Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, December 16, 2011

Kecoak vs Keke / Cocroach vs Keke

Kaki-kakinya yang kurus panjang…
Suara kepak sayapnya yang khas…
Warna coklat itu…
Hiiiiiiyyyy….



Dan kaburlah si Keke jauh-jauh sambil berteriak antara panik, jijik serta takut. Hehe.

“Yah, non Keke kok malah ngacir” mahluk kecil itu terheran-heran “Kan ekke cuma numpang lewat. Non! Tunggu dong”


Eh? Kok? Tu kucrit malah terbang nyamperin gue!!?? Oh no! Mama! Papa! Toloooonggg!!

Begitu yang terjadi setiap kali saya bertemu pandang dengan mahluk itu. Berjuta rasanya deh. Langsung histeris. Apalagi kalau dia memutuskan untuk ngintilin saya. Mimpi buruk asli dah. Hehe.

Sekian puluh tahun sudah berlalu tapi saya belum juga bisa berdamai dengan hewan yang bernama kecoak.

“Yang perlu ditakuti adalah ketakutan itu sendiri” kata orang. Tul banget! Setuju seratus persen.

Lantas kenapa masih takut juga sama kecoak?

“Takut itu ngerepotin diri sendiri” kata bu Martha, koster gereja.

Yaaa.., itu ekke juga tahu, coy.

“Buat ngilangin takut, adepin sumber takut itu”

Maksud loh??

Tapi karena menginsyafi bahwa pendapat-pendapat di atas itu benar semua, saya bertekad untuk memerangi (baca : setidaknya mengurangi) fobia kecoak yang entah sejak kapan menghinggapi saya.

Hadapi kecoaknya. Tapi bro, …. mmmm…. berhubung belon kuat mental ngadepin yang masih segar bugar, boleh kan latihan mental pake kecoak yang sudah almarhum? Hehe.

Beneran, saya pernah latihan memegang sungut kecoak (yang sudah tewas dong). Sambil tentu saja rame ber-hi-hiy-hi-hiy sendiri dan entah berapa kali kecoak keparat… eh, malang itu …, terjatuh. Kayaknya di alam baka para kecoak, dia pasti sudah mengurut-urut dada melihat betapa jasadnya dizholimi sama saya. Hehehe.

Terus gimana hasilnya? Yah, sedikit lumayanlah.

Masih memilih lebih baik mengambil langkah seribu kalau melihat ada kecoak tapi setidaknya sesudah latihan itu saya bisa lebih tahan berhadapan dengan sang kecoak. Terlebih lagi kalau di tangan saya ada sapu, sandal, tepokan laler atau semprotan obat nyamuk (ih, curang, kata kecoaknya, ga seru, ah). Hehe.

Anda punya fobia tertentu? Jangan khawatir. Anda tidak seorang diri. Setidaknya anda sekarang tahu bahwa si Keke yang sehari-hari kelihatan kalem, mantap dan pede bisa langsung lemas atau malah lari tunggang langgang karena seekor kecoak yang ukurannya cuma sejempol.

Lantas apa fobia atau ketakutan itu harus terus di pelihara? Ya jangan dong. Rugi atuh. Kayak yang di bilang bu Martha, takut itu bikin repot. Ngerepotin diri sendiri. Ngerepotin orang lain juga.

Kok bisa ketakutan atau fobia pribadi bisa ngerepotin orang sekampung? Ya iyalah. Contohnya nih, bokap pernah harus ninggalin masakannya dulu karena harus nguber-nguber kecoak yang me-nongol-kan diri di depan saya. Untung masakannya ga jadi gosong.

Atau pernah kejadian, nyokap (tahun ini genap berumur 77 tahun) yang udah kebelet pipis harus keluar dulu dari kamar mandi karena saya histeris melihat ada kecoak berkeliaran di lantai. Nah, patut di akui. Nyali nenek-nenek umur 77 tahun lebih gede dari pada anak muda umur 40 tahun. Memalukan. Hehe.  

Lantas dari mana sumber ketakutan itu? Ada banyak sebab. Mungkin pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu yang demikian membekas sehingga menimbulkan ketakutan atau fobia yang berkepanjangan.

Bisa juga pengaruh dari apa yang kita lihat atau dengar. Contohnya anak-anak dan bahkan juga orang dewasa banyak yang jadi takut gelap atau takut jalan sendiri pada malam hari karena bertaburnya tayangan di televisi tentang kriminalitas atau tentang hal-hal yang berbau mistis.

Atau mungkin pula karena ulah orang-orang di sekitar kita yang menakut-nakuti kita entah untuk bercanda atau untuk memaksa kita melakukan sesuatu, misalnya, seorang anak yang tidak mau makan atau tidur akan ditakut-takuti dengan ucapan ‘awas nanti ada badut atau orang gila atau kecoak datang’ dengan harapan anak itu akan melakukan apa yang diinginkan atau yang diperintahkan oleh orang tersebut. 

Ketakutan ditanamkan oleh diri kita sendiri dan juga oleh orang lain.

Ketika saya menjadi guru, saya menyadari betul-betul bahwa saya menjadi panutan bagi murid-murid saya. Karena itu saya berusaha sedapatnya menanamkan segala hal yang baik kepada mereka melalui perkataan dan terlebih lagi melalui perbuatan saya sehari-hari.

Tantangan yang paling berat adalah ketika seekor kecoak tiba-tiba muncul di dalam ruang kelas saya. Aduh mak! Persis lagi pada saat semua murid sedang berada di kelas. Wah, sontak kelas yang sedang tenang menjadi heboh. Murid-murid saya yang perempuan kontan menjerit. Ada yang langsung mengangkat kaki. Yang lain tanpa ragu berdiri di atas kursinya. (Ehem.., kalau tidak malu sih sebetulnya saya juga ingin berbuat seperti mereka. Hehe).

Menyadari bahwa ketakutan bisa menular membuat saya menabahkan diri dengan bersikap tenang. Saya tidak mau menanamkan rasa takut pada kecoak kepada anak-anak kecil itu. Aduh, jangan sampai deh mereka jadi seperti saya.

Murid-murid saya yang laki-laki sementara itu spontan pula mengejar si kecoak untuk menginjaknya.

Merasa nyawanya terancam, si kecoak sontak berlari… yah, saudara-saudara, coba tebak ke arah mana dia berlari? Mata saya melotot tak percaya. Betul sekali. Dia berlari menghampiri saya!

Bagaimana akhir insiden itu? Tidak happy ending untuk si kecoak tentunya karena nyawanya justru berakhir di bawah kaki saya. Bersoraklah murid-murid saya merayakan kemenangan kami sementara saya diam-diam masih merinding-rinding melihat bangkai kecoak itu dan teringat bagaimana tadi dia berlari penuh semangat menghampiri saya. Hehe.

Tidak mudah memang menghadapi ketakutan. Menghindar lebih enak dari pada harus menghadapinya. Tapi baik atau tidak dampaknya pada diri sendiri?
_________________________________________________________________________

Those long thin legs
The sound of its wings
That brown thumb size body..
Yikes!!


They are enough to make Keke, .. yes, me,.. running away frantically, while screaming out of disgust and fear.

“Why does she run away?” that creature must be wondering “I just happened to pass her. Hey, miss. Wait up will you?”

Whatta.. ??!! It flies to get to me?? Oh no! Mom! Dad! Help!

That’s what happen everytime our eyes met. Not to mention if it came to me. What a nightmare!

Many years have passed and I still can’t make peace with that specific creature. Cockroach.

“Fear is the one thing you must feared off” the saying said. I agree. One hundred percent.

“Fear gives nothing but trouble to ourselves” said Martha, church cleaning lady.

Man, I know that.

“Confront fear to beat it”

Umm.. meaning?

I agree with the above opinions. It is why I don’t want to indulge in my cockroach fobia. Confront it? Believe me, I have tried it by picking up a cockroach.

No, no, not the body of course. It was its antenna. And my guts wasn’t that much to make me confront an alive cockroach. A dead one of course. And so though there were many of ‘yikes’ and goose bumps, not to mention how many times it fell of my shaky fingers but my first physical contact with the cockroach went pretty smooth. Lol.  

Still prefer to get away the moment I see a cockroach but after the above training I think it doesn’t give me panic attact. Especially if I have sandal, newspaper or better, insect repellent in my hand (not fair, said the cockroach). Lol. 

Have any phobia? Don’t be ashamed. You are not alone. A thumb size cockroach is able to make calm and confident person named Keke to feel numb or get panic attact.

But should we indulge in that fear or phobia? Of course not. As Martha said it brings nothing but trouble to ourselves and also other people.

For example my dad had to leave his cooking on the stove because I screamed for him to get rid a cockroach.

Another time it was my 77 years old mom who had to rescue me from a cockroach. To her luck the timing came when she needed to go to the bathroom to pee. Well, I am telling you, a 77 years old has more guts than a 40 years old when it comes to cockroach. Shame on you, Keke. Lol.

And so where is this fear or phobia came from? What have started it? Well, it could come from traumating past experience.

Or it could come from the things we see or hear. For example many kids and also adults become afraid of the dark or to go out after dark after they watch news on crime or watching too many horror movies.

Sometimes it is the people around us that have instilled fear to certain object. I have seen many adults use this technique to force kids obey them. For example a kid would be threatened with animals or other terrifying objects to make him / her eat his / her meal or go to bed.

We or other people could instill fear to ourselves or to other people.

When I worked as kindergarten teacher I fully awared that I was a role model for the kids. It was why I really watched what I said or did. All because I wanted to instill good things in my students.

The hardest challenge came when a cockroach decided to appear in my classroom. Just its luck, it was when we were all inside. So you could imagine how in seconds there was chaos.

The girls screamed while the others spontaneously jumped to stand on their chairs and even on their tables. I can tell you that if I didn’t remember to behave calmly, I would definitely stood on my chair too. Lol.

The boys in the meantime chased the cockroach in effort to smash it under their shoes. Helplessly tried to save its life the unfortunate cockroach ran…. guess which direction did it go to? Yep, got that right. My eyes nearly popped out when I saw it came right to me.

What is the end to this story? Not a happy one for the cockroach as it died. Crushed under my shoes. The class cheered their victory while I still got goose bumps as I remembered how few seconds ago it ran right to me. Yikes! Lol.

It is not easy and definitely not fun to confront our fears or phobias. But what is left for us to keep it anyway?

Wednesday, November 30, 2011

Darah & Daging / Flesh & Blood

“Ke, ibu … semalem sms jam 11 minta besok pagi di jemput” begitu isi sms dari seorang anggota pengurus yang mengurusi segala tetek bengek mengenai pembicara (pengkhotbah) di gereja ini, tempat di mana saya bekerja sejak bulan Juli 2011.
Sms itu di kirim hari Minggu (16/10) jam 4.30 pagi. Saya baru membacanya sekitar satu jam kemudian.

Waduh duh duh duh!!

Jadi ibu yang akan berkhotbah di gereja kami hari Minggu itu mengirim sms jam 11 malam meminta supaya orang dari gereja ada yang menemuinya di satu titik pertemuan di Bogor, untuk kemudian orang itu menunjukkan jalan menuju gereja.

Si pembicara ini datang dari Jakarta dan untuk pembicara seperti beliau, kami menerapkan kebijaksanaan untuk mengutus satu orang menunggu di depan KFC dekat terminal Baranangsiang.

Orang utusan ini biasanya berkendaraan motor. Sementara pembicara selalu bermobil. Jadi setelah bertemu di depan KFC, si pembicara akan mengikuti orang utusan gereja dari belakang sampai ke gereja.

Tugas saya adalah menghubungi pembicara yang di jadwal akan berkhotbah di gereja pada hari Minggu berikutnya. Ini saya lakukan dengan cara mengirim sms meminta konfirmasi si pembicara apakah sudah menerima surat yang berisi :

Tema khotbah
Nats khotbah (ayat dari Alkitab yang akan di pakai sebagai referensi sesuai dengan tema)
Liturgi (susunan acara ibadah)
Peta lokasi gereja

Pengalaman bulan-bulan sebelumnya membuat saya mulai mengontak pembicara dari hari Senin. Jadi waktu yang tersedia cukup panjang untuk mematangkan semuanya. Hal ini penting karena mayoritas pembicara yang saya sudah kontak selama 5 bulan ini rata-rata tidak bisa cepat memberikan jawaban konfirmasi. Mungkin karena kesibukannya yang sejibun.

Nah, jadi si ibu pembicara yang membuat kehebohan itu pun sudah saya kontak sejak hari Senin (10/10). Konfirmasi terakhir pun menunjukkan semua ok. Si ibu tidak perlu penunjuk jalan.

Bayangkanlah bagaimana kagetnya kami semua ketika Sabtu malam jam 11 beliau mengirim sms meminta di jemput esok paginya.

Jam 11 malam, cing! Bukan hari Sabtu jam 11 pagi.

Orang yang dikiriminya sms itu sudah tidur pada waktu sms itu dikirimkan dan baru membacanya pada keesokan harinya jam 4.30 pagi. 

“Ga biasanya saya bangun langsung lihat hape” kata ibu pengurus itu pada saya setelah kehebohan pagi itu terlalui “Tuhan tahu ada sms penting”

Ya. Tapi jam 4.30 pagi itu saya masih tidur ketika dia bergegas mengirimkan sms kepada saya untuk menginformasikan permintaan mendadak itu.

“Saya juga mikir pasti si Keke masih tidur” dia tertawa geli sementara saya tersenyum kecut karena sepenuhnya pulih dari kekagetan dan ketegangan akibat kehebohan di pagi tadi.

Tidak ada yang menyalahkan saya tentu saja karena kami hanya akan mengutus orang utusan kalau si pembicara mengatakan bahwa dia tidak tahu atau tidak ingat jalan menuju gereja kami. Si ibu pembicara yang satu ini sudah pernah berkhotbah di gereja kami dan saat di konfirmasi, beliau meng-ok-kan semua. 

“Mungkin mendadak terkena serangan amnesia” teman saya yang mantan TU di gereja kami terkikik. Dia sempat ikut-ikutan senewen tadi pagi karena pada saat genting justru suaminya yang biasanya menjadi orang utusan (baca : penunjuk jalan bagi pembicara) sedang keluar kota.

“Kalau aja serangan amnesianya hari Sabtu pagi, si mas bisa ngundurin keberangkatannya” lanjutnya lagi “Kan si mas berangkatnya sore”

“Iye, serangan amnesianya datang jam 11 malem!” saya mesem-mesem asem. Hehe.

Dugaan saya, si ibu pembicara itu (saking sibuknya) baru betul-betul memikirkan rute menuju gereja kami pada hari Sabtu malam dan saat itu pula beliau baru menyadari bahwa  file tersebut sudah hilang dari memori otaknya. Jadilah beliau mengirim sms (bukan nelpon, coy!).

Nah, hal-hal yang saya tuliskan di atas itu bukanlah untuk mencela atau menjelekkan  siapa pun. Bukan pula untuk mengakui bahwa penganut agama atau keyakinan tertentu ternyata tidak becus atau lebih baik dari yang lain.

Ini menuliskan tentang pengalaman berharga karena sebelum saya bekerja sebagai TU gereja, saya hanyalah jemaat biasa yang cuma tahu hari Minggu pagi datang ke gereja, masuk, duduk, nyanyi, berdoa, mendengar khotbah lalu pulang dan hari Minggu berikutnya alurnya seperti itu lagi.

Sebagai jemaat biasa saya cuma tahu terima beres.

Saya duduk manis, mendengarkan dan merenungkan khotbah, terkesan dengan isi khotbah atau dengan pembicara (pengkhotbahnya).

Saya tentu saja tidak pernah tahu apakah pembicara itu tiba di gereja lebih awal, mepet-mepet atau malah terlambat sampai membuat para pengurus gereja keringat dingin & sakit perut.

Saya juga tidak tahu apakah pembicara tersebut orang yang disiplin atau yang model ‘ntar sok’ alias ntar dulu, ntar aja, ntar dong, ntar nape… alias senang menunda sampai detik terakhir.

Begitu pun saya tidak akan tahu apakah pembicara yang berdiri di atas mimbar itu adalah seorang yang hanya merasa cukup mengucapkan terima kasih melalui sms atau yang betul-betul menghargai orang-orang di belakang layar yang bekerja untuk membuat sekian puluh atau sekian ratus jemaat dapat mendengar firman Tuhan disampaikan setiap hari Minggu. Karena ini bidang rohani maka mayoritas dilakukan atas dasar pelayanan, sukarela, pengabdian. Jadi wajar kalau mereka sesekali mendapat pengakuan & penghargaan.

Kini rahasia-rahasia di balik layar itu disingkapkan oleh Tuhan kepada saya. Untuk apa? Supaya saya belajar seluk beluk tata cara kerja, manajemen dan organisasi gereja.

Bukan itu saja. Tapi supaya saya juga bisa melihat contoh-contoh karakter yang memperkaya pengalaman, kedewasaan dan kerohaniaan saya.

Yang saya pelajari adalah bahwa setiap rohaniawan tetaplah terdiri dari darah & daging. Sama seperti anda dan saya.

Kita semua adalah manusia. Dan sebagai manusia, tentu terdapat beragam sifat, pribadi serta kebiasaan.

Ada yang disiplin. Ada yang menunda.
Ada yang sabar. Ada yang penaik darah.
Ada yang murah hati. Ada yang perhitungan.
Ada yang rajin. Ada yang malas.
Ada yang teliti. Ada yang ceroboh.
Ada yang steril. Ada yang jorok.
Ada yang humoris. Ada yang serius
Ada yang yang tahu menghargai. Ada yang meremehkan.
… Dan banyak lagi. Tidak terhitung keanekaragamannya.

Boleh saja kita terpesona atau mengagumi seseorang, entah itu rohaniawan atau non rohaniawan. Tapi ingatlah selalu bahwa betapa pun kuatnya pesona yang memancar dari diri orang tersebut atau banyaknya hal-hal yang yang mengagumkan pada seorang manusia, tetap saja manusia. Darah dan daging.

Karena itu janganlah jadi melayang oleh keterpesonaan atau kekaguman kita pada seseorang. Tetaplah realistis. Karena itu ketika kita menemui kenyataan yang tidak sesuai dengan citra (yang kita bentuk dalam pikiran kita mengenai seseorang atau yang di bangun oleh individu tersebut), kita tidak akan terhempas dalam kekecewaan, sakit hati atau amarah.

Ingatlah bahwa manusia yang terdiri dari darah dan daging adalah mahluk yang (sebenarnya) mengecewakan. Karena cepat atau lambat seorang manusia akan mengecewakan dirinya sendiri atau orang lain dengan / melalui kelemahan & kekurangan di dalam dirinya. Jadi janganlah terlalu tinggi menilai seseorang atau diri sendiri.
_______________________________________________________________________

“Ke, Mrs. …. texted at 11 pm asking us to meet her & led the way to church” that’s the text I received at 5.30 am (Sunday, Oct 16th). It was sent at 4.30 am by a lady who takes care the stuff regarding preacher.

Oh boy!!!!

So the lady who was going to preach at the church that Sunday texted her asking that we sent someone to meet her at a specific meeting site in Bogor & from there led the way to the church.

She lives in Jakarta & so for the preacher who does not live in Bogor & does not know or does not remember the route to our church, a guy will be sent to meet the preacher at a meeting site & from there led the way to the church.
Our guy is riding motorcycle while the preacher drives his / her own car.

My part in this procedure is to contact the preacher & asked him / her 4 compulsory questions that needs to be confirmed. The question is regarding the letter from the church sent to the preacher. Inside is 4 attachments consisting of :

Theme of the preach
Reference of Verses from the Bible
The sermon’s Liturgy
Route map to the church

My previous experience shows that I need to contact the preacher from Monday because most of them need longer time to just give confirmation on receiving & understanding those 4 items.

So this preacher who panicking us on that Sunday morning has been contacted by me from Monday (Oct 10th). Final confirmation showed everything is ok. She didn’t need to be led the way to the church.

Imagine the chaos she created when on Saturday night at 11 pm she texted the church lady asking that tomorrow we send our guy to lead her the way to the church.

Saturday night at 11 pm!, people. Not Saturday morning at 11 am!

Our church lady was already deep in her sleep at 11 pm. She read it the next day at 4.30 am.

“It is not my habit to check my cellphone the moment I get up in the morning” she laughed “God knew there was an urgent text on it”.

Yeah. But I was still asleep at that hour when she hurriedly forwarded that text. I got up an hour later.

“I already thought you must be haven’t got up at that hour” she laughed while I just smiled sourly because I haven’t really got over the chaotic, nerve testing morning.

Nobody blamed me of course because we only send our guy if the preacher inform us that he / she doesn’t know or has forgotten the route to the church. This preacher has preached in our church before & she confirmed ok on everything.

“Maybe she suffered sudden attack of amnesia” the lady who was the former church administrator & who has been a good friend of mine, giggled. She too got nervous over this morning chaos because her husband is whom the church send to meet the preacher & lead the way to the church. The thing that made her nervous is her husband left out of town.

“If only this attack of amnesia came on Saturday morning” she went on “my husband left on Saturday evening”.

“Yep, just our luck that amnesia attack came Saturday night at 11 pm” I smiled in agony.

I assumed this preacher  just seriously thought about the route on Saturday night. I bet she must be a very busy person. And at that late hour she realized she has forgotten the route to our church. She texted our church lady. Text. Not phoned.

I do not write all this to discredit anyone or to say people of one religion is better / worst than the other religion.

This is about my experience before & after I work in the church. How back then as a church goer I came, sat, prayed, sang & listened to the preach everyweek. Then I left & the next Sunday it all went the same procedure.

I never knew what went on behind the curtain.

I sat on the seat like a good Sunday school girl, listened to the preacher. Sometimes it was the preacher who impressed me. Another time it was the word of God that impressed me.

I surely didn’t know if the preacher came early, on time or late which made the church administrator got cold sweat.

I certainly didn’t know what type the preacher was. Is he / she a disciplinarian person or a ‘later…’ kind a person. Delaying things until the last minute.

I couldn’t tell if the preacher is a person who thought it would be enough to text his / her thank you to the people who gave the best to bring a preacher to the stand to deliver the word of God to congregation every Sunday. Or the preacher is a person who needs to find those people, shook their hands & said thank you personaly.

God reveals those secrets that lied behind the curtain to me so I may learn about church’s organization, management & matters. A very valuable lesson indeed.
There is more than that. I need to learn about so many characters in the church because they may make me smarter, wiser & mature.

What I learn is every spiritual person is just flesh & blood. Just like you & me.

And like any other human being, there are varies of characters, personalities & habits.

There are the disciplinarian. Others are delaying ones.
Those who are patients. Others are short tempered.
The generous. The cheap ones.
The diligent. The lazy ones.
The thorough. Another is the clumsy type.
Meet the hygienic vs the sloppy.
Humourist. Serious.
Those who appreciates. Another keep belittling people.
…. And etc. So many varieties.

It is okay to admire or impressed at people. Any people. But always keep in mind that they are just flesh & blood. No matter how strong the appeal on a human or how many impressive stuff on a person, never forget that he / she is still a flesh & blood.

Don’t get too carried away by the admiration. Keep the feet on the ground. Be realistic. All this to prevent disappointment or anger when face the truth on the person / people we feel fond of or admire, adore or worship.

A flesh & blood human is actually a weak (disappointing) creature. Sooner or later a human will disappoint him/herself or others with his/her weaknesses & limitation. So don’t get overly valued yourself or other people.

Wednesday, November 23, 2011

Membaca? Pusingggg!! / Reading? So Frustrating!!

“Pa - eng - ku” dengan suara yakin bin lantang Dio membaca tulisan dibukunya. Begitulah aturan mainnya. Saya mendikte satu kata, anak menulis lalu membacanya. Tapi sore itu telinga saya langsung bergoyang mendengar Dio membaca kata itu.

“Ha? Apa?” tak tahan juga saya untuk tidak tertawa.

“Pa - eng – ku, bu Keke” Dio nyengir merasa pasti ada yang salah tapi belum menemukan di mana letak kesalahannya.

Jelas telinga saya tidak salah dengar. Tertawalah saya diikuti Dio walau dengan muka heran.

“Dio” saya tersenyum sambil menunjuk suku kata terdepan “Kalau ‘pa’ di tambah ‘ng’ bunyinya jadi bagaimana?”

“Pa - eng” jawab anak TK B yang sejak bulan September lalu menjadi murid les saya.

“Bukan, nak. Itu dibacanya ‘pang’. Jadi ini … ” Saya diam & Dio dengan gesit langsung menyambung dengan membaca kata itu “Pang-ku”.

“Betul. Pinter” saya tersenyum menatap bocah kecil yang lucu & menggemaskan itu “Bukan pa-eng-ku ya” kami berdua pun sama-sama tertawa.

3 bulan lalu emaknya yang stress karena melihat leletnya kemampuan membaca anak bungsunya ini teringat bahwa sekitar 5 tahun lalu si sulung Joan mengalami kemajuan pesat setelah belajar les membaca pada saya.

Joan, Keke & Doggie
Bahkan Joan lebih parah dari Dio karena dia tidak bisa mengingat huruf jadi kalau misalnya saya menyuruhnya menulis huruf ‘k’ maka dia harus mengurut dari huruf ‘a’ sampai akhirnya ketemu huruf ‘k’. Puyeng ga tuh? Emaknya sendiri sudah minta-minta ampun di suruh mengajarinya membaca hingga di “lemparlah” anak itu kepada saya. Hehe.

Lain lagi kasus yang saya hadapi dengan Raja (Yap, betul. Namanya Raja). Teman sekelas Dio ini membutuhkan waktu hampir sebulan hanya untuk mengingat huruf a-i-u-e-o!

Hal lain yang membuat rambut saya rasanya bertambah keriting adalah perkara huruf b yang dia sudah hafal tapi kalau sudah dipadukan dengan huruf hidup… wah, minta ampun. Untuk membaca satu suku kata saja bisa memerlukan waktu 2-3 menit! Masalahnya dia selalu lupa.

Maksudnya begini, dia akan mulai membaca dengan mengeja dulu. Misalnya saya menyuruhnya membaca ‘ba’ maka prosesnya dimulai dengan dia mengeja ‘b – a. ba’.

“Betul” kata saya “Jadi ini dibunyinya …” nah, mau saya langsunglah dia bilang ‘ba’ karena tadi toh sudah di eja & di baca. Tapi setiap kali pula dia akan mulai lagi dari proses awal yaitu… mengejanya ‘b – a. ba’… aduh mak!!! Cape deh ekke… hehe.

Ceritanya lain lagi dengan Reval. Anak kelas satu SD ini belum bisa membaca dengan lancar. Sampai terbingung-bingung saya memikirkan bagaimana dia mengerjakan ulangan kalau dia tidak bisa membaca soalnya?

Reval hampir mirip dengan Joan. Sulit mengingat huruf. Awalnya dia bahkan tidak bisa mengetahui mana huruf h, r, m & s. 4 huruf itu yang menurut saya paling mudah untuk di ingat & dibedakan dari huruf-huruf lainnya karena bunyinya yang unik.

Jadilah saya harus mengajarinya lebih dulu untuk mengenali bunyi 4 huruf itu & beberapa huruf lainnya.

Kemampuannya sudah membaik sih tapi jangan heran kalau kadang anda masih bisa mendengar saya mengucapkan ‘rrrrrrrrrrrrrr ra’ macam suara geraman anjing saking panjangnya huruf r karena Reval belum bisa menemukan huruf apa sih yang membuat lidah bergetar seperti itu.

Atau di saat lain saya tentunya terdengar seperti ular yang sedang mendesis-desis ketika mendikte ‘sssssssssss sa’. Atau ber-‘hhhhhhhhhh ha’ seperti orang kepedasan. Hehe.

Dalam pengalaman saya mengajar membaca biasanya kira-kira 2-3 bulan anak-anak itu  sudah mengalami kemajuan pesat. Senang. Lega. Bersyukurlah saya.

Apakah saya yang hebat? Tidak.

33 tahun yang lalu atau tepatnya pada waktu umur saya 7 tahun, saya adalah Joan, saya adalah Dio, saya adalah Raja, saya adalah Reval, saya adalah…. (dan banyak lagi nama mantan murid saya yang memulai kehidupan pendidikan mereka dengan terbentur pada hal …. membaca).

Sekian puluh tahun kemudian setelah istilah dyslexia mulai sering terdengar, saya bertanya-tanya apakah mungkin dulu saya pernah menderita dyslexia ringan. Saya sih belum pernah dengar ada tingkatan berat-ringan dalam dyslexia jadi saya tidak tahu apa dugaan saya itu benar atau salah.

Yang jelas saya sempat membuat orang tua saya stress karena saya sulit belajar membaca. Saya sendiri juga ikut stress lho. Rasanya lebih malu-maluin karena tidak bisa membaca dari pada tidak bisa mengerjakan soal berhitung.

Dan tahun 1978 itu amat sangat berbeda dengan jaman sekarang. Pada waktu itu anak baru diberikan pelajaran membaca di kelas 1 SD. Jadi kalau dibandingkan dengan sistem pendidikan sekarang yang menentukan anak sudah harus bisa membaca saat mereka masuk SD tentunya saya ketinggalan jauh sekali karena baru belajar membaca di usia 7 tahun.

Ada untungnya juga ya jadi produk jadul. Hehe. Kalau tidak, waduh!... dulu saja saya sudah stress apalagi kalau baru masuk SD sekarang dengan membawa masalah dalam hal membaca.

Tepat di saat ibu saya sudah kriting karena bolotnya saya dalam belajar membaca, ayah saya menghujani saya dengan komik Tintin. Percaya atau tidak, saya mulai bisa membaca! Dan itu juga yang mengawali kecintaan saya pada komik (kecuali komik-komik Jepang). Dengan berlalunya waktu, bukan hanya komik yang saya gandrungi tapi juga buku-buku cerita. 

Nah, jadi kebayang ga kalau orang yang dulunya susah membaca sudah menjadi seorang kutu buku. Bahkan kegandrungannya membaca melahirkan hobi menulis.

Hidup Tintin!

Tentu saja kasus saya tidak bisa disamaratakan ke semua anak. Ada kasus-kasus yang sama atau hampir mirip tapi ada juga yang berbeda.

Dalam kesemuanya itu yang bisa saya katakan adalah saya bersyukur saya terlahir dengan memiliki begitu banyak kelemahan & kekurangan karena saya jadi bisa berempati dengan anak-anak yang memiliki kelemahan & kekurangan yang sama. Hal tersebut memudahkan saya untuk menangani anak-anak itu.

Seperti yang saya tulis di  atas tadi, saya tidaklah hebat. Pengalaman-pengalaman saya di masa lalu membuat saya bisa menolong anak-anak itu. Dan saya bersyukur karenanya.
________________________________________________________________

“Pa - eng - ku” Dio spelled the word. Loud & clear. That is how it goes, I dictated a word, the boy wrote it & then read it. But something was not right.

“Huh? What’s that again?” I hardly kept myself not to laugh. 

“Pa - eng – ku, miss Keke” Dio grinned. Sensing a mistake but he didn’t know it yet what was it.

In the meantime I knew it for certain that I didn’t mishear anything so I laughed. This made Dio laughed too though he clearly looked puzzled.

“Dio” I pointed the word “How do you read “pa – ng?”

“Pa - eng” said the kindergarten boy who is under my reading tutoring since September.

“No, kiddo. It is read ‘pang’. So the whole word is read…” I stopped & Dio read it oud loud “Pangku” (in English the word means sitting in one’s lap).

“Correct! Atta boy!” I smiled to this funny boy “So it is not read “pa - eng - ku”. And we both laughed.

3 months ago his mother, frustrated at his reading skill, got the idea to put him under my reading tutoring. She remembered that about 5 years ago her eldest child, Joan, had the same problem & she made impressive progress after I tutored her.
Hugging Joan (now is a bright 5th grader)
 Joan’s learning problem was actually worst than Dio because she couldn’t remember letters so if for example I asked her to write the letter ‘k’, it would take a while for her to go from ‘a b c d e’ until she found that ‘k’. Frustrated by this made her mother decided to enroll her in my reading tutoring.

Raja is a different case. It took me nearly a month to make him remember vocals (a i u e o). It almost made me lost my sanity.. lol. 

Another thing that made me nearly insane is the letter b which he has come to know very well but when I add it with one vocal… now, that’s when challenge came. The process would go when he spelled it (for example) ‘ba, b – a, ba’.

“Good” I asked him “So how do you read it?”

And he would go back from the ‘ba, b – a, ba’ when I wanted him to say it ‘ba’ because after all, he has spelled it before. So the whole thing could go for 2-3 minutes to read 2 letters. Sigh….

Reval is another story. This first grader gave me quite a puzzle to think how did he do his test or exam when he couldn’t read well.

Reval has similarity with Joan. Have problem to remember letters. At first he couldn’t remember h, r, m & s. And I think those letters are the easiest ones to remember because of the unique pronounciations.
So I had to teach him first how to pronounce those letters.

He has made good progress so far though he made me sound like a dog growling when I pronounced ‘rrrrrrrrrrrrrr ra’because he couldn’t tell which letter that makes the tongue vibrates like that.

Or other times I must be sounded like a snake hissing when I pronounced ‘sssssssssss sa’ or like someone who has just ate too many chillis when I pronounced hhhhhhhhhh ha’.

In my tutoring experience it usually takes about 2-3 months for the kids with reading skill problems to make progress. I am happy. Glad.

So is it because I am so mighty in teaching? Not at all.

7 year old Keke in 1978
33 years ago when I was 7 years old, I was Joan, I was Dio, I was Reval, I was Raja, I was … (I can fill it with names of my former students who started their education by getting frustrated with their reading problems).

Years after that the name of ‘dyslexia’ has become well known as reading handicapped. I don’t know if there is light dyslexia but if there is then I probably had it when I was 7 years old.

One thing for certain I drove my parents nuts over my reading problem. I got frustrated as well. It seemed so shameful not able to read than not able to do math.

Plus in 1978 reading lesson was given to first grader. So much different with today’s progressive education system that requires first grader to be able to read. I would be so left behind on it if I were to be compared with today’s first graders.

Boy, how am I glad to be a senior generation. With my reading problem I’d be so very stressed to enter first grade.

Back in the past, just when my mom felt so desperate dealing with my reading problem, my dad bought me Tintin comic books. Believe it or not it helped me improve my reading skill! It was also the beginning of a lifetime passion over comic books (except Japanese comic books).

Later it led me to be a bookworm. And the love of reading eventually led me to become a writer.

Long live Tintin!

Of course you can’t apply my case to all children with reading disabilities. There are cases that similar with mine but others are different. In conclusion I can say I am happy I was born with weaknesses & disabilities because it makes me able to understand & emphatised to children born with same disabilities. Makes it easier to handle them too.

As I wrote it earlier, I am not so mighty in teaching. My past experiences make me able to help children with reading problems. For that I am glad & thankfull to God.

Monday, November 21, 2011

Nek Lampir / The Witch

Saya & Teteh
Saya sulit menahan senyum setiap kali mendengar kata ‘Nek (Nenek) Lampir’ karena teringat kembali pada nama julukan yang teteh berikan kepsek. Sadis betul ya julukannya. hehe. Makanya jadi orang itu jangan nyebelin dong.

Jadi, ceritanya begini, dari tahun 2005-2011 saya bekerja sebagai guru TK. Jumlah gurunya tidak pernah lebih dari 3, maksimal 4, karena Taman Kanak-Kanaknya tidak besar. Nyempil di gang kecil, di belakang rumah orang.

Tapi justru di tempat super sederhana itulah saya menemukan jati diri saya sebagai seorang guru. Mungkin saat ini saya bekerja tidak sebagai guru karena bulan Juli 2011 saya mengundurkan diri dari sekolah itu untuk bekerja sebagai tenaga tata usaha di gereja tempat saya beribadah. Tapi saya tahu saya adalah seorang guru. Suatu hari nanti saya akan kembali mengajar di sekolah. Tidak hanya mengajar les.

Nah, di sekolah itu tenaga intinya adalah kepsek, 2-3 guru yang membawahi kelas TK A, B & Playgroup, lalu tentunya ada teteh yang bekerja sebagai tenaga kebersihan.

Keprihatinan biasanya membuat orang kompak. Bersatu oleh rasa senasib sepenanggungan. Itulah yang terjadi pada kami. Sayangnya melalui hal-hal yang terjadi selama 6 tahun saya bekerja di situ, kepsek tertendang keluar dari ikatan persatuan itu.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ya, hasil perbuatan & kepribadiannya sendirilah yang membuatnya tidak lagi bisa kami jadikan figur simpatik. Sebegitu menyebalkannya beliau sampai dalam kekesalannya yang sangat besar membuat teteh menyebutnya dengan ‘Nek Lampir’ atau di singkat menjadi ‘Si Lampir’.

Bukan hal yang baik. Betul. Tapi di dunia ini ada banyak manusia yang membuat dirinya sendiri menjadi sosok ‘Nek Lampir’.

Mereka mengikuti keegoisan hati, kesombongan, hawa nafsu, iri dengki & kebodohan. biasanya mereka merasa berhak memperlakukan orang lain sekehendak hatinya.

Sampai saat ini kalau pun ada penyesalan yang saya rasakan maka penyesalan itu adalah karena harus meninggalkan sekolah itu. Setengah dari hati saya tertinggal di sana.

Bukan kecilnya gaji guru yang membuat saya memutuskan untuk keluar. Bukan beratnya tugas & tanggung jawab sebagai guru yang membuat saya berhenti. Bukan juga karena sekolahnya se-upil.

6 tahun saya menjadi anak buah, rekan sekerja, anak didik, orang kepercayaan & tangan kanan kepsek. Ini tidak berarti saya merasakan segala yang enak-enak. Justru banyak perlakuan & perkataan beliau yang membuat saya harus mengelus dada, mengurut jantung sampai meninju tembok wc sekolah kalau sudah tidak tertahankan lagi emosi di dalam jiwa.

6 tahun saya bertahan tapi tahun terakhir saya bekerja di sekolah itu membuat saya tiba di batas kekuatan saya. Saya tidak lagi menutup mata ketika tawaran pekerjaan yang dua kali datang dari gereja. Saya menerimanya. Saya meninggalkan sekolah itu. Kepergian saya tak pelak memukul & menyedihkan si Nek Lampir walaupun untuk yang terakhir kalinya pun dia masih menyakiti hati saya dengan ucapan bodohnya. Ingin tahu? Telusuri saja tulisan-tulisan saya sebelum bulan Juli 2011.

Saya menganggap kehidupan memiliki tingkatan. Segala hal yang tidak enak akan membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi. Anggaplah itu adalah persiapan & ujian.

Demikianlah saya tiba di tingkat yang lebih tinggi. Setelah menjalani masa-masa keprihatinan yang panjang, saya diberikan waktu & tempat yang membuat saya bisa bernapas lega. Segala sesuatu yang ada di pekerjaan baru ini jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Gaji yang lebih besar, suasana kerja yang nyaris tanpa tekanan, orang-orang yang bersikap positif, tempat kerja yang tidak lagi se-upil. Semua jauh lebih enak sampai … BUM! ... saya bertemu seorang ‘Nek Lampir’!

Nek Lampir di gereja rasanya sulit untuk dibayangkan. Saya sendiri merasa seperti harus menampar pipi sendiri saking tidak percaya. Tapi demikianlah yang terjadi.

Kejadian pertama waktu dia protes saya memotret di ibadah mahasiswa. Eh jangan salah, coy, saya ga bakal sembarangan main jepret sana jepret sini. Sebelonnya saya minta ijin dulu ke suaminya (yang menjadi semacam Pembina & penghubung antara komunitas mahasiswa tersebut dengan gereja) & juga ke person in charge  kelompok mahasiswa itu. 

Hah? Itu belum cukup? Saya harus pasang pengumuman juga tho ke semua orang yang ada di situ “Maaf ya bapak, ibu, mbak, mas, kak, dek… permisi mau motretin kalian buat dimasukin ke blog gereja supaya orang pada lihat di jaman edan kayak sekarang masih ada anak-anak muda yang setia cari Tuhan”.

Seumur hidup saya, baru pertama kali itu saya ketemu orang yang kelakuannya nyaingin agen rahasia.

Waktu itu saya belum ngeh tuh ada ‘Nenek Lampir’ nongol di depan saya dengan topi kerucut, sapu terbang & tongkat sihirnya. Hehe. 

Saya memang kesal dengan ulah orang itu tapi karena saya masih tenggelam dalam emosi campur aduk antara lega & senang dengan pekerjaan baru tapi juga sedih & merana karena harus meninggalkan pekerjaan sebagai guru yang amat sangat saya cintai membuat saya tidak menduga bahwa dia sedang membuka jati dirinya yang asli di depan saya.

Kejadian kedua terjadi ketika saya di minta untuk menanyakan harga jual penganan buatan ibu-ibu anggota gereja yang berwiraswasta. Dia adalah salah satunya. Reaksinya? Hmm… bukan senang, bukan lega, bukan pula berterima kasih karena pihak gereja berinisiatif untuk menolong mencarikan orderan bagi usahanya tapi pertanyaan-pertanyaannya menyiratkan kecurigaan. Siapa yang menyuruh saya menanyakan harga-harga penganan itu? Ide itu adalah ide dari bidang yang dibawahi oleh suaminya. Kenapa pula saya yang melaksanakannya? Buset, apa dipikirnya kami mau menyabotase idenya? 


Belakangan saya mengetahui bahwa hal ini sebenarnya sudah dikomunikasikan dengan si empunya ide yang notabene adalah suaminya sendiri & yang langsung memberitahu berapa harga produk makanan buatan mereka saat saya tanya. Tanpa berbelit. Tanpa curiga.

Saya keheranan. Sedikit kesal & tersinggung. Hei, janganlah bersikap macam agen rahasia yang terbongkar penyamarannya. Apa pun keberatanmu, sampaikan itu pada mereka yang meminta saya untuk melakukan tugas itu. Dan itu pula yang saya sampaikan padanya. ‘Sampaikan keberatanmu pada senior saya’. Saya hanya menerima perintah & saya melaksanakan apa yang diperintahkan itu.

Toh, masih juga saya tidak melihat bahwa Nek Lampir berdiri menyeringai di depan saya.

Ketiga kali. Dia datang & tiba-tiba dengan muka asam, suara bernada tinggi yang tidak mau mendengar penjelasan apalagi tawaran saya untuk memperbaiki miskomunikasi yang tanpa sengaja telah saya ciptakan (walau bukan sepenuhnya salah saya). Tapi… “Tidak. Jangan bicara apa-apa lagi. Mbak sudah merusak perjanjian saya & ibu…. dengan pihak….”
Saya bengong jadinya.

Yang disebutnya sebagai ‘perjanjian yang rusak’ itu sebetulnya hanya miskomunikasi. Salah pengertian.

Dalam pengalaman saya kerja dari tahun 1994-2011, lumayan kasus serius sudah saya hadapi & harus selesaikan. Yang ini sih…. ‘perjanjian jadi rusak’ … ih, lebay.com amat lu.

Lagian kita ada di bidang kerohanian, masa sih hal segitu aja bisa menghancurkan segalanya. Pihak lain yang terlibat di sini adalah orang yang sangat ramah & saya yakin satu telpon saja sudah bisa meluruskan duduk perkaranya.

Tapi insiden terakhir itu betul-betul bikin saya mikir. Ini orang emang bawaannya pikirannya serba negatif atau memang ke semua orang dia bersikap nyebelin kayak gitu atau ada sentimen pribadi nih ke saya?

Masih bisa di maklumi deh kalau orangnya “Jenk elin” tapi kalau karena sentimen ke saya… wah, salah apa diriku? Sejauh ini saya tidak pernah cari gara-gara di tempat ini. Dia yang menciptakan gara-gara. Dan yang nyebelin akibatnya saya jadi kena tegur buat 3 perkara tolol bin konyol hasil ciptaan orang ini. ‘Nek Lampir’ banget ga sih kalau udah kayak gitu? Jadi wajar dong kalau saya kasih julukan itu ke dia… hehe.

jadi saudara-saudara, Nek Lampir ada di sekitar kita.

Mereka dapat berwujud orang asing tapi jangan heran kalau mereka adalah orang yang berada dalam lingkaran paling dekat dengan kita di keluarga atau di tempat kerja.

Mereka bisa muncul sebagai orang-orang dari kalangan rendah, tidak berpendidikan, atheis atau mereka adalah orang berpendidikan tinggi, dari strata sosial tinggi, memiliki gelar keagamaan atau aktif dalam kegiatan di tempat ibadah.

Bagaimana menghadapi Nek Lampir? Sedapat mungkin menghindar sebelum dia menyihir kita menjadi kodok. Hehe.

Yah, saya beruntung Nek Lampir yang baru ini bukanlah boss saya. Bukan juga rekan kerja. Frekuensi pertemuan saya dengan dia bisa di hitung dengan jari. Hanya hari Minggu atau sekali-sekali saja kalau dia & suaminya ada keperluan dengan gereja yang membuat mereka muncul di luar hari Minggu.

Tapi setelah peristiwa terakhir itu saya memutuskan sungguh tidak bijak (baca: goblok betul) kalau saya masih bermanis-manis pada Nek Lampir. Jadi saya me-nonpersonagratakan orang tersebut. Saya tidak menegurnya. Bahkan tidak menatapnya. Jadi bagi saya, dia tidak ada walaupun dia ada.

Bagaimana bila dia menegur saya? Sebetulnya hal itu terjadi hari Minggu (30/10 & 20/11). Bagaimana reaksi saya? Oh, kalau diperlukan saya pun bisa bersandiwara seperti seorang aktris sekaliber Julia Roberts. Saya jarang sekali melakukannya karena saya tidak suka berpura-pura tapi apa boleh buatlah.  Tapi... psst..., akting saya pasti bisa memenangkan piala oscar. Eh, ga percaya? coba deh sekali-sekali datang & lihat sendiri. hehe.

Adakah Nek Lampir dalam kehidupan anda saat ini? Asal jangan andalah yang menjadi Nek Lampir itu. Hehe.

Tapi untuk memastikannya, saya sarankan anda melakukan instropeksi diri dengan jujur. Kalau tidak, ya…, lihat saja bagaimana reaksi orang di sekitar anda. Apakah mereka tampak tidak bahagia kalau anda ada & bersyukur kalau anda tidak ada? Kalau jawaban untuk pertanyaan yang terakhir adalah ya maka anda harus memperhitungkan adanya kemungkinan anda sudah menjadi Nek Lampir. Hehe. Gawat neh….  

Bahkan kalau pun orang-orang di sekitar anda tidak terlihat bereaksi seperti itu, tetap saya sarankan supaya anda tetap mawas diri karena siapa tahu sikap manis mereka adalah akting semata. Sama seperti yang saya lakukan terhadap para Nek Lampir yang pernah saya temui maupun terhadap Nek Lampir yang sekarang ini.

Bagaimana pun juga doa saya adalah supaya Tuhan mengasihani para Nek Lampir & membukakan mata mereka sehingga mereka bisa berubah menjadi orang-orang yang lebih baik. Karena tidak bisa saya bayangkan bagaimana rasanya bila ajal menjemput pada saat mereka (atau kita) masih menjadi Nek Lampir.

Nek Lampir adalah orang-orang yang patut kita kasihani. Saya menghindari Nek Lampir yang satu ini tapi tidak berarti saya membencinya. Saya mendoakannya. Supaya kiranya Tuhan mengampuni dia & berbelas kasihan sehingga dia dapat di tuntun menuju pertobatan & mengalami perubahan.
_________________________________________________________________________

I hardly hold myself not to smile everytime I heard the word ‘Witch’ spoken as it reminds me how Teteh dubbed our headmaster ‘The Witch’. I know it is rude to call someone with that name. So we should all aware of how we treat other people. Don't bitch at them because it would give them every excuse to call us with the worst names we could imagine.

I worked as kindergarten teacher from 2005-2011. The school is small. Facing a narrow street that it is more like a pathway than a street. It has only 3 teachers or 4 at max.

However, in that super modest place I discovered my call as a teacher. I may have resigned from that school to work as an administrator in my church but I know I am still a teacher & one day I will have a teaching job again. Not just do tutoring.

So that school has a headmaster, 2-3 teachers & teteh, the cleaning lady.

Hardship brings people together. It tied them in close knit. Having the feeling of being in the same boat. That is us. But sad thing is over the years our headmaster got herself kicked out of our bond.

What have happened? It was caused by her own personality & attitude. We could not find a symphatetic figure in her. She got so worst that teteh dubbed her ‘The Witch’.

Not a good thing. But there are lots of people in this world who make or turn themselves into ‘Witch Character’.

They let their ego, selfishness, pride & foolishness rule their mind & attitude. And they think they can treat other people as they please.

If there is any regret I feel for having to resign my teaching job then it is the regret to leave the school. Half of my heart is left there.

It was not the small amount of teacher’s salary that made me quited my job. Nor because of the heavy burden of responsibility. Neither did the tiny school that made me decided that I could no longer work there.

For 6 years I had become headmaster’s protégé, colleague & right hand man. The position didn’t turn me as her golden child. Instead I had to swallow so many bitterness that she thrown at me. Her words especially.

The restroom wall witnessed my distress because it had to take my punches & kicks.

6 years passed & I just couldn’t take it anymore. I didn’t turn my head away when my church offered me this job for the second time. I accepted it. I resigned. It was a big blow for headmaster though to she was still able to hurt me with her words. Just read my posting before July 2011.

There are stages in life. Every painful or unpleasant experience brings us to the higher stage so just take each of it as something that prepare us for the next stage & also as a test.

So I reach a higher stage. Everything there is so comforting like want to give me the break I desperately need & deserve. The work is not complicated, less stressfull, surround with nice people, the work place is bigger, the money is good. It’s like a perfect nirvana until… BOOM!... I met a ‘Witch’!

A ‘Witch’ at church. I felt I had to slap my own cheek to really believe that it is for real.

The first incident came when I photographed the youth sermon. Please noted that before I did that I have asked for permission from her husband & from one of the student who is the person incharge in that university student’s organization. They didn’t mind me taking photos of the sermon.

I was annoyed and found it didn’t make sense that she got so suspicious about me taking pictures at the youth sermon & then she also refused to inform about the sermon’s theme & the Bible’s verses used as the reference. And that she didn’t come to me first to talk to me about it before she filed her complain to my senior.

All of my life I have never met anyone so discreet about Christianity activity. Even big well known churches never hide their activities as long as they don’t violate human rights or law so why would she behaved as mysterius as an undercover secret agent?

I was too mixed up with my emotions of joy to have a better job & heart broken to have to leave my students in school that I didn’t realize a ‘Witch’ has appeared infront of me with her long black gown, wand & hat, along with the broom.

The second incident happened when I needed information about the prices of snacks & meals the ladies are making. Some ladies in the church sell home made snacks, cakes & meals so church came up with the idea to help them promote & sell their home products.

This person is among them. But she didn’t show any enthusiasm nor happiness when I phoned her to ask the price of her home made mushroom chips. On the contrary she sounded suspicious. The idea to help the ladies promoting & sell their home made products was her husband’s division’s. Why was I the one who phoned the ladies & who asked me to do that? Sigh…, do you think we would sabotage your husband’s idea?

I was truly amazed by her reaction. Don’t act like you were a secret agent whose identity is being uncovered. Make sure you file your complain to my superior, I told her this, because I am just doing what I am asked to do.

Later I learned that her husband has actually talked about his idea to the church board of members. The husband also gave me the price of their mushroom chips when I asked him few days later. No suspicion. No reluctance.

Still, I failed to see the ‘Witch’ has appeared infront of me. Showing a grimace.

The third time she came to me with sour face & with high pitch tone of you-not-entitled-to-speak-or-make-up-for-your-mistake spoke to me “don’t say anything. You have ruined my agreement with …”

I was stunned. It was just a case of misunderstanding. I hav dealt with lots of serious cases at work in my work experience from 1994 to 2011. What she refered as ‘me ruining an agreement’ is actually minor case that I was certain one phone call able to fix the problem. I knew the other part involved in the agreement. He was a nice person & beside, we are in Christianity workship, so everyone is definitely behaves according to Christ’s principles.

But after the last incident I asked myself if the whole thing caused by her annoying personality or she has personal issues with me? I can understand if she is a bitch but the last one is definitely unthinkable since I keep myself at peace with the people in this place.

So as you can find ‘Witch’ anywhere.

They may appear as strangers but don’t be shocked if they are present in your inner circle such as in your family or at work.

They may be came from grass level, uneducated or atheist but they can be found among the high level of society, the educated ones even in the spiritual environment.

How do we deal with the ‘Witches’? The best way is to stay away from them before they put a spell on us & turn us into frogs. Lol.

Well I am lucky that this ‘Witch’ is not my boss nor my colleague. I met her once a week on Sunday. It is rare to meet her on weekdays.

But after the last incident I thought it would be unwise (read : so dumb) of me if I still act nicely to her. For me she no longer exist.

How if she greets me or talk to me? It actually happened on Sundays 30th of October & 13th of November. How did I react? Oh, Julia Roberts is not the only actress who could win Oscar. I should get one too for my acting.

Is there any ‘Witch’ in your life right now? I do hope you are not the ‘Witch’ yourself. Lol.

But to be certain I strongly suggest that you make self instropect. Just take a look how people react to you. Do they look happy when you are around or they look relief & happy when you are not around? If the answer for the last question is yes, you should not ignore the signs showing that you might have become the ‘Witch’. Lol. But you really should take it seriously.

How if they you look happy when you are among them? Don’t quickly assumed they are really sincere because who knows it is just an act. I did that to the former & present ‘Witches’.

However, I pray that God have mercy on those ‘Witches’ so He opens their eyes, make them see how terribly they have become for themselves & for others, move their consciousness so they feel they have to change & thus become better people.

The ‘Witches’ are the people we should have mercy. I feel sorry for the present ‘Witch’. I maybe avoid her but I don’t hate her. I pray for her. Hoping that God will eventually change her into a much better person.