Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, August 26, 2011

Penghormatan / Respect

Selama beberapa minggu terakhir ini pikiran saya dipenuhi dengan berbagai hal yang berhubungan dengan ‘Penghormatan’ sehingga saya memilih untuk menjadikannya sebagai judul untuk tulisan saya hari ini (Jumat, 26/8).


Tahukah anda betapa haus dan laparnya manusia itu akan ‘Penghormatan’? Cobalah lihat sikap kita masing-masing (semua harus bermula dari diri sendiri dong. Tul ga?) baru kemudian perhatikan juga sikap orang-orang di sekitar kita.

Kita menampakkan kebisaan, kepintaran, prestasi, jabatan, harta, silsilah, umur dan banyak kelebihan yang lain dengan tujuan supaya kita dikagumi, diakui dan terutama; DIHORMATI.

Preman memalak orang supaya dihormati.

Kakak senior di sekolah atau di kampus melakukan segala tindakan atas nama masa orientasi untuk membenarkan keinginan mereka demi mendapatkan penghormatan dari adik-adik kelasnya.

Dan bukankah kita kadang-kadang atau malah mungkin sering menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang berkuasa yang harus dihormati?

Bahkan guru banyak yang saya lihat bersikap galak sebagai taktik jaim (jaga image) supaya anak muridnya tetap menaruh hormat pada mereka.

Beberapa orang tua memilih untuk bersikap kaku, disiplin keras, bahkan otoriter dengan tujuan supaya anak mereka tetap menghormati mereka sebagai orang tua.

Di jalan semua berlomba untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain. Kita merutuki sopir yang menyalib kendaraan kita, tersinggung ketika pengendara lain membunyikan klakson kepada kita, menancap gas karena tidak mau kendaraan di belakang kita melewati kita. Yah, harus diakui kalau kita bisa menjadi sedikit liar dan buas saat berada di jalan raya. Semua karena kita merasa para pengendara lain tidak menghormati kita.

Naluri ingin dihormati ada dalam hati setiap manusia. Itu wajar. Tapi lebih baik kita bisa mengendalikannya atau lebih baik lagi apabila bisa dihilangkan karena segala sesuatu yang ada dalam dunia ini sifatnya tidak abadi. Bisa hilang dalam sekejap.

Kalau kita mencari penghormatan maka ingatlah selalu bahwa kalau pada hari ini kita dihormati karena karya, kelebihan, prestasi, kepintaran, posisi, status atau kekayaan yang kita miliki maka berhati-hatilah, karena hari esok atau bahkan pada detik ini juga semua itu bisa hilang. Kalau sudah demikian, apakah yang tersisa?

Lagi pula apa yang membuat penghormatan demikian penting? Apakah dengan demikian kita bisa merasa lebih berharga? Kalau memang demikian, di mata siapakah kita ingin menjadi berharga? Di mata manusia atau di mata Tuhan?
Apa yang bisa menjamin bahwa penghormatan yang diberikan manusia bersifat tulus, murni dan abadi? Manusia adalah mahluk yang paling rapuh. Hari ini dia bisa ada, besok sudah tidak ada. Detik ini dia berkata a, detik berikutnya dia bisa berkata lain. Untuk satu masa dia bisa menundukkan kepalanya di depan kita, hal berikutnya yang terjadi adalah dia mencaci kita. Di satu saat dia teman, di saat berikutnya dia menjadi musuh.

Janganlah juga lupa bahwa penghormatan manusia tidak bisa kita bawa menghadap Tuhan saat masa hidup kita di dunia berakhir. Penghormatan manusia tidak akan bisa mengatrol penilaian Tuhan tentang diri kita.

Jadi untuk apa mencari dan memperjuangkan sesuatu yang sia-sia?

Saya pribadi berpendapat penghormatan tidak perlu di cari. Biarlah orang melihat sendiri apakah kita layak atau tidak untuk dihormati. Saya lebih suka mereka bersikap wajar terhadap saya dari pada mereka tampil sopan, manis dan penuh hormat tapi semuanya itu palsu. Saya tidak menyukai hal apa pun yang dilakukan dengan terpaksa atau pura-pura.

Selama 6 tahun saya menjadi guru, tidak pernah sekali pun saya mempersoalkan tentang penghormatan. Sedemikian cueknya saya tentang hal itu sampai orang sering terkaget-kaget melihat bagaimana bebasnya murid-murid saya bersikap terhadap saya. Mereka bisa kapan saja mendatangi saya dan langsung memeluk, mencolek, menggelitiki sampai menarik hidung atau telinga saya. Bahkan mereka bisa meledek saya!

Apakah dengan demikian mereka tidak lagi menghormati saya sebagai guru dan orang dewasa? Sama sekali tidak! Di dalam kebebasan dan kelugasan itu mereka tetap menghormati saya. Hormat yang tidak dipaksakan apalagi di minta karena rasa hormat itu berjalan seiring dengan rasa kasih. Mereka tahu bahwa mereka mengasihi saya dan bahwa saya lebih lagi mengasihi mereka.

Begitu pula saya tidak merasa terganggu saat orang tua murid memanggil saya ‘Keke’. Saya tidak mempermasalahkannya sekali pun saya tahu orang itu lebih muda dari saya. Bahkan sebetulnya hubungan saya dengan orang tua murid terjalin tanpa jarak sampai dalam percakapan pun kami sudah memakai bahasa gaul.

Saya tidak pernah merasa tidak dihormati karenanya. Justru saya lebih senang demikian karena hubungan saya dengan murid-murid saya dan orang tua mereka dapat terjalin tanpa adanya jarak. Sikap kami menggambarkan isi hati yang sebenarnya. Bagi saya sejuta kali lebih baik demikian dari pada mereka bersikap santun dan penuh hormat tapi membuat saya bertanya-tanya dalam hati apakah semua itu tulus.

Yah, sayangnya tidak semua berpandangan dan berprinsip seperti itu. Jadi sekarang pertanyaannya adalah tipe seperti apakah anda?

__________________________________________________________________



In the past few weeks my mind has been pretty much full with the thought about ‘Respect’ that on Friday (August 26th) I decided to write about it.

It tickles me to see how starving we are for “Respect’. We are showing off our smart mind, position, cars, house, achievement and our other stuff in effort to get other people’s attention, admiration and RESPECT.


We can see it every day, everywhere. From street kids, senior students, teachers, parents to motorists. 


But what makes respect so damn important for us? That question fills my mind. Is it because it represents power? Or is it tell people of who we are? Or it makes us feel worthy? If so, in whose eyes? In the eyes of God or man?


And what makes man reliable? We all are vunerable. On minute we are alive but the very next  minute we’re gone. We can say something today & deny it tomorrow. We can be friendly & then act hostile to the very same individual.


So why seek something that is vain?


I personaly think respect is not worth asking nor demanded. Let people give you the respect. Let it be truthful. 



In my six years of teaching experience I allowed my students to act natural to me. I didn’t mind to have them came to me and kissed me or pinched my cheek, pulled my ears or nose or teased me.

 
Would it be interpreted as disrespect? Not at all. They respect me as their teacher & as an adult. It’s a non force kind of respect. They respect me because they love me & they know I love them even more.


But that’s me. How about you? Which type of a person are you?

Friday, August 12, 2011

Habit

Percayakah anda kalau manusia adalah mahluk yang sangat terikat pada kebiasaan?

“Ok bu, daaggg” atau “iya pak, daaggg”

Itu kutipan dari kata-kata yang selalu saya ucapkan setiap kali ada yang pamit pada saya untuk pergi atau pulang duluan. Atau …

“Pulang duluan ya.. daaaggg” ini ucapan saya kalau saya yang pamit pergi atau pulang duluan.


Beragam jawaban yang saya terima tapi sedikit yang bisa membalas salam saya dengan ber-dag dag ria. Umumnya mereka menjawab dengan ‘yuk’. Yah, tidak semua orang Indonesia terbiasa dengan penggunaan kata ‘daag’ yang notabene adalah kata adaptasi dari bahasa Belanda.

Mau tidak mau saya memperhatikan hal ini karena saya baru menyadari bahwa salam atau tabik seperti yang selalu saya ucapkan itu ternyata seperti hal yang tidak umum bagi orang-orang tertentu. Bagaimana saya bisa tahu? Dari reaksi mereka. Ada yang tersenyum, tertawa atau malah tidak sedikit yang tampak canggung. 

Awalnya saya dibuat agak heran juga tapi kemudian saya berpikir saya bisa dengan nyaman mengucapkan salam seperti itu karena pengaruh dari ibu saya (terutama). Beliau yang menanamkan kebiasaan tersebut.


Ayah saya sendiri datang dari keluarga yang berantakan sehingga tidak pernah mengenal kebiasaan untuk mengucapkan salam seperti itu. Tapi karena puluhan tahun hidup bersama ibu saya yang memiliki kebiasaan demikian membuatnya jadi terbiasa untuk mengucapkannya.


Ketika saya menjadi guru TK dari tahun 2005 sampai 2011, kebiasaan itu saya bawa pula ke sekolah. Saya tidak hanya mengucapkan selamat siang saat menyalami murid-murid saya sepulang sekolah. Saya menambahinya dengan ucapan ‘Sampai ketemu besok ya. Daaaggg!”. Dan rasanya wajar saja saat anak-anak itu membalas ucapan saya dengan mengatakan ‘Daagg, bu Keke”. Tidak pernah terbayangkan bahwa pada suatu masa telinga saya akan rindu mendengar ucapan seperti itu.


Ya, saya tidak lagi berurusan dengan anak-anak kecil setelah saya di terima bekerja di gereja ini. Saya berurusan dengan manusia-manusia dewasa seperti diri saya sendiri tentunya. Saya tidak mengatakan mereka adalah orang-orang yang tidak baik hanya karena tidak terbiasa bersalam ‘daaagg’. Mereka adalah orang-orang baik yang mengitari saya dengan kehangatan, dukungan dan tangan terbuka.


Namun dalam hal-hal tertentu saya merindukan anak-anak itu. Hal sesederhana seperti mengucapkan ‘daagg’ sebagai salam sebelum pulang pun mampu mengingatkan saya pada mereka.

Kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan terbukti bisa menyenangkan hati orang lain. Tapi sebaliknya juga bisa menjadi seperti “duri dalam daging”. Menusuk. Menyakitkan. Mengganggu. Hehe. Kenyataannya memang demikian sih.

Kebiasaan baik atau tidak baik tidak terjadi begitu saja. Diperlukan waktu sebelum akhirnya suatu prilaku atau pola pikir tertentu terbentuk dan tertanam di dalam diri setiap manusia. Sekali sudah mendarah daging akan membutuhkan waktu dan kebulatan tekad untuk merubah atau membuangnya.

Orang bilang lebih mudah meniru kebiasaan buruk dari pada kebiasaan baik. Saya pikir ada benarnya juga. Ada satu masa dalam hidup saya di mana kebiasaan memaki ‘S**t’ menjadi sesuatu yang wajar saja keluar dari mulut saya. Siapa yang mengajari saya mengucapkan kata makian seperti itu? Jelas saja bukan orang tua atau guru. Tapi lingkungan. Seorang rekan kerja saya terbiasa mengeluarkan kata makian seperti itu dan pelan-pelan kebiasaannya itu menular kepada saya.

Di sisi lain sampai sekarang saya punya kebiasaan untuk selalu menyiapkan pakaian atau benda-benda lain yang akan saya pakai atau yang akan saya bawa ke kantor pada keesokan harinya. Kebiasaan ini ditanamkan oleh ibu saya sejak saya mulai masuk sekolah.

Ada juga beberapa kebiasaan yang murni saya ciptakan dan kemudian saya tanamkan dalam diri saya. Misalnya kebiasaan untuk saya berpikir positif. Sampai sekarang saya masih tetap mengindokrin diri sendiri untuk berpikir positif. Hal ini saya lakukan setelah menyadari bahwa saya cenderung untuk berpikir negatif. Setelah melihat, merasakan dan mengalami bahwa hal itu merugikan diri sendiri dan juga orang lain maka saya membulatkan tekad bahwa saya harus membiasakan diri untuk berpikir positif.

Jadi bisa dilihat bahwa kebiasaan dalam diri kita bisa mendatangkan berkah dan kutukan. Sulit untuk menanamkan kebiasaan baik. Tapi lebih sulit untuk merubah dan menghilangkan kebiasaan buruk. Diperlukan kebesaran hati untuk mau melakukan instropeksi diri dan diperlukan kemauan serta kebulatan tekad untuk menanam atau membuang suatu kebiasaan.
__________________________________________________________________

Would you believe that we all are men of habit?

I can’t help not to notice this after seeing how people returned my greetings. I used to say ‘daag’ that means ‘bye’ in English. The word is actually a Dutch word for bye. Since Indonesia was colonized for 250 years by the Dutch, many of their lifestyle or language have been adapted by the Indonesian. Well, not all. Some Indonesian find it awkward to return that goodbye greetings.

My mother who instilled this habit while my father who came from broken family couldn’t care less about greetings but after spent decades living with her makes him too adapted the habit to say that greeting.

I developed a certain habit to say ‘see you tomorrow. Daag (bye)’ from 2005 to 2011 when I worked as kindergarten teacher. I didn’t just shake hands with my students when it was time for them to go home. I inserted those words too and it was almost natural for them to say ‘daag’ in return. Never did it cross my mind that I’d miss to hear those words.

Yeah so I don’t deal with kids, at least for time being, but I am not saying the people around me aren’t nice people only because not all of them say ‘daag’. No. They are nice people who surrounded me with kindness, support and open arms.

But in some ways, I miss those kids. The habits we did able to make me miss them.

So it is proven that habits can make people happy or torchured. It’s the fact. Our habits effected so many people.

But habits are not just came out. Each of them are formed from certain behaviours or way of thinking which after taken a period of time become formed and then instilled in each of us.

People say it’s easier to form and instilled bad habits than good habits. I think it’s true because in the past I’ve developed a cursing habit of saying ‘S**t’. How did I get this habit? Well, one of my former co-worker had that habit. It was contagious.

In other hand I have a habit to always prepare the stuff or clothes I am going to bring or wear the next day. My mother instilled it in me and it preserves until present time.

In the meantime I have deliberately instilled in myself some habits. For example I decided to force myself to think positive after realizing that I tend to think negatively and experience showed how it brought bad influence upon myself and other people.


It is clear that our habits can bring blessing and curse for ourselves and others. But it takes fairness to admit it. Further more, you need to make up your mind to break the bad habits. Remember the saying says ‘old habit dies hard’.