Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, May 31, 2013

People In The Country

Ketika saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah pedesaan di luar kota, saya mendapat pengalaman berharga untuk bisa bertemu, mengenal dan mempelajari tentang orang-orang ini yang tidak dibesarkan, tinggal atau bekerja di kota besar.


When I had the chance to visit a village in the countryside, it gave me  precious experience to meet, know and learn about the people who are not raised, live or work in the city.

Mereka lebih ramah, lebih terbuka, lebih spontan dan lebih tulus dari orang-orang kota. Mereka memiliki cara berpikir yang juga jauh lebih sederhana.

They are friendlier, more welcome, more spontaneous and more sincere than the people in the city. They also have simplier way of thinking.

Contoh sederhana yang saya lihat adalah tetangga ibu Yayah yang menjemur pakaiannya di atas genteng rumahnya. Yap, betul sekali. Pakaian basah yang sudah di cuci bersih itu di gelar di atas genteng rumahnya.

For example, I saw Mrs. Yayah’s neighbor put her newly wet clean and freshed laundry on her house roof.


Kebetulan posisi rumahnya agak ke bawah karena lokasi desa itu berada diperbukitan sehingga tanahnya naik turun, tidak rata. Jadi, si tetangga itu tinggal berdiri di tanah yang agak tinggi di sisi rumahnya dan dari situ dia jadi lebih tinggi dari atap rumahnya.

The village located in a hill so it is not a flat ground. And if this neighbor goes up to the right side of her house, she becomes taller than her house’s roof.

Cuma ya, saya tidak mengira hal ini akan dimanfaatkan untuk menjadikan atap rumah sebagai tempat untuk menjemur pakaian. Jadi saya kaget sewaktu melihat dia sedang asyik menjemur pakaian di atas genteng rumahnya. Pemandangan seperti ini tidak pernah saya lihat di kota. Tadinya saya ingin memotretnya tapi khawatir kalau dia memergoki nanti dia heran atau jadi tersinggung. Karena itu saya hanya memandangi saja dari kejauhan sambil cengar-cengir sendiri.

I just didn’t expect anyone would use it as a place to put fresh clean wet laundry. It surprised me seeing her did that. I have never seen anything like that in the city so it crossed my mind to take her picture but I worried it would make her wonder or upset her so I just watched her and hid my smile.

Hal lain yang sempat membuat saya terkaget-kaget adalah ketika mengetahui bahwa di desa, seorang perempuan seusia saya sudah dianggap tua. Hah?? Nyaris saja tawa saya meletus. Umur saya baru saja jadi 42. Dan saya sama sekali tidak merasa atau terlihat tua. Jadi yang bener aja dong, masa umur segini sudah dianggap nenek-nenek?? Hehe.

Other thing that really surprised me is when I was told that in the village, woman in my age is already considered old. Whatta?? I almost burst out my laugh. I just turned 42. And I don’t feel nor look old. So you gotta be kidding me to say that I was already considered as a granny at this age?? Lol.

Tapi kemudian terpikir oleh saya bahwa rata-rata orang desa menikah di usia sangat muda. Lulus SMP atau SMA mereka sudah menikah. Ya, jelas saja usia 40an mereka sudah punya cucu alias sudah jadi kakek nenek.

But then I realized most people in the villages get married in young age. They settled down after they graduate junior or senior high school. So it makes sense that when they have become grandparents when they are in their 40’s.

Ibu Yayah yang usianya 2 tahun lebih muda saja terlihat seakan lebih tua 5-10 tahun dari saya. Dan 5 bulan lagi dia akan menjadi nenek karena putrinya yang berusia 19 tahun sedang hamil 4 bulan.

Mrs. Yayah who is 2 years younger than me looks like as if she were 5-10 years older than me. And in another 5 months she will become a grandmother because her 19 years old daughter is 4 months old pregnant.

Beda benar dengan saya yang lahir dan besar di kota. Umur 19 tahun saya baru lulus dari SMA dan ayah saya ngotot memasukkan saya ke perguruan tinggi walau itu artinya dia harus menjual mobil kami satu-satunya untuk biaya kuliah saya selama 3 tahun.

It is so different with me who was born and raised in the city. I was 19 when I graduated high school and my father insisted to send me to college though it means he had to sell our only car to finance my 3 years college education.

Saya menyelesaikan pendidikan saya lebih cepat sehingga usia saya baru 22 sewaktu saya lulus dan mulai bekerja. Target saya ketika itu adalah 5 tahun berikutnya saya akan kuliah sambil kerja untuk mengambil S1 tapi keuangan saya banyak terpakai untuk orang tua sehingga rencana tinggal rencana.

I graduated early when I was 22 and I have got my first job. My plan at that time is I would go back to college to get my bachelor degree after 5 years but the funds was used for my parents so there goes my plan.

Sejak itu ambisi saya hanyalah kerja dan kerja. Saya pacaran-bubar-pacaran-bubar selama bertahun-tahun tanpa berkeinginan untuk menikah. Sampai ketika usia saya mencapai lebih dari 35 tahun, saya merasa saya belum mendapatkan cita-cita saya sehingga saya hapus pernikahan dari daftar hal-hal yang ingin saya capai. Pertimbangan secara logika saja; pernikahan bisa menghalangi langkah saya untuk mencapai cita-cita.

Ever since then my only ambition was work and work. I had boyfriend-I broke up-had another boyfriend-broke up again pattern for many years without any desire to get married. And by the time I reached 35, I felt I haven’t accomplished my dreams so I deleted marriage from my list of things that I want to do in my life. It is pure logic; marriage would be a hindrance.

Orang kota bisa menerima pandangan seperti ini dan tidak menganggap aneh perempuan seperti saya. Tapi orang desa menganggap hal itu aneh dan mereka mengasihani saya. Coba bayangkan, saya dikasihani karena saya belum menikah! Hehe. Ya ampun…

People in the city can accept this point of view and thus don’t think I am sort of weird person. But people in the village think differently. They find it odd and they feel pity. Would you believe it that people feel pity to me because I am not married. Lol. Geez, for crying out loud…

Yang lebih mengagetkan dan lucu lagi, saya ditanyai apa saya masih gadis? Wah, apa di kira saya belum menikah karena saya janda? Hah?? Dan yang bertanya itu bapak-bapak lho. Weleh, saya datang buat berkunjung, pak, bukan buat cari suami. Hehe.

What more surprising is when I was asked if I am still a virgin. Am I what?? Or am I a widow? What an assumption because I am not married. And fyi, a man asked me those questions. Dude, I came to visit a friend and her family, not to find a husband. Lol. 

Ya, pertanyaan-pertanyaan demikian membuat saya merasa lucu bercampur jengah tapi saya yakin mereka tidak punya maksud untuk membuat saya merasa tidak nyaman. Mereka hanya demikian ingin tahu. Jadi ya saya tidak menjadi kesal karenanya.

Those questions made me wanted to laugh it out loud but also felt a bit uneasy but I knew they didn’t mean to upset me. They just had this big curiosity. So it didn’t upset me.

Saya pulang membawa banyak hal yang bisa saya pikirkan dan jadikan tulisan. Tapi yang pasti, dengan segala hal yang saya temui di desa itu, saya terpikat dengan masyarakatnya, dengan kehidupannya dan dengan pemandangannya. Seandainya saya bisa tinggal dan bekerja di sana..

I went back home bringing lots of things to think and to write. But one thing for sure is of all the things I found in that village, it stole my heart, the people, the life and the view there are enchanting. If only I could live and work there..

Thursday, May 30, 2013

Knocking Down The Wall

Kunjungan saya ke rumah ibu Yayah meninggalkan segudang cerita. Soalnya saya tipe orang yang senang merenungkan hal-hal yang saya lihat dan saya alami.   

My visit to Mrs. Yayah has given so many things to tell because I like to think about the things I see and experience.

Satu dari sekian hal yang menyisakan kesan mendalam di hati saya adalah saat melihat reaksi ibu Yayah beserta keluarganya ketika saya mau datang, menginap, makan apa pun yang mereka makan dan duduk di lantai dapur bersama mereka sambil makan seperti mereka, tanpa sendok garpu.

One of the things that stays in my heart is Mrs. Yayah and her family’s reaction when I came to visit, stayed a night at their house, ate whatever meal they had, sat in their kitchen floor along with her, eating without fork nor spoon.

Satu hal yang sangat saya syukuri adalah pengalaman-pengalaman saya melatih saya untuk menjadi orang yang tidak merasa berdiri lebih tinggi dari yang lain. Saya tidak merasa turun derajat ketika saya makan atau minum di piring atau gelas yang sama dengan orang yang strata sosialnya lebih rendah dari saya. Saya tidak merasa terhina ketika orang memanggil saya dengan nama saja. Saya tidak terganggu ketika orang yang berusia atau berpendidikan jauh di bawah saya memperlakukan saya seakan saya sama dengan dirinya.

One thing I am grateful is experiences have trained me not to feel ten feet taller than other people. I don’t feel being degrading when I eat or drink from the same plate or glass with people whose social status are lower than me. I don’t feel insulted when people call me only by my name. It also does not bother me when people who are younger than me or have lower education level treat me as if I were one of them.

Semua itu tanpa saya sadari telah memberikan banyak keuntungan. Saya disukai oleh banyak orang. Saya bisa bergaul dengan siapa saja. Saya bisa melebur dengan bermacam orang dari beragam latar belakang.

All of those things have given me lots of benefit. I am likeable. I can mingle with anybody. I get along well with people who have various background.

Ya, tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa.

It is not easy but it is something that everyone can learn.

Kadang ada sikap atau perkataan tertentu yang membuat saya terganggu tapi saya diam, mencoba memahami bahwa semua itu bukan untuk menyakiti hati saya tapi karena pengaruh dari latar belakang orang yang berbeda dengan saya.

Sometimes they do things or say things that I find annoying tapi I remain silent, trying to understand that they don’t do it to upset or hurt me on purpose but because of their background that is not similar to mine.

Dari dulu sampai kapan pun perbedaan itu akan selalu ada. Perbedaan bagaikan tembok yang memisahkan manusia satu dengan lainnya.

Differences have always exist from time to time. Differences are like wall that divide people from one another.

Kadang kita membangun tembok di sekitar kita sehingga yang terjadi adalah ‘aku dengan kelompokku dan kamu dengan kelompokmu. Bisa saja kita hidup di kota yang sama, bekerja di tempat yang sama, bahkan beribadah di tempat yang sama pula tapi aku dengan kelompokku dan kamu dengan kelompokmu’.

Sometimes we built walls around us, creating what I call ‘I am with my group and you with yours. We may live in the same town, work in the same place, we may even go to the same worship place but I stay with my group and you with yours’

Kalau tembok itu ada di sekitar diri anda, robohkanlah tembok itu. Bebaskanlah diri anda. Hidup akan menjadi lebih berarti dan menarik tanpa kehadiran tembok-tembok itu.

If you have those walls around you, knock them down. Free yourself. Life will become more meaningful and interesting without them.  

Wednesday, May 29, 2013

Welcome To The Country

Sewaktu Ibu Yayah menuliskan tentang nama desa tempat tinggalnya, saya tidak membayangkan bahwa itu betul-betul desa karena tempat saya tinggal pun masih ada yang namanya kantor desa.

When Mrs. Yayah texted me the name of the village where she lives, I did not expect it to be a real village because the place where I live has a village office. 

Tapi daerah tempat tinggal saya tidak lagi bisa dikatakan sebagai desa karena suasananya sudah suasana kota. Lagi pula perumahan tempat tinggal saya sebagian besar di huni oleh pendatang dari Jakarta. Tidak heran kalau gaya kami membawa diri adalah gaya orang-orang yang besar di kota besar.

The place where I live is not a village. It does not have any village atmosphere either. Most inhabitants in my housing complex are people from Jakarta so it is  the big city inhabitant’s attitude.

Saya adalah orang kota besar. Terlahir dan dibesarkan di ibu kota. Walau pun bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan telah banyak mengunjungi berbagai tempat di negeri ini tapi saya masih juga terkaget-kaget ketika mengalami benturan budaya.

I am a big city person. Born and raised in Jakarta, the capital city. Even though I have known lots of people that have various background and I have visited many place in this country but I am still having cultural shock.

Keramahan dan keterbukaan ibu Yayah saja sebetulnya sudah menggambarkan ciri khas masyarakat pedesaan yang belum sepenuhnya terkontaminasi oleh pengaruh pendatang dari kota besar.

Mrs. Yayah’s hospitality and openness have actually put a picture about villagers characteristic that has not completely contaminated by the city’s influence.

Karakter ini saya temui dalam diri keponakan ibu Yayah yang menjemput saya di pasar Purwabakti. Remaja yang baru lulus SMA ini langsung menyapa saya dengan ramah sampai saya merasa seakan-akan kami sudah kenal sangat lama. Sikap ini persis sama dengan yang ada di ibu Yayah, suami, anak dan mantunya.

I found this character in Mrs. Yayah’s nephew who came to pick me from Purwabakti market. The young man who just graduated from highschool greeted me warmly as if we have known each other for many years. This same attitude can be found in Mrs. Yayah, her husband, daughter and son in law.

Buat saya hal ini terasa sebagai sesuatu yang baru tapi sangat menyenangkan. Karakter asli saya jadi muncul karena saya merasa dengan orang-orang ini saya bisa menjadi diri saya sendiri.

For me this is a new thing, a bit odd but it is pleasing. My real character came to the surface because I feel I can be myself when I am with these kind of people.

Saya sebetulnya seorang yang lugas, spontan, tanpa pretensi, tulus dan periang tapi dalam kehidupan sehari-hari terpaksa harus menahan diri, memakai topeng ketika menghadapi orang-orang tertentu dan menyembunyikan diri saya ketika saya menjadi seperti yang orang lain inginkan.

I am a straight forward, spontaneous, unpretentious, sincere and cheerful person but I have to hold myself, wearing mask when facing certain people and hide my real personality when I become what other people want me to be.

Kejutan budaya berikutnya yang saya rasakan adalah saat saya sedang duduk di ruang tamu rumah ibu Yayah. Sementara kami mengobrol itu beberapa kali datang orang yang ingin menemui ibu Yayah. Dan begitu orang-orang itu melihat ada saya di ruang tamu itu, mereka spontan mengulurkan tangan untuk menyalami saya.

The next cultural shock came when I was talking with Mrs. Yayah in her livingroom. People came to see her and when they saw me they spontaneously handed out their hands to shake hands with me.

Dipikir-pikir, mereka kan tidak kenal saya. Saya cuma tamunya ibu Yayah. Kebiasaan orang kota adalah mereka tidak akan menyapa apalagi menyalami!

I mean, they didn’t know me. I was just Mrs. Yayah’s guest. People from the city wouldn’t do such thing!

Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru, setiap hari Sabtu datang orang-orang dari Jakarta yang memberikan les musik dan balet gratis. Biasanya saya belum pulang ketika mereka sampai. Jadi saya masih berada di dalam kelas saya ketika mereka masuk, menaruh barang-barang, duduk atau berdiri sambil mengobrol dan tidak sekalipun menegur saya apalagi menyalami saya!

When I was working as kindergarten teacher, every Saturday we had people came from Jakarta who would give music and balet lesson for free. I usually was there in my classroom when they came there, put their stuff, sat or stood talking to each other without even once greeted nor came to shake hands with me!

Di tempat kerja saya sekarang ini saja pernah saya kedatangan beberapa anak muda yang mengunjungi rekan kerja saya. Mereka masuk ke ruangan saya, duduk, mengobrol dengan rekan saya itu dan tidak sekali pun ada yang menegur, menyalami atau memperkenalkan diri kepada saya sementara ruangan itu adalah ruang kerja saya dan mereka adalah tamu. Rekan kerja saya juga merasa tidak perlu repot-repot memperkenalkan mereka kepada saya. Saya ingat saat itu saya berdecak kagum dalam hati. Luar biasa orang-orang ini!

I had some young people came to my work place to meet my colleagu. They came to my room, sat, talked with my colleague without anyone bothered to greet me, came to shake hands with me or introduce themselves to me. My colleague himself didn’t feel obliged to introduce them to me. And they were in my room! I clicked my tongue in astonishment seeing those people’s attitude. What an amazing behavior!

Rekan kerja saya yang sama itu belum lama ini datang dan pergi tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Saya dan seorang senior saya yang sedang berada dalam ruangan saya menyadari ada orang datang karena mendengar suara pintu ruangan sebelah dibuka orang. Ketika dia pergi, pintu tidak ditutupnya lagi dan juga karena tidak bersuara maka kami tidak tahu kalau dia sudah pergi lagi.

Not so long ago, the same colleague of mine came and left without saying a word. I was in my room with a senior when we heard someone opened the door of the room next to my room. But he didn’t close the door when he left and didn’t make a noise so we didn’t hear him left.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ruangan itu tetap gelap. Heran juga saya karena saya yakin saya dengar ada orang membuka pintu ruangan itu. Jadi saya pergi memeriksa ruangan itu dan memang tidak ada seorang pun di dalam situ.

After a while I peeked the room and wondered why it was dark when I clearly heard someone open its door so I inspected it and found no one was there.

“Siapa, Ke?” tanya senior saya ketika saya kembali ke ruangan saya.

“Who was there?” asked my senior when I returned to my room.

“Ga tau, pak” jawab saya tanpa memberitahunya bahwa saya tahu siapa yang datang karena saya mencium harum parfum khas rekan saya itu “Setan kali. Datang ga ketahuan siapa, pergi juga ga ada bunyinya”

“Don’t know” I didn’t tell him that I knew who came because I smelled his perfume “Maybe a ghost. Didn’t know who came and no sound when it left”

“Mungkin …” senior saya menyebutkan nama rekan saya itu. Tapi karena melihat saya hanya mengangkat bahu, dia pergi keluar untuk bertanya pada satpam. Beberapa waktu kemudian dia kembali, tersenyum lega “Bener, Ke, tadi ….. yang datang”

“Maybe it was …” my senior said my colleague’s name. but seeing me just shrugged my shoulder, he went out to the security to ask who came few minutes ago. He returned to my room with a relief smile “Yes, it was … who came”

Yah, hati orang jahat atau baik memang tidak bisa ditentukan dari sikap dan prilakunya. Tapi beberapa pengalaman saya menunjukkan bahwa orang yang kita sebut orang kampung, yang mungkin kita pandang sebelah mata ternyata bisa lebih berbudaya dari pada kita yang menyebut atau menganggap diri orang kota dengan martabat yang lebih tinggi. 

It is true that a good or bad heart can not be determined from one’s behavior or attitude. But my experiences shown that people whom we called hillbillies, the people whom we underestimated have in fact more culture than us and we regard ourselves as the city people who have more culture than them.

Kita patut merasa malu.

Shame on us.

Monday, May 27, 2013

Weekend Adventure

“Nich alamat ibu. Dari terminal Bubulak, naik angkot 05 jurusan Leuwiliang. Turun di Cemplang. Dari Cemplang naik angkot jurusan Purwabakti. Di pasar Purwabakti turun. Naik ojek bilang aja mau ke pak lurah Bajri di desa Cibunian”

“Here’s my address. From Bubulak bus station, take the car to Leuwiliang. Get off at Cemplang. From Cemplang, take the car to Purwabakti. Get off at Purwabakti market. Tell the motorcycle driver to take you to Mr. Bajri, the head of Cibunian village”

Itu kutipan langsung sms dari Ibu Yayah hari Kamis siang (23/5) yang membuat saya tertawa karena ketika saya meminta dia memberitahu alamat rumahnya, saya membayangkan dia akan memberikan nama jalan, nomor rumah, perumahan, rt/rw. Eh, yang saya terima justru seperti yang di atas itu sehingga sampai sekarang pun saya tidak tahu rumahnya ada di jalan apa, nomor berapa, rt/rw berapa. Hehe.

That was the text I received from Mrs. Yayah on Thursday afternoon (May 23rd) which made me laughed because it was not what I expected to get when I asked for her home address. So I still don’t know the name of the street where she lives nor do I know her house number.

Ibu Yayah berikut suami, anak dan mantunya berkenalan dengan saya dan orang tua saya di rumah sakit PMI. Ibu saya sekamar dengan anaknya yang terkena demam berdarah.

Mrs. Yayah, her husband, her daughter and her son in law became acquainted to my parents and I when we were in PMI hospital. My mother shared room with her daughter who was hospitalized for having dengue fever.

Lucunya, ibu saya dan anak ibu Yayah masuk rumah sakit pada hari yang sama dan keluar pada hari yang sama juga. Dan karena membawa dua mobil, mereka menawarkan untuk mengantarkan kami pulang memakai satu dari dua mobil itu.

Funny thing is, my mother and Mrs. Yayah’s daughter was hospitalized in the same day and released on the same day too. They brought their two cars and offered to take us home on one of those cars.

Bantuan tidak terduga dan sangat disyukuri karena hari itu turun hujan. Saya dan ayah saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi kenyataan kalau kami harus membawa ibu saya pulang memakai kendaraan umum di tengah hujan yang lumayan deras.

Unexpected aid and thus, highly appreciated because it rained quite heavily. My father and I were both prepared mentally to face the fact if we had to bring my mother home using public transportation under the pouring rain.

Bisa dibayangkan ayah saya dalam usianya yang 68 tahun dan dalam keadaan kelelahan karena menunggui ibu saya selama 4 hari di rawat, ibu saya yang berusia 78 tahun yang belum 100% pulih dan saya sendiri yang saat itu masih dibawah pengaruh obat untuk menormalkan hormon serta untuk menghentikan menstruasi harus pulang memakai kendaraan umum di bawah guyuran hujan. Di Bogor tidak ada taksi. Harus sewa angkot. 

If you could imagine my 68 years old father whom very exhausted for having to accompany my mother when she was in the hospital for 4 days, my 78 years old mother who haven’t fully recovered and myself who was also under the side effect of the medicine to normalize my raging hormone and also to stop my menstruation, and we had to use public transportation under the pouring rain to go home. There is no taxi in Bogor. If you don't want to use public transportation you have to rent a car.

Tidak seorang pun dari kami yang mengeluh atau menggerutu. Berpikir saja sudah sulit pada waktu itu. Hidup demikian kerasnya pada kami akhir-akhir ini sehingga bagi kami yang penting adalah kami saling mengasihi satu dengan lainnya dan dengan demikian penderitaan tidak akan terasa sangat menyakitkan.

None of us complained or grumbled. We couldn’t even think. Life has been hard to us lately that what mattered most for us is that our love sticks us together and it makes the pain less painful.

Hubungan kami dengan ibu Yayah tetap berlanjut melalui sms. Mereka sangat ramah dan bersifat terbuka sehingga rasanya kami sudah saling kenal lama. Ketulusan dan keluguan seperti itu jarang ditemui di jaman seperti sekarang ini.

Our communication with Mrs Yayah continues through text. They are very friendly and have this welcoming attitude that is rare in today’s time.

Undangan mereka supaya kami datang mengunjungi mereka misalnya, bukanlah undangan basa-basi. Mereka dengan tulus dan serius ingin supaya kami bisa mengunjungi rumah mereka.

They meant it when they invited us to visit their house. A genuine and serious invitation.

Awal bulan Mei ini saya berpikir-pikir saya perlu pergi menyepi sejenak. Saya perlu mengalihkan perhatian. Saya harus mencari suasana baru. Saya perlu menenangkan hati dan pikiran.

Early this May I thought I needed to get away for awhile. I needed a distraction. I must had a break. I got to calm my mind and my heart.

Saya galau memikirkan dan melihat ibu saya yang kondisinya naik turun. Saya galau memikirkan diri sendiri yang hampir sebulan ini kembali menstruasi walau jumlahnya sudah tidak lagi segila bulan lalu. Saya galau memikirkan kehidupan dan karir saya yang seperti jalan di tempat. Saya galau memikirkan begitu banyak cita-cita saya yang sepertinya kok jauuuuuuh sekali seakan nyaris tidak tergapai. Saya galau memikirkan hubungan saya dan Andre yang secara sepihak telah saya istirahatkan tanpa batas waktu. Saya galau karena saya bertemu seseorang yang membuat saya tertarik padanya tanpa bisa memilikinya. Dan saya harus menghadapi kecemburuan dan kecurigaan tidak hanya dari Andre. Konflik membuat saya semakin capek.

I was so troubled thinking and seeing my mother’s condition goes up and down. I was troubled thinking about my own condition for having menstruation for nearly a month now though it is not as much as last month. I am troubled thinking about my life and career that seems stuck. I was troubled thinking about my dreams that seemed so far away almost unreachable. I was troubled thinking about my relationship with Andre that I have one sidedly decided to put it on break. I was troubled thinking about someone I was attracted to and yet can’t have him. And I had to deal with not just Andre’s jealousy and suspicion. I was so sick and tired with these conflicts.

Ah, gila! Saya agaknya sudah gila.

This is so crazy! I obviously have gone mad.

Rumah ibu Yayah menjadi tempat yang saya pilih sebagai tempat pelarian.

And Mrs. Yayah’s home became my chosen sanctuary.

Ayah saya melarang saya pergi sendiri ke sana.

My father told me not to go there all by myself.

Tapi saya ingin bertualang.

But I wanted to have some adventure.

Ya, saya tahu rumah ibu Yayah sangat jauh. 2 jam perjalanan kata ibu Yayah. Ok, saya tahu kondisi fisik saya masih dibayangi oleh menstruasi tapi asal jangan saya berangkat dengan perut kosong, rasanya sih saya akan kuat.

Yes, I knew Mrs. Yayah house is so far away. 2 hours needed to get there, she told me. Ok, I knew my menstruation overshadowed my physical condition but I thought I would be fine as long as I didn’t go there with empty stomach.

Saya ingin mengetes kemampuan fisik dan mental. Saya merencanakan untuk melakukan banyak hal baru, pergi ke tempat-tempat baru dan yang jauh-jauh dan bulan depan setidaknya saya telah merencanakan untuk dua kali pergi hiking ke gunung. 

I wanted to test my own physical and mental condition. I planned to do new things, to go to new and far places and next month I have also planned to go at least twice hiking to the mountain.

Saya harus kuat dan kokoh lagi. Saya tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan siapa pun. Kalau sudah begini, sifat kepala batu saya muncul. Maklum, bintangnya saja Taurus. Banteng. Hehe.

I must get myself strong and tough again. I must not be defeated by anything or anyone. Now at time like this, my head strong character came to the surface. Well, I am a Taurus. A bull. Lol.

Jadi hari Jumat siang (24/5) saya berangkat langsung dari kantor. Mengikuti urut-urutan seperti yang ibu Yayah tuliskan dalam smsnya. Semua berjalan lancar walau pun di terminal Bubulak sempat nyaris tertidur saya di angkot saking lamanya itu angkot ngetem, kemudian terbingung-bingung mencari angkot jurusan Purwabakti setelah sampai di Cemplang dan sempat salah turun sebelum sampai di pasar Purwabakti. Bu Yayah sudah senewen saja ketika menelpon saya,

So that Friday afternoon (March 24th) I left from the office. I followed the direction given by Mrs. Yayah on her text. Everything went smooth though I almost fell to sleep on the car at Bubulak bus station because it seemed it took forever before it left, at cemplang I got puzzled trying to find the car to take me to Purwabakti market and I got off before it reached the market. Mrs. Yayah was nervous when she called me,

“Ke, salah turun dimana? Sekarang ada dimana?”

“Where do you get off? Where are you now?”

“Ga tau, bu” jawab saya sekenanya sambil cekikikan antara geli menertawakan ketololan sendiri yang bikin saya sampai salah turun dan sebagian karena agak senewen juga “Ah, gampang, bu, saya naik angkot yang sama aja” Pikir saya, sudahlah, di bawa enjoy ajalah. Kan nanti juga sampai juga di pasar itu.

“I don’t know” I giggled at my own stupidity and half nervous “oh, don’t worry, I’ll take another car” No sweat, enjoy the trip. I would get at that market eventually. That is what I had on mind.

Jam 3.30 sore baru sampai saya di pasar itu. Buset, ini rekor baru. 3 jam bukan 2 jam seperti yang dikatakan oleh ibu Yayah ketika saya bertanya berapa lama untuk sampai di rumahnya. 3 jam adalah waktu tempuh yang sama dari Jakarta ke Indramayu dan Jakarta-Bandung. Gileee!!

I got at that market at 3.30 pm. Man, I just made a new record. 3 hours instead of 2 hours that Mrs. Yayah said it would take to get to her house. Jakarta to Indramayu takes 3 hours drive and so does Jakarta-Bandung. 

Saya di jemput oleh keponakan ibu Yayah. Di sepanjang sisa perjalanan lagi-lagi saya menahan napas melihat pemandangan indah pegunungan dan sawah ladang yang membentang di depan mata. Kami berhenti dulu untuk memotret.




Mrs. Yayah’s nephew picked me up with his motorcycle. Once again I gasped to see the beautiful view of the mountains and rice fields. We stopped so I could take these photos.

Ceritanya berlanjut dipostingan berikutnya…

I will continue the story in my next post...

Friday, May 24, 2013

Me and My Blog


Ada yang yang beda dalam blog ini? Apa hayoo?

Notice the change in this blog? Can you tell what it is?

Di sepanjang sisi kanan saya hiasi dengan sederet foto hasil jepretan sendiri. Ada yang beberapa sudah pernah atau sering muncul dalam postingan-postingan sebelumnya. Tapi ada juga yang baru.

I have decorated the right side with some photos. I took most of those photos myself. And some of them have appeared on my previous posts.

Sudah agak lama juga saya berpikir-pikir sisi kanan itu saya mau isi dengan apa. Bagian atasnya hanya terisi sedikit. Di bawah digital clock ada ruang panjang yang kosong. Dan baru minggu lalu muncul ide untuk mengisinya dengan foto-foto dan quotes. Bayangkanlah, hampir 3 tahun usia blog ini dan ide itu baru datang minggu lalu. Hehe. Keterlaluan juga. Entah kenapa idenya tidak datang dari dulu-dulu.

It took me quite a while before I came up with the idea to fill the empty spot under the Digital Clock, on that right side with photos and quotes. I have been having this blog for nearly 3 years and that idea just came to me last week. Lol. I can’t explain why it has not come earlier.

Mungkin juga karena dulu koleksi foto saya belum banyak dan sebagian besar hanya seputar murid-murid saya di sekolah. Setelah berhenti dari sekolah itu, foto-foto yang saya buat menjadi lebih bervariasi. Apalagi kalau saya sengaja jalan untuk mencari obyek menarik untuk di potret. Tapi kadang obyek menarik justru ada di sekitar rumah sendiri. Misalnya saja foto kembang sepatu itu di halaman depan atau Doggie bersama dua anjing tetangga.

Perhaps my photos were not many and most of them showed my students activities. I took more photos after I resigned from school. The objects varies. Sometimes I just got out to find interesting objects to be photographed. Sometimes they were there in my own house. The fresh hibiscus for example, it is on my own yard or the one showing Doggie with my neighbors dogs.

Menulis, memotret dan merancang sesuatu dengan komputer adalah hal-hal yang menyenangkan. Saya tidak akan pernah bosan karenanya.

Writing, photography and working with computer are fun. I never get bored with them.

Di penghujung hari, saya mulai menulis tentang segala hal yang muncul di kepala. Menuliskan tentang sejuta rasa yang terlalu rumit untuk dijelaskan, terlalu sulit untuk diucapkan atau terlalu indah untuk digambarkan.

At the end of the day I sat and write down the things I have on mind, about the thousand feelings which is too complicated to be explained verbally, too hard to say or too beautiful to express.

Saya terlahir sebagai seorang yang emosional tapi bertumbuh dewasa menjadi orang yang menahan emosi. Saya pemikir, merenungkan dan menganalisa hal-hal yang saya lihat, dengar serta alami. Semua mengendap dalam hati dan pikiran. Keluar dalam bentuk kebijaksanaan atau kepahitan. Dan semua itu hanya bisa saya ungkapkan lewat tulisan. 

I was born as an emotional person but grew up as a person who held up her emotion. I am a thinker, I analyse the things I see, hear and experience. They stay in my heart and my mind. They came out in form of wisdom or bitterness. And writing is the only way to express them.

Foto menceritakan tentang banyak hal tanpa memerlukan kata-kata. Karena itu saya lebih suka foto dengan obyek yang tidak sengaja berpose untuk berfoto. Anak-anak dan hewan adalah obyek favorit saya karena mereka demikian sederhana dan lugu. Tapi benda mati pun bisa jadi obyek yang menarik. Tergantung dari sudut pengambilan atau tema.

A photo tells many stories that it does not need any caption. It is why I prefer to take photo of objects that don’t pose for the camera. Children and animals are my favorite objects because they are unpretentious. Other things can be interesting object though. Depends on the angle or theme.

Dan untung saya juga terlahir sebagai orang yang punya kepekaan untuk bidang komputer. Saya betah duduk berlama-lama di depan komputer sambil mengerjakan atau mempelajari program tertentu. Merancang sesuatu adalah kesukaan saya walau kadang mau rasanya saya berteriak-teriak kesal kalau hasilnya salah, tidak memuaskan atau karena saya belum mengetahui caranya. Dalam hal yang satu ini ketekunan, kesabaran dan ketelitian saya melebihi dari yang saya berikan pada pekerjaan lain.

Just my luck to be born as a person who is so in tune with computer. I can sit for hours in front of the computer working or learning on a program. Designing something on it is my favorite though sometimes my patience grew thin that I felt screaming in my frustration when I made mistake or the outcome didn’t satisfy me or if I couldn’t figure it out. But in this particular field, I put more persistance, patience and care than to other things.

Blog ini adalah penggabungan dari 3 hal itu; menulis, fotografi dan mendesain blog.

This blog is a combination of writing, photography and blog design.

Dan setelah hampir 3 tahun hasilnya juga semakin baik.

And it is getting better in 3 years.

Yang saya cari adalah kepuasan batin dan bukan untuk mengejar angka statistik. Kalau pun kemudian statistik menunjukkan angka yang terus bertambah maka itu saya anggap sebagai bonus.

What I seek is personal satisfaction and not statistic number. Seeing it showing incredible number and keeps counting is something I regard as a bonus.

Wednesday, May 22, 2013

Walk In My Shoes


Pembicaraan itu berlangsung tidak sengaja. Sabtu sore itu seorang teman datang. Akan  memakai ruangan untuk berlatih. Tapi dia datang terlalu awal sehingga akhirnya dia menunggu diruangan saya.

It was a conversation that none of us intended to happen. That Saturday afternoon a friend came by. She would use the room to rehearse but she came too early so she waited in my room.

Saya sudah lupa persisnya apa yang kami bicarakan tapi akhirnya dia jadi bercerita tentang ibunya.

I forgot what exactly we talked about but she ended up telling me about her mother.

Ibunya menderita diabetes dan tingginya tingkat gulanya mengenai titik-titik saraf tertentu. Fisiknya memang pulih tapi kerusakan pada sarafnya membuatnya menjadi seorang dengan cara berpikir dan berperilaku sulit.

Her mother is a diabetic and her high blood sugar has somehow damaged her nerve. She recovered, physically but her damaged nerve turning her into a difficult person on her way of thinking and behaving.

Contohnya, ketika suaminya memintanya untuk memakai sandal pada waktu dia akan berkebun, reaksinya adalah marah dan melakukan kebalikannya. Berkebun tanpa alas kaki dan dengan kaki kotor berjalan masuk ke rumah sambil menghentak-hentakkan kaki sehingga tentunya lantai rumah menjadi kotor.

For example, when her husband asked her to wear sandals when she wanted to do some gardening work, she got mad and did the opposite. She went to the garden barefoot and then got in the house with her dirty barefoot, thumping on the floor, making it all dirty.

Sekalipun secara fisik beliau sudah pulih tapi tetap saja tidak memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi tidak ada satu pun pembantu yang bisa tahan bekerja karena sikap beliau yang terlalu kritis, sok tau dan skeptis.

Despite that she has recovered but her condition still making her unable to do house chores but she never able to get along with any maid. She would criticize, patronize and be so sceptic toward the maid that none last long.

Jadilah akhirnya teman saya itu yang meluangkan waktu untuk pulang bukan hanya untuk menengok orang tuanya tapi juga untuk membersihkan rumah. Dan ibunya menyambut kepulangannya dengan berkata,

So my friend has to spare her time to go to her parents house not only to check on them but also to clean the house. And her mother greeting is,

“Babu mami pulang”

“My maid is here”

Teman saya menangis saat menceritakan hal ini sementara saya tertegun. Tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena terlalu sulit percaya seorang ibu akan mengeluarkan perkataan seperti itu terhadap darah dagingnya sendiri tapi penyakit diabetes telah menyerang sarafnya dan membuat beliau menjadi orang yang sulit, sulit untuk dipahami dan sulit untuk ditangani.

My friend cried as she told me this while I was speechless out of disbelief that a mother would say such rude thing to her own flesh and blood. But diabetic has damaged her nerve. Making her a difficult person. Difficult to understand and hard to handle.

Yang melintas dipikiran saya pada saat itu adalah ibu saya yang belum lama ini mengalami krisis kesehatan dan kondisinya kadang masih naik turun. Melihatnya seperti itu sudah menguras seluruh enerji, emosi dan saraf saya.

What crossed my mind at that time is my own mother who had her health in crisis not so long ago and having her condition in yo-yo situation, ups and down. Seeing her like that has already taken lots of my energy, emotion and nerve.

Tapi setidaknya ibu saya tidak kehilangan akal sehatnya. Saat kondisinya sedang baik, kami bisa mengobrol dan bercanda seperti tidak ada seorang pun dari kami berdua yang sedang mengalami masalah dengan kesehatan.

But at least my mother’s senses are still working well. When she is well, we talk and joke as if none of us are having health issues.

Selama berbulan-bulan saya terjebak dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan berkaitan dengan kesehatan ibu saya dan kesehatan saya sendiri. Saya berjuang untuk orang tua saya dan juga untuk diri saya sendiri. Tapi bulan April lalu saya sampai di titik terendah dalam hidup saya yang membuat saya kehilangan seluruh keinginan untuk hidup. Saya menyerah. Saya ingin berhenti mengayuh dan membiarkan diri tenggelam.

For months I stuck in unpleasant situation due to my mother’s health and also my own. I fought it hard not only for my parents but also for myself. But last April I got to the lowest point in my life and I lost my spirit. I gave up. I wanted to stop paddling and let myself drowned.

Ketika teman saya menceritakan tentang ibunya, saya merasakan kepedihan dalam hatinya karena saya juga merasakannya walau dalam kasus yang berbeda. Penderitaan emosi dan fisiknya bisa saya pahami.

When my friend told me about her mother, I felt her pain because I felt it too though through different situation. I understood her misery and sorrow.

Ungkapan yang saya jadikan judul tulisan ini menjadi ilustrasi bahwa kalau kita mau mengerti tentang permasalahan, perasaan atau penderitaan orang lain, kita harus menempatkan diri dalam posisi orang tersebut. Lebih baik lagi kalau kita sendiri pernah mengalami hal yang sama.

The proverb I use as the title illustrates what would it take for us to really understand other’s problem, feelings or pain. It would be to place ourselves in her/his position. It would be much better if we have been there, that we have had same or similar situation.

Satu alasan utama mengapa saya ogah menceritakan kesusahan saya adalah karena orang belum tentu bisa mengerti seperti apa sesungguhnya situasi dan perasaan saya. Mereka bisa saja mendengarkan, mengangguk-angguk seakan mengerti, memberi senyum simpatik tapi saya meragukan apa benar-benar demikian yang ada dalam hatinya.

One main reason why I don’t tell people about my problems is because they can’t really understand my situation and my feelings. They could listen, nodded as if they understood, smiled sympathetically but I doubt it if that genuinely came from the heart.

Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru TK, beberapa kali saya harus menjadi konselor bagi orang tua murid saya yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Satu hal yang bikin saya pusing tujuh keliling karena saya sendiri belum menikah, manalah saya tahu tentang perkara orang berumah tangga jadi bagaimana saya bisa memberi saran atau nasihat yang benar atau bijaksana.

When I worked as kindergarten teacher, sometimes I had to act as a counselor to my students’s parents who were having marital problems. It gave me quite a headache because I am not married, how am I suppose to know marital problems? How could I give them the right or wise suggestion and advice?

Yang bisa saya katakan pada mereka adalah yang sejujurnya, saya tidak bisa sungguh-sungguh mengerti keadaan yang sedang mereka hadapi, saya minta maaf untuk itu. Tapi saya ada di sini bila mereka ingin curhat dan membagi beban di hati.

I could only tell them the truth, that I can’t really understand their situation, I apologized for that. But I am here if they want to talk and share the burden.

Kehadiran seorang yang peduli seringkali lebih dibutuhkan dari seribu nasihat atau sejuta kata penghiburan. Saya mengalaminya sendiri. Seseorang hadir ketika saya tiba di titik dimana saya menyerah. Dia tidak mengatakan sejuta kalimat. Dia datang pada saat yang tepat untuk menangkap tangan saya ketika saya hampir tenggelam.

The presence of someone who cares is more important than a thousand advice or a million words of consolation. I knew this too well. Somebody came at the time I was ready to give up. He didn’t say a thousand words. I was drowned and he caught my hand on time.

Untuk beberapa waktu sesudahnya dia tidak berada jauh dari saya sampai kemudian saya memutuskan untuk melepaskan diri dan melanjutkan perjalanan dengan kemampuan sendiri.

For a short period of time he was never far from me. Until I decided to let myself go and continue my journey on my own strength.

Bahkan ketika saya telah sanggup melakukannya sendiri, saya tahu dia tetap mengawasi dari jauh dan memastikan bahwa saya baik-baik saja. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana dia hadir ketika saya memerlukan seseorang. Saya menghargai semua yang telah dilakukannya dan setulus hati menghormatinya sebagai seorang pribadi.

Even after I am able to stand on my own feet, I know he is watching from a far, making sure that I am doing just fine. I will never forget how he was there when I needed somebody. I appreciate all the things he has done and truthfully respect him as a person.

Thursday, May 16, 2013

Mother


Dimana pun kita berada, kemana pun kita pergi, kita akan selalu bertemu dengan seorang ibu bersama anaknya. 

Everywhere we go, where ever we are, we will always meet a mother with her child/children.

Belum lama ini saya menjumpai seorang gadis muda menggendong bayinya. Berhubung usianya masih tergolong sangat muda maka penampilannya pun terlihat funky. Namun sikapnya adalah sikap seorang ibu terhadap anaknya. Sangat melindungi dan penuh kasih terhadap anaknya.

I recently met a young girl carrying her baby. She is probably in her early 20's seeing her face and her funky way of dressing. But her attitude is an attitude of a mother. She was very protective and full of love toward her child.

Ibu...

Mother…

Adakah seorang wanita yang tidak mencintai anaknya?

Is there any woman who doesn’t love her child?

Ada banyak motivasi yang membuat seorang wanita mau memiliki anak tapi nyaris tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak mencintai anak itu. Bahkan ketika hubungannya dengan pasangannya memburuk atau terputus di tengah jalan, dia akan tetap mengasihi anak itu.

There are many motives why a woman willing to have a child but it is impossible that she doesn’t love that child. Even when her relationship with her partner or spouse got worst or ended, her love for her child remains unaffected.

Saya tidak percaya kalau ada yang mengatakan seorang ibu yang membuang atau membunuh anaknya dikarenakan oleh karena hilangnya rasa cinta dalam hatinya kepada anak itu. Ada banyak hal yang membuatnya sampai melakukan hal itu dan bila anda belum pernah mengalami stress tingkat tinggi atau kesulitan ekonomi yang demikian menjepit maka anda akan sulit untuk bisa memahami sikon, emosi, rasa, penalaran dan pemikiran dari seorang ibu yang pada akhirnya melakukan tindakan seperti itu terhadap anaknya.

I don’t believe it when people say the reason why a mother could abandon or even killed her child was because she didn’t love that child anymore. There must be many reason that made her did that and if you haven’t experienced high level of stress or never had bad financial problem then you wouldn’t understand the situation, emotion, feelings, sense and thinking of a mother who did bad things to her child.

Ibu...

Mother…

Dulu saya kerap menertawakan wanita yang mengatakan bahwa dirinya belumlah sempurna sebagai seorang wanita sebelum memiliki anak seakan-akan bahwa sebelumnya dia hanyalah seekor monyet atau bahwa segala sesuatu dalam hidupnya tidak bisa membahagiakan atau memuaskan dirinya. Maksud saya, dimana penjelasan logika untuk perasaan seperti itu? Bagi saya hal itu membuat wanita itu seakan tidak bisa melihat, menyadari, menikmati dan mensyukuri segala hal yang ada pada dirinya.

I used to laugh at woman who said she is not a woman before she has a child. I mean, come on, then what was her before that? a monkey? Or everything she had in her life couldn’t satisfy or make her happy? Where is the logical explanation for that remark? To me it seems she can’t see, realize, enjoy and grateful for all the things she has.

Tapi pada hari Selasa, 16 April itu saya menghabiskan waktu hampir 2 jam berada di ruang tunggu dokter kandungan. Duduk termenung merasakan tubuh yang semakin lama semakin lemah karena terlalu banyak darah yang keluar, capek, belum makan dan merasa demikian kesepian, takut serta putus asa. Yang berada di sisi saya hanyalah ayah saya yang saat itu kondisi fisik dan mentalnya tidak lebih baik dari saya. Sementara itu orang yang sangat saya kasihi dan yang saya harapkan berada di sisi saya pada sore itu berada demikian jauh dari saya. Dia bahkan tidak tahu tentang keadaan saya karena saya tidak memberitahunya. Yang datang dan memberi kekuatan pada saya justru orang lain. 

On that Tuesday, April 16th, I spent nearly 2 hours at that gynecologist waiting room. I sat there with little words spoken, feeling my body got weaker and weaker for having that raging menstrual, I was exhausted and haven’t eaten anything. I have never felt so lonely, scared and desperate. The one I had by my side was my father whose physical and mental were not better than of my own. In the meantime, the man I love so much and wished to be there was so far away from me. He didn’t even know about my condition or the ordeal because I didn’t tell him. The one who came for me and gave support was another person.

Selama saya berada di ruang tunggu itu saya perhatikan bahwa sesama pasien yang juga berada di sana hampir seluruhnya adalah ibu-ibu hamil. Mereka tampak santai dan bahagia. Mereka berada disana dengan suami dan anak.

While I was in that waiting room I noticed that the patients were.. well, almost all of them.. pregnant women. They looked so relaxed and happy. They were there with their husbands and children.

Sungguh sangat berbeda dengan keadaan saya. Saya tidak bersuami, pacar jauh diseberang lautan dan saya berada disana bukan karena saya sedang hamil tapi karena ada yang tidak beres dengan organ-organ di dalam badan saya. Semuanya itu membuat saya tidak dalam keadaan santai atau bahagia.

A sharp contrast with my own situation. I don’t have a husband, my boyfriend is so far away across the ocean and I was there not because I was pregnant but because there were something wrong with my reproduction organs. All made me felt uneasy and unhappy.

Dokter kandungan yang saya temui bulan November tahun lalu mengatakan mungkin saya sedang mengalami pra-menopause. Dokter kandungan yang saya temui pada hari Selasa, 16 April memberikan diagnosa yang tidak lebih baik ketika dia mengatakan bahwa ada 3 kemungkinan penyebab menstruasi saya mengamuk seperti itu selama 8 bulan yaitu karena hormon, miom/tumor atau kanker rahim.

The previous gynecologist I went to see in November 2012 said I probably undergone a pra-menopause. The gynecologist I went to see on that Tuesday gave no better diagnosis  when he said there were 3 probabilities that caused my menstrual went crazy for 8 months; hormone, myoma or cancer.

Saya terduduk di ruang tunggu itu dengan pikiran buntu. Terpandang oleh saya wanita-wanita hamil dan anak-anak yang berada di sana. Dan hati saya hancur lebur. Saya memang selalu mengatakan bahwa saya tidak ingin memiliki anak tapi itu bukan berarti saya berharap rahim atau indung telur saya dikebiri dengan demikian kejam.

I sat there with blank mind. I looked at those pregnant women and the children. I was devastated. So I have always said I don’t want to have any children but that doesn’t mean that I wished my uterus or my ovaries to be cruelly castrated.

Saya tidak menginginkan anak karena saya merasa ada banyak hal yang belum saya capai dan anak akan menghalangi langkah saya, karena saya merasa tidak yakin saya bisa menjadi ibu yang baik, karena saya tidak ingin membesarkan anak dalam keadaan ekonomi serba terbatas seperti sekarang ini dan karena saya tidak ingin anak itu nantinya harus mengalami berbagai kesedihan, tekanan atau keterbatasan untuk bergerak mencari kehidupannya sendiri, mencari jati dirinya, mewujudkan impian serta cita-citanya serta mengorbankan banyak hal karena dia harus mengurusi saya yang menjadi tidak berdaya di usia tua.

I don’t want to have any children because I have so many things that I haven’t achieved and a child will become an obstacle; another reason is I doubt I could be a good mother, I don’t want to raise any child in my present financial condition and I don’t want to give that child lots of stress and pain or make her/him sacrifice so much to take care me when I became weak in my old age.

Saya toh berusaha untuk realistis menghadapi kemungkinan bahwa organ kewanitaan saya memang harus dikebiri oleh penyakit. Sekali pun pada waktu itu belum ada buktinya tapi saya berusaha mempersiapkan mental bila memang ternyata kemungkinan itu benar.

Still I tried to be realistic in facing the possibility that my reproduction organs had to castrated by the illness. There was no proof at that time but I tried to make myself prepared if it should be the case.

Tapi perasaan bahwa saya bukan lagi wanita yang utuh menghantui diri saya selama setidaknya seminggu. Dan saya melakukan tindakan yang tidak bijak. Saya mengatakan pada Andre bahwa saya ingin hubungan kami diistirahatkan tanpa batasan waktu. Saya mengatakan bahwa dia masih bisa mengunjungi saya tapi datanglah sebagai teman.

But the feeling that I no longer a complete woman haunted me for at least a week. And I did the unwise thing. I told Andre that I wanted our relationship to have an unlimited time out. I told him when he comes to visit me, he will do that as a friend.

Tentu saja dia tidak bisa mengerti dan tidak bisa menerimanya. Tapi saya bersikukuh. Dalam diri saya ada ketakutan yang tidak bisa saya ungkapkan. Tahun 2001 saya menjalani operasi pengangkatan kista yang menempel di bagian luar indung telur dan 11 tahun kemudian saya mengalami masalah hormonal yang membuat menstruasi saya jadi awut-awutan. Entah apalagi yang akan terjadi di masa depan.

He surely can’t understand nor accept it. But none made me change my mind. There is this fear in me that I can’t express. I had a surgery to remove a cyst in my ovary and 11 years later I had this hormones problem that caused me to have this raging menstrual. I don’t know what will follow in the future.


Kami sama-sama tidak menginginkan anak tapi kami sering membicarakan berbagai hal yang ingin kami capai dan wujudkan bersama-sama. Dan bila hidup akhirnya membaik dan saya dapat bersama dengannya, kami bahkan pernah membicarakan kemungkinan untuk mengadopsi anak. 

We both don’t want to have children but we talked about the things we wanted to achieve or bring to pass. And when life finally gets better and I can live with him, we even talked about the possibility of adopting a child.

Ibu…

Mother…

Bila semua itu terwujud, saya tahu saya memiliki anak bukan karena saya ingin merasa menjadi wanita yang sempurna. Tapi karena saya telah melalui begitu banyak hal yang membuat saya merasa hidup seakan berhenti. Memiliki anak akan menjadi seperti  hadiah yang tidak pernah saya harapkan akan bisa saya dapatkan dan miliki.

When all those things really come true, then I know I shall have a child not because I want to feel as a complete woman. But it is because I have gone through so many things that made me feel that my life has had its final course and that child will be a gift that I never expect to get and have.

Sunday, May 12, 2013

Stronger


Hari Kamis (9/5) saya pergi ke Sentul dan ini adalah perjalanan pertama setelah saya sakit. Rasanya luar biasa karena fisik saya sudah kembali kuat.

I went to Sentul on Thursday, 9th May and it was my first trip after my recovery. It feels so great because my body has become well thoroughly.

Sebelumnya, selama sakit, saya pasti mendoping diri dengan setidaknya dua macam vitamin setiap kali saya akan bepergian jauh atau melakukan aktivitas melebihi batas normal.

Before that I had to boost my body’s energy with at least two vitamins everytime I had to take a trip or did extra activities.

Hari Kamis itu sebetulnya saya sekalian menguji fisik karena ingin tahu apakah saya sepenuhnya sudah kembali kuat.

That Thursday I tested my body to make myself sure that it has completely back to its normal condition.

Paginya saya sama sekali tidak makan vitamin dan sarapan pun tidak banyak. Dalam perjalanan, saya hanya menyumpal perut dengan dua macam kue yang ukurannya kecil-kecil. Makan siang baru dua jam kemudian. Sungguh luar biasa bahwa sepanjang hari itu tidak ada sama sekali rasa pusing, mabok atau gemetaran seperti yang sebelumnya saya rasakan ketika saya masih sakit, padahal kegiatan pada hari itu berlangsung sampai sore dan selama dua hari sebelumnya saya agak batuk.

In the morning I didn’t take any vitamin and had light breakfast. I had only two small piece of cake on the way to Sentul and it was not until about two hours later that lunch was served. It was amazing that I felt no dizzy, had no headache nor fatigue like I used to feel when I was ill, and that Thursday was a long day indeed.

Saya pulang dalam keadaan capek tapi dibawa tidur semalam, badan ini kembali segar keesokan harinya sekalipun ada sedikit bersin-bersin dan batuk tapi itu hanya berlangsung sehari itu saja.

I went back home at the end of the day feeling so exhausted but after a good night sleep I got up feeling fresh the next day though I was sneezing and cough but it went just for a day.

Lega dan senang mengetahui badan ini sudah kembali kuat.

So relief and happy to know that my body is strong again.

Tapi saya mendapat kejutan karena selain fisik, rupanya mental saya juga harus mengalami ujian pada hari yang sama itu karena beberapa jam sebelum berangkat, ada hal-hal yang terjadi yang (kembali) menguji ketegaran saya.

But that day I got another surprise to learn that my physic was not the only one that got tested. I was mentally tested too because something happened only few hours before we left to Sentul.

Saya tidak bisa menceritakan apa yang terjadi di tempat kerja pada pagi itu. Yang dapat saya tuliskan adalah bahwa hati saya terluka. Tidak seharusnya saya mempercayai seseorang demikian cepat dan total. Saya dikecewakan. Bingung. Sedih. Tersinggung. Merasa terhina.

I can’t write what happened at work that morning. The thing I can write here is how it hurt my heart. I shouldn’t trust someone too soon and that total. I was being let down. Confused. Sad. Offended. Insulted. I felt like a fool for letting myself believed that this person really cared. It was a sad ending.

Dan saya harus menekannya, menyembunyikan rapat-rapat dalam hati.

And I had to press them down, hid it in my heart.

Seperti biasa, dari luar saya terlihat tetap ceria, lincah dan gembira. Padahal alangkah kacaunya situasi hati saya. Di Sentul, dalam ruangan itu saya duduk diam, menunduk, seakan menyimak setiap kata yang diucapkan oleh pembicara. Padahal semuanya tidak terdengar sama sekali oleh saya.

As usuall, I appeared cheerful, full of fun and happy. But deep inside my heart was in a complete mess. In Sentul, I sat quietly in the room, bowed my head down as if I was listening to every word spoken by the speaker but I heard none.

Whenever I see you, I swallow my pride and bite my tongue
Pretend I’m ok with it all, act like there’s nothing wrong
Is it over yet? Can I open my eyes?
Is this hard as it gets?
Is this what it feels like to really cry?
(Cry – Kelly Clarkson)

Seperti itulah gambaran yang terjadi dalam hati saya.

That is how to describe my feelings at that time.

Ketika acara memasuki sesi terakhir, saya memilih untuk menunggu saja di luar ruangan. Saya tidak sanggup lagi berada di dalam dan melihat orang itu. Jadi saya duduk di lobby sambil membaca koran dan mendengarkan musik dari HP, mengobrol dengan rekan kerja dan berfoto-foto. Setidak-tidaknya saya tidak melihat orang itu dan perasaan saya menjadi jauh lebih tenang.


When it came to the last session I chose to wait outside. I couldn’t be in the room and saw that person. So I sat at the lobby, read the newspaper and listened to the music on my cellphone, chatted with a co-worker and took photos. Not seeing that person helped me to regain my composure.

Suara ramai dalam ruangan ketika mereka sedang mengadakan permainan tidak mampu menggugah perasaan saya untuk masuk. Keinginan untuk mengintip pun tidak ada. Saya sudah kehilangan selera untuk berada seruangan dengan orang yang menyakiti hati saya.

All the noise from the room when they were playing games didn’t move me. I didn’t even have the desire to peek let alone to get inside of the room. I just didn’t want to see that person.

Ketika tiba waktu untuk pulang, saya bersyukur rombongan saya termasuk yang pertama meninggalkan tempat itu. Dengan demikian saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan orang itu.

When it was time to go back, I was so glad that I was in the first car who left that place. This made me didn’t have to meet that person.

Ada selang waktu beberapa hari sebelum kami akan bertemu lagi dan saya tahu pada waktu itu saya sudah menjadi lebih kuat sehingga dengan demikian saya akan lebih mampu mengendalikan emosi saya.

Time is on my side. I won’t be seeing him again in another few days so I am sure I will be stronger when we meet again. On that day I know I can control my emotion much better.

Yah, pengalaman saya akhir-akhir ini memaksa saya untuk menjadi lebih kuat. Dan saya tahu saya telah menjadi lebih kuat. Tidak ada satu hal apa pun dan tidak seorang pun yang akan dapat menghancurkan saya.

My recent experience forced me to be strong and I know I have become stronger. Nothing and nobody can destroy me.