Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, July 30, 2011

Musuh Terbesar / Biggest Enemy

“Ayo, Keke. Kita sudah mulai latihan” Bu Ratna tiba-tiba muncul di ruangan saya “Sudah kita kasih tahu pak Yohanes kalau kamu ikut Gloria”

Waduh! Saya gelagapan jadinya. Rupanya mereka serius saat menawarkan supaya saya ikut paduan suara Gloria.

“Ah, bu, saya tidak bisa nyanyi” begitu selalu alasan yang saya berikan setiap kali ada yang menawari saya bergabung dengan paduan suara itu “Ya, nyanyi sih bisa. Tapi nyanyi begitu-begitu aja …”

“Kamu kira kita-kita ini bisa nyanyi?” Bu Ratna tersenyum keibuan “Semua di sini masih belajar kok”

Jadilah dengan agak enggan Sabtu (23/7) pagi itu saya membuntuti beliau masuk ke ruang ibadah di mana ibu-ibu yang bergabung dalam paduan suara Gloria selalu berkumpul seminggu sekali selama 1-2 jam untuk berlatih.


Nah, pikir saya, satu hal baru lagi sementara melintas dalam ingatan saya bagaimana 6 tahun lalu tiba-tiba saya di ajak bergabung di sekolah minggu. Bukan sebagai pengunjung biasa tapi langsung bergabung bersama-sama guru sekolah minggu lainnya. Ikut mengajar.

Dan sama seperti saat saya bergabung di kelas sekolah Minggu, tidak ada seorang pun yang mencela saya. Bahkan semua bersikap terbuka. Menyambut dengan gembira & memperlakukan saya sebagai bagian dari diri mereka.


 Dulu saya tidak punya pengalaman apa pun tentang mengajar. Tapi saat ini setidaknya saya tidak terlalu kaget karena pekerjaan saya sebagai guru TK selama 6 tahun membuat saya tidak lagi sungkan untuk bernyanyi di depan siapa pun (dan suara saya juga rasanya tidak terlalu malu-maluin… hehe).

Saya tidak terlahir dengan bakat atau kemampuan yang langsung ‘gemerlap’. Semua itu datang pelan-pelan dengan seiringnya waktu. Bahkan sebetulnya banyak yang baru muncul saat usia saya berada di penghujung 30an. Ada faktor-faktor yang saya pikir berperan dalam kondisi tersebut.

Yang pertama adalah waktu. Biar pun seorang manusia sudah berusaha mati-matian atau berada dalam sikon mendukung tapi tapi baru setelah waktunya tiba yaitu waktu yang sudah ditakdirkan bagi dirinya untuk bertemu seseorang atau menjadi seseorang maka barulah hal itu bisa terjadi.


Yang kedua adalah diri kita sendiri kadang menjadi penghambat atau penghalang. Misalnya sifat pemalu, minder, ragu, takut, cemas, pemarah atau egois yang membuat kita menolak secara sadar atau tidak untuk mau melakukan atau menerima hal-hal baik yang diberikan kepada kita. Saya berikan contoh dari pengalaman saya.


Sekitar 11 tahun lalu saya pernah menjalin hubungan singkat dengan rekan kerja. Dia baik, tampan & karirnya cukup baik. Sayangnya dia juga… plin plan. Akibatnya ada banyak hal baik yang lepas dari tangannya. Termasuk pula hubungan kami.

Saya pernah mengenal seseorang yang memiliki banyak potensi. Tapi beliau juga penuh dengan pembenaran diri yang membuatnya selalu merasa bahwa dalam hal apa pun, ketidakberesan itu pasti tidak datang dari dirinya. Akibatnya bukan rasa hormat, kagum & sungkan yang diperolehnya dari orang-orang disekitarnya. Melainkan banyak sakit hati yang membuat bahkan seorang yang lebih rendah dalam kedudukan, umur & pengalaman sampai menjulukinya ‘nenek lampir’ & dibelakangnya menyebutnya hanya dengan nama tanpa mempergunakan sebutan ‘ibu’.

Dari 2 contoh di atas dapat kita lihat & pelajari bahwa sebetulnya musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Bukan keadaan.  Bukan tantangan atau masalah. Tapi anehnya kita menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga & perhatian untuk memerangi semua orang & semua hal kecuali diri sendiri.

_____________________________________________________



“Come on, Keke, rehearsal has started” Mrs. Ratna popped herself in my room this Saturday morning (July 23rd) “We have told Mr. Yohanes that you’re joining Gloria Choir today”

Man, this suddenly made me gasped for air out of surprise & nervous. They were serious when they offered me to join the church choir.

“But I can’t sing” that’s the same excuse I use when anyone offer me to join any choir “Yeah, so I sing but not the kind of choir singing”

“So do you think we can sing better?” Mrs. Ratna’s smiled softly “We all learning to sing”

Hesitatedly I followed her to the main room where the sermon is held every Sunday. The same room they use to have their choir rehearsal for 1-2 hours every Saturday morning.

So another new thing, I thought to myself as I remember 6 years ago I was asked to join other church Sunday school. Not just as a visitor but as one of the teachers.

And just as in my previous experience, this time too, not a single person underestimate or laugh at me. Infact they welcome me with open arms. Happy to assist me. Treat me as their number.

You see, I wasn’t born with shining talents & potentials. They are all came to the surface with the passing time. Infact, many of them were discovered when I was in the mid-thirties. There are key factors.

One is time. Even though someone is in the right place, having the right stuff or have done the best but if time has not come yet, nothing will happen. Sometimes time seems like destiny.

The other factor is ourselves. We can become our own obstacle. How? It is our characters of shyness, low in self confident, worrying about everything, jealousy, easily get angry or selfishness are just few I can name. But how could any of them become an obstactle to ourselves? I give you two examples from my own experience.


 About 11 years ago I had a relationship with a coworker. He is a dashing young man & kind with a good career. But his changing mind made so many good things slipped through his fingers. Including our relationship.



I know a woman with lots of potentials but she is so filled with self justification that it hurts people’s feelings. At the end it is not respect she gains from the people around her because a maid even called & addressed her as ‘that witch’ behind her back.


So from those two examples we can see that it is ourselves that become the biggest challenge. Not situation. Not our limitations. Nor problems. Funny thing is we spend a lot of time at war with other people or situation and not with ourselves.

Saturday, July 23, 2011

4 Ruangan / 4 Rooms

“Ne, masih ingat sandal 300 ribu yang kita lihat di mall minggu lalu?” Sandal baru Anne tampaknya membuat bu Martha teringat sesuatu.

“Sandal 300 ribu?” saya tergelak “emang bagus?”

“Ya kayak gini aja” Bu Martha menunjuk sandal Anne yang mirip sandal jepit tapi tentunya si 300 ribu lebih bagus kwalitas karetnya, di jamin lebih tahan banting. Wah, tapi gila aja kalau sandal model seperti itu dihargai selangit.

“Beli satu di jamin ga makan sebulan” bu Martha cekikikan “kalau lapar, tinggal di pandang-pandangin saja tu sandal”

Saya tertawa mendengarnya “nah, kalau gitu bayar listrik pake dia aja. Tagihan 70 ribu di bayar pake sandal jepit. Minta kembalian pula”

“Makanya cantelan harganya jangan di cabut” kata Anne geli “biar orang percaya harganya 300 ribu”

& tertawa tergelak-gelaklah saya, Anne serta bu Martha. Bahkan Dodo pun ikut tersenyum.
Martha, Keke & Anne
Siang hari itu tinggal kami berempat diruangan TU (Tata Usaha). Awalnya hanya saya & Anne. Lalu datanglah Dodo. Dan setelah selesai mengerjakan tugas-tugasnya sebagai koster gereja, bu Martha pun bergabung. Ceritanya sih mau mendinginkan badan tapi kalau sudah ramai bercanda begini akhirnya semua malah berkipas-kipas karena kepanasan. Hehe.
Begitu cerianya kami bergurau sampai saya heran juga memikirkan bahwa penampilan seseorang begitu bisa menipu. Ini karena kecuali saya, 3 yang lainnya tidak kelihatan sama sekali sebagai orang-orang yang punya rasa humor tinggi. Kalau belum kenal tidak akan tahu kalau ternyata Anne, bu Martha & Dodo itu ternyata lucu, senang bercanda & meledek.
Betul kata peribahasa ‘Dalamnya laut bisa di ukur. Dalamnya hati seseorang tak terukur’.

Ini mengingatkan saya pada khotbah pendeta Suta Prawira hari Minggu (17/7) yang memberi ilustrasi bahwa ada 4 ruangan dalam diri manusia.

Ruang pertama adalah ruang publik. Ini adalah wajah yang kita tampilkan di depan umum. Sering kali wajah yang paling depan ini adalah wajah yang sudah kita atur sesuai dengan bagaimana kita mau menampilkan diri di depan orang. Entah itu sebagai orang yang ramah atau yang bertutur kata lembut, yang sopan.

Ruang ke dua adalah ruang untuk kalangan terbatas. Ini wajah yang di kenal hanya oleh orang-orang terdekat kita. Mereka yang tahu bagaimana aslinya kita. Tidak jarang wajah yang kita tampilkan di ruang publik sangat bertolak belakang dengan wajah yang kita tampilkan di rumah.

Ruang ke tiga adalah ruang yang lebih dalam lagi & tentunya lebih gelap. Di dalam ruang ini tersimpan semua yang paling pribadi yang hanya diketahui oleh pemilik ruangan itu. Segala pemikiran, perasaan, kehidupan sampai identitas yang tersembunyi dari mata siapa pun.

Ruang terakhir adalah ruang yang bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh pemiliknya sendiri. Apa pun yang tersimpan didalamnya bisa memicu sesuatu yang tidak terduga. Seseorang bisa bertindak agresif atau tergalinya potensi yang tak pernah di duga dimilikinya semua adalah hal-hal di dalam ruang paling terdalam ini yang tergali keluar oleh peristiwa / emosi tertentu. Menurut saya hanya Tuhan & iblis yang mengetahui hal-hal yang tersimpan dalam ruangan ini.

Jadi, apakah anda mengenali ruangan-ruangan ini di dalam diri anda?
___________________________________________________________________


“Do you remember those 300 thousand Rupiah sandals we saw at the mall last week?” Anne’s new sandals reminded Mrs. Martha to the almost similar sandals they saw when they were window shopping at the mall the previous week.

“300 thousand rupiah for a pair of sandals?” I grinned “Were they awfully gorgeous?”

“Yeah, almost the same with this one” Martha pointed at Anne’s sandals but the 300 thousand came in better quality. Its rubber at least guaranteed its long use ability.

“You buy that one & you will be left with nothing to eat but them” Martha giggled “So when you’re hungry just look at the sandals”

“And pay your bills with them” I laughed “You’d get some change after that”

“So don’t take out the price tag” Anne added “Everyone will know their price”



& we all laughed merrily. Even the super cool Dodo couldn’t help not to smile.

There were only the four of us in my room that afternoon. At first there were Anne & I. Dodo came & joined us there. And then Martha too came after her work as church cleaner was done & she wanted to cool herself in my airconditioned room. But no one felt any cooler inside as we were joked & laughed so hard it made us sweat.

This surprised me because I know the three of them don’t give any sign as humorous people. They look cool. Now who could guess that Dodo, the most coolest person among them, is actually funny & could tease me endlessly.

The saying is true. You can measure the depth of the ocean but not so with someone’s heart.

This reminds me to Pastor Suta Prawira’s preach on Sunday (July 17th). He said there are four rooms in a person’s heart.

The first room is I think what we use to call ‘Public Face’ because it’s what we show to the public. Most of us appear in nice character in public. Whether it’s a true nature or not, nobody can really tell.

The second room is our true nature & it may only appear to limited people such us to our families or closest friends. Most cases show that our true nature is completely different with the ones we show to the public.

The third room is the hidden one. It is our secret of minds, characters, feelings, hobbies & even lives & identities.

The fourth room is so closed that sometimes we don’t realize it is there in us. It stores stuff that we didn’t or don’t know of their existence. It is why we get so surprise when they come to the surface as we didn’t or don’t know we possess them in us. They could be positive potentials or destructive materials.


So do you recognize the rooms in you?

Friday, July 22, 2011

Panggilan Hati / The Call

Predikat guru rupanya sudah menempel demikian lekat dengan diri saya sehingga biar pun saya sudah tidak mengajar lagi di sekolah tapi masih banyak yang mengira saya masih tetap mengajar. 
“Ibu mengajar di mana sekarang?” itu pertanyaan yang sudah berapa kali diajukan kepada saya begitu tahu saya tidak lagi mengajar di TK.

Bahkan setelah saya menjawab bahwa saya bekerja di gereja sebagai kepala rumah tangga & tata usaha, pertanyaan itu masih di ulang lagi.

“Ibu ngajar di sana?”

Ya ampun! Hehe. Capcay deh. Terpaksa harus saya jelaskan lagi bahwa saya tidak mengajar di gereja di mana saya bekerja sejak tanggal 1 Juli ini.

“Kok ibu ga ngajar lagi sih?” masih ada yang sulit percaya & sepertinya sulit menerima kenyataan.

‘Farrell tadi pagi tidak mau sekolah, bu’ demikian isi sms yang saya terima hari Senin (18/7) “Kalau bukan bu Keke yang ngajar di kelas. Terpaksa saya bohongi. Saya bilang bu Keke lagi cuti’.
Pertanyaan ‘kemana bu Keke’ & ‘kenapa bu Keke tidak mengajar’ menjadi 2 pertanyaan yang sebetulnya membuat saya tersenyum geli tapi sekaligus memedihkan hati saya.

Hari Senin sore saya sengaja mengirim sms kepada ortu mantan anak TK A yang sekarang sudah naik ke kelas TK B, untuk menanyakan bagaimana anak-anak itu di hari pertama sekolah & dari balasan sms mereka tahulah saya bahwa beberapa dari anak-anak itu menanyakan mengapa saya tidak ada di sekolah.

Cepat atau lambat pada akhirnya toh saya harus mengucapkan selamat berpisah juga dengan anak-anak itu. Saya sudah melakukannya selama 6 tahun saya bekerja sebagai guru di sekolah itu. Tapi ucapan perpisahan yang berbeda karena anak-anak itu pergi meninggalkan sekolah untuk melanjutkan pendidikan mereka di SD.

Beda benar dengan jenis perpisahan yang sekarang ini terjadi karena kali ini sayalah yang pergi.

Ada banyak hal yang saya syukuri dalam pekerjaan yang baru ini. Gajinya lebih besar. Orang-orangnya lebih banyak yang beraura positif. Lingkungan kerjanya menyenangkan. Pekerjaannya tidak terlalu rumit. Ada jaringan internet yang standby sehingga saya bisa mengirit pengeluaran untuk internet. Saya juga mendapat satu setengah hari libur. Bayangkanlah selama 6 tahun saya bekerja 7 hari seminggu!

Di atas semuanya itu adalah bahwa saya bekerja di rumah Tuhan. Saya mempelajari hal-hal yang dulu tidak saya ketahui tentang seluk beluk penyelenggaraan ibadah & pelayanan yang dilakukan oleh gereja.

Nah, kurang apa coba?

Dengan semua hal baik di atas itu & saya masih mengeluh juga…? minta di jitak sama Tuhan apa? Hehe.

Tapi… memang selalu ada ‘tapi’…, saya masih terkenang-kenang dengan anak-anak itu. Bahkan di tengah-tengah kesibukan kerja pun pikiran saya masih tetap bisa nyangkut ke mereka. Bertanya-tanyalah saya dalam hati sedang apa mereka di sekolah? Apakah mereka tidak mengalami kesulitan dengan kelas yang baru? Dengan teman baru? Dengan pelajaran yang baru?

Lalu pertanyaan terakhir itu yang mampu membuat saya menarik napas dalam-dalam. Kangenkah mereka pada saya? Masih ingatkah mereka pada saya?

Di satu sisi saya ingin mereka bisa menyesuaikan diri dengan kelas, lingkungan, pelajaran & guru yang baru. Tapi di sisi lain saya tidak rela melepaskan mereka. Saya cemburu memikirkan mereka kini berada di bawah asuhan guru lain. Saya tidak terima bahwa mungkin cepat atau lambat mereka akan menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa saya tidak berada di sekolah.

Konyol? Ya tentu saja. Saya kesal sekaligus geli & sedih memikirkan perasaan itu. Sungguh kekanak-kanakan sekali. Tapi begini jugakah perasaan seorang ibu yang harus melepas anaknya dalam asuhan guru di sekolah atau pada saat anak itu bertumbuh besar & menjadi semakin mandiri atau saat anak itu menikah & membentuk keluarganya sendiri?

Saya tidak tahu. Saya bukan seorang ibu. Saya belum pernah mempunyai anak, entah itu yang keluar dari perut saya sendiri atau yang saya adopsi. Yang saya miliki selama 6 tahun adalah anak-anak murid saya di sekolah.

Saya ingat bagaimana saya merasa iri, cemburu, sedih, kesal & sedikit marah saat saya melihat foto-foto sekolah saat penyelenggaraan SIL (Sekolah Injili Liburan) pada hari Senin sampai Rabu (11-12-13/7). Kenapa demikian? Karena saya melihat bagaimana ramainya suasana & cerianya anak-anak itu selama acara berlangsung. Kenyataan bahwa saya tidak lagi menjadi bagian dari semua itu yang membuat saya menjadi emosi.


Saya sudah berjalan cukup lama untuk mengenali suatu pola bahwa Tuhan tidak akan mengijinkan sesuatu terjadi dalam hidup saya kalau hal itu tidak memberi saya banyak hal baik & berguna. Jadi saya tahu fase yang saya jalani saat ini adalah hal yang baik untuk diri saya & kenyataannya memang demikian. Pekerjaan saya di gereja membawa banyak keuntungan.

Saya gembira bahwa Tuhan memberi saya kelebihan yang membuat saya menguasai bidang pekerjaan administrasi & manajemen perkantoran. Di sisi lain Tuhan juga membentuk & mendidik saya sebagai guru. Dia membekali saya sedemikian rupa sehingga saya bisa melakukan ke dua jenis pekerjaan yang sangat berbeda itu dengan baik.

Hanya saja sekarang saya betul-betul menyadari bahwa panggilan hati saya adalah menjadi seorang guru. Kalau pun saat ini saya terpaksa harus berhenti dari pekerjaan itu, tidak berarti saya berhenti melihat diri saya sebagai seorang guru. Panggilan hati tidak bisa di buang semudah itu. 

Benar juga kata mamanya Farrell ‘saya bilang ke Farrell kalau bu Keke lagi cuti’. Ya, itulah yang terjadi saat ini. Saya sedang cuti dari pekerjaan saya sebagai guru karena Tuhan ingin saya beristirahat & mendapat banyak kelegaan sambil tetap belajar tentang hal-hal yang ingin Dia ajarkan kepada saya.

Cuti ini tidak akan berlangsung selamanya. Pada suatu hari nanti saya akan kembali mengajar karena saya seorang guru. Dan pada saat hal itu terjadi, saya tahu saya tidak akan meninggalkan jati diri saya sebagai seorang guru selamanya. Boleh saja saya mungkin mengurusi administrasi & manajemen atau mungkin saya juga memiliki bisnis sendiri tapi saya tetap akan bekerja sebagai guru.

Panggilan hati adalah takdir. Siapakah dari kita yang bisa melarikan diri dari takdir?
___________________________________________________________________

Being a teacher somehow has stuck as my identity seeing how often I am asked where am I teaching now after resign from the kindergarten. Even after I explained that I work as head of the household & administration at the church they still asked if I teach there.

“Why do you quit teaching?” has become the next question after they understand that I don’t teach in church. A question expressing regret as if hard to accept the fact that I don’t teach anywhere.

‘Farrell didn’t want to go to school this morning if you were not the teacher in his new class’ Farrell’s mother texted me on Monday morning (July 18th) ‘I had to lie to him when I told him that you are taking a leave’.

The questions of ‘where is miss Keke?’ or ‘why do you not teach?’ make me smile though also sad at the same time.

I texted the kids’s moms on that Monday afternoon to ask them how their kids did on their first day of school. Were they able to adjust themselves in their new class, new classmates, new lesson & new teacher? From their respond I learned that some of the kids asked where am I as they didn’t see me in school.

Well, sooner or later I will have to say goodbye to them. I have been doing it in the past six years. But this is a different goodbye. The previous goodbyes were made because they went to elementary school to become first graders. This time it’s me who left. It’s a different goodbye for sure.

I am thanking God for lots of good things in this new job. Good salary. Uncomplicated work. Positive aura people. Nice place. Accessable internet line that can make me save my money as I don’t have to go to internet café to go online. And plus I have a one & half day off. It’s really wonderful considering that I work 7 days a week in my previous job & it went for 6 years.

But the best part is I am working at God’s house. This is a church. I am given opportunity to learn how to manage church actitivities. I have never known how things work in church. Now I know.

So with all the good things in this job & I’m still grumble? … God would have give me a spank definitely.. lol.

But.., there’s always ‘but’…, I can’t stop thinking about the kids. Even when I am busy with work I am still thinking about them. Are they doing okay in school? How are they doing in the new class?

Then came the last question that makes me hold my breath. Do they miss me? Do they still remember me?

In one side I want them to adjust with every new things in school, to be independent & to move forward. But in other hand it feels so hard to let them go. I feel jealous thinking that they are now under the supervision of other teacher. It’s hard for me to accept the fact that sooner or later they will get used of not having me in school.

Silly? Yes, I am. Somehow I think these feelings could be a mother’s feelings when she let her child to be educated in school, how she is no longer the central object of attention in her child’s life. Or when the child grows older & get more independent. When the child gets a job & get married eventually.

What do I know anyway? I am not a mother. I’ve never had a child of my own. It’s just the kids in school who have become my kids.



I can still recall how upset & jealous I was when I saw photos taken on Monday (July 11th). I didn’t  like the fact that I was not part of it.


Long time life experience has taught me that whatever God allows me to go through must have good purpose. So my present job is given to me for good purpose.

I am happy that God has given me experience, intelligence & talents that make me able to do well in office work & teaching. Two different kind of works which is not related to each other.

But now I realize that I am a teacher. It is my call. I can’t deny it though for time being I am like what Farrell’s mother told him ‘Miss Keke is taking a leave from teaching’. I am just temporarily being released from my work as a teacher because God wants me to take a break, enjoy the ‘me’ time as much as learning lots of new things in the present job.

And when the time comes for me to take my work back as a teacher, it will go forever. I may also doing administration work or doing business but I will also teach. I feel the call in my heart that says I am a teacher. It’s a destiny. No one can escape from destiny.

Thursday, July 21, 2011

Kecerdasan / Multiple Intellegence

Kecerdasan ganda ada di dalam setiap diri manusia. Tidak percaya? Coba buat daftar dari hal-hal yang bisa anda lakukan dengan baik. Entah itu mewarnai, menari, memasak sampai menjadi pendengar yang baik. Semua itu adalah kecerdasan.

Tuhan mengaruniakan kecerdasan kepada setiap manusia. Tidak ada seorang pun dari kita yang terlahir tanpa kecerdasan walau tentunya tidak semua manusia memiliki jenis atau jumlah kecerdasan yang sama. Yang harus di ingat pula bahwa tidak setiap kecerdasan langsung muncul & berkilau sejak dari usia dini. Ada yang baru terlihat seiring dengan bertambahnya umur atau latihan.

Tidak cepatnya muncul kecerdasan dalam diri seseorang itulah yang membuat banyak dari kita merasa minder ketika melihat teman sebaya, orang-orang yang lebih muda dari kita atau anak kita tampil biasa-biasa saja, tidak langsung ‘berkilau’, tidak menonjol, tidak memiliki apa pun yang bisa dibanggakan.

Jadi jangan terburu-buru memvonis diri sendiri atau orang lain sebagai manusia tidak punya kelebihan apa pun sebelum mengerti bahwa Tuhan menciptakan kita semua dengan berbagai kecerdasan tapi di sisi lain Tuhan tidak membuatnya muncul keluar pada saat yang bersamaan di dalam setiap orang. 
Sebelumnya ketahuilah dulu bahwa para ahli telah menemukan 8 jenis kecerdasan yang Tuhan berikan kepada manusia. Saya membaca ini dalam buku “Born to be a Genius” (Adi W. Gunawan) yang mengupas tentang kecerdasan. Dia mengutip pendapat Howard Gardner tentang kecerdasan pada diri manusia yaitu;

Kecerdasan Linguistik, Kecerdasan Logika Matematika, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Visual-Spasial, Kecerdasan Kinestetik & Kecerdasan Naturalis.


Kecerdasan Logika Matematika tidak usah dijelaskan pun kita sudah mengertilah ya. Mereka yang bekerja di bidang yang berhubungan dengan angka, hitung menghitung pasti mempunyai kecerdasan ini. Kita membutuhkan orang-orang yang memiliki kecerdasan ini untuk menciptakan pesawat, jembatan, gedung, komputer, perekonomian dll. Teknologi yang kita nikmati dan yang kita  manfaatkan saat ini adalah merupakan hasil dari kecerdasan ini.

Kecerdasan Intrapersonal adalah mereka yang bisa mengerti tentang perkara kejiwaan, emosi dan rohani dalam dirinya atau orang lain. Mereka yang bekerja sebagai pelatih, konselor, filsuf, psikolog, guru, pendeta, ulama memiliki kecerdasan ini. Boleh jadi mereka tidak menonjol, tidak terbang ke bulan, tidak menciptakan mesin super canggih tapi kepada merekalah orang-orang yang terkenal, yang terbang ke bulan, yang menciptakan mesin-mesin canggih, bahkan para pemimpin dunia datang untuk mencari bimbingan, nasihat dan kedamaian.


Kecerdasan Interpersonal ada miripnya dengan Intrapersonal. Seorang Intrapersonal rasanya sulit dibayangkan untuk tidak otomatis memiliki kecerdasan Interpersonal karena 2 kecerdasan ini membuat mereka yang memilikinya menjadi orang-orang yang bisa bergaul, bahkan selalu ingin bergaul, ingin berinteraksi dengan manusia, ingin menjalin komunikasi, ingin menolong, bisa menjadi sosok yang menyenangkan & dapat diandalkan. Juga bisa memimpin.

Kecerdasan musikal juga tidak perlu dijelaskan. Walau saya bukan penyanyi atau pemain musik, tapi saya bersyukur Tuhan menciptakan orang-orang dengan kecerdasan ini karena telinga saya terhibur menikmati karya-karya musik & suara dari mulai yang setengah klasik seperti Kenny G & Il Divo, yang ringan seperti Celine Dion & Britney Spears, sampai yang gombrang gambreng seperti Jon Bon Jovi, Pitbull & Lady Gaga.

 Kecerdasan Visual-Spasial adalah mereka yang suka dengan grafik, peta, diagram, permainan seperti puzzle & rubiks. Tapi saya pikir lumayan terjamin kalau kita bepergian bersama orang-orang yang memiliki kecerdasan ini. Kemampuan mereka membaca peta & menemukan arah setidaknya bisa membuat kita tiba di tujuan lebih cepat & mudah-mudahan tanpa harus…. kesasar. Hehe. 

Kecerdasan Kinestetik adalah orang yang senang bergerak & bekerja fisik. Olahragawan, penari & para tukang adalah contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan ini. Asal bukan tukang copet ya. Hehe.


Kecerdasan Naturalis adalah mereka yang senang dengan alam. Entah itu hewan atau tumbuhan.


 Nah, setelah membaca penjelasan di atas itu pertanyaannya adalah kecerdasan apa saja yang anda miliki dalam diri anda? Jangan heran kalau ada lebih dari satu kecerdasan yang anda temui dalam diri anda. Tapi juga jangan menjadi cemas atau minder kalau merasa hanya menemukan satu kecerdasan saja.

Sebetulnya kita memiliki setiap kecerdasan itu. Hanya saja takarannya beda-beda. Misalnya saja mungkin kecerdasan linguistik dalam diri anda hanya 20%, tapi di sisi lain kecerdasan naturalis anda 60%, lalu masih ada kecerdasan musikal sebanyak 10%, kecerdasan logika matematik 5%, kecerdasan interpersonal dan intrapersonal 5%.

Masalahnya kan kita tidak pernah menelusurinya satu persatu. Menghitung persentasenya. Siapa juga yang mau repot-repot menganalisanya? Betul tidak?

Alasan lainnya mengapa kita tidak pernah menelusuri kecerdasan-kecerdasan yang kita miliki adalah karena selama ini kita lebih sibuk menelusuri kecerdasan orang lain. Kita mau membuang waktu untuk mengamati, mengakui, memuja atau mencemburui kelebihan-kelebihan dalam diri orang lain sampai kelebihan (kecerdasan) dalam diri sendiri luput diperhatikan, diakui dan disyukuri.

Sebaliknya, jangan pula menjadi seorang yang lebih cenderung memuja dan mengagungkan kecerdasan / kelebihan dalam diri sendiri sampai akhirnya kita menjadi contoh nyata dari peribahasa yang mengatakan ‘Kuman di seberang lautan terlihat jelas (tapi) gajah di pelupuk mata tidak terlihat sama sekali’.

Tuhan menciptakan segala sesuatunya untuk keharmonisan dan keseimbangan. Oleh karena itulah masing-masing kita tidak diciptakan dengan memiliki kecerdasan, kemampuan & kelebihan yang sama. Maksudnya supaya ‘Kelebihan dalam diri seseorang bisa menutupi kelemahan (kekurangan) dalam diri orang lain’.
___________________________________________________________________


Each of us has multiple intelligence. You don’t believe it? Try make a list of what you can do. From coloring, dancing, cooking to become a good listener are intelligence. Each of us are born having multiple intelligence. God gives it to us.



But please noted that each of it may develop or discover differently in every man. For some people their abilities (intelligence) may shine from early age while for others those abilities, talents or intelligence may remain undiscovered for many years & just come to surface after being trained or be in the right place and at the right time.


Therefore I urge you not to blame yourself, your kids or other people for not having shining talents or abilities. It can create low self esteem.

Experts have discovered there are 8 kind of intelligence. Adi W. Gunawan in his book Born to be a Genius quoted Howard Gardner’s discovery on human’s intelligence. They are;

Linguistic intelligence; mathematic intelligence; Intrapersonal intelligence; Interpersonal intelligence; Musical intelligence; Visual-Spacial intelligence; Kinesthetic intelligence; Naturalist intelligence.



Writers, orators, journalist, salesman, interpreters are those who have linguistic intelligence.


Mathematic intelligence are the people who enjoys working with numbers or calculation. We owe today’s modern and sophisticate technology to them as they invented many useful stuff such as aeroplane, bridge, building, computer & other gadgets.

Intrapersonal intelligence and Interpersonal intelligence are I think alike because they are about the ability to manage emotion, spiritual and mentality. The counselors, trainers, teachers, pastor or other spiritual leaders are those who have these kinds of intelligence. They may not be smart people or outstanding but they are needed and sought for by lots of people for advice or solace.

Musical intelligence is needless to be explained. Though I may not a singer & can’t play any musical instrument but I am glad God creates people with that intelligence as my ears enjoy listening to half classical music of Kenny G & Il Divo, the easy listening pop music of Celine Dion & Britney Spears, to the loud ones of Jon Bon Jovi, Pitbull & Lady Gaga.

Visual-Spacial intelligence is those with 3D’s brain that enjoy & like diagram, map, chart. You know you can rely someone with this kind of intelligence when you go camping or have to find direction. He / she can minimize the risk of being lost so you can be sure you’ll get to your destination safe and quick. Lol.

Atheletes & dancers are few of people with Kinesthetic intelligence. They like to make physical activities. Although let’s hope that pickpocket is not among people with this kind of intelligence. Lol.

Naturalist intelligence are easy to recognize because it is related to nature of animal or plants.

Now after read the above explanation about intelligence the question is have you recognize your own intelligence(s)? Don’t worry if you find more than one intelligence but don’t get anxious if it seems every abilities is so regular. Nothing outstanding.

The truth is we all have combination of intelligences. Each of them has different scale. For example you may have 20% of linguistic intelligence, 60% of Naturalist intelligence, 10% of musical intelligence, 5% of mathematic-logical intelligence and 5% for interpersonal- intrapersonal intelligence.

The thing here is we never really make a measure our own abilities, talents and intelligences. We don’t want to bother ourselves measuring and analyzing them, right?

The reason why we don’t do that is because most of the time we are too busy measuring and analyzing, adoring and envy at other people’s abilities, talents and intelligences that we failed to see our own abilities, talents and intelligences. We failed not only acknowledging them. We also failed to thank God for them.

But in other side don’t let the knowledge of our abilities, talents and intelligences make us feel so superior making us easy to critize or degrading other people. There is a saying in my country that says ‘a flea across the ocean is visible while the elephant before your eyes is completely invisible’. It means don’t be a person who easily recognizes other people’s imperfections while fail to recognize and admit your own imperfections.

Remember that God creates everything for making a harmony. Everything is equal. It is why He doesn’t create us with same abilities, talents & intelligences so “your abundance may supply their lack and vice versa”. 

Monday, July 18, 2011

Kunjungan / Visit

Ada berbagai macam kunjungan. Saya sedang berpikir-pikir tentang kunjungan-kunjungan yang saya temui dalam 2 minggu terakhir ini sejak saya mulai bekerja di gereja pada hari Jumat (1/7). Sambil iseng-iseng saya memikirkan kunjungan-kunjungan yang saya terima atau yang saya lakukan. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa kunjungan pun bisa dibedakan dalam berbagai jenis.

Ada kunjungan yang menyenangkan; kunjungan yang diharapkan; kunjungan yang tidak diharapkan dan kunjungan yang tidak menyenangkan.

Kunjungan yang menyenangkan adalah ketika hari Kamis (7/7) tiba-tiba muncul Nico.

“Wah, Nik, tumben nih” saya senang melihat muka kecil yang sudah saya kenal itu tiba-tiba mengintip dari balik pintu ruangan TU (Tata Usaha). Ruang kerja saya yang sementara itu sudah saya juluki ‘kandang’. Bukan karena mirip kandang yang bau, kotor atau berantakan. Hm. Biar pun saya tomboy tapi saya senang bebenah, lho. Jadi ruangan di mana pun saya berdiam pasti bersih, rapi dan jelas-jelas tidak akan bau.

Saya menjulukinya ‘kandang’ karena disitulah menghabiskan sebagian besar kerja saya dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Tidak seperti saat menjadi guru TK yang membuat saya harus kasak kusuk ke sana kemari, di tempat ini saya lebih banyak ‘ngedon’ dengan manisnya di dalam ruangan.

Hari Kamis itu Nico pun menemani saya selama Martha, neneknya, yang bekerja sebagai koster gereja membersihkan ruangan ibadah, ruang konsistori, ruang wanita, wc dan juga kandang… eh, maksudnya ruang TU.. hehe.

Kami mengobrol. Bernyanyi. Bercanda. Bermain game di komputer. Semua itu berlangsung sambil saya tetap duduk manis di kursi saya. Sibuk mengerjakan beberapa pekerjaan. Nico duduk di depan saya. Menghadapi komputer.


Biarpun cuma seekor… eh, seorang… dan yang seorang ini pun kecil mungil. Hehe. Tapi kehadiran Nico sejenak bisa mengusir kekangenan saya pada anak-anak itu. Saya menyukai tempat di mana saya bekerja sekarang ini. Tapi rasanya kebahagiaan saya akan lebih lengkap kalau saya bisa membawa anak-anak itu berikut emak-emaknya ke sini. Hehe.


Pertemuan lain yang menyenangkan adalah saat saya bertandang ke sekolah hari Rabu (13/7).


“Bu, aman” teteh menelpon saya sekitar jam 10.45 Rabu pagi, mengisyaratkan bahwa kepsek pergi. Jadi segera ‘terbang’lah saya segera ke sekolah. Di sana saya bertemu Yohana dan anaknya, teteh, wali kelas TK B serta suaminya yang sedang bebenah ruangan kelas.



Kami mengobrol sambil tetap kasak kusuk. Berfoto. Makan. Bercanda.



Sungguh suatu kunjungan yang menyenangkan bagi semuanya walau saya tidak bisa berlama-lama di sana karena harus berkunjung lagi ke rumah Evelyn.

“Bu, mau ke sini jam berapa? Semua sudah ngumpul nih” begitu kata Ogut saat menelpon saya.

Ok. Ok. Saya ke situ. Kembali ‘terbang’lah saya menuju rumah Evelyn di mana sudah berkumpul emak-emak mantan murid saya. Ada Gege (Grace) dan anaknya Manuel, mamanya Stevany dengan Stevany serta adik bayinya yang ndut banget, lalu Ogut minus Nico, Apin minus Justin & Chelsea, Jhunsan dan nyokapnya, tak ketinggalan Kim serta emaknya.
With the moms of Kim, Justin, Stevany, Nico & Evelyn
With Grace & Nico's mom
Saya tinggal lebih lama di sini karena suasana lebih ramai dan tidak terganggu dengan kesibukan harus merapikan ruangan seperti di sekolah tadi. Jadi kami bisa berkonsentrasi pada satu dengan lainnya dan tentunya pada makanan minuman yang terhidang. Kalau sudah ngumpul dengan emak-emak, urusan logistik terjamin dah.. hehe.



Nah, kunjungan yang tidak saya harapkan dan tidak menyenangkan adalah kunjungan om tante saya (adik-adik bokap) di rumah sakit saat bokap di rawat dari hari Selasa sampai Jumat (5-8/7). Dasar apes, kebetulan hari Kamis (7/7) itu saya juga sedang menengok bokap.


Terus terang saja hati saya sudah beku terhadap kakak dan adik-adik bokap. Ini bermula setelah melihat dan mendengar reaksi mereka terhadap bokap saat bokap sakit serta harus operasi prostat tahun lalu.

Sulit bagi saya untuk melupakan (apalagi memaafkan) bagaimana bantuan yang mereka berikan disertai dengan kecurigaan dan penghinaan terhadap bokap. Sejak itu pula hati saya beku terhadap mereka. Bukan berarti saya tidak mengenal bagaimana adat keluarga bokap tapi tidak pernah saya duga bahwa mereka bisa bersikap dan berkelakuan demikian terhadap saudara sekandung mereka sendiri seperti itu pada waktu saudara mereka itu sedang sakit dan membutuhkan bantuan mereka.

Setelah bokap sembuh dari prostat, mereka pernah datang mengunjungi kami di rumah. Saya memilih untuk pergi sehingga tidak harus bertemu dengan mereka. Tapi kunjungan di rumah sakit itu di luar dugaan. Jadi saya tidak bisa menghindar.

Sebetulnya bukan mereka saja yang saya hindari. Saya tidak lagi mencantumkan nama keluarga bokap. Syukurlah di akte lahir yang tercantum hanya nama saya. Tidak ada nama keluarga bokap. Tapi dulu saya pernah membubuhi nama itu dibelakang nama saya.

Segera setelah saya mengetahui bagaimana hati mereka terhadap saudara kandung sendiri, saya membuang nama keluarga bokap supaya saya tidak lagi ada kaitan dengan mereka.

Sejak itu pula semakin yakinlah saya untuk memproklamirkan nama Keke Muliawati Yohanes sebagai nama saya. Itu adalah gabungan dari 2 nama saya dan nama bokap (bukan nama keluarganya, lho). Itulah yang menjadi nama saya sampai saya mati.

Bagaimana dengan kunjungan-kunjungan yang anda terima atau yang anda lakukan?

Saya harap kunjungan-kunjungan yang anda lakukan atau yang anda terima adalah kunjungan-kunjungan yang menyenangkan dan diharapkan.

Harapan saya jangan sampai kunjungan anda kepada orang lain atau kunjungan orang lain kepada anda menjadi sesuatu yang tidak diharapkan dan tidak diinginkan sampai-sampai anda atau orang yang anda kunjungi memilih untuk menghindari pertemuan itu.
__________________________________________________________________


I was thinking about the visits I made and received in the past 2 weeks that at the end I could sort them in some types of visits.


There is the kind of visit that pleasant and there is the unpleasant one. There is the kind that you look forward while there is other that you prefer to void.

The pleasant visit example is when Nico came on Thursday (July 7th).

“Hey, what’s up, Nick?” I was surprised to see his tiny face peeking to my room. He came in, full of smile, to the room that I have dubbed ‘pen’. Not because it is dirty, messy or smelly like a chicken pen but because I spend most of my working time in there unlike  my former job as kindergarten teacher that made me moved around. Well, ‘pen’ in English can also be referred as a playground. The room however is my playground and my workplace at the same place.

So Nico accompanied me while waited for his grandmother cleaned the rooms as she works as church cleaners. We had fun. He played games on the computer as we chatted, sang, joked & took photos.

The pleasant visit I made when I went to see the cleaning lady, Yohana and B class teacher in school on Wednesday (July 13th).

“It’s clear here” the cleaning lady called me that Wednesday morning. A hint used to say that headmaster isn’t in school so it’s safe for me to visit them there. Well, I don’t want to meet headmaster so I’ve asked them to call me if she is not in school on Wednesday.

I went there and met them. We talked, joked, ate as we moved around, tidying the classrooms. It was nice to meet them though I couldn’t stay long because…

“Where are you?” Nico’s mother called me on my cellphone “We are already here”

Ok. Ok. I’m coming. And off I went to Evelyn’s place where the moms of Nico, Kim, Justin, Manuel, Stevany and Jhunsan have gathered that afternoon. Another pleasant visit. This time I stayed longer because we didn’t have to do anything but chat, joke and eat. It’s good to be together with them again.



The visit that I didn’t expect came on Thursday (July 7th) when I was in the hospital. Visiting my dad who was hospitalized for hernia surgery.


The visit was made by my dad’s brother and sister. Unfortunate thing for me that I was there. I was not keen on meeting my dad’s siblings after I saw and heard how they thought and treated their own brother when he was sick of prostate last year and needed their financial help as he had to have prostate surgery.


I was stunned to see how they gave help but with lots of suspicion and how they said mean things to my dad. I just can’t get it how could they become so hostile and mean toward their own brother. It is unforgettable and unforgiven for me. It is why I decided I didn’t want to meet them. I don’t want to have anything to do with them anymore. I even got rid my dad’s family name and fixed on Keke Muliawati Yohanes which 2 are my names and one is my dad’s first name. It is and will always be my name until the day I die.


How about the visits you make or receive? Are they the pleasant ones? Or the ones you wish not to make or to have? Well I hope the people who visit you make you happy and the people whom you visit don’t find your visit annoying.