Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, March 24, 2011

Pemimpin vs Atasan / Leader vs Boss

Wali kelas TK B jadi juga tidak masuk hari ini (Senin, 21/3). Ada anggota keluarganya yang meninggal. Karena mendadak maka dari pagi jam enam beliau sudah berangkat ke Jakarta.

Apanya yang aneh / sangat istimewa dalam kejadian di atas sampai saya memilih untuk mengangkatnya menjadi bahan tulisan dalam blog hari ini?

Yang menjadikan peristiwa ini saya angkat menjadi bahan tulisan adalah karena apa yang terjadi di sekolah sepanjang hari ini sebagai dampak bertubi-tubi yang menimpa saya & malangnya juga menimpa anak-anak saya di TK A.

Dampak pertama adalah saya harus menghadapi kepsek yang tiba-tiba menjadi uring-uringan begitu mendengar wali kelas TK B tidak masuk. Beliau tidak mau percaya dengan alasan kematian sanak saudara yang diberikan wali kelas TK B.

“Apa tadi dia bilang jam berapa saudaranya itu meninggal?” pertanyaan kepsek sempat membuat saya nyaris tak mempercayai telinga saya.

“Tidak, bu. Tapi logikanya kalau dia harus berangkat pagi-pagi maka itu artinya yang mati juga tiba-tiba. Mungkin meninggalnya tengah malam / subuh” jawab saya yang mulai mendapat firasat tidak enak. Ada nada yang tidak menyenangkan dalam pertanyaan itu.

“Mudah-mudahan yang meninggal mendapat tempat di sisi Tuhan” celoteh kepsek. Sekali lagi saya menangkap ada nada yang tidak menyenangkan dalam ucapan itu seperti saat mengajukan pertanyaan sebelumnya.

“Amin” cuma itu jawab saya.

“Kamu betul-betul percaya ada yang meninggal?” eh, kok masih di bahas juga sih?!

“Ya, gila aja apa bohong memakai alasan ada yang meninggal” saya mulai merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Apesnya, saya tidak bisa lari menghindar karena saat itu saya sedang mengetik di komputer.

“Kamu masih percaya memang betul-betul ada yang meninggal?”.

Buset dah ni orang!

“Kenapa kok ada dimejanya sudah disiapkan materi untuk mengajar hari ini?” ada aura kesal campur sinis, curiga & menang di muka kepsek “Saya tahu kalau dibohongin. Saya orang tua. Jangan membohongi orang tua”

Pret! Dalam hati saya mencibir. Orang tua yang bertambah tua (cuma) dalam umur / orang tua yang dengan bertambahnya umur, menjadi bertambah pengalaman dan bertambah pula kebijaksanaannya?

Ok kalau yang ada dalam pikiran beliau benar. Kalau tidak bagaimana?

Ok beliau mungkin menganggap saya sebagai orang yang paling dekat & yang paling bisa di percaya & diandalkan yang membuatnya merasa dapat mencurahkan apa pun dari yang paling enak sampai yang paling busuk. Tapi kecurigaan lebih baik di simpan untuk diri sendiri. Terutama kalau tidak ada bukti nyata.

Kita boleh saja dekat dengan seseorang. Sedemikian dekat & akrab, di tunjang dengan lamanya kita mengenal orang tsb tapi tetap pada sikon-sikon / topik-topik tertentu yang sebaiknya tidak kita beberkan semua yang ada dalam kepala & hati kita kepada orang tsb.

Saya sering bertanya dulu ke diri saya sendiri sebelum saya memutuskan untuk membagikan isi hati / pikiran saya ke seseorang “apakah ini ada gunanya untuk diri saya / diri orang itu?”. Kalau jawabannya lebih banyak tidak maka saya memilih untuk diam walaupun kepala & hati saya berat & sesak rasanya oleh beban masalah / emosi.

Kalaupun saya bicara secara verbal / lisan maka saya tidak hanya ‘memuntahkan’ semuanya tanpa menunjukkan berbagai sudut pandang dari hal-hal / permasalahan tsb. Karena belum tentu pemikiran & penilaian dari sudut saya adalah yang paling benar & adil.

Uring-uringannya kepsek bisa saja jenis tanpa alasan. Kegelisahan & kecurigaan membabi-buta.

Atau bisa saja ada sentimen pribadi yang beliau rasakan terhadap wali kelas TK B.

Kemungkinan lain adalah di masa lalu wali kelas TK B pernah tertangkap basah berbohong & kepsek jenis manusia yang berprinsip ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak di percaya lagi’.

Yang mana yang benar, saya tidak tahu. & saya juga tidak berminat untuk mencari tahu. Kenapa? Karena itu bukan urusan saya. Lebih baik tidak mengaduk-aduk kolam yang sudah keruh.

Yang saya pelajari untuk kesekian kalinya adalah :

‘Seorang atasan seringkali bukanlah seorang pemimpin’.

Saya sudah bekerja selama 17 tahun di berbagai tempat & sudah cukup banyak atasan yang saya temui tapi di antara mereka hanya ada sedikit yang bisa merangkap menjadi seorang pemimpin. 

& untuk yang kesekian kalinya pula saya harus menerima konsekuensi memiliki atasan yang bukan pemimpin. Hari ini beliau ‘memutuskan & memerintahkan’ saya untuk mengganti jadwal pelajaran bahasa Inggris di kelas TK A & B sehingga hari ini saya yang mengajar di kelas TK B dari jam 8.30 sampai jam 10.

Jangan di tanya saya kesalnya seperti apa.

Masalahnya semester genap ini saya mulai berkonsentrasi untuk menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris pada anak TK B. Caranya dengan memberi mereka 5 kata yang harus mereka hafalkan setiap minggunya.

Biasanya hari Kamis mereka pulang membawa buku catatan bahasa Inggris yang sudah berisi 5 kata baru yang harus mereka hafalkan di rumah. Lalu esok harinya saya mengadakan ulangan untuk mengetahui apakah mereka sudah menghafalkan ke 5 kata tsb.

Nah, hari ini saya terpaksa harus memaksa anak-anak itu untuk menghafalkan 5 kata baru dalam waktu hanya 20 menit. & secara pribadi, saya tidak menyukai hal ini. Saya tahu kemampuan anak berusia 5-6 tahun. Tidak semua anak seusia itu mampu berkonsentrasi untuk duduk diam & menghafalkan 5 kata dalam bahasa asing yang susunan huruf-hurufnya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Dari 17 anak di TK B hanya ada sekitar 5-6 anak yang mampu menghafal dengan cukup baik dalam lingkungan kelas yang penuh dengan benda, bunyi & manusia yang mampu mengalihkan perhatian mereka. Harap di ingat, ini bukan anak SMP / SMA. Anak usia TK & SD memiliki tingkat konsentrasi yang masih rendah.

Hari ini saya tidak punya pilihan selain untuk tetap menjalankan test yang artinya saya harus memaksa mereka menghafal dalam suasana & lingkungan yang tidak kondusif. Saya sendiri tidak menyukai keputusan ini. Saya kesal, marah, iba & merasa bersalah pada waktu yang bersamaan saat harus menyampaikan keputusan itu.

Tapi apa boleh buat. Saya punya target jumlah kata dalam bahasa Inggris yang harus saya berikan kepada mereka & waktu yang saya miliki tidak banyak. Hal-hal ini membuat saya tidak bisa mengundurkan waktu test ke minggu berikutnya.

Belum lagi saya juga gelisah memikirkan anak-anak di kelas saya yang hari ini di ambil alih secara paksa & sepihak oleh kepsek.

Ada rasa cemas yang besar karena anak-anak ini terbiasa dengan saya yang bersuara lebih pelan & lembut, yang mau ngopeni mereka, mau bercanda di sela-sela ketegasan & disiplin yang saya jalankan di kelas, saya yang memberi penjelasan sejelas-jelasnya & tidak tergesa-gesa kepada mereka sebelum mereka mengerjakan tugas-tugas yang saya berikan.

& saya tahu kepsek tidak seperti saya.

Dari dalam kelas TK B saya bisa mendengar suara beliau yang lantang. Aduh, nadanya  serba ‘ini tidak benar’, ‘yang itu salah’.

Semakin gelisahlah saya di TK B. Rasanya seperti induk ayam yang meninggalkan anak-anaknya pada seekor elang. Tidak rela rasanya saya mendengar anak-anak itu “diarahkan, di didik & didisiplinkan” oleh kepsek. Jadi begitu urusan kelar di TK B, segera saja saya ‘terbang’ ke kelas TK A.

“Sudah, bu, saya ambil alih” kata saya pada kepsek “Kita gantian. TK B lagi makan”. Pergi deh sana, sambung saya dalam hati.

Sementara itu ngilu hati saya melihat Vivien menangis karena 1 huruf s hilang, kelas berantakan, buku-buku paket bertebaran saling bercampur aduk & tumpang tindih satu dengan lainnya, anak-anak lebih kacau rasanya dari pada kalau saya yang memegang kelas itu. Pusing saya melihatnya. Ini sih bukannya mendidik mereka. Ini membuat mereka bingung & tertekan.

Dea berlari & langsung memeluk saya. Vivien segera berhenti menangis, Echa mencium saya. March tersenyum sambil menggenggam tangan saya. Justin langsung menyambut saya dengan tangan terulur & berseru ‘ibuuuu!’. Hmm, saya rasa bukan hanya saya yang bernafas lega setelah kepsek akhirnya meninggalkan kelas kami.
__________________________________________________________________

The teacher in the senior class, or B class as we called it, was absent today. Somebody in her family passed away this morning (Monday, March 21st) that made her had to leave to Jakarta the capital city at 6 am.

What is so special about it that I make it as today’s topic on this blog.

It is because of its domino effect to me & unfortunately to the kids in my class as well.

The first one is the news made headmaster irritated. She didn’t believe somebody in that teacher’s relative really died.

“Did she tell you what time did that person passed away?” I hardly believe what I just heard when headmaster asked me that question.

“No but if she had to leave early then the person probably died sometime at dawn or at midnight” but something in headmaster’s tone when she asked that question made me felt alerted & uncomfortable.

“May that person rest in peace” said headmaster & again, I sensed the unpleasant tone.

“Amen” was my reply.

“Do you really believe somebody passed away?” she asked again. Oh boy, give it a rest.

“I think it’d be insane to use such excuse to skip work” I sighed. Unfortunately I couldn’t avoid her because I was working on the computer.

“Do you really believe somebody really passed away?”

Oh, come on! Give me a break, will ya?!

“Why is it she has left a note of teaching plan for today?” she said & there was upsetness on her face mixed with suspicion, cynical & satisfaction “I can tell if someone lied to me. Don’t lie to an old woman”.

Yeah, right, I curled my lips. Old only in age or growing old & getting wiser?

So if she was right. How if she was wrong?

So she thinks I’m the one she can trust & depend on & we have known for a long time but is it justified to just peppered me out with her every thoughts & feelings? Somethings are better left unspoken. Especially unbased suspicion.

I like to ask myself ‘is it gonna do me / other person any good if I’m telling him/her this?’ before I confide something to someone despite the fact that I’ve known that person quite good & quite long. If the answer is mostly no then I’d keep my mouth shut though my mind & heart are so troubled with many things.

& when I did confide to someone, I didn’t just blurbing everything out. I’d put it into many angles because I don’t want people to see things only from my own perspective. I want them to also see it from many angles just in case I were wrong.

Headmaster’s today’s anxieties might caused by a complete blind suspicion or

There’s personal sentiment between her & that teacher, or

She has caught that teacher lied in the past & she’s the kind of person who forgive but not forget.

But once again I learned that :

Most of the bosses are not leaders.

I’ve met many bosses in my 17 years working experience in different places but only very few of them were also leaders.

& once again I had to endure the consequence of having a boss who’s not a leader. Today she decided & ordered me to take over the B class by switching their English class schedule, which is usually every Friday to today, while she took control of my class.

I didn’t like it one bit.

It made me had to force the kids in that class to memorize the 5 English words. I usually give it to them as homework every Thursday. They had to memorize those words at home. The next day (Friday) I run a test to know if they have memorize the words.

This sudden & one sided decision to have their English class switched to today made me had to force them to memorize it in school & please take note that these are 5 to 6 years old kids. Not kids in Junior or senior high school. Kindergarten children have less ability to consentrate in a place fulls with things, noise & people. They haven’t mastered the ability not to make those around them to distract them.

& I felt bad for forcing them to memorize their English words in such unsuitable environment. I hate myself for that. But I had no choice. I’ve got a target on the total English vocabulary but I don’t have plenty of time. I couldn’t postpone the test to next week.

In the meantime my anxities grew bigger & bigger thinking how the kids in my own class were doing. They’re used to have me who’s more caring, who explain how to do the given task as clear as I could & not in a hurry, who keeps sense of humour in between the tension of teaching & disciplining them, who appreciates their achievement & not just being demanding.

& I know headmaster is different.

I could hear her loud voice from B class & I felt like a mother hen leaving her chicks under the wings of an eagle. So I rushedly left B class once I was done there.

“I’ll take it from here” I told headmaster “B class is having snack time”. So get the hell out of my class!, were my additional unspoken words.

I was so troubled to see Vivien was crying because one of her s word was missing, the room was messy, books were piling everywhere, it looked more chaotic than when I was incharge in it. It gave me headache! This isn’t teaching & disciplining them. It distressed them!.

Dea ran to me & hugged me once she saw me in the room. Vivien stopped crying imidiately. Echa kissed me. March smiled & held my hand. Justin stretched out his arms to me as he cried “miss!”. Obviously it wasn’t just me who sighed in relief when headmaster finally left the class.

No comments:

Post a Comment