misfortune and suffering.

Berhentilah menjadi anak kecil.

Stop being a child.

Tidak mudah untuk berubah dari kanak-kanak menjadi seorang dewasa.

It is not easy to transform from being a child into an adult.

Saya menjalani kehidupan yang tidak mudah dari tahun 2001 sampai ke tahun 2013 ini. Kehidupan saya di tahun-tahun sebelumnya memang tidak bertabur bunga tapi rasanya yang saya alami dari selama 12 tahun terakhir ini lebih berat dari yang sebelumnya.

I had quite hard years from 2001-2013. My life was not an easy one before that but it seems in the past 12 years I have lived a more harder life.

Hasilnya sih banyak merubah sifat, kebiasaan dan kepribadian saya.

They have changed my characters, habits and personality.

Penyakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan dan perjuangan untuk mendapat pekerjaan, kesulitan keuangan, jatuh cinta-patah hati berjuta kali telah membuat saya berubah dari seorang kanak-kanak menjadi lebih dewasa.

Illness, accidents, losing a job and struggle to get a job, financial problem, falling in love-heart broken like a million of times have turned me from a child into an adult.

Umur tidak menjamin kita menjadi orang dewasa. Hanya dewasa dalam definisi hukum. Patut disayangkan kalau sikap, kelakuan dan cara berpikir kita ternyata tidak ada bedanya dengan anak berusia 5 tahun.

Age is not making us into adults. The law may set what age can be considered as adult. It is such a shame if the attitude, characters and way of thinking are showing no difference with a 5 year old.