Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, July 28, 2012

Trio Galau / The Weary Threesome

“Lagi emosi jiwa nih” Bu Martha menghenyakkan diri ke atas kursi di ruang kerja saya.

“Kenapa, bu?” saya berhenti mengetik.

“Ini beli barang, di bon ada tapi bendanya ga ada”

“Kok gitu?”

“Tahu deh”

“Ya, klaim dong ke kasirnya”

Bu Martha kemudian memang kembali ke toko tempat dia tadi berbelanja tapi kembali dengan tangan hampa. Kasir menolak untuk mengganti satu item tersebut.

Beberapa menit kemudian…

“Keke!!” teriakan bu Rini rasanya bisa terdengar sampai ke jarak 1 kilometer. Hehe.

“Aduh, apa sih, bu? Jangan teriak-teriak gitu dong, ah” kata saya antara kaget, kesal tapi juga lucu.

“Keke, lihat nih” dengan muka memelas bu Rini menunjukkan tangkai alat pel yang ujungnya patah “Ada yang pake terus matahin”.

“Yaelah, bu” saya malah ngakak “Saya kira ada apaan”

“Maklum, dia pan Rini Ting Tong” Bu Martha cekakakan “Miss Lebay”.

Saya tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Bu Rini & Bu Martha
Tapi tanpa kehadiran dua orang ini hari-hari saya ditempat ini pastilah akan terasa bagai makanan tidak bergaram.

“Eh, kita bikin grup aja” Bu Martha tiba-tiba nyeletuk.

“Grup apa?” Bu Rini memandang rekannya itu dengan heran.

“Trio Galau” Bu Martha ngakak “Saya, Bu Rini dan Keke. Kan masing-masing lagi pada galau. Saya sama belanjaan, Bu Rini sama gagang alat pel yang patah dan Keke…” Bu Martha menatap saya penuh arti.

“Pas betul namanya, bu” Saya kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Hehe. Saya memang lagi galau sejak dari beberapa minggu lalu. Tapi lucu juga ya hari itu kami bertiga bisa samaan sedang ber-galau-ria.

Nah, lain dengan Trio Galau di gereja, Trio yang datang ke rumah saya setiap hari Selasa jam 12 siang itu tidak bisa dikatakan galau karena…

“Bu Keke!” bagaikan koor, Justin, Chelsea dan Aira penuh semangat memanggil saya begitu mereka tiba didepan rumah saya.

My dog with Chelsea & Aira
Dan begitu saya membuka pagar, ketiganya langsung menyerbu masuk. Justin berjalan dengan langkah-langkah berat sambil bersiul, Chelsea berjingkrakan sambil tertawa-tawa dan Aira yang paling kecil serta pendek itu berlari mendahului masuk ke dalam rumah.

Justin pernah menjadi murid saya selama dua tahun sewaktu saya masih mengajar di taman kanak-kanak. Chelsea adalah adiknya. Sementara Aira adalah teman sekelas Chelsea. Saya tidak mengenal Aira karena saat dia masuk TK A bertepatan dengan keluarnya saya dari sekolah itu. Anehnya Aira dan mamanya kenal betul dengan saya karena pernah beberapa kali melihat saya di sekolah. Wah, saya sendiri tidak ingat pernah melihat mereka. Aduh, maaf ya… terlalu banyak orang sih…

Justin dan Chelsea mengikuti les calistung di rumah saya sejak beberapa bulan lalu. Aira baru mulai bulan Juli ini.

“Bu Keke, tadi Dio nangis di sekolah” celoteh Justin yang sepertinya tidak pernah kehabisan cerita.

Belum sempat saya berkomentar, Chelsea menarik tangan saya sambil berseru, “Bu, si doggie sekarang rambutnya pendek”.

Hah?? Sejak kapan doggie punya rambut? Saya baru saja akan mengajukan pertanyaan itu ketika Aira mencolek lengan saya.

“Bu Keke, aku kan tidur sama mama”

Nah lu!

Saya cengengesan sendiri. Tiga anak, tiga cerita yang berbeda pada saat yang bersamaan. Hehe.

Tapi trio yang satu ini selalu saya nantikan kedatangannya. Mengajar mereka memang butuh kesabaran dan rasa humor ekstra tapi saya selalu menyukainya.

 Left : Keke behind Dite (wears brown tshirt).
Joan is the third girl  from the left of the
four girls sitting infront
Trio berikutnya yang datang setelah Justin, Chelsea dan Aira pulang adalah kakak beradik Joan, Dite dan Dio.

Joan si sulung yang super duper kalem, Dite yang pendiam tapi punya rasa humor tinggi dan si bungsu Dio yang minta ampun aktifnya sampai saya merasa rambut saya jadi kribo, dikepala saya muncul tanduk dan dari telinga saya keluar asap saking puyengnya menghadapi anak itu. 

Lucunya berapa kali ketika melihat saya tampak gregetan padanya, Dio menghampiri saya lalu mengamati telinga saya dan “Oh, belum kok, bu” katanya dengan ekspresi lega.

“Apanya yang belum?”

“Asapnya belum keluar kok”

Hehe.

Nah, entah itu Trio Justin-Chelsea-Aira atau Trio Joan-Dite-Dio maupun Trio Galau Bu Martha dan Bu Rini, saya menyayangi mereka semua dengan seluruh ketulusan di dalam hati, jiwa dan pikiran saya. Dan saya tahu mereka juga menyayangi saya dengan kasih yang tulus.
____________________________________

“This is just not my lucky day” Mrs. Martha sighed as she entered my room and sat down.

“Howcome?” I took a glance at her.

“An item missing from my grocery. But it has included in the receipt”

“How that happened?”

“I don’t know”

“You must tell the cashier about it”

She did. But to no avail.

Few minutes later…

“Keke!” shouted Mrs. Rini so loud that I bet she could be heard from one kilometer away.

“What? Don’t shout like that, will you?” I protested, half annoyed but at the same time tickled by the look of her face.

“Keke, look at this” looking sad, she showed me the stick of her mopping tool “Someone broke it”.

“Man” I laughed it out loud “I thought something terrible have happened”.

“Like you don’t know her” Mrs. Martha laughed “Miss exaggerating thing”.

I just shook my head as I laughed.

But I can’t imagine having my days without them.

“Let’s make a group” exclaimed Mrs. Martha.

“What group?” asked Mrs. Rini.

“The Weary Threesome” Mrs. Martha giggled “You, me and Keke. Each of us is weary. Me with that grocery, you with the broken mopping stick and Keke…” she winked at me.

“Splendid” I laughed again.

I have been weary since few weeks ago but it’s pretty neat that the three of us can get together and find out that each of us have our own things that make us weary.

Far different with The Weary Threesome, the threesome that come to my house every Tuesday at 12 pm..

“Miss Keke!” Justin, Chelsea and Aira call out for me once they get to my house.

And they would rushly get in once I open the fence. Justin walks with his short heavy steps as he whistles, Chelsea straddles and the shortest tiniest Aira runs inside.

Keke & Justin. April 2011
I taught Justin for 2 years when I worked as kindergarten teacher. Chelsea is his sister. Aira is Chelsea’s classmate. Strange thing is Aira and her mother remember me well while I myself can’t recall ever seeing them in school. Gosh, sorry, guys, there were too many people there..

Justin and Chelsea are enroll in my reading and math tutoring since few months ago. Aira joins them this month.

“Miss Keke, Dio cried in school” Justin started his news. He seems have tons of them.

Before I could even open my mouth, Chelsea grabbed my hand “Doggie has short hair now” she exclaimed.

Uh huh? Since when the dog grew hair? I was about to ask that when Aira took my arm.

“Miss Keke, I sleep with my mom”

Now there you have it!, I grinned to myself, three kids, three stories to listen, at the same time.

However, I always look forward for their coming. Yes, it’s true that it needs extra patience and humour to tutor them but I always like to have them in the house. They make my day.

The next threesome that come to my house after Justin, Chelsea and Aira left is Joan, Dite and Dio.

Joan the oldest of them and the quietest one, the cool but funny Dite and the hyperactive youngest Dio who oftenly make me feel so overwhelmed that I told him I grew horns on my head and smoke gets out of my ears.

Dio
Funny thing is whenever Dio sees my patience grew thin, he comes to me and looks like as if he is examining my ears “Oh no, there’s no sign of it” he then speaks with a relief look on his face.

“What sign?” I get puzzled.

“The smoke has not get out of your ears” he replied calmly.

Lol.

So whether it is The Weary Threesome of Mrs. Martha and Mrs. Rini or the threesome Justin-Chelsea-Aira or Joan-Dite-Dio, one thing for sure is I love them all and I know they love me too.

Friday, July 27, 2012

Ujian / The Test

“Kamu bilang gitu ke dia?” ayah saya nampak agak khawatir “Jangan terlalu percaya”.

Ya, saya mengerti arti ucapannya. Orang tua saya tentunya sudah tahu tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami beberapa minggu lalu.

“Itu ujian” jawab saya.

Saya sedang menguji beberapa orang terdekat saya. Memberitahu mereka tentang beberapa hal sensitif memang beresiko. Tapi saya harus mengambil resiko itu karena saya harus betul-betul yakin bahwa mereka memang dapat saya percaya.


 Sejak saya mengalami hal-hal yang membuka kedok dua orang manusia itu, saya menyadari bahwa saya terlalu naif. Terlalu mudah percaya bahwa manusia yang menunjukkan sikap baik memang betul-betul baik luar dalam.

Ternyata saya salah..

Saya tidak bisa lagi menjadi seperti sebelumnya. Naif itu baik. Tapi sebaiknya saya jangan menjadi terlalu naif.

Akibatnya memang saya tidak lagi menelan semua yang dari luar terlihat manis, indah dan baik seperti dulu lagi. Saya bersikap biasa tapi hati saya beku.

Saya kehilangan kepercayaan pada kemanisan dalam sikap manusia.

Tidak semuanya tentu saja. Ada beberapa yang tetap saya yakini bahwa mereka tulus. Tidak berpura-pura.

Tapi toh saya tetap harus yakin. Saya menguji mereka. Bila dikemudian hari saya mendengar hal-hal yang saya hanya percakapkan dengan mereka diucapkan oleh orang luar maka saya akan tahu bahwa mereka gagal dalam ujian itu.

Penting bagi saya untuk memiliki orang-orang terdekat yang tidak membuat saya bertanya-tanya apakah saya sedang berhadapan dengan domba yang sama tulusnya seperti saya atau serigala yang bisa menerkam saya kapan saja.

Saya tidak memiliki saudara sekandung. Hubungan saya dengan keluarga dari pihak ayah tidak bisa dikatakan baik. Saya tidak membenci mereka. Saya hanya merasa lebih baik untuk tidak hidup bercampur dengan mereka.

Dengan keluarga dari pihak ibu saya pun saya tidak terlalu dekat. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya.

Jadi saya harus memiliki orang-orang yang bisa saya percaya, yang saya tahu betul-betul tulus luar dalamnya, yang saya sayangi dan yang menyayangi saya, yang saya terima dan menerima saya apa adanya.

Saya tidak mencari orang kaya, orang pintar, orang berkedudukan tinggi, orang gagah perkasa atau orang hebat.

Saya mencari dan membutuhkan orang-orang yang memiliki hati, jiwa dan pikiran yang tulus serta penuh dengan kasih.

Karena mereka itulah yang akan saya sebut sebagai keluarga saya.
________________________________________

“Did you tell him that?” my dad looked worry “Do you think he’s trustworthy?”

Yes, I understood why he looked worry. My parents are well aware to the things I experienced 3 weeks ago because I have told them.

“That was a test” I assured him.

I ran a test toward my closest people. Yes, it is risky to tell them those sensitive stuff but I had to take that risk to ensure myself that I really can trust them.

I realized that I have been too naïve after those bitter incidents opened my eyes to the truth that what appears to be nice from the outside is sometimes fake.

I have been fooled…

I can’t let myself be fooled again. It is good to be naïve. But don’t get too naïve.

I don’t change my attitude toward people. Only when facing people who appear nice infront of me do I realize that my heart frozed.

I lost my trust upon people who appear nice infront of me.

Not to everybody, of course. Few, I believe are sincere.

Still, I need to be sure. I am testing them. If in the future I hear the things that I have shared only to them, then I shall know they flunk the test.

It is important for me to know that my closest people are as sincere and truthful as myself and they don’t make me wonder if I am facing a lamb or a wolf that would pounce on me at anytime.


I don’t have any siblings. I don’t have good relationship with my relatives from my dad’s side. I don’t hate them. I just think it is better for me not to mingle with them.

Meanwhile my relationship with my relatives from my mother’s side is not close. We lead our own lives. Away from each other.

So I need to have people whom I can trust. That they are sincerely nice. Inward and outwardly. That are loved by me and love me. People whom I accept and accept me wholely.

I am not looking for rich, jenius nor powerful people.

I am looking and in need to have sincere and trustworthy people who have loving heart, spirit and mind.

As I shall call them, my family..

Thursday, July 26, 2012

Siapa Yang Bisa Dipercaya? / Who to Trust?

Itulah yang ada dalam pikiran saya selama 3 minggu terakhir ini. Selama setahun saya berada disini dan tidak pernah sekali pun pertanyaan seperti itu melintas dibenak saya.

Tapi 3 minggu lalu terjadi peristiwa-peristiwa yang menyadarkan saya bagaimana naifnya saya dengan mempercayai bahwa yang terlihat didepan mata adalah sama dengan yang tersimpan didalam hati.

Alangkah salahnya saya mempunyai pemikiran seperti itu.

Mungkin saya terlalu lama bekerja sebagai guru. Terlalu terbiasa bergaul dengan anak-anak yang memiliki kesederhanaan dan kemurnian dalam jiwanya.

Atau mungkin karena saya sendirilah yang terlalu naïf.

Dulu memang pernah saya mengalami kekecewaan saat orang yang saya kira tulus ternyata terbukti sangat berbeda. Tapi itu bertahun-tahun yang lalu sehingga mungkin saya sudah lupa. Saya lengah.

Ketika orang yang selama setahun ini saya kagumi, saya hormati, saya jadikan panutan dan saya sayangi, orang yang juga memperlakukan saya dengan manis, ternyata adalah orang yang sama yang mengeluarkan perkataan yang sangat tidak bijaksana, saya terjaga dari kelengahan saya.

Saya telah salah menilai orang…

Dan belum lagi kekagetan dan kepahitan ini hilang, saya mengalami lagi peristiwa lain yang sekali lagi menyadarkan saya bahwa semua yang terlihat didepan mata tidaklah pasti sama dengan yang tersembunyi didalam hati.

Sekali lagi saya telah salah menilai orang…

Ya Tuhan, kalau begitu katakan pada saya "siapa orang disini yang bisa saya percaya?!", teriak batin saya kepada Tuhan.

Lalu ketika hati saya mulai agak tenang, Tuhan membuat saya mulai menyeleksi siapa saja yang memang betul-betul asli dan siapa saja yang kira-kira saya ragukan keasliannya.

Ternyata masih ada yang bisa saya percaya walau jumlahnya hanya sebanyak jari dikedua tangan saya.

Tuhan lebih mengenal saya dari pada orang lain, bahkan orang tua saya sendiri tidak mengenal saya sebaik Tuhan mengenal saya. Itu sebabnya Dia tahu saya selalu tulus kepada orang. Tapi Dia juga tahu saya orang yang terlalu naïf dan kenaifan itu tidak selalu menguntungkan saya. Itu sebabnya walaupun peristiwa-peristiwa yang saya alami diatas tidak menyenangkan, saya tahu Tuhan sedang membuat saya untuk tidak mempercayai semua yang saya lihat manis ternyata sama manis didalamnya.

Karena itu lebih baik jangan berpura-pura didepan saya. Mungkin saja saya tidak tahu tapi Tuhan mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati dan pikiran anda tentang diri saya. Cepat atau lambat, Tuhan akan membongkar yang tersembunyi itu supaya saya bisa mengetahuinya.

Jadi percuma saja berpura-pura didepan saya.
______________________________________________

The question has been hanging on my mind in the past 3 weeks. I have been in this place for a year and never once did that question popped into my mind.

But 3 weeks ago there were things happened that made me realize what appeared before my eyes were actually different with those hidden in the heart of people.

How wrong I was to think that people are actually sincere.

Maybe I spent too many years working as teacher. I have been around children too long that I thought everybody is just like them, so truthful and pure.

Or am I too naïve?

I did feel disappointed when people whom I thought sincere turned out to be insincere but that was years ago. I might have forgotten it. I have become careless.

So when this person who I have admired, respected, looked up to and even loved, the same person who have been nice to me, spoke those very unwise words, I was taken by surprised.

I have misjudged people..

And before I got over it, another incident happened with different person that opened my eyes to the bitter fact that what appeared before my eyes are not always the same with the ones inside the heart and mind.

Once again, I have misjudged people..

Tell me, God, who can I trust in this place?, I cried out.

As I regained my calmness, God guided me to sort out who are sincere out of those whose sincerity are still needed to be tested.

I could find few people whom I trust to be truthful, sincere and not fakers though their numbers can be counted by the fingers in my hands.

God knows me better than anyone else. Even my own parents don’t know me that well than God does. It is why God knows I’ve been always sincere to people. But that sincerity doesn’t always do me good. It is why I understand that through those bitter incidents, God was trying to tell me that everything that appears sweet does not automatically goes the same inside people’s mind and heart.

So it is better not to pretend infront of me. I may not know it but God knows what’s inside your mind and heart. Sooner or later God will disclose it to me.

It is only a waste of time to fake the truth in your mind and heart to me.

Sunday, July 22, 2012

Muka Asli / True Color

Dalam 3 minggu terakhir ini emosi saya naik turun gara-gara 2 peristiwa yang melibatkan 2 orang.

Di satu sisi, saya menyesali kenapa di penghujung cerita, kok saya harus tahu ‘muka asli’ orang-orang ini. Setahun sudah saya berada ditempat ini. Setahun penuh ‘muka asli’ itu tertutup rapat. Tersimpan rapi dibalik pembungkus luar yang begitu indah. Jadi siapa yang bisa menduga bahwa dibaliknya tersimpan sesuatu yang begitu bertolak belakang.

Tapi di sisi lain, saya tahu bukan tanpa sengaja Tuhan mengijinkan saya mengalami 2 peristiwa itu karena semuanya membuat saya bisa melihat ‘muka asli’ dari orang-orang itu.

Toh tetap saya sedih. Kecewa. Bingung.

Saya bukan tipe orang yang menampilkan diri berbeda dengan aslinya. Saya bicara, bersikap, berpakaian sebagaimana aslinya diri saya. Luar dan dalam sama. Saya tidak bersikap manis dan mempesona diluar tapi sebetulnya memiliki karakter yang sangat berbeda didalamnya.

Ada banyak orang menyukai saya karena hal ini tapi ada pula yang menertawakan dan bahkan mengecamnya.

Tapi apa pun reaksi yang saya terima, saya gembira karena saya tanpa ragu menampilkan diri saya seperti apa adanya. Tanpa kedok, tanpa topeng, tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, tanpa beban untuk jaim.

Saya menghargai dan bahkan menyayangi mereka yang bisa menerima diri saya apa adanya dengan setulus dan semurni hati mereka. Mereka yang telah melewati waktu sekian lama berteman atau berhubungan dengan saya tanpa berubah sikap. Mereka itulah yang akan tetap melekat dalam hati dan kehidupan saya.

Bagaimana dengan mereka yang berpura-pura dihadapan saya? Harus saya akui bahwa hati saya terluka karenanya. Kepada mereka ini, sikap saya kini hanya sebatas basa-basi. Tidak ada lagi kedekatan didalam hati. Saya tidak akan pernah menyesali kalau di masa sekarang atau dikemudian hari saya tidak perlu lagi mengenal mereka.
_____________________________________________

I’ve been having emotional turmoil in the past 3 weeks.

In one side, I regret the fact that I had to discover the ‘true color’ of these two people. I’ve been in this place for a year. A one full year that those faces were covered neatly, wrapped nicely. So who could have guessed that behind the mask the truth shows complete different ‘color’.

But in other hand, I know that it is not for a good reason that God allowed me to discover those people’s ‘true color’.

Still, it made me grieved. Disappointed. Confused. 

I am not the kind of person who would show myself as a different character from the original ones. I talk, I behave, I dress just as the way I am. I’m not a pretentious person. I will not fake nor act as a person I am not.


 There are people who like and love me for this but there are others who dislike and criticize me.

Whatever the reaction people give me, I am happy that I can be myself, not faking, not pretending, not acting.

I appreciate and love those who sincerely can accept me the way I am. I treasure them in my heart and in my life especially if they can spend years being my friends or in relationship with me without changing their attitude toward me.

And how about those who are found to be fakers? I won’t lie that I’m broken hearted to discover their ‘true color’. I keep civilized manner toward them but I know I no longer have any bond with them by heart. And it is not my loss if I don’t have anything to do with them anymore in present time or in the future.

Saturday, July 21, 2012

Cuti dan Jalan-jalan / Leave and Hang out

Yuhuiii!!! Saya cuti juga akhirnya…

Dalam 18 tahun pengalaman saya kerja dan dari sekian banyak cuti yang pernah saya ambil, rasanya cuti yang satu ini yang paling antik karena setelah setahun kerja belum ada ketentuan lanjut yang memuat segala pernak pernik kepegawaian saya ditempat ini.

Ini pun rasanya saya setengah nodong ambil cuti. Pertama karena jumlah total cuti yang saya dapatkan masih tidak jelas. Kedua karena walaupun sudah saya dengungkan tentang niat saya untuk mengambil cuti dari minggu kedua bulan Juni tapi sampai genap setahun masa kerja saya yang jatuh pada tanggal 1 Juli 2012 masih juga tidak ada perkembangan apa pun.

Melihat perkembangannya seperti itu maka ya sudah, saya nekad langsung mengajukan surat berisi tanggal-tanggal yang saya pilih untuk cuti. Ya abis, kalau tidak kayak gitu, ntar bisa baru tahun jebot ada yang ngomongin hak dan jatah cuti saya. 

Maksud saya, mau kerja dimana pun pasti kita dituntut untuk memberikan segalanya demi kerjaan dan mengesampingkan kepentingan atau perasaan pribadi tapi setidaknya hak karyawan pun perlu diberi kepastian. Kalau ngambang kan bikin bingung orang.

Tapi ya sudahlah, hitung-hitung bertambah lagi pengalaman saya. Mau dibilang rugi banget juga tidak. 

So anyway by the way, saya langsung membuat janji jalan dengan bu Martha begitu cuti saya di’legal’kan. Hari Minggu (8/7) saat kami lagi ngobrol-ngobrol soal jalan-jalan ke daerah Sukasari...

“Ke, besok cuti?” seorang ibu bertanya “Ikut yuk ke hotel Salak. Besok ada demo masak disana jam 9 pagi”.

Sik.. asyik… pastilah saya datang. Bu Martha juga langsung oke begitu saya ajak.

Seninnya saya sudah nangkring di gereja dari jam 07.30 karena jam 08.00 mau ke bank buat transfer bayaran orang gereja yang mau ikut seminar.

"Katanya cuti, kok masih ke sini?" tanya satpam.

Hehe. Judulnya pan karyawan teladan. Sudah cuti aja masih juga mikirin kerjaan. Lagian saya juga janjian ketemu Bu Martha di sini sebelon kita berangkat bareng ke Hotel Salak.



Tangganya dikanan tengah / The stair
is in the middle, at the right side of
this photo
Beberapa menit sebelum jam 9 sampailah kami di sana. "Acaranya di lantai dua, bu" kata resepsionisnya. Wah, gimana naik ke lantai dua? Tidak ada lift. Sementara itu tangga ditengah ruangan sudah dipantek plang bertuliskan 'Khusus VIP'. Kami pun ragu-ragu untuk naik karena tidak merasa VIP. Hehe. Gimana nih?

"Ah, cuek ajalah naik tangga" kata Bu Martha "Paling kalo salah ntar dipriwitin sama satpam". Hehe.. ada aja.. ya, akhirnya cueklah kami naik tangga itu.

Sampai di atas... plingak plinguk kiri kanan... lho kok sepi? Judulnya sih mulai jam 9 pagi tapi ini kok?? Yang ada sih bau wangi masakan... 

"Kita ikutin aja baunya" Bu Martha cengar cengir menatap saya yang kontan ngakak. Dasar emak-emak. Itu hidung gesit aja deh nyium bau makanan.. hehe.

Demonya ok. Goodie bag-nya juga ok. Para chef juga ok. Yang tidak ok cuma kok acara mulainya telat 1 jam dari yang dijadwalin? Tahu gitu kan kita berdua tidak terbirit-birit berangkat ke Hotel Salak, ngebelain harus ada disana jam 9 pagi. Kapan sih dibuang kebiasaan jam karetnya orang Indonesia??!! 

Sudah gitu jeda antar demo 1 resep ke resep berikutnya terlalu lama. Kebanyakan cuap-cuap MC-nya. Yang lain mungkin suka tapi buat saya malah bikin ngantuk. Jadi deh saya nyenderin kepala ke bahunya Bu Martha, terus gantian ke bahunya Tante Liana. Untung kiri kanan saya pada montok, enak buat dijadikan tempat nyender. Hehe..




Begitu demo masak kelar, saya dan bu Martha tancap gas jalan-jalan menyusuri Sukasari. Dari dulu saya menyukai daerah ini. Jenis makanan yang dijual disepanjang jalan ini tidaklah terlalu istimewa. Yang saya sukai adalah nuansa pecinan dan kota tuanya.

Kami berjalan kaki hilir mudik sampai jari kaki saya kram dan persis pula ditengah jalan pada waktu kami sedang menyeberang didepan BTM (Bogor Trade Mall). Untung ada bu Martha sehingga saya bisa berpegangan sementara berjalan terpincang-pincang menyeberangi jalanan.

Leganya begitu sampai di gereja. Kami beristirahat dulu sebelum pulang.

“Katanya cuti, kok ada disini?” rekan saya yang berpapasan dengan saya keheranan melihat saya muncul disitu jam 3.30 sore itu.

“Kan abis jalan-jalan sama bu Martha” saya nyengir. Duh, udah nongol pake jeans dan baju kaos gini kok masih dikira saya datang untuk kerja?

“Wisata kuliner ya?” dia balas nyengir.

Yep, betul, bro.

Sudah lama juga saya tidak jalan-jalan. Setidaknya setelah pindah ke Bogor. Kecuali kalau ada acara rekreasi yang diadakan oleh tempat kerja, belum tentu saya mau jalan-jalan. Anak manis banget ga sih saya ini? hehe…

Padahal dulu waktu masih tinggal di Jakarta, saya rajin jalan. Yang saya sukai adalah pergi jalan sepulang dari kantor. Bareng teman-teman kerja dan tidak jarang juga dengan boss-boss kami. Soalnya berapa kali saya kerja di perusahaan yang para atasannya masih single semua jadi enak buat diajak jalan dan nongkrong bareng. Saking kompaknya kami akhirnya berapa kali acara jalan bareng ini sekalian jadi acara kencan saya dengan beberapa dari mereka. Hehe. Sampai akhirnya ada yang keterusan jadi pacaran dengan saya. 

Kalau sudah jalan bareng gitu, tujuan kami pasti ke tempat makan dan kemudian ke café, bar atau pub. Itulah definisi jalan-jalan buat kami. Putar-putar mall atau nonton tidak ada dalam agenda.

Dan pulangnya pasti tengah malam atau beberapa kali pernah pulang subuh. Pulang sebentar ke tempat kost, mandi, sarapan lalu pergi lagi kerja kalau itu hari Sabtu. Atau ya langsung balik pulang ke Bogor kalau besoknya hari Minggu.

Dalam perjalanan pulang ke Bogor bisa dipastikan saya pasti tidur di kereta api. Ketika saya pacaran dengan rekan sekantor yang kebetulan juga tinggal di Bogor, kami berdua pulang barengan ke Bogor. Di kereta api pasti kami berdua tertidur dan baru bangun saat kereta masuk stasiun Bogor… pelor banget ya.. begitu nempel langsung molor.. hehe..

Tapi itu dulu. Pola hidup agak liar seperti itu terhenti setelah saya bekerja di Bogor dan bertambah umur. Yah, jadi jinak.. hehe…

Definisi jalan-jalan buat saya sekarang ini ya pergi bareng teman buat makan atau putar-putar daerah tertentu. Keluyuran di mall atau factory outlet masih tetap tidak saya sukai, kecuali kalau ada toko buku ditempat-tempat itu.
____________________________________

I’m taking my leave at last! And I’m gonna have the most of it.

In my 18 years of work experience and of all the leave I have taken, I think this one is the most unique. It is because after working here for a year there is still no clear indication about my employment.

It already feels as if I just grab my leave. First it is because there is no clear indication about how many leave days are given to me. The second is because though I have talked about taking a leave since the second week of June, I didn’t see any follow up made after 1st of July when I made a year working in this place.

Seeing this made me just sent a letter mentioning the dates I chose to be my leave days. If I waited until everything is taken care, God knows when would that be.

I mean, all work place demand us to give everything we have and cast away our personal needs and feelings but, heck, at least they should not make their workers feel insecure about their employement.

Well yeah.., so I just adding this into my pile of experience. I’ve got nothing to lose.

Mrs. Martha and I set up the date, Monday, 9th July, to hang out together once they ‘legalized’ my leave days.

At church on Sunday, 8th July, as we were discussing our plan..

“Are you taking your leave tomorrow?” asked a lady “why don’t you come with us to cooking show at Salak Hotel at 9 am?”

Sure. I’ll be there. Mrs. Martha agreed to go there too.

The next day I’ve got at the church since 7.30 am because I needed to go to the bank at 8 am to transfer seminar fee.

“Aren’t you supposed to be on leave today? What are you doing here?” asked the security to me.

Am I not a role model for a good employee or not? I was on leave and still did a little work. Well, I agreed to meet Mrs. Martha here so we could go to Salak Hotel together.

We got there few minutes before 9 am. “The show is held in the second floor” said the receptionist. But how would we go there? We saw no elevator. The only stair we saw had a sign ‘VIP only’. This made us hesitated to go up the stair.

“Oh what the hell, let’s just take the stair” said Mrs. Martha “The worst thing that could ever happen to us is being thrown away by the security if it’s off limit for the un-VIP”. I laughed it out loud.

So up we went to the second floor. But once we got there, why would it be so quiet? It said it would be held at 9 am, right? So where is everybody?

“Just followed the smell” Mrs. Martha sniffed the air that filled with the smell of meals. I laughed again. Her nose worked like a good radar.

 Well, the cooking show was ok. So did the goodie bag and the chefs. The only thing that is not ok is why it started one hour late of the scheduled time? If only we knew it would be that late, we wouldn’t leave the church in such a hurry.
 
Another thing is the interval between presenting one meal to the next meal was taking too much time. This made us had to hear the MC talked. Others may find it entertaining but to me it was boring and making me feel sleepy. Good thing for me to sit between Mrs. Martha and Mrs. Liana who are both curvy. I took turned to lay my head down on their broad shoulders. Lol.

Finally, I was able to take photo of this old house 
After attending the cooking show we went to Sukasari streest. The food sold there is not outstandingly impressive. The thing that makes me always like this particular street is for being the location of Bogor’s sort of Chinatown and old town.

We walked back and forth in this street that it made my middle finger had muscle cramp just when we were crossing the street on our way home. Lucky I wasn’t alone. I grabbed Mrs. Martha’s arm as I couldn’t walk well.

We got back at the church at around 3.30 pm to rest before went home.

“I thought you were taking a leave today” my colleague was surprised to find me there.

“I went out with Martha” I grinned. Man, could you tell from my jeans and tshirt that I certainly wouldn’t come to work with these kind of outfits..

“Having culinary trip?” he grinned back at me.

Yep, that’s right, bro.

I actually haven’t been hanging out in quite a long time out of the trip I made when my work place made an outing event.

It was another story when I worked in Jakarta. The guys at work and I would go out to dinner and club hopping after work till midnight or even till dawn. I was lucky to find work place where the bosses were single and so they wouldn’t mind to join us. It was even went further as it became dates when I dated few of them. Some lasted to become my boyfriend.

Our definition of hang out at that time is dining and went to pub, bar or club. Shopping mall or factory outlet were off the agenda.

During those times our hang out time would go till midnight or even dawn. Went back to the flat, bathed, had light breakfast and off to work if it was Saturday or went straight to Bogor if tomorrow would be Sunday.

I would always end up sleeping in the train to Bogor. Once I dated a co-worker whose home town is also in Bogor. We both would fell to sleep once we boarded the train to Bogor. What a pair… lol.

But that was then. That wild lifestyle changed once I got work in Bogor and as I grow older. So they have tamed me.. lol.. in some ways..

My definition of hanging out these days are going out with friends to dine or went sight seeing. I still dislike going to malls unless if there is bookstore there.

So anyway, I had good time on the first day of my leave.

Monday, July 9, 2012

Satu Tubuh / One Body

Kalimat pendek, “Ke, mas tidak bisa jemput pendeta. Mendadak harus antar orang. Gimana dong Ke?”, yang tertera dilayar telpon selular saya hari Minggu (8/7) jam 5 pagi itu sontak membuat mata ngantuk saya langsung jadi 1000 watt.

Waduh!

Sms itu dikirim malam sebelumnya. Waktunya tertera 21.30 WIB. Perkaranya semalam saya sudah tidur dari sekitar jam 7 karena badan berasa kurang fit.

Akibatnya saya baru membaca sms itu jam 5 pagi.

Pendetanya harus dijemput jam 7 pagi. Ibadah mulai jam 8 pagi. 

Saya tahu perkara ini pada akhirnya pasti akan beres. Hanya saja saat itu saya tidak punya ide bagaimana cara mengatasinya. Jadi sambil berjalan keluar kamar, menjerang air untuk mandi, membawa handuk ke kamar mandi, mengambil tas ransel dan menyiapkan baju yang akan dipakai, saya berdoa singkat dalam hati, ‘Tuhan, tolong bantu cari jalan keluarnya’.

Lalu ide itu datang. Sms rekan saya yang tinggal di gereja. Tapi tidak ada jawaban. Telpon saya pun tidak diangkat. Wah, jangan-jangan dia belum bangun. Ini masih jam 5 dan kemarin dia baru kembali dari acara retreat yang pastinya melelahkan. Bisa-bisa dia baru bangun jam 7. Gawat. Gimana caranya bikin dia bangun ya?.

Otak saya berputar lagi.

Ide lain datang; Telpon rumah teman saya yang suaminya tidak dapat menjemput pendeta yang dijadwal harus berkhotbah pada hari Minggu itu. Rumahnya dekat dengan gereja jadi saya minta supaya dia datang ke gereja untuk membangunkan rekan saya itu.

Syukur sejuta syukur, suaminya yang langsung mengangkat telpon saya. Dia langsung pergi ke gereja, menemui satpam dan mereka membangunkan rekan saya.

Sekitar lima menit kemudian datang sms dari rekan saya, “semua sudah saya urus”. Saya tidak tahu apakah dia sendiri yang akan berangkat menjemput si pendeta dengan motornya atau dia menyuruh satpam tapi kalimatnya itu mampu menentramkan hati saya.

Jam 6.30 pagi saya sampai di gereja. Jam 7 pagi pendetanya tiba di gereja. Semuanya teratasi. Saya bersyukur buat bantuan Tuhan dan kerjasama suami teman saya, rekan saya dan juga satpam.

Siangnya, setelah semua orang pulang dan tinggal saya dengan rekan saya, kami bicara tentang insiden pagi tadi.

“Lucu juga ya” kata saya sambil merenungkan peristiwa itu “kemarin kamu bikin saya terpusing-pusing ngurusin supir buat jemput kalian dari acara retreat. Tadi pagi gantian saya yang bikin kamu terpusing-pusing ngurusin jemput pendeta”


 Kemarin dia minta dijemput jam 13.30 sementara sopir masih sibuk membantu memasang sound system di gereja lain. Jam 12.30 sopir menelpon saya untuk memberitahu pekerjaannya belum selesai. Waduh. Senewen juga saya. Apalagi sopir tidak bisa memprediksi kapan pekerjaan itu selesai.

Kami tertawa mengingat dua peristiwa yang terjadi berturutan itu.

“Tapi tahu ga kamu bahwa saya mengandalkan kamu dan kamu mengandalkan saya?” saya nyengir sambil menatapnya “kamu membutuhkan saya dan saya juga membutuhkan kamu”

Dia tersenyum “kita satu tubuh. Yang satu tidak bisa berfungsi tanpa adanya yang lain”

Ya. Dia benar.

Coba lihatlah tubuh kita. Semua yang menempel ditubuh ini mempunyai fungsi. Rambut, mata, leher, tangan, kaki. Bahkan bagian yang paling kecil pun punya kontribusi untuk kelancaran aktivitas tubuh. Tidak ada satu pun yang lebih penting dari pada yang lain. Semua sama pentingnya.

Kalau kita bisa benar-benar menyadarinya, hubungan kita dengan siapa pun sebetulnya tidak perlu diwarnai dengan acara sirik-sirikan karena merasa yang satu lebih hebat, penting, lebih tinggi atau lebih terhormat dari yang lainnya atau sebaliknya, saling menghina karena merasa diri ‘lebih’ dari yang lain.

Dalam pengalaman kerja saya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, saya mendapati kenyataan bahwa model manusia yang bisa berprinsip seperti ini tidaklah banyak. Dari yang segelintir ini yang sangat saya ingat cuma ada dua;

Yang pertama adalah Uke. Dia jauh lebih senior dalam umur dan masa kerja di Indosat ketika saya, yang baru kelar kuliah tahun 1994, masuk dan bekerja sebagai karyawan magang selama setahun setengah. Dan saya melewatkan masa 3 bulan terakhir dari masa kerja saya di divisi customer service dimana Uke berdinas selama mungkin 15 tahun.


Tapi dari awal sampai akhir saya magang ditempatnya, dia tidak pernah bersikap atau mengeluarkan perkataan yang memperlihatkan senioritasnya, apalagi yang mengecilkan saya. Dia memperlakukan saya sebagai rekan kerja yang sejajar. Saya bukan hanya sangat menghargai sikapnya ini, saya menghormatinya lebih dari yang dia sendiri mungkin dapat bayangkan.

Orang kedua adalah mantan boss saya. Tahun 1997 saya mendapat pekerjaan di perusahaan yang baru dibuka. Cabang dari Singapura tapi yang dikirim untuk membawahi kantor itu adalah utusan dari kantor pusat di Jepang.

Mr. Nishimura adalah orang asing pertama yang menjadi atasan saya. Mengingat citra umum tentang orang Jepang, wajarlah bila saya agak ngeri membayangkan punya atasan orang Jepang.

Tapi selama hampir 2 tahun berikutnya kami bisa bekerja sama dengan amat sangat baik.

Ternyata beliau sama seperti Uke. Tipe manusia langka yang tidak memandang dirinya ‘lebih’ dari yang lain. Dia mengetahui bahwa dia membutuhkan saya sama seperti saya membutuhkan dirinya dan kantor kami sangat membutuhkan kami berdua jadi sikap kami berdua benar-benar atas dasar saling menghormati dan menghargai satu dengan lainnya.

Bagaimana dengan sekarang? Ya, ada beberapa orang yang punya prinsip dan sikap seperti itu.

Tapi pastinya melalui pengalaman hidup dan lewat manusia-manusia yang saya temui, saya belajar untuk hidup dengan prinsip dan sikap bahwa kita semua adalah satu tubuh.
______________________________________________

The screen of my cellphone showed short line from my friend’s text that said “My husband can’t meet the pastor on the meeting point. He needs to pick up somebody. What should we do?” and it opened up my sleepy eyes widely.

Great!

The text was sent the night before. It showed 9.30 pm. The problem is I have already gone to bed since 7 pm.

So I found it at 5 am!

The pastor had to be picked up from the meeting point at 7 am. The service starts at 8 am.

I knew there would be way out for this situation. Only that I had no idea what to do so as I stepped out of my room, getting ready to take a bath and preparing the things to go to work, I said a little quick prayer in my mind, ‘please, God, help me find way out to solve this situation’.

Then it came to me, call my colleague who stays in the church. I texted him. But he didn’t return it nor my call. I didn’t think he has got up this early. He just got back from a an exhausting retreat yesterday. How if he got up at 7 am?. Oh no! What should I do to wake him up?.

My mind spun fast.

An idea came to me; call my friend’s husband who couldn’t meet the pastor. Their house is near the church. I could ask him to go to the church, met the security and together they could wake my colleague.

Thank God the husband answered my call and he did what I asked him to do.

A text came five minutes later “I have taken care this”. It was from my colleague. I didn’t know if it meant he himself would go to the meeting point riding on his motorcycle or he sent the security there but he sure calmed me down.

I got at the church at 6.30 am. The pastor arrived at 7 am. The situation was solved. I thanked and appreciated for everyone’s participation on helping solving this situation.

In the afternoon, after everyone has left the church, my colleague and I recalled this morning’s incident.

“It’s kind a funny, you know” I thought it over “yesterday you brought me headache over sending the driver to pick you guys up from the retreat. This morning I brought you headache to pick up the pastor”.

He asked me to send the driver picking them from the retreat at 1.30 pm. The driver was helping setting the sound system in other church and letting me know at 12.30 pm that the work was far from done and no one could predict what time would it done. It gave me quite a headache.

We both laughed as we recalled these two incidents.

“But do you realize that I am counting on you as well as you are counting on me?” I grinned at him “I need you as much you need me”

He smiled softly “we are one body. One can’t function without the other”.

Yes. He is right.

Just look at our body. It has hair, eyes, neck, arms, legs. Even the smallest part has its own part to make the body can function well. None is more important than the others. Every part of it is important.

Now if we can really realize it, we wouldn’t have to poison our relationship with others with jealous over thinking other people have all the luck but ourselves nor would we ascend ourselves over others.

In my working experience moving from one work place to another, I have met few who lived their life based on this principle. The first among the few people is Uke.

She was much my senior in age and work experience. I was a fresh college graduate in 1994 when I was an apprentice employee at PT. Indosat while Uke seemed like had spent about 15 years in customer service division. I was place in her division for 3 months before I resigned from the company.

Never once did she behave or speak to show off her seniority or my juniority. She treated me equally. To which not only I appreciated it but I respected her more than she could have imagined.

The second person is my former boss, Mr. Nishimura, who was appointed by the head office in Japan to lead the office that was set up by their Singapore branch office. So it was a new office when I was hired in 1997.

I had never had a foreigner boss before and to have heard about Japanese people made me quite nervous to think I would have a Japanese boss.

But we spent nearly 2 years working very well together.


He was actually the kind of person like Uke was. A rare type of people who don’t think themselves superior than others. He knew that he needed me as much as I needed him and that our office needed both of us. It was what made us worked under mutual respect and appreciation toward each other.

Now how about in my present work place? Well, there are few people who have that kind of thinking.

One thing for sure is I learn from life experience and from the people I have met, learn that we all are one body.