Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, June 11, 2011

Cemburu / Jealousy

“Punya usul buat kostum nari anak perempuan?” tanya saya pada Esther, mamanya Dea, Kamis pagi ini (9/6).

Tadinya saya mau mereka ber-jeans tapi kepsek bilang itu kostum anak PG. Wah, harus ganti dong. Sementara itu saya tidak mau mereka harus tampil dengan busana daerah karena ribet, coy. Kalau di pakai dari rumah nanti keburu basah dengan keringat / kotor. Kalau mau ganti di sekolah, terus terang saja saya tidak semangat membayangkan saya harus mencopot-memakaikan-mencopot lagi baju-baju mereka sebelum & sesudah menari. Ini hasil kesimpulan dari pengalaman 6 tahun mengalami acara perpisahan dan natalan.

Pilihan ada 2; mau memakai rok lebar bermotif seperti usul Esther atau memakai rok mini di atas legging. Nah, saya minta Esther membicarakannya dengan emaknya Stevany, Sekar, Michelle, Clarissa,Vivien dan Kim. Saya tidak mau memutuskan sendiri. Lebih enak kalau melibatkan mereka karena toh pada hari H nantinya yang akan tampil kan anak-anak mereka. Wajar kalau mereka pasti ingin anak-anak mereka tampil bagus, cantik dan heboh.

Pulangnya saya sempat bicara dengan mamanya Michelle tapi belum bertemu dengan semuanya. Jadi besok harus saya follow up lagi.

Kalau kostum anak lelaki malah saya tidak mendapat input saran sama sekali. Apin, emaknya Justin, takut nanti pilihannya di protes orang. Lha, ini kan baru kasih usul, Pin, kata saya. Nanti semua usul dikumpulkan, dipertimbangkan dan didiskusikan sampai ketemu keputusan terbaiknya.

Yah, kalau masih tidak ada input juga dari Apin atau tantenya Kelvin, emaknya Farrell, Stevanky, Kekey, March, Nico dan Rivandio maka saya pikir mungkin kostum mereka bercelana panjang hitam, berkaos putih, memakai selendang yang di ikat di pinggang dan kopiah saja. Hehe. Cocok rasanya sesuai tarian mereka ‘Ampar-Ampar Pisang’. Oya, plus nanti digambari kumis.

Latihan kami berjalan mulus tanpa gangguan. Saya lega hari ini March masuk sehingga latihan lebih lancar karena dia dijadikan patokan gerakan oleh teman-temannya.

Setelah itu kegiatan selama sekitar 45-50 menit adalah menebalkan huruf a-p-e-l, menggunting huruf-huruf itu dan menempelkannya membentuk kata ‘apel’. Buah apelnya juga diwarnai.



Menyusul mencocok 2 potongan bentuk dari 2 kertas warna yang berbeda yang kemudian di tempel digambar payung. Mereka tentunya harus mencari yang bentuknya sama dengan potongan kertas itu. Tidak main asal tempel.




Di tengah-tengah kegiatan tiba-tiba wali kelas TK B sudah muncul di dalam kelas saya. Oh, perbatasan dibuka ya? Saya tertawa setelah sempat kaget melihat tiba-tiba doi sudah muncul di belakang saya.


“Masih mau nari ga?” tanyanya “kalau tidak tape playernya dibawa ya ke sebelah”

Dan didoronglah tape player itu dari kelas saya ke kelas TK B melalui celah sempit ini. Ke dua kelas kami memang hanya dipisah oleh loker-loker dan lemari plastik. Itu saya juluki ‘perbatasan Israel dan Palestina’. Hehe.

Di jam makan bekal…

“Ibu, lihat Vany pakai kacamata” Stevany mendatangi saya sambil cengar cengir memamerkan kacamata yang dipakainya kalau berkendara dengan motor ayahnya “Farrell juga, bu guru”. Disampingnya Farrell duduk dengan gaya super cool sambil makan Oreo. Gaya, ah, kalian. Hehe.


Hm. Tapi melihat mereka makan kok ya perut saya jadi agak-agak berkukuruyuk nih. Tapi detik berikutnya…

“Bu, ini buat ibu” bergantian anak-anak itu menyodorkan bekalnya pada saya. Acara bagi-bagi begini sudah menjadi kegiatan rutin mereka setiap jam makan bekal. Jadilah saya tidak perlu khawatir perut bernyanyi karena bisa menyumpalnya dengan sepotong biskuit, wafer, coklat, roti dan bahkan pernah mendapat secuil potongan chicken nugget dan sejumput mie goreng. Hehe.

Di jam istirahat…

“Bu, Justin tadi mukul Sekar” Sekar yang sedang menggelendot ke saya tiba-tiba bicara. Wah. Kebetulan Justin ada di dekat kami jadi saya ambil tangan Sekar dan saya pukulkan ke Justin sambil berkata “Justin nakal!”

Bukannya saya mengajarkan yang jelek tapi Sekar sudah sekitar setengah tahun menjadi sasaran kejahilan Justin. Mulai dari yang hanya berupa kata-kata seperti ‘Sekar gentong’ sampai cubitan dan pukulan. Bahkan pernah meludahi, hal mana yang membuat saya sempat meradang karena sungguh terlalu.

Sekar anak yang pemalu dan pendiam. Tidak pernah nakal. Anak itu bahkan baru saja menemukan kemandirian dan keberaniannya dalam hal bersekolah. Semester lalu dia ketakutan, panik dan gugup harus berada di dalam kelas. Diperlukan kesabaran ekstra, dorongan semangat dan ketekunan sebelum akhirnya dia bisa menjadi mapan di sekolah. Lha, kok ada saja gangguan.

Kalau hanya menggoda sih saya tidak akan membela Sekar mati-matian begini. Tapi ini saya lihat bisa menjurus menjadi tindakan bullying. Karena yang dijadikan sasaran adalah anak yang pendiam dan pemalu sehingga tidak akan membalas seperti kalau dialami oleh Dea, Echa, Kim, Michelle, Stevany.

Saya hampir kehilangan akal juga menghadapi ulah Justin ini. Saya sudah menegur, memberi hukuman sampai berkata keras tapi entah kenapa kok tidak mempan juga. Akhirnya saya berpikir Sekar yang harus saya latih untuk bisa berani menghadapi ulah Justin. Jangan cuma mengadu ke guru. 

Semester depan saya tidak akan ada lagi di sekolah ini. Jadi saya ingin mengajar Sekar untuk berani melakukan sedikit perlawanan terhadap ulah Justin.

“Sekar, pukul tangan bu Keke” kata saya. Dia memukul. Alamak. Ini sih bukan mukul. Ini mengelus. Hehe. Lemah lembut banget soalnya.

“Pukul lagi, Sekar”. Dia memukul tangan saya sekali lagi. Sudah agak lebih keras. Tapi belum cukup galak menurut penilaian saya, jadi “Pukul lagi lebih keras”. Dia memukul lagi dan kali ini cukup keras.

“Nah, begitu. Jadi kalau Justin memukul kamu atau godain kamu, kamu pukul dia seperti itu sambil bilang ‘Justin nakal’. Seperti tadi yang bu guru contohin waktu tangan kamu bu Keke pukulin ke punggung Justin. Ya?” saya berpesan padanya sambil berpikir bahwa saya harus melatihnya untuk bisa lebih ‘galak’.

Lalu saya memeluknya. Dari jauh Justin memperhatikan kami dan tiba-tiba saja dia jadi uring-uringan dan karena sedang bermain ayunan dengan teman-temannya yang lain saya lihat dia mulai mengatai dan memukul teman-temannya itu tapi karena mereka tidak seperti Sekar, tentunya mereka segera protes dan membalas. Ha. Jadi Justin pun keok. Akhirnya dia hanya merepet panjang lebar dengan muka cemberut.

Tapi hal ini membuat saya berpikir. Cemburukah Justin pada Sekar sehingga dia menerornya dengan berbagai ulah yang menjengkelkan itu? Tapi kalau memang benar demikian, cemburu karena apa?

Saya mencoba mengingat-ingat perlakuan saya terhadap anak-anak itu. Rasanya saya cukup memperhatikan mereka dengan adil. Memang tidak mudah memberi perhatian secara adil kepada 16 anak apalagi ada anak-anak tertentu yang lebih asertif dan agresif dalam upaya untuk mendapat perhatian dan bahkan memonopoli saya sementara yang lain pasif.

Aduh, pusing saya kalau berurusan dengan kecemburuan orang. Mau itu murid, teman, pacar, atasan.

Dulu Dea bisa ngambek dan mengamuk sampai bertindak sedikit agresif kalau dilihatnya ada anak lain yang duduk di pangkuan saya. Baginya saya adalah miliknya sepenuhnya. Baginya saya adalah orang yang disayangi dan yang diketahuinya menyayanginya jadi dia tidak ingin membagi saya dengan anak lain.

Lain lagi ceritanya dengan pacar saya yang pernah murang maring tidak karuan juntrungan pada saya karena melihat saya duduk berhadapan dan bicara dengan temannya yang juga adalah teman saya. Jadilah saya dan teman kami itu saling berpandangan. Kebingungan.

Cemburu dalam bentuk lain pernah saya alami saat mantan guru di sekolah ini pernah bersikap sangat jutek pada saya karena dia cemburu dengan kehadiran saya yang dinilainya mendapat perhatian lebih dari kepsek.

Lucunya insting saya pernah mengatakan bahwa kepsek pun beberapa kali pernah mencemburui saya karena anak-anak itu lebih senang bermain / bercanda dengan saya. Buktinya saya pernah di larang beliau untuk menggendong, memangku atau melakukan bentuk-bentuk afeksi pada anak-anak sampai saya harus ngumpet-ngumpet saat ingin melakukan hal-hal itu. Ini benar-benar terjadi, lho.

Apakah saya pernah merasa cemburu? Tentu saja. Saya cemburu pada orang-orang yang sepertinya ‘terlahir dengan sendok emas di mulutnya sejak dari lahir’ dalam artian memiliki segala yang tidak saya miliki seperti otak encer, cantik jelita, tubuh langsing dan kekayaan yang membuatnya tidak perlu berpayah-payah bekerja seperti saya.

Lalu saya pernah pula cemburu pada mendiang adik saya yang saya nilai lebih lucu, cantik dan disayangi serta disenangi oleh ortu, nenek, om tante & sepupu-sepupu saya. Ketika adik saya itu kemudian meninggal pada tahun 1981 dalam usia 5 tahun karena sakit demam berdarah, saya sedih kehilangan adik tapi juga senang karena tidak ada lagi rival. Untuk kemudian saya membenci diri sendiri karena memiliki pikiran seperti itu. Saya baru berdamai dengan kenangan tentang adik saya pada tahun 1993 saat saya di baptis. Kebetulan tanggal saya di baptis tepat dengan tanggal dan bulan kelahiran adik saya.

Sejak itu juga saya memutuskan untuk tidak bercemburu ria terhadap siapa pun. Kebetulan juga saya punya sifat cuekan dan humoris sehingga mempermudah untuk saya bisa ‘mengibaskan’ rasa cemburu jauh-jauh.

Tapi justru setelah itu pula saya menyadari bahwa saya lebih sering dicemburui orang dari pada mencemburui orang lain. Aih.

Yohana dan anaknya datang jam 10.30an. Jadi beneran nih ngajar di PG? Di satu sisi saya lega karena ada guru pengganti. Tapi di sisi lain saya mendoakan mudah-mudahan dengan keluarnya saya akan membawa perubahan dalam sikap dan pemikiran kepsek. Mudah-mudahan beliau akan menjadi lebih bijak dan menghargai anak buahnya. Mereka itu kan asset. Berharga untuk sekolah dan juga untuk dirinya. Jadi jangan ‘melemparkan mutiara ke lumpur’ dong apalagi menginjak-injaknya. Janganlah lakukan hal itu lagi atau nanti bisa-bisa semua ‘mutiara’ yang tersisa di sekolah ini kabur semua.
___________________________________________________________________________

“Any idea for the girls’s dance costume?” I asked Esther, Dea’s mother, this Thursday morning (June 9th).

At first I wanted them to wear tshirt & jeans but that’s already chosen for Playgroup’s dance costume so the choice is either tshirt with patterned skirt or mini skirt and legging. I asked Esther to talk about it with the moms of Stevany, Sekar, Michelle, Clarissa,Vivien & Kim.

On the contrary I don’t get any input for the boy’s dance costume. So I think I’ll have them wear black trousers, tshirt, stoles string around their waists and maybe I’ll draw mustache on their faces.

Our rehearsal ran smooth today. No interruption. No intervention. Good.

Today’s class activities are writing the words a-p-e-l (apple), cut the words and glue them on the book. The last is color the apple.

The last task is to prick the colored paper. I’ve drawn 2 patterns each of those papers. After being pricked the papers can easily be tear off and the kids had to stick them on the right match on the umbrella.

In the middle of our activities the presence of B class teacher really surprised me because I didn’t hear her come. Oh, so the border’s gate is open. Our classes are divided with lockers and plastic cabinets that can be easily push and pull. She has removed 2 plastic cabinets to enter my classroom. I dubbed it as Israeli-Palestine border.

“Are you going to have any rehearsal after this?” she asked me “if you don’t, I want to take the cassette player to my class”

I confirmed that I don’t need it so she pushed it through the small open sort of alley connecting our classes.

At snack time..

“Look at us, miss Keke” said Stevany. She and Farrell posed with their glasses on for my camera.

Later in school’s yard Sekar came to me “Justin punched me”

It concerned and troubled me so much to see Justin’s behavior toward her. It’s not just teasing. He has punched, pinched, pushed, called names and even spitted on Sekar. The last one was really enraged me because Sekar is a nice, sweet and quiet girl. The only kid she has fight with is just her brother.

It took me one semester to make her settled with school’s life & gained confident to be in class. I don’t need anyone trying to destroy her spirit and confident.

So I thought hard how to make her able to defend herself because I won’t be here to defend her in the next semester. I think she should show Justin that she can fight back his bullying attitude toward her and that she doesn’t scared of him. I need to work on her because I can’t make Justin stops bullying her. I’ve tried every way from warning, punishment, sweet to stern talk and tried to bring them the feeling of team work. Every effort could bring short lasted positive impact.

“Punch my hand” Sekar punched it… gently.

“Again. Stronger” she punched again. Harder but not harder enough.

“Harder!” this time she really punched it hard.

“Good” I looked her into the eye “now everytime Justin does anything bad to you, you punch him like that and tell him to leave you alone. Ok?”

She did exactly that not long after that. Justin was astonished but she did make her point. I gave her a big hug and a kiss. Then I realize Justin was watching us as he was playing on the swinging with other kids.

He looked upset and started to punch the kids around him. Too bad for him. Those kids aren’t the meek type. They punched him back and he didn’t dare to punch them back. I’ve seen this before and I knew that Justin is afraid to kids who stand their grounds when he tried to bully them. That’s why I want to make Sekar tough. She may still be quiet, sweet and gentle but she’s not meek.

However Justin’s behavior when and after he seen me kissed and hugged Sekar made me think if he’s jealous of her being close with me. There’s a possibility he might start bullying her for that reason.

It reminds me to Dea’s behavior when she was in Playgroup class. She knew I love and care for her as much as she did to me and this made her enraged whenever another kid hugged, kissed or sat on my lap. She thought I was all hers and she didn’t want to share me with other kids.

Oh, talk about jealousy… it gives me headache when I had to deal with it.

A former teacher in this school used to feel jealous to me because she thought I was headmaster’s pet and so she treated me badly.

Funny thing is headmaster herself I sensed somehow felt jealous over my closeness with the kids & how they like me better than her or other teachers. She once forbid me to hug, carry or let the kids to sit on my lap. I had to do those affectionate things behind her back.

My former boyfriend was once made me confuse over his erratic behavior because he didn’t like me talking or even to sit facing our friend. We of course looked at each other in puzzlement seeing him behaved like that.

I of course had my own jealousy too. I’m jealous over the people who seem to be born with golden spoon on their mouths which means people whom I see smarter, prettier and richer than me.

Then I had my jealousy over my late younger sister whom I thought was cutter, funnier and loved more by my parents, grandparents, cousins, aunts & uncles. When she passed away of dengue fever I had mixed feelings of sadness over loosing a sister and relief over not having a rival anymore.

I made peace of that feeling when I was baptist in 1993. The date funnily is her birthdate. Just after that I learned not to feel jealousy toward anyone. My easy going and humourus characters help me to obtain that will.

But I soon discovered that it is me who became other people’s object of jealousy. Sigh..

Yohana and her daughter came at around 10.30 am. So is it confirmed that she’s going back teaching in this school? Well, in one hand I’m glad that she can replace me but in other hand I hope my resignation will make headmaster able to see that the teachers in this school are valuable assets and she can appreciate, respect and therefore treat them better.

They are benefitting the school and herself, of course. So don’t throw the pearl in the mud. Let alone stepped on it on purpose. Or  all the pearls left in this school will find their ways to get to better places.

No comments:

Post a Comment