Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, February 26, 2011

‘Kriting’ di PG / Stress in PG class

“Ke, beneran?” tanya Evelyn pagi ini (Selasa, 22/2) sementara dia duduk di depan kantor mengobrol dengan wali kelas TK B dan saya di dalam kelas PG sedang sibuk bekerja di komputer.

“Jadi” jawab saya.

“Apa sih?” wali kelas TK B kebingungan mendengar percakapan ini.

Saya nyengir. Kemarin saya mengkonfirmasikan ke Evelyn bahwa hari ini saya akan dinas di kelas PG (Playgroup) karena kepsek harus menghadiri seminar seharian. Itu yang ditanyakan Evelyn tadi.

Cuma satu kata yang untuk menggambarkan kelas PG hari ini : ‘Kriting’. Saya sudah sangat bersyukur yang datang cuma 7 anak dari keseluruhan 10 anak sehingga kelas tidak terlalu ramai oleh anak & para orang tua.

Sebagai seorang yang biasanya ngotot banget ‘mengusir’ orang tua murid dari dalam kelas & yang selalu sangat semangat mengingatkan guru-guru di kelas lain untuk tidak mengijinkan orang tua murid masuk ke kelas mendampingi anaknya yang tidak mau di tinggal sendiri di dalam kelas maka buat saya mengherankan sekali bahwa kepsek membiarkan orang tua murid anak PG berada di dalam kelas dari awal sampai akhir pelajaran.

Pusing saya melihat bagaimana kelas PG yang sempit itu penuh sesak dengan kepsek, teteh, 10 anak & 5-6 orang tua anak PG.

Saya pikir mana enak mengajar di dalam kelas seperti itu. & agak heran mengapa kepsek membiarkan kondisi seperti itu berlangsung lebih dari 1 semester. Padahal di semester pertama saja doi rajin ‘berkicau’ mengomentari tantenya Kelvin & mamanya Vivien yang berada di dalam kelas saat anak-anak itu masih gamang berada di dalam kelas tanpa ditemani.

Kami memang memberi tenggang waktu bagi anak yang belum mampu untuk mandiri secara emosi untuk didampingi oleh orangtuanya / walinya selama 3 minggu atau bisa lebih lama dari itu bila memang diperlukan. Tapi di semester ke 2 umumnya anak sudah menjadi lebih mandiri & beradaptasi sehingga tidak ada lagi yang belum mampu berada di dalam kelas tanpa didampingi.

Proses kemandirian dilakukan lembut & tegas. Lembut saat kami membiarkan anak didampingi tapi perlahan juga diikuti dengan tindakan tegas memaksa anak untuk berada di dalam kelas tanpa didampingi. Resikonya di dalam kelas anak ybs mungkin menangis / mengamuk tapi kalau tidak disertai dengan pemaksaan seringkali anak mengikuti saja keinginan & ketakutannya. Jadi untuk mandiri memang perlu di paksa oleh keadaan.

Yah, sama saja seperti kita orang dewasa. Dulu saya di paksa keadaan untuk belajar bisa hidup mandiri lepas dari orang tua saat kost karena bekerja di kota lain. Dari yang tidak bisa akhirnya menjadi bisa. Mau tidak mau harus bisa. Lama-lama jadi terbiasa.

Keadaan membuat saya jadi mandiri secara emosi, mental & fisik. Kalau tidak di paksa keadaan & belajar memaksa diri maka saya tidak akan menjadi orang seperti sekarang ini.

Karena itu kalau kita memaksa anak-anak kita untuk berani mencoba & berani mandiri maka itu bukan suatu kekejaman tapi sesuatu yang harus dilakukan untuk kebaikan mereka sendiri nantinya.

Jadilah di dalam kelas hari ini ada papanya Jason dan pembantunya Ryan sementara mamanya Chelsea, mamanya Ferents & mamanya Kezia antara datang & pergi mengikuti kebutuhan sang anak. Kalau anak anteng maka mama di luar. Anak berlari keluar maka mama ikut masuk ke kelas. Suatu sikon yang membuat saya bingung, lelah fisik, capek di hati & rada bertanduk.

Saya tidak mengijinkan mamanya Ferents untuk masuk & doi juga tidak mau masuk.

Mamanya Kezia awalnya berada di luar tapi kemudian beberapa kali masuk ke kelas mengikuti ‘kebutuhan’ sang anak walau beberapa kali pula saya ‘usir‘ keluar walau untuk itu saya harus berhadapan dengan tangisan Kezia. Suer, capcay banget bo kalau ketemu dengan sikon-sikon kayak gini karena di saat yang bersamaan saya punya 6 anak lainnya yang harus saya perhatikan & di didik.

Mamanya Chelsea sama stressnya dengan saya menghadapi Chelsea.

Jujur saja, saya bingung melihat Chelsea & Kezia yang di awal masuk PG dulu adalah anak-anak yang menurut saya mandiri secara emosi & fisik. Kenapa kok mereka mengalami kemunduran?

Chelsea yang sudah lebih lama mengenal saya dari jaman kakaknya, Justin, berada di kelas PG yang saat itu saya yang menjadi wali kelasnya seperti takut saat harus mengerjakan tugas di dalam kelas. Padahal dulu saya sempat beberapa kali membiarkan dia ikut masuk ke kelas PG untuk memperhatikan kami bermain atau belajar, bahkan beberapa kali pula dia saya ijinkan ikut bermain bersama kami, ikut pula menggambar, mewarnai & menulis. Dia sangat antusias karenanya. Bahkan di awal masuk PG pun masih seperti itu. Jadi ketika beberapa minggu kemudian dia berubah menjadi cengeng, penakut & tidak percaya diri hal ini membuat saya bingung & prihatin. Ada apa ya dengan kelas PG itu? Begitu sangat berbedakah suasananya dengan saat saya menjadi wali kelasnya?

Tapi yang jelas hari ini trio Ferents, Kezia & Chelsea betul-betul membuat saya kriting. Kalau salah satu dari mereka ada yang lari keluar maka 2 lainnya akan segera menyusul. Seorang dari mereka menangis maka di jamin 2 lainnya segera menjadi gelisah & gelagatnya akan menangis pula. Satu dari mereka ingin pipis / minum / makan pasti 2 lainnya segera ‘terinspirasi’ untuk melakukan hal yang sama.

Sumpeh, selama hampir 6 tahun saya menjadi guru TK belum pernah saya menemukan kasus seperti ini. Ya, memang anak kecil itu serba ‘latah’. Tapi tidak seluruh tindakan temannya membuatnya latah ingin meniru / melakukannya juga. Jadi trio ini buat saya adalah kasus langka. Hehe. Betul bikin juling bin kriting. Saya penasaran, kesal, bingung & gregetan jadinya.

Sayangnya saya cuma sekali-sekali saja mengajar di kelas PG jadi tidak bisa saya menemukan jalan keluar untuk menghadapi kasus ini. Lagi pula nanti ada yang merasa dilangkahi / tidak kalau saya ‘menyumbangkan’ suara tentang trio ini sementara biasanya kan beliau yang selalu dengan penuh semangat menyumbang saran & kritikan kepada saya & Evelyn entah itu di minta / tidak di minta tanpa perduli apakah hal itu melangkahi hak prerogatif kami sebagai ‘penguasa’ di kelas TK A.

Ya, mudah-mudahan dalam waktu beberapa bulan ini anak-anak PG mengalami kemajuan. Kalau pun tidak maka mudah-mudahan perubahan & perkembangan yang positif dapat terjadi seiring dengan pertumbuhan usia mereka. Kita tidak boleh berhenti berharap, berdoa & berusaha.
___________________________________________________________________

“Ke, is it in today?” asked Evelyn to me this Tuesday morning (Feb 22nd) when she sat infront of school’s office as she chatted with another teacher who teaches in the senior class.

“Yep” was my reply.

“What in the world are the two of you talking about?” it puzzled the other teacher upon heard our coded conversation.

I grinned remember that yesterday I confirmed to Evelyn about me teaching in PG (Playgroup) class today replacing the headmaster who had to attend a seminar.

I’ve got only 1 word to describe PG class today : stressful. I’ve already thanked God that only 7 kids showed up out of the total 10 kids so the classroom wasn’t crowded with kids & their parents.

It confused me seeing that for someone who so persistently told us that parents are not allowed to accompany the kids inside the classroom, headmaster doesn’t applied this to her own class. I went inside or passed her class several times to see it was jammed with her, school’s janitor, the kids & about 5-6 parents. & that’s a small classroom. Even seeing it made me have headache already.

How uncomfortable it is for the kids to learn & for the teacher to teach?! I can’t figure it out howcome headmaster let it goes longer than a semester when I remember how often she reminded us, Vivien’s mother & Kelvin’s aunt about not allowing parents inside the classroom when those kids weren’t able to be left by themselves in the classroom in their first semester.

School does give 3 weeks for children to be accompanied by their parents if they’re having difficulties to adapt / to stay in class all by themselves. But usually they’ve become more independent in the second semester that they can stay in class all by themselves.

The process to this uses 2 methods. Gentleness & stern. Sometimes we need to be stern to a child or otherwise the child would hold on to his / her fear or attachment to their parents. They need to learn to be independent emotionally & physically. It’s about tough love. If we love our kids, we need to teach them to be independent. Sometimes it means we need to force them to learn it. In kindergarten it means by leaving them alone in the classroom though it would drive them crazy or crying but sometimes it has to be that way. Forcing a situation where they had no other choice than to learn to let go their fears & start to learn to be independent.

Even adults learn the same way when we face situation where we have to learn to do it by ourselves & not give in to our inferior feelings.

I learned to live independent when I had to live & work in other towns. Away from my parents forced me to be tough. I’d not become a person I am today if I haven’t gone through those situations.

So in the classroom there were Jason’s father & Ryan’s maid while Ferent’s mom, Chelsea’s mom & Kezia’s mom were in & out accordingly to their daughters need. If the kid sat in the classroom, they were outside but when the kid rushed outside, they came in.

It frustrated me. It really did.

I had to ask them to leave because I didn’t want them to be inside the classroom. I had to deal with Kezia’s & Chelsea’s tantrums because of that. It’s really mentally & physically exhausting if you had to deal with a child’s tantrum while at the same time you’ve 5 other kids to care for.

To be honest I’m completely confused to see PG kids especially Kezia & Chelsea whom looked so matured & independent when they were first entered PG class. I’ve even known Chelsea from the time when her brother, Justin, was in PG. I allowed her to watch & even participated in our class activities such as playing, colouring or writing & she enjoyed it & thus so excited & enthusiast about schooling.

So the change in their behaviours are very confusing & bothered me deeply. I’m curious to know what has made them changed. But I don’t teach in that class everyday not to mention if I’d upset someone if I’ve a say or intervene one’s class considering that all this time it has always been that one particular person who’s been quick to have a say & intervene our class though it means it violates our prerogative right of our own class.

The trio of Ferents, Kezia & Chelsea really drove me insane today. Whenever one of them went out the classroom, the other 2 would follow. When one of them cry, the other 2 would give signs of being restless & even ready to have tantrum. When one of them took a drink / eat / washed her hands the other 2 would follow suit.

I swear in my nearly 6 years working as kindergarten teacher I’ve never met any case like this. It’s common for kids to imitate / copy their friends attitude but not always. That’s why it’s a rare case for me.

Well, I hope they will change in the time a head. If they don’t let’s hope they will as they grow older. We can’t stop hoping, believing & trying.

No comments:

Post a Comment