Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, August 30, 2012

The Things I love are… (4)

Good Conversation


Setiap hari kita bercakap-cakap dengan siapa saja yang ada disekitar kita. Tapi dari semua percakapan itu tentunya ada yang benar-benar bisa memuaskan hati dan jiwa kita.


Karena tidak semua percakapan menentramkan hati serta pikiran.

Dan tidak semua percakapan memberikan jawaban atas pertanyaan yang sulit untuk bisa dimengerti dan diterima bahkan oleh diri sendiri.

Begitu pula tidak semua percakapan menautkan hati dan pikiran kita dengan hati serta pikiran orang lain.

Percakapan yang saya maksudkan disini bukanlah percakapan ketika kita sedang bergosip atau sedang membicarakan harga ayam sekilo, hasil pertandingan sepak bola atau hal-hal semacam itu dan bukan pula percakapan penuh keluh kesah dari utara ke selatan lalu balik lagi ke utara.

Bukan percakapan-percakapan seperti itu.

Tapi percakapan yang merupakan gabungan antara diskusi, bertukar opini, meminta input dari pihak lain, tanpa ada satu pihak yang berusaha menyenangkan atau mengambil hati atau mengiyakan saja, tidak pula merupakan percakapan yang berat sebelah.

Percakapan seperti itulah yang pernah sekali terjadi antara saya dengan seseorang.

Sebelumnya kami memang pernah terlibat dalam percakapan seperti itu tapi ada orang-orang lain yang juga ikut serta dalam percakapan kami. Beberapa minggu kemudian dia datang dengan tujuan untuk mengambil buku. Saya pikir dia akan segera pergi setelah mendapatkan buku yang dibutuhkannya. Saya sendiri saat itu sedang dalam masa pemulihan dari pilek sehingga tidak terlalu bersemangat untuk mengobrol.

Saya ingat kami duduk diruangan saya dan kami saling berdiam diri selama mungkin semenit. Saya ingin dia cepat-cepat pergi tapi kok ya dia malah duduk anteng. Jadilah saya memutar otak untuk mencari-cari sesuatu yang bisa saya tanyakan. Eh, tidak tahunya malah akhirnya kami mengobrol panjang sampai 3 jam lamanya.

Bisakah percakapan membuat orang yang tadinya tidak kita kenal jadi terlihat ternyata memiliki kesamaan dalam hal-hal atau pemikiran tertentu dengan diri kita?

Ya.

Bisakah percakapan membuat orang yang tadinya tidak kita perdulikan kini menjadi tampak menarik?

Ya.

Bisakah percakapan membuat orang yang tadinya tidak memiliki arti apa pun bagi kita kini mendapat posisi tersendiri dalam hati kita?

Ya.

Selama ini saya mengukur kualitas seseorang tidak melalui dari penampilan luarnya. Apa yang ada dalam hati, pikiran, sifat dan kepribadiannya jauh lebih penting. Karena penampilan luar bisa menipu dan tidak bersifat abadi.

Tapi dengan agak sedikit sedih dan kecewa, saya harus mengatakan bahwa mungkin percakapan itu hanya sebatas percakapan. Kami tidak kemudian menjadi dekat. Ada hal-hal yang tidak saya mengerti dan mungkin kami memang tidak bisa menjadi seperti yang saya bayangkan.

Kehidupan toh terus berjalan.

Sementara itu orang lain datang jauh-jauh dari seberang samudera untuk menemui saya. Kami sudah cukup saling mengenal satu dengan lainnya. Namun karena tidak setiap hari kami bisa bersama-sama seperti ini maka setiap pertemuan menjadi sangat berarti. Bahkan sebetulnya kami tidak banyak bicara. Kami hanya ingin berdekatan.

Beberapa waktu lalu kami pergi ke Puncak. Sambil duduk dihalaman villa milik temannya, kami membiarkan keheningan menguasai suasana saat itu. Kami hanya duduk bersisian. Dengan jari jemari saling bertaut, kami menikmati ketenangan malam, menekuri langit dengan sejuta bintang, merasakan kehadiran satu dengan lainnya.

Good conversation adalah tentang menautkan hati dan pikiran. Kadang tidak diperlukan banyak kata. Karena tidak diperlukan banyak kata untuk menegaskan atau mengungkapkan apa yang ada dalam hati.
__________________________________________

We talk with the people around us everyday but can it satisfy our hearts and minds?

Can it soothe our our hearts and minds?

Not all conversation gives answer to difficult questions we have in our minds and hearts. Questions that we ourselves find hard to answer.

And surely not just any conversation able to unite our hearts and minds with those of others.

The conversation meant here is not about gossiping or chit chat about the price of a chicken in the market nor about complaints over same stuff again and again. Not those sort of conversation.

This is the kind of conversation where you mix discussion with getting or giving opinion, suggestions, without anyone tries to dominate it nor being a yes man.

It was the conversation I had once with someone.

Not really our first conversation as we had one before but there were other people involved in it so it wasn’t just the two of us. And few weeks later he came to get the book he would borrow. I thought he would leave once he got it. I in the meantime was recovering from flu so I really did not have the mood to talk.

I remember how the two of us sat in my room and went completely in silence for probably a minute or so. I wanted him to leave but he didn’t. He sat there quietly so I pressed my mind to find something to talk. Never did I know it would led to a 3 hours of conversation!

Can a conversation makes somebody who we once didn’t know well turn to be a person that we share same minds?

Yes.

Can a conversation makes somebody who we once care less becomes appealing?

Yes.

Can a conversation makes somebody who once we thought meaningless now reside a special place in our hearts?

Yes.

All this time I see people by their hearts, minds, characters and personalities. Never by their outwards appearance because it all can be fake and it certainly immortal.

But with regret and disappointment, I sadly have to say that it was just a conversation. It got us nowhere. It didn’t bring us any closer. There are things I still don’t understand and things don’t go to the way I was hoping they would.

Life goes on though..

Another person in the meantime has crossed the ocean to see me. We have known each other quite well. But since we don’t meet everyday making every second of our togetherness priceless. Infact, we don’t talk much. We just enjoy our time to be together.

Few days ago we went out of town, to his friend’s villa on the hill. As we sat on the lawn, we let the serenity of the evening wrapped us, no words spoken, we sat next to each other, holding hands, looking up at the stars, enjoying each other’s the presence.

Good conversation is about uniting people’s hearts and minds. Few words spoke it all. Because it doesn’t need lots of word to speak what we feel and think.

Wednesday, August 29, 2012

The Things I love are… (3)


Good Movies

Semalam tumben-tumbenan saya nemu film bagus diputar di tv. Film berjudul The Brave One itu dibintangi oleh Jodie Foster, salah satu bintang film yang aktingnya ciamik. Berhubung juga sudah agak lama tidak nonton film maka ya dinikmati banget sekalipun sebal dipotong-potong iklan.

Gara-gara lagi nyusun tulisan ini jadi kepikiran juga kapan terakhir kali saya nonton di bioskop? Aduh, saya tidak bisa ingat lagi. Itu artinya pasti sudah lama banget kalau sudah total hilang dari ingatan saya.. Hehe.

Jujur saja, semakin bertambah umur, semakin tidak berminat saya untuk nonton di bioskop. Bahkan keinginan untuk nonton film pun sudah jauh berkurang. Jangan tanya kenapa karena saya juga tidak tahu apa yang bikin saya kehilangan minat untuk nonton.

Kalau saya nonton film, saya lebih suka nonton DVD di rumah. Dan jenis film yang saya pilih adalah model drama atau cerita-cerita yang menegangkan, tapi bukan horror, seperti cerita detektif.

Kalau skenarionya disusun dengan baik dan sutradaranya bisa mengarahkan sehingga alur cerita berjalan rapi, punya ending yang tidak bikin penonton bingung dan didukung dengan aktor-aktris berbobot seperti Jodie Foster, Denzel Washington, Michael Douglas, Helen Hunt, Helen Mirren, Matt Damon, Russel Crowe, Dakota Fanning, sebuah film bisa ‘menyihir’ saya.

Tentu saja tidak selalu para bintang berbobot itu bermain di film yang bagus. Kadang mereka disewa untuk membuat sebuah film jadi laku. Beberapa kali saya kecewa setelah menonton film-film yang memajang nama mereka ternyata bukanlah film yang bagus.

Tapi ada bintang film yang bukan pemain watak namun aktingnya lumayan memukau seperti Johnny Depp.

Dari sekian banyak filmnya, Pirates of the Carribean betul-betul luar biasa. Sampai sakit perut saya tertawa melihat segala kelakuan bajak laut bernama Jack Sparrow yang diperankannya dengan gaya aneh tapi memikat hati itu.


Dan saya jatuh cinta pada Jack Sparrow yang aneh, liar, nyeleneh, agak licik tapi setidaknya dia tidak bermuka dua, dia jujur terhadap dirinya sendiri dan juga pada dunia luar, dia tidak menyembunyikan kebusukannya tapi di saat yang bersamaan dia juga mengikuti kebaikan dari hati nuraninya. Dia tidak mencari pujian, kekaguman dan penghormatan dari siapa pun. Dia dibenci, dihina, dicerca tapi juga dikagumi dan bahkan  dihormati oleh kawan maupun musuhnya.

Saya telah bertemu dengan orang-orang yang menampilkan muka dan kelakuan bagaikan malaikat tapi didalamnya.. hmm, setan..

Tapi ada orang-orang seperti Jack Sparrow dalam kehidupan nyata. Beberapa diantaranya menjadi kawan saya. Orang-orang seperti itu anehnya justru membuat saya merasa nyaman dan aman. Mungkin karena kami sama-sama merasa tidak perlu bersandiwara, menampilkan muka dan kelakuan bak malaikat.

Dunia ini adalah panggung sandiwara. Ada banyak kisah. Ada banyak pemeran. Tapi hanya satu sutradara dan penulis skenario, dan itu adalah Tuhan.

Kalau saya bisa memilih, saya akan menulis skenario kisah kehidupan saya tentunya tidak seperti yang telah atau sedang saya jalani. Tapi apalah daya, saya tidak punya pilihan dan juga tidak ada kuasa untuk mengubah atau menentangnya. 

Saya hanya bisa menjalani walau kadang rasanya saya ingin lari..

Yang saya tunggu saat ini adalah lakon kehidupan saya berubah. Dan harus berubah. Pasti berubah. Saya punya banyak keinginan. Banyak cita-cita. Semuanya itu berhubungan dengan skenario yang sudah ditaruhkan dalam hati saya oleh Sang Penulis dan Sang Sutradara dari lakon kehidupan ini.
____________________________

I was surprised to find a good movie on tv last night. It was Brave One, starred by Jodie Foster, delicate acting. I haven’t seen any movies lately so I took pleasure to watch it  though ran out of patience on commercial breaks.

It just came to my mind, when was the last time I went to the movie theater to see a movie? I can’t remember so it must be quite long since it left no trace in my memory. Lol.

To be honest, as I grow older I lost interest to go to movie theater. I no longer keen to watch movies either. Don’t ask me why because I myself don’t have the answer.

If I do watch movies, I prefer to watch it on DVD at home. My chosen movies are drama or thriller, not horror movies though, the mystery kind of movies.

If the scenario is well written, the director does a good job on directing and supported by enchanting act of the actors-actress such as Jodie Foster, Denzel Washington, Michael Douglas, Helen Hunt, Helen Mirren, Matt Damon, Russel Crowe, Dakota Fanning, then the movie can really entranced me.


Those movie stars don’t always in tune on their movies. Their names were sometimes used to sell a movie. I have watched few disappointing movies.

However there is movie stars who ares not in the A-list but still able to impress people by their acting. Johnny Depp is one of them.

Of all his movies, Pirates of the Carribean, put a spell on me. The pirate, Jack Sparrow, made me laughed it out loud to see all of his weird yet charming attitude.

I found myself head over heels for the weird, wild, smooth, a little sly Jack Sparrow who true to himself and to the world, doesn’t hide the evil in him but yet driven by the kindness of his consciousness. He doesn’t seek for praise, admiration or respect from people. He became the object of hate, insult, scorn but yet he is also admired and respected by his friends and enemies.

I have met people who put angelic face and behavior but inside.., hmm, devil..

There are real Jack Sparrow in this real life. They do exist and few of them are friended with me. Strangely I feel comfortable and safe to be with them. Perhaps because each of us feel no obligation to put angelic face and behavior on show.

The world is one big stage. There are many stories. Many characters. But there is only one script writer and director and that is God.

If I have the choice, I would definitely write my life story differently with the ones I have gone or having to go through. But what can I say, I don’t have the choice nor the power to do so or to go against it.

I can only walk through it. Though sometimes it makes me feel I want to run away.

What I am looking forward now is for my life path to changed. I know it will. It has to. I have many plans and dreams. All related with the scenario that God has for me, the thing He has put in my heart.

Monday, August 27, 2012

The Things I love are… (2)

Good Music

Kalau soal membaca, ada orang yang kutu buku dan ada yang tidak. Tapi kalau soal musik, tidak mungkin ada manusia yang tidak suka mendengarkan musik. Bahkan rasanya kecintaan manusia pada musik bisa melebihi kecintaannya pada buku. Buktinya ditempat umum jarang terlihat orang duduk sambil membaca. Sebaliknya adalah pemandangan sehari-hari untuk melihat orang berjalan, duduk, bekerja atau tiduran dengan earphone menempel ditelinga yang menandakan orang itu sedang mendengarkan  musik.


Saya perhatikan rata-rata penumpang dikendaraan umum sekarang sudah jarang duduk bengong atau terkantuk-kantuk karena kecanggihan teknologi membuat hp tidak lagi berfungsi hanya sebagai alat komunikasi. Hp kini sudah bisa menjadi alat untuk mendengarkan musik.

Baru-baru ini saya membeli hp milik teman saya. Bukan hp baru tapi kondisinya masih baik karena dia orang yang berhati-hati dalam memakai barang elektronik. Yang membuat saya gembira adalah saya bisa mendengarkan musik dengan memakai hp itu. Musiknya dapat diupload dari komputer.

Nah, kebetulan memang saya rajin mengunduh lagu dari internet. Jadi tinggal saya pilih lagu-lagu yang saya sukai dari sekian banyak lagu unduhan tersebut, untuk saya simpan disimpan dalam kartu memori di hp baru saya ini.

Jadi kegiatan rutin saya begitu duduk di angkot adalah mendengarkan lagu lewat hp ini. Sedap. Perjalanan jadi tidak berasa membosankan. Macet sekalipun tidak lagi membuat  saya uring-uringan.

Tapi tentu saja saya pilih-pilih tempat. Demi keamanan hp, saya hanya berani mendengarkan musik dari hp bila berada dalam kendaraan umum yang rutenya sudah rutin saya lalui sehingga saya kenal benar aman atau tidaknya, bebas atau tidak dari preman dan begal. Itu pun kalau sudah malam atau kalau naik kereta ekonomi, lebih baik hp ngumpet dengan aman dalam tas.

Musik bagi saya tidak hanya berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan diperjalanan atau menghibur hati saat sedang terjebak macet.

Saya tidak bisa menulis tanpa musik. Biar pun ide di kepala ada segudang tapi tanpa musik, idenya macet. Tidak mau keluar dari kepala. Hehe. So setiap kali saya sudah duduk didepan komputer atau netbook untuk mulai menyusun tulisan, musik harus ada. Ini berbeda dengan kalau saya sedang bekerja di kantor. Tanpa musik pun saya tetap bisa bekerja. Lucunya musik malah bisa mengganggu konsentrasi kerja sehingga saya memilih lebih baik tidak ada musik sama sekali di jam kerja, kecuali kalau pekerjaan sedang tidak banyak atau tempat kerja rasanya sedang amat sangat sepi.

Kalau sedang menulis, musik bagi saya bagaikan rokok atau kopi. Kalau tidak ada musik, saya bisa sakau. Otak saya buntu. Idenya tidak bisa keluar. Garing. Jadi tidak peduli saya sedang menulis untuk blog atau artikel majalah, musik harus mengiringi proses penulisan dari awal sampai akhir. Tidak peduli lagunya itu lagi, itu lagi. Hehe.


 Tapi ya koleksi lagu-lagu saya pastinya juga tidak sedikit. Kalau tidak bisa bosan nantinya. Untuk itu saya rajin mengunduh lagu lewat www.4shared.com. Tanpa saya sadari rupanya lagu-lagu yang saya unduh sudah banyak sekali karena beberapa teman yang membuka folder koleksi musik saya pasti akan kaget melihat banyaknya lagu yang tersimpan disana.

Fakta lucu tentang musik adalah jenis tulisan yang sedang saya buat tidak ditentukan dari musik yang saya dengar. Maksudnya begini, ketika menyusun tulisan bertema serius atau mellow, musik yang saya dengarkan justru yang berirama cepat dari yang model Lady Gaga, Bon Jovi, Madonna sampai Britney Spears.

Begitu pula sebaliknya, musik slow yang mendayu-dayu cenderung mellow yang justru mengiringi penyusunan tulisan yang temanya lincah. Aneh kan… saya sendiri juga heran. Hehe. Tapi itu membuktikan bahwa tulisan-tulisan saya tidak ditentukan oleh musik yang sedang saya dengarkan. Saya hanya membutuhkan musik untuk membuat ide yang ada dikepala saya dapat keluar.

Seenak-enaknya mendengarkan musik rekaman, tentunya lebih enak mendengarkan yang live music. Waktu masih kerja di Jakarta, hampir setiap akhir pekan saya dengan mantan pacar atau teman-teman kantor pergi ke café. Kami tidak sekedar mencari tempat untuk nongkrong. Kami mencari hiburan live music.

Dengan hanya membayar cover charge 50 ribu (tahun 1990an), dapat segelas welcome drink dan bisa nongkrong sampai cafénya tutup. Kalau belum puas tapi cafenya sudah tutup, ya pindah ke café, pub atau bar lain yang masih buka diatas jam 12 malam. Pernah terjadi dari malam sampai subuh kami club hopping lebih dari 3 kali. Yang penting saat itu semua masih kompak mau nongkrong, cari tempat yang terkenal musiknya enak dan duit di dompet masih tebal .. hehehe.

Perkara live music ternyata menjadi salah satu dasar pertimbangan saya memilih gereja untuk beribadah. Selama tinggal di Jakarta, saya beribadah di gereja-gereja karismatik yang memang terkenal dengan pujian penyembahannya dan karena punya band pengiring yang lengkap.

Setelah tinggal di Bogor, saya beribadah dan kemudian bekerja di gereja Protestan. Walaupun orang-orangnya baik tapi soal pujian penyembahannya… aduh mak, buat ukuran orang karismatik, ini mah sepoi-sepoi banget. Lagu-lagunya kebanyakan mendayu-dayu. Maaf ya, saya pribadi menilai cara penyembahannya sangat kurang menggugah semangat. 

Atau mungkin ini karena saya tipe orang yang lebih memilih musik berirama lincah dan cepat? Tapi kalau saya yang berusia 41 tahun masih tetap menyukai musik seperti itu, bagaimana dengan anak muda dan anak remaja yang masuk ke gereja Protestan dan melihat musiknya lemes-lemes begitu? Umumnya anak-anak seperti itu kan masih melonjak-lonjak semangatnya. Manalah betah disuguhi musik yang adem ayem? Hehe.

Sekarang ini saya hampir tidak pernah lagi club hopping. Soalnya teman-teman pergaulan saya modelnya jauh berbeda dengan yang dulu. Jadi enak juga kalau sekali-sekali ketemu dengan teman-teman lama. Cuma sayangnya rata-rata mereka sudah pada berkeluarga. Diajak clubbing, eh, mikir ntar anak di rumah di tinggal sama siapa atau yang masih punya anak kecil masa sih mau dibawa nongkrong ke café? Hehe.

Nah, si bule lagi liburan disini. Enaknya karena kami sama-sama belum nikah, belum punya anak, tidak terikat dengan siapa pun, suka clubbing dan punya selera musik yang kurang lebih sama (serta yang penting dia mau ngebayarin karena saya tidak setajir dulu. Bukannya saya morotin dia, lho, tapi clubbing itu ga murah.. hehe) membuat kami bebas keluyuran kemana saja. Buktinya sudah berapa kali kami ke Jakarta dan club hopping demi mencari live music yang enak.

Dengerin musik sendiri memang enak tapi ada sensasi rasa yang berbeda kalau ngedengerin musik bareng-bareng temen, pacar atau orang yang.. hm, istimewa..
___________________________________________

When it comes to reading, we know not all people are born to become book worm. But it’s a different thing with music as it is almost impossible to have any living human who doesn’t like music. These days it is an everyday sight to see people walk, sit, work or lie down with earphones on their ears, indicating that they are listening to music.

I have been noticing that I rarely see commuters sit with sleepy eyes or long faces in train, bus or other public transportation. All thanks to their cellphones that can function as music player.

I just recently bought my friend’s cellphone. Though it’s not new but it’s in good shape because he keeps his stuff neatly. Now what makes me happy is this cellphone has a memory card where I can store my favourite songs.

So the next thing I do after I get in any vehicle is to put the earphone and play the songs. Commuting is no longer a boring routine. Traffic jam is not a torture anymore.

However, for safety sake I only play the music on my cellphone when I am in public transportation that I use regulary.

Music in the meantime is not a tool to get rid my boredom when I am commuting.

I can’t write without music. So whenever I sit infront the computer or netbook, ready to write, I must play some music or the ideas won’t get out of my mind. It’s a different thing when I am at work. I can’t concentrate doing my work if I play the music. So I only play it when I know I have less work or I feel so all alone in the office.

I need music to help me put the ideas in my head out and make it into writing. That’s how it works. Other writers can’t write well without cigarette or coffee. With me, it’s the music. The whole writing process needs to be accompanied by music. From start to the end. It doesn’t matter if I play the same songs over and over again.

I of course have lots of songs I have downloaded from www.4shared.com. I didn’t know I have lots of songs not until I have friends said their surpriseness upon seeing my music collection in the computer.

Funny thing is I don’t listen to slow music when I write about mellow or serious things. the fact is I listen to Lady Gaga, Bon Jovi, Madonna, Britney Spears songs.

And I listen to slow music when I write about exciting stuff. So basically the music I listen when I write doesn’t determine the kind of script I write. It doesn’t set certain kind of mood I need to write. I just need it to help me taking out the ideas in my head so I can put it into writing.

Speaking about listening to recorded songs, live music performance surely is more enjoyable. I remember when I was still living in Jakarta, my friends or former boyfriend and I would spend our weekend at café, pub or bar. Not just to hang out at those places. We were looking for live music performances.

By paid only Rp.50.000 as entrance fee (in the 1990s) we got welcome drink and could stay until it closed. If the mood is still on, we would go to other café, pub or bar. The most important things are we agreed to do club hopping and we were not ran out of money, lol.

Live music has somehow became my consideration in choosing the church I would go to. When I was living in Jakarta, I went to churches that I knew had full set of band because they would make good worshipping music.

I went to Protestant church after I moved to Bogor. It is when I realize how different their music is. Compare to charismatic churches I attended in Jakarta, their music is so very slow. I find their worshipping music is too calm, less moved me. I’m sorry but that’s exactly how I feel.

Or is it because I happen to be the kind of person who prefers energetic music? But if I, who is 41 years old, prefer that kind of music then how about younger people or teenagers would react to such calm music in Protestant churches? We all know that they are still in their high energic age. Could they stand to listen to calm music?

It can be said that I never do club hopping. The people with whom I am be friended are different my former friends. It is why I like it when I can meet my old friends because I know we have same interests. The problem is most of them are married and raised their families. When asked to go clubbing, they were bothered by the thoughts who would look after their kids. It wouldn’t fun to bring kids to café, pub or bar, right?

Good thing is my foreign buddy is on summer holiday here. Since each of us is single, childless, not in relationship with anyone, like clubbing and have the same taste in music (and oh, don’t forget that he is the one who pays all the expenses.. lol, doesn’t mean I am a material girl but the fact is clubbing is pricey), it gives us the freedom and all excuse to go clubbing at any places that we like. We have been to Jakarta several times, hunting for places that have good live music.

It is fun to listen to music in solitude but it has different sensation to listen to music with friends, loved ones or with someone special...

Saturday, August 25, 2012

The Things I love are… (1)


GOOD READINGS

Mungkin kedengarannya aneh kalau saya bilang bahwa dulu saya pernah mengalami kesulitan dalam belajar membaca.

TK tahun 1977 beda banget sama TK jaman sekarang. Tidak ada tuh anak TK diajarin baca tulis berhitung. Enaknya ya anak-anak pada waktu itu kurang stressnya dibandingin sama anak jaman sekarang. Tapi ya ruginya waktu masuk SD banyak yang belum bisa baca. Termasuk saya.

Saya ingat belajar membaca bisa sampai nangis-nangis karena ibu saya yang mantan guru SMA itu galaknya minta ampun. Semakin stress, semakin tidak ada satu pun yang bisa saya mengerti. 

Ayah saya mengambil cara pendekatan berbeda. Dibawanya saya ke toko buku dan diperkenalkannya saya pada komik.

Komik membuat saya bisa membaca. Bahkan akhirnya membuat saya jadi kutu buku.

Jaman anak-anak dulu saya pernah berlangganan majalah Bobo, Si Kuncung, Ananda, Kawanku dan Hai. Lalu majalah Gadis sewaktu saya mulai remaja. Kemudian Femina, Intisari dan Readers Digest setelah saya kuliah dan bekerja.

Tapi komik tetaplah bacaan yang saya sukai. Ada pun komik yang saya sukai adalah Tintin. Sampai sekarang pun saya masih tetap menyukainya. Tintin, Kapten Haddock, Snowy, Profesor Calculus, si kembar Thomson dan Thompson serta Bianca Castafiore berjasa besar membuat saya bisa membaca dan membangkitkan minat baca saya. Top!.

Lalu di saat saya masih SD (1978-1984) komik yang saya sukai adalah Nina. Sayangnya saya tidak mengoleksi. Tapi dasar beruntung, saya ketemu dengan nyokap dari mantan murid saya yang umurnya kira-kira sebaya dengan saya dan dia mengoleksi komik itu sehingga saya bisa pinjam. Hehe.

Saya tidak terlalu suka dengan komik Superman, Spiderman atau komik silat. Mungkin karena saya perempuan. Baca komik-komik itu sih memang pernah tapi tidak jadi ngefans.

Lalu di jaman SD itu ada komik cerita dari 5 Benua, cerita Mahabrata dan kesukaan saya adalah kisah-kisah Hans Christian Andersen. HC. Andersen merangkum berbagai cerita dari benua Eropa. Kisah-kisah yang membuat imajinasi saya berkembang; Anak Itik yang Buruk Rupa, Prajurit Timah, sampai ke Hansel dan Gretel.

Oh, dan pastinya juga Donald Bebek. Siapa yang tidak suka sih dengan Mickey, Goofie, Pluto, Minnie, Donald, Daisy, Paman Gober dan trio keponakan Donald Bebek; Kwik, Kwek dan Kwak, lalu juga ada Gerombolan Si Berat, Mik Mak, si penyihir Mini Hitam.

Hehe. Hafal ya saya nama-nama tokohnya. Saya pernah diketawain orang ditempat kerja saya ini karena sewaktu ada yang menyumbang komik Donald Bebek langsung saya sandera dulu supaya bisa saya baca.

Komik jaman sekarang malah tidak saya sukai karena umumnya model komik Jepang, komik manga. Menurut saya yang namanya komik ya yang model Tintin, Nina, Superman, Cinderella, Peter Pan. Itu komik klasik.

Dari komik berkembang ke buku. Jenis buku yang saya sukai adalah yang menceritakan tentang pengalaman si penulis seperti tulisan NH. Dini dan Laura Ingalls Wilder.

Ada buku-buku sastra jaman jadul yang tetap enak buat dibaca sampai kapan pun. Favorit saya adalah karya Sutan Takdir Alisjahbana. Lalu buku-buku seperti Gone With The Wind, Little Women juga saya favoritkan.

Antara umur 16-25 tahun (1987-1996) saya sempat juga tergila-gila membaca novel. Penulis favorit saya adalah Mira W. Tapi lewat dari usia 25 tahun, anehnya pelan-pelan kesukaan saya pada novel berkurang dan akhirnya hilang.


Lucu juga melihat bahwa umur mempengaruhi jenis buku yang seseorang sukai.

Tapi dari dulu sampai sekarang, jenis buku filsafat tidak pernah saya sukai. Kadang saya baca juga. Bukan karena suka tapi karena kepingin tahu saja si filsuf ini ngebahas apa saja sih dalam bukunya. Itu pun saya bacanya melompat-lompat supaya cepat selesai. Hehe. Kadang sebelum selesai sudah saya lemparkan buku itu ke lantai karena… bosan. Aduh mak, biar dikata tu orang cendikiawan yang super duper pintar tapi buat saya jalan pikirannya… alamakjan, rumit banget.

Rekan kerja merangkap teman, sahabat dan adik saya ditempat kerja saya sekarang ini adalah penggemar bacaan filsafat.

Nah, dalam bayangan saya, yang suka dengan bacaan jenis ini adalah orang yang serius. Jadi aneh kan kalau orang yang punya rasa humor tinggi, yang suka ngeledekin dan ngejahilin saya ini kok ternyata senang baca buku filsafat.

“Bacaannya berat”, dia senang meledek saya kalau dilihatnya saya sedang mengamat-amati buku filsafat.

“Berapa kilo?” balas saya meledeknya.

“Ya sekilo 70 puluh rebu sih saya kasih deh buat si empok” jawabnya sambil tertawa.

“Ye, bang, mahal banget”

Tuh kan. Begitu deh kalau kami sudah mulai ngelantur, omongannya tetap saja bisa nyambung. Uniknya dua orang yang sama konyolnya ternyata punya selera berbeda dalam hal memilih jenis bacaan. Hehe.

Buku yang paling sensasional tentunya adalah Harry Potter. Sekalipun saya menyukainya tapi saya berpendapat buku ini tidak tepat untuk masuk kategori buku anak. Imajinasi JK Rowling memang luar biasa tapi banyak sisi dalam kisah Harry Potter yang tidak tepat untuk konsumsi bacaaan anak SD karena melibatkan tentang pembunuhan, permusuhan, kecurigaan dan balas dendam.

Tapi pssst… jangan bilang-bilang ya, kalau misalnya saya punya tongkat sihirnya Harry Potter dan ramuan Polijus, pasti ada banyak yang bakal kena saya kerjain. Hehe.

Nah sekarang masalahnya adalah mau ditaruh dimana lagi itu buku-buku koleksi saya? Semua lemari dirumah sudah sesak dengan buku-buku saya. Di kamar saya saja mereka saling bertumpukan. Diatas lemari, diatas kursi, diatas kardus. Duh, kadang puyeng juga ngeliatnya.

Nanti setelah saya sudah punya rumah seabrek gedenya, bakal saya bikin satu ruangan buat jadi perpustakaan merangkap ruang baca dengan lemari-lemari buku yang tinggi-tinggi. Disitu akan jadi sarang saya karena buat saya tidak ada tempat yang paling nyaman selain tempat dimana saya dikelilingi dengan buku.
__________________________________________

You might find it strange if I told you that many years ago I had reading problems.

Kindergarten was so different back then in 1977 when I first enrolled it. There was no reading nor math lesson. It made us less stress compared with the kids in present time. But it also disadvantaged us because it could be said that we were illiterate when we entered elementary school.

Learned how to read really stressed me like hell especially because my mother, who was a former highschool teacher, was so stern when she taught me to read.

My dad used different method. He took me to bookstore and bought me my first comic book.

Comic books taught me how to read. Infact it was a stepping stone on making me a book worm.

I subscribed 4 children magazines when I was in elementary school. Adding two more when I was in in my teen years. Later I subscribed different kind of magazines when I was in college and after I graduated from college.

But comic books are still my favourite reading ever. And the best of them is Tintin. I owed him, his dog Snowy along with his friends a big thanks for able to make reading as a fun thing to do. You guys rock!.

In my elementary school, in between 1978-1984, there was another comic series that I liked and it was Nina. Too bad I didn’t make it into my collection but it’s just my luck to find a mother of my former student who collects it so I can borrow it from her.

However I don’t really into Superman, Spiderman or kungfu comics. Maybe because I am a girl. I read them but not really in tune for those kind of comics.

Hans Christian Andersen’s stories mesmerized me. My imagination flew as I read those stories. Never get enough of them.

Walt Disney’s comics are among my favourite comics. I am smitten by Disney characters. Who wouldn’t? I don’t care I was laughed by the people in my work place for loving to read Disney’s comics.

Comics led to book. The type of books I like to read are about inspiring or life stories of the author. But I also like to read classic literature books such as Gone With The Wind or Little Women.

When I was 16-25 years old I was very much into novel books, romances kind of stories. But it faded and gone after I got older.

It’s funny to see that age plays some influence in my books preference.

But philosophy books remain as my very unfavourite books. I read some occassionaly. Not because I like them. I just wanted to know what the philosopher had on mind. It happened quite often that I threw the book to the floor before I read it all because… I found it boring. I mean, to the world the guys are probably considered to be jeniuses but to me their ways of thinking are so complicated.

My coworker whom I seen as my friend, my buddy and my brother is a great fond of philosophy books.

“It’s a heavy reading” he would tease me whenever he sees me examining a philosophy book.

“Yeah? How heavy is it?” I teased him back.

“I would give it for only 70 thousand a kilo just for you, madame” he laughed.

“That’s too much” I played along in his silly conversation.

In my thought people who like philosophy are serious people. My friend here is not. He has the same sense of humor as mine that making us can joke each other at anytime.

The most sensational book is definitely Harry Potter. Though I am a great fan of it and admire JK Rowling’s broad imagination, I think it is not a proper book for young children considering the books have too much elements of anger, vendetta and suspicion.

However, if I ever had Harry Potter’s wand and Polijus poison there would be some people I love to play trick upon. Lol..

Now the thing is my house is full with books. I have stacked them in every cabinets, cupboards, boxes that I don’t know where else to store them. My bedroom has already full with them that it gives me headache to look at them.

After I have a big house, I will make one room as a library and reading room with tall big cabinets to keep the books inside neatly. I will make it as my nice comforting place to hide from the world because I love to be among books.

Wednesday, August 22, 2012

Hore! Libur! / Hooray! Days Off!


Sik asyik, dapat dua hari libur. Hari Senin, 20 Agustus, libur Lebaran. Hari Selasanya memang jatah libur saya. Jarang-jarang dapat libur kejepit begini. Lumayanlah.

“Dua hari kok dikata lumayan” kata teman bule saya yang lagi menghabiskan libur musim panasnya disini “biasanya kan kamu dapat libur minimal 3 minggu”.

Itu dulu, bro, waktu gue kerja jadi guru. Sudah setahun kan gue ganti profesi. Masa lupa sih lu?.

Hehe. Tapi ketawa juga sih saya ngeliat mukanya yang frustrasi. Garing dia. Soalnya dia penasaran banget pengen ngajak saya liburan ke Bali. Tapi libur panjang Lebaran gini mana enak berwisata. Jalanan macet. Tempat wisata penuh. Maksain diri malah bikin blenger. Ngantrinya itu lho, bo, aduh, bikin stress.

“Udah deh, lu anteng-anteng aja dulu sama gue di Bogor” kata saya membujuk “Ntar kalo gue cuti dan musim liburan sudah lewat, baru kita jalan, ok”.

“Kapan itu?”

“September”

“Sekalian aja ntar bulan Desember”

Hehe.

Yah, gitu deh terjemahan bebas dari percakapan kami. Sori ya, ga saya tampilin fotonya. Kalau penasaran siapa dia, hmm…, harus lihat wallpaper di hp saya.

So anyway, dibandingin sama orang-orang yang rata-rata bisa libur antara 7-10 hari, saya cuma dapat 2 hari. Tapi tidak enak juga kalau kelamaan dan tidak plesiran. Bete.

Buat saya sih, 2 hari ini betul-betul buat istirahat. Enak banget bisa bangun diatas jam 7 pagi. Bangun tidur tidak usah langsung buru-buru ngacir buat mandi, sarapan, dandan trus berangkat kerja.

Asyiknya bisa goler-goleran, malas-malasan dulu diatas tempat tidur sambil dengerin suara burung berkicau, anjing tetangga menggonggong dan bunyi napas pelan si doggie yang bobo dibawah, disamping ranjang saya. 

 Hal kedua yang saya lakukan sambil goler-goleran itu tentunya adalah meraih hp dan memasang earphone untuk mendengarkan musik. Ah, sedap…

Tapi… waduh… 6 sms ada terlihat dilayar hp.

“Pagi non, sudah bangun belon?”

“Tok, tok, tok… bangun dong”

“Putri tidur beneran nih”

“Tukang tidur! Bangun! Sudah siang!”

“SMS gue ya kalo sudah bangun”

“Ampun, elu tidur apa pingsan sih??”

Hehe. Coba aja tebak dari siapa sms sinting itu. Saya membalas hanya dengan satu kata…

“Bawel”

Tapi gara-gara sms itu saya jadi bangun beneran. Apalagi setelah ingat kalau hari Senin (20/8) saya punya tugas segudang. Nyuci, ganti seprei, mandiin si doggie, ngepel.

Semua cling. Saya gempor.

“Jalan yuk” sms dari si bawel datang siangnya.

Duh, siang-siang panas nyokot begini kok ngajak jalan. Ogah ah.

“Ye, kan gue ga ngajak elu jalan kaki. Gue jemputlah elu. Pake mobil sewaan yang ada ac”

“Angin Cepoi-Cepoi gitu?”

“Itu naik andong”

Hehe. Ok ga tuh temen bule saya yang satu ini? Samaan gokilnya dengan saya.

“Gue lagi banyak kerjaan di rumah” tolak saya lagi. 1001 alasan deh.

“Makanya kalo libur jangan kerja rodi gitu dong”

Kerja rodi apaan?. Kagak tahu dia kalau si doggie sudah sebulan kagak gue mandiin. Sama tuh. Seprei ogut juga begitu. Hehe. Jangan salahkan aku, ini gara-gara pilek yang bikin tenaga hancur-hancuran rasanya.

Nah, trus habis mandiin si doggie, mau ga mau lantai harus di pel. Ya, tahu dong kayak apa kalau anjing basah kuyup? Biar pun sudah dikeringin pake handuk, tetap aja udahannya dia mengibaskan bulu-bulunya sekuat-kuatnya, lantas lari ngibrit keluar. Habis deh ubin basah semua. 

Terpaksa kan harus dikeringin dari pada ntar emak gue main ski. Ya gitu deh kalau di rumah ada manula. Lantai kering aja dia bisa jatuh kepleset, apalagi kalau lantainya basah.

So, sekalian aja di pel biar jadi bersih.

Nah, hari Selasanya giliran bersih-bersih yang lain. Kamar mandi, kompor gas, meja dan jendela sudah pada ngantri nunggu kapan mereka dapat giliran dibersihin sama si Keke.

“Yah, kapan dong kita bisa jalan?”

“Ntar, kalo gue cuti”

“September?? Keburu gue balik kalee ke Amrik”

“Lha, tanggal pulang elu di tiket pesawat kan open date”

“Iya biarpun judulnya open date tapi kan ga berarti gue pulang September tahun 2013”

“Itu malah lebih bagus” saya nyengir.

“Baby, kalau mau kamu gitu ya artinya kita langsung kawin” dia mengulum senyum.

“Sinting!”

Hehe. Bener kan. Kita berdua samaan gokilnya…
_________________________________

Great! I’ve got 2 days off! Monday, August 20th was Idul Fitri day. Tuesday is my day off. It is not everyday that I could have two days off.

“What’s so great about it?” protested my American friend who is spending his summer vacation here “you usually have 3 weeks off”

That was then when I worked as kindergarten teacher. Bro, have you forgotten that it’s been a year that I no longer work as teacher?

Still, I couldn’t help not to laugh at him seeing his frustration over wanting to take me to Bali for a holiday. But this is not the right time to go anywhere. It’s Lebaran festive combine with school vacation. Making it stressful for holidaying, with the roads jammed, long queque and lots of people swarming at beach, amusement parks etc. Oh no, it would be nightmare for me.

“Just stay here in Bogor until this holiday peak season is over” I persuaded “I will take my leave and we will go away, ok”

“When will that be?”

“September”

“And why don’t you just make it to December instead?”

Lol.

Sorry I don’t put his photo. Yes, very unlike me to do so. If you’re curious about this friend, I make his photo as my cellphone wallpaper.

Anyway, compare to most employees who got 7-10 days off, I’ve got only 2 days. Not so bad if it seen from the fact that it had to be spent at home. Look it from the bright side, 2 days off at home wouldn’t make you get bored.

I dedicated these 2 days for getting the rest I badly needed. It felt so good not to have to get up early in the morning and didn’t have to rushedly go to the bathroom to take a bath, have breakfast, get dressed and go to work.

It felt so great to lay down in bed, listened to the birds chirping, neighbor’s dog barked and heard the soft sound of my dog breathing as it slept on the floor next to my bed.

I took my cellphone. Put on the earphone. Played some music on it. Oh man, it was heaven..

Until I saw 6 messages on the screen..

“Morning, girl. Are you awake?”

“Knock, knock.. wake up”

“Sleeping beauty… definitely”

“Rise and shine, sleepy head!”

“Text me after you awake”

“I wonder if you’re asleep or fainted?”

Lol. Guess who sent me those texts? Yep, I’ve got only one word to text to him..

“Noisy”.

But those texts really awoke me. Especially after I remembered that I had quite lots of things I had to do on that Monday (August 20th). Washed the laundry, changed my bedsheet, bathed my dog and mopped the floor.

After everything clean, I slumped myself on the sofa for feeling so exhausted.

“Hey, let’s go out” he texted me in the afternoon.

It was freakingly hot and he asked me out? No way!

“It’s not like I am asking you to walk in this kind a heat. I’ll come to pick you up by my rented AC car”

“You mean the wind blowing through the window?”

“That’s if you’re taking a ride in a cart”

Lol. It is really a great pleasure to find a foreign friend who’s as crazy as myself.

“I’ve got tons of house chores” yeah, yeah, so 1001 excuses.

“It’s your days off and you’re slaving yourself?”

What slaving? I haven’t bathed my dog for a month and there goes the same for my bedsheet. Don’t blame me. The flu took away most of my energy.

And after bathing the dog, I had to mop the floor. Sure I have dried it with the towel but you know how dog is. It swished its body to dry its fur before it ran outside. Making the floor all wet.

I should dry it or my mom would ski on the wet floor. You know how elderly people are. Dry floor can make them slip. So I better mop it.

Tuesday came and another cleaning works awaited me. The bathroom, the stove, the tables and windows were looking forward to be cleaned by me.

“When can I take you out?”

“When I have my leave”

“What? In September? I’ll be going back to the States by then”

“You have filled the date to be an open date on your plane ticket”

“Yes, but that doesn’t make me going back, say, in September 2013”

“Well, that would be great” I grinned.

“Baby, if I would be going back that late, let’s tied the knot by then”

“You’re nuts”

Haha. Yes, we are just two crazy people …

Monday, August 13, 2012

Cinta (5) / Love (5)


Persaudaraan / Brother-Sisterhood

Saya suka bingung kalau melihat ada kakak beradik yang bisa tidak akur satu dengan lainnya. Sementara saya yang tidak berkakak dan beradik malah sampai sirik melihat orang-orang yang punya kakak atau adik.

Ya.., itu dulu..

Sekarang saya malah bersyukur saya tidak punya kakak atau adik. Hidup menjadi lebih sederhana bagi saya dengan membawa diri sendiri. Setidaknya berkuranglah beban pikiran saya.

Wah, cara berpikir yang aneh, mungkin begitu pendapat anda. Bukankah beban dalam hidup akan menjadi lebih ringan bila ditanggung bersama-sama.

Ya, benar.

Tapi itu kalau beruntung punya kakak atau adik yang kompak dengan kita. Kalau yang bawaannya ngajak bentrok mulu, gimana coba? Namanya juga manusia. 1001 macemnya. Biarpun keluar dari satu rahim tapi ga jamin semua semodel.

1979
Saya dengan almarhum adik bungsu saya, misalnya, bagai langit dan bumi. Dia lucu, centil dan menggemaskan. Sementara saya? Saya serba kebalikannya. Pendiam dan pemalu.

Dia meninggal diusianya yang belum lama menjadi lima tahun. Jadi saya tidak tahu seperti apa dia kalau umurnya panjang. Entah akan menjadi seperti bagaimana pula hubungan kakak beradik di antara kami. Saya tidak bisa membayangkannya.

Sekarang pun tidak banyak yang bisa saya ingat tentang dia. Saya memang cenderung tidak mau mengingat hal-hal menyakitkan hati yang pernah saya alami. Begitu kuatnya kemauan itu hingga akhirnya saya betul-betul bisa menghapusnya dari ingatan saya. Dan kehilangan dua orang adik dalam rentang waktu hanya 7 tahun bukanlah sesuatu yang mau saya ingat.

Saya tidak pernah berdoa meminta Tuhan mengirimkan pengganti mereka tapi ternyata saya bertemu dengan orang-orang yang kemudian menjadi kakak dan adik saya.

Charlene. 1989
Orang-orang pertama yang mendeklarasikan diri saya sebagai adiknya adalah 2 sahabat pena saya di Amerika. Kami bersahabat pena dari tahun 1989 sampai sekarang. Dari jaman belum ada internet, dari masa kami masih sama-sama anak sekolahan sampai yang satu sudah menjadi ibu dari 2 anak remaja dan yang lain adalah ibu dari seorang anak lelaki.

Mereka berdua menyebut saya ‘my sister’ dan kerap membubuhkan singkatan ‘Lylas (Love you like a sister atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘mencintaimu seperti saudaraku’) di akhir surat-surat atau email-email mereka. Dulu saya tidak pernah menanggapi dengan serius. Tapi perjalanan hidup membuktikan ternyata mereka ini serius.

Sewaktu Indonesia dilanda kerusuhan politik atau ketika terjadi bencana alam yang lumayan serius sampai diliput oleh media internasional, mereka bergantian menelpon saya untuk memastikan bahwa kami baik-baik saja disini.

Perhatian mereka tidak hanya sebatas itu. Netbook yang saya pakai sehari-hari adalah hadiah ulang tahun yang dikirimkan oleh seorang dari mereka. Besar atau kecil hadiah yang mereka berikan bukanlah yang saya utamakan. Yang terutama adalah perhatian dan cinta mereka kepada saya, yang jelas-jelas adalah orang yang tidak sedarah sedaging dengan mereka, orang asing bagi mereka, tinggal diseberang samudera dan yang belum pernah mereka temui secara langsung selama 22 tahun ini.

Tapi itulah kekuatan cinta.

Menerobos batas negara, menembus perbedaan ras, menjembatani segala perbedaan dan mendamaikan konflik.

Lalu bagaimana dengan yang ada di negeri sendiri?

Keke & Santi, 1990
Seorang teman dari jaman kuliah dulu kini menjadi orang yang memiliki rasa persaudaraan dengan saya. Karena kami lahir di tahun yang sama dan bahkan di bulan yang sama maka tidak jelas siapa yang menjadi kakak dan siapa yang menjadi adik. Hehe. Yang pasti sih, kami saling berganti peran. Kadang yang satu menjadi adik, lalu di saat yang lain berperan sebagai kakak.

Selain itu di tempat kerja saya saat ini saya tidak menduga bisa menemukan dua orang yang merasakan kasih persaudaraan. Yang seorang wanita dan lebih tua dari saya sementara yang lain adalah seorang laki-laki.

Buat saya ini pengalaman baru untuk bisa merasakan cinta persaudaraan dengan seorang laki-laki.

Biasanya jenis hubungan yang saya miliki dengan laki-laki adalah dalam bentuk pertemanan, persahabatan atau hubungan cinta asmara. Jadi agak lucu juga saya bisa bertemu dengan seorang yang umurnya jauh dibawah saya dan laki-laki pula yang bisa nyambung dengan saya tanpa kami terlibat dalam hubungan cinta sebagai laki-laki dan perempuan.

Kalau orang melihat kami mengobrol, bercanda, saling jahil menjahili, ledek meledek, berdiskusi sampai berbagi makanan dan minuman, bahkan tanpa ragu makan atau minum dari tempat yang sama serta bergantian bermanja-manja, wah, mereka tentu mengira ada sesuatu diantara kami.

Sebetulnya yang ada di antara kami adalah cinta persaudaraan.

Tidak dengan semua orang tentunya kita bisa memiliki cinta persaudaraan. Yang saya miliki saat ini jumlahnya tidak banyak. Tapi toh saya merasa menjadi ‘kaya’ karena memiliki mereka. Mereka bernilai tinggi di mata saya.

Di postingan blog saya sebelumnya saya menulis bahwa saya orang yang terlalu mandiri sampai saya tidak mau membiarkan orang masuk terlalu jauh ke dalam hati saya. Karena itu mereka yang saya ijinkan masuk sampai jauh ke dalam hati saya adalah orang-orang yang saya tahu adalah mereka yang istimewa dan sudah melewati tahun-tahun kebersamaan yang membuat kami saling mengetahui ‘warna asli’ masing-masing.
______________________________________

It amazes me to see brothers or sisters can’t get along well. While I myself who doesn’t have any brother or sister oftenly feel jealous toward people who have brother or sister.

Well, that was then..

Now I am glad I don’t have any brother or sister. Life is so much simplier for me. No need to have troubled mind cause by them.

That’s one weird thinking, you may say. Wouldn’t a burden feel lighter when you don’t have to carry it yourself?

Yes, that’s true.

But it’s when you’re lucky to have good and strong relationship with your brother or sister. What happens if it is the other way around? We all aware of how people are. 1001 types. Those who share the same womb are still not come out in one same type of person.

My late sister and I for example, we were like heaven and earth. She was adorable and funny while I was a quiet shy kid.

She died not long after she had her fifth birthday. So I don’t know what she would be like should she lived longer. Or how would it be like for us as sisters. I really can imagine it.

There are not much I can remember about her. I don’t like keeping hurtful memories. It is so strong that I can remove them off my memory. And losing two sisters in just 7 years is not a happy memory that I would like to keep.

I never asked God to send me replacement for the sisters He took from me. But strangely life brings them to me.

Lori. 1990
The first people who declared me as their sister are my pen-friends from USA. We have been friends since 1989, long before internet has become as sophisticated as it is today, it was when we were students in high school and in college. Now they both are mothers to teenagers.

They both called me sister and write ‘Lylas’ (Love you like a sister) at the bottom of their letters or emails. The thing I didn’t take it seriously until years gone by and it is proven that they really meant it.

There were time when Indonesia had political unrest or earthquake, flood, landslide so serious that international media covered it. This worried them so much that they took turned in calling me just to make sure that me and my parents were doing just ok.

That was not just their way of showing their attention and love to me. The netbook I am using now is actually a birthday present from one of them though I have to say that it is not the amount or value of their gift that I treasure. It is their attention and love to me, who clearly is not their flesh and blood, a foreigner, lives so far away across the ocean and of whom they have never met in person in these 22 years.

But that’s the power of love.

It crosses borders, make race not a big deal, build a bridge over differences and conflicts.

And how with my own fellow countrymen?

An old friend from college has turned into my sister. We were born in the same year and even in the same month so it is not clear who acts like big or younger sister. Each of us take turn in play the role.

Beside that, I found someone at work of whom I truly love as a brother. It's kind a new for me because the kind of relationship I have with men is usually in between friendship, bestfriend or romance. 

It can be deceiving though if people see how the two of us talk, joke or tease each other, when we have discussion or when we share our meals, not hesitate to eath from same plate or drink from same glass or when we talk passionately one to another, they would think we have something more going on.


But we are just two unrelated people by blood who feel and treat each other like brother and sister.

There are not much people with whom we can feel or have such close bonding so I am extremely grateful and feel so rich for having few people whom I can call my sister and my brother.

In my previous post I wrote that I am a very independent person who don’t want to let people get inside my heart too deep. The ones I allow to get inside are very special people of whom time has shown each of our ‘true color’ as a person and as a sister or brother.