Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, May 6, 2011

Over Protective or Too Permissive?


Segalanya berjalan lancar pagi ini (Selasa, 3/5) sehingga saya tidak menduga akan mendapat kejutan beberapa jam kemudian.

Kegiatan kami di kelas di mulai dengan memantulkan bola voli ke lantai dan menangkapnya. Wah, ternyata beberapa anak kesulitan tuh.



Tapi yang saya senangi adalah anak-anak itu ternyata saling membantu. Bila mereka melihat ada teman yang tidak dapat memantulkan bola maka mereka akan memberi semangat, mengatakan bagaimana caranya sampai betul-betul maju ke depan temannya itu untuk menunjukkan bagaimana caranya.

Di sisi lain mereka sendiri agaknya terkesan melihat bagaimana semangatnya saya menunjukkan kegembiraan, kelegaan dan kepuasan saya saat teman mereka yang awalnya ragu untuk mencoba atau tidak dapat memantulkan-menangkap bola dengan benar akhirnya mau maju atau bisa dan berhasil melakukannya.

“Ya iyalah, bu guru senang. Karena kalau kalian takut mencoba dan takut berusaha, kalian tidak akan jadi pintar dan tidak akan pernah bisa” saya tersenyum “Kalian tahu tidak, sampai sekarang bu guru tidak bisa naik sepeda karena takut jatuh. Bu guru juga tidak bisa berenang karena dulu takut sakit kalau kena air”

Wah, mereka mendengarkan ucapan saya dengan penuh perhatian dan tampak heran bercampur prihatin membayangkan ada seorang dewasa, apalagi guru mereka, yang tidak bisa naik sepeda dan tidak bisa berenang. Hehe. Ya, soalnya bagi mereka, ibu gurunya adalah orang yang serba bisa dan serba tahu. 

Tapi memang demikianlah adanya karena dulunya saya penakut dan penyakitan. Saya tidak menjadi penakut secara alami. Orang tua saya menanamkan rasa takut itu melalui hal yang tidak pernah mereka rencanakan dan yang pastinya tidak mereka bayangkan akan menjadi sesuatu yang berbuntut negatif pada diri saya.

Mereka hanya terlalu menyayangi anak sehingga menjadi terlalu melindungi. Sesuatu yang agak aneh menurut logika saya karena keduanya adalah orang-orang yang semasa kecilnya aktif dan tahan banting.

Ibu saya bercerita awal bisa berenang adalah saat ayahnya melemparkannya ke laut. Benar-benar diangkat dan dilempar ke laut. Segera setelah bisa berenang maka laut adalah tempat bermain dari pulang sekolah sampai sore.

Tapi apakah beliau mempraktekkan hal yang sama pada saya? Wah, boro-boro. Dari kecil saya dibiasakan mandi memakai air panas karena takut saya masuk angin dan sakit kalau mandi air dingin. Padahal dari lahir sampai saya berumur 27 tahun kami tinggal di Jakarta yang terkenal pengap dan panas.

Yang jelas kebiasaan itu sulit dihilangkan. Apalagi setelah kami pindah ke Bogor. Cuaca pegunungannya Bogor tidak memungkinkan saya untuk mandi dengan air dingin karena airnya sedingin air es. Bahkan di hari yang paling panas pun tetap saja angin dan air di Bogor terasa dingin.

Sementara ayah saya adalah tipe anak lelaki yang badung. Keluyuran dan berkelahi sudah jadi kegiatan sehari-hari.

Lalu apakah kemudian saya diijinkan ikut kegiatan ini itu di sekolah? Mau menginap di rumah teman saja berat rasanya mengeluarkan ijinnya. Jadi jangan harap ayah saya akan mendukung saya ikut kemping.

Tahun 2000-2001 waktu saya bekerja dan kost di Jakarta, setiap siang pasti bokap nelpon menanyakan bagaimana keadaan saya. Ketika saya kemudian bekerja dan tinggal di mess dari pabrik di Indramayu tahun 2002, ayah saya sampai pernah tidak bisa tidur memikirkan saya. Hehe.

Ke-paranoid-an ortu saya bertambah drastis setelah mereka kehilangan 2 adik saya. Yang nomor dua meninggal saat berusia 2 bulan karena radang paru. Yang bungsu meninggal tahun 1981 saat berusia 5 tahun karena demam berdarah.

Dengan hanya 1 anak tersisa yaitu saya, yah, semakin ketat pula penjagaan mereka. Saya ingat dulu saya pernah menganggap suatu prestasi besar kalau saya bisa diijinkan menginap di rumah teman lebih dari sekali dalam sebulan. Hehe.

Tapi dasar saya memang tidak terlahir sepenuhnya sebagai anak manis dan penurut membuat perjalanan hidup saya diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan. Walau bentuknya masih terhitung kelas ringan karena saya cuma ‘menekadkan’ diri untuk kost di Jakarta, lalu bekerja dan tinggal di Indramayu, pergi dan keliling kota Cirebon sendirian.

Pemberontakan dan petualangan saya yang terakhir adalah tahun lalu saat saya pergi menemui 2 orang teman mantan kuliah di Tamini Square. Untuk itu saya menempuh perjalanan naik bis dari Bogor ke Jakarta, lalu dari terminal Kampung Rambutan saya tanya kiri tanya kanan mencari angkutan ke Tamini.

Belum pernah saya melakukan hal itu sebelumnya. Ini pun saya lakukan degan membohongi ortu. Karena saya ogah harus berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan mereka.

Ya, saya juga was-was melakukan perjalanan itu karena sudah lama sekali saya tidak pergi ke kota lain dengan memakai bis (di dalam kota Bogor tidak ada bis. Transportasi dalam kota di layani oleh angkot) dan Jakarta bukan lagi kota saya.

Jakarta sudah menjadi asing untuk saya. Tamini Square belum ada waktu saya masih tinggal di Jakarta. Jadi saya buta dengan rute menuju tempat itu. Belum lagi petunjuk ke 2 teman saya itu untuk saya turun di Cawang tidak bisa di laksanakan karena rute bis sudah berubah. Semua bis menuju Kampung Rambutan. Jadi bayangkanlah bagaimana lega dan bangganya saya setelah akhirnya berhasil ‘mendarat’ di Tamini. Rasanya seperti baru memenangkan lomba Tour de France. Hehe.  

Nah, setelah saya menjadi guru barulah saya melihat perbedaan dalam cara mendidik anak yang diterapkan oleh orang tua dari murid-murid di TK ini. Rata-rata bagaikan langit dan bumi dengan gaya mendidik orang tua saya.

Misalnya saja dari apa yang terjadi pada Sekar hari ini yang mendadak muntah di tengah-tengah pelajaran mewarnai.

Muntah, coy. Seluruh sarapannya tadi pagi keluar semua. Untung saja masih dalam keadaan belum sepenuhnya di cerna lambung sehingga aromanya pun tidak terlalu asam. Lebih syukur lagi dia tidak minum susu.

Saya sudah 6 tahun bekerja sebagai guru dan dari pengalaman saya bisa mengatakan bau muntahan anak sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsinya. Susu dicampur dengan cairan asam lambung menghasilkan aroma yang….. hmm….. dijamin bisa membuat anda mau muntah juga. Hehe. Wah, maaf kalau anda membaca blog ini sambil makan. Mudah-mudahan tidak merusak selera makan anda ya.. hehe.

Sudah lama juga tidak ada anak di kelas saya yang muntah. Membuat saya kurang terlatih dalam menahan baunya. Hehe.

Tapi untunglah saya bukan jenis orang yang mudah jijik atau mual. Salah satu trik yang saya temukan dan tanamkan dalam diri saya saat berhadapan dengan muntahan adalah jangan memandangnya sebagai muntahan. Anggap saja sebagai kotoran seperti saat kita melihat tumpukan sampah. Cara seperti ini membuat saya tidak jijik dan tidak mual saat melihat, bersentuhan atau mencium segala sesuatu yang berhubungan dengan muntahan.

Yah, bagaimana pun juga ini resiko jabatan. Toh anaknya juga tidak melakukannya dengan sengaja. Jadi terima dan jalani sajalah.

Tapi selidik punya selidik, tahulah saya bahwa sebelum berangkat sekolah, Sekar sudah muntah di rumah. Dugaannya adalah masuk angin karena dia suka tidur di lantai.

Kenapa masih masuk sekolah juga? Anaknya ngotot ingin masuk, begitu keterangan yang saya dapatkan.

Nah, disinilah saya melihat perbedaan tajam dari cara orang tua saya mendidik anak dengan cara orang tua lain mendidik anak mereka. Orang tua saya memang keterlaluan melindungi saya tapi saya melihat ada orang tua lain yang dalam penilaian saya terlalu berani melepas anak. Dalam artian kita boleh saja mendidik anak berani, mandiri, tegar, percaya diri dan tidak cengeng tapi tidak berarti kita menjadi terlalu berani ‘melepas’ anak itu.

Saya menelpon ke rumah tapi tidak ada yang mengangkat. Jadilah akhirnya Sekar duduk di kursi di luar. Saya tidak mau membawanya masuk ke kelas karena takut akan ada muntahan susulan. Gawat. Bisa harus kerja bakti 2 kali nanti saya.

Tadi saja begitu dia muntah saya cepat-cepat memindahkan Rivandio, Dea dan Michelle menjauh Karena takut mereka ikut mual dan muntah mencium bau muntahan.

Lalu saya harus membersihkan muntahan itu dulu yang memenuhi roknya. Kalau langsung saya geret ke kamar mandi bisa berceceran kemana-mana dong. Jadi saya minta dia duduk sementara saya memindahkan setumpuk muntahan yang tertampung diroknya dengan koran ke tempat sampah. Untung March, Farrell dan Stevanky sigap menolong dengan mengulurkan tempat sampah, koran dan tisu. Pak guru gambar kami juga segera berlari keluar mengambil kain pel. Wah, syukurlah ada bala bantuan karena saya tidak bisa minta tolong pada teteh yang sibuk di kelas Playgroup.

Beres di kelas barulah Sekar saya ajak ke kamar mandi. Saya lepaskan roknya, saya cuci tangan dan mulutnya yang terkena muntahan. Lalu saya minta dia menunggu di kamar mandi sementara saya lari ke kantor untuk mencari celana pendek cadangan dan kantong plastik. Saat di kantor saya menelpon ke rumahnya tapi tidak ada yang mengangkat. Aduh, kemana pembantunya? Tapi saya tidak bisa berlama-lama di kantor. Setelah menyambar sebotol minyak kayu putih, saya berlari kembali ke kamar mandi.

Untung insiden ini terjadi saat ada pelajaran menggambar sehingga saya tidak perlu senewen memikirkan saya meninggalkan anak-anak di kelas tanpa penjagaan siapa pun.

Setelah Sekar rapi, saya menyambar karbol pel. Saya kembali ke kelas, menyiramkan sedikit air ke lantai yang terkena muntahan dan menuangkan karbol lalu mengepelnya. Yah, mengepel gaya darurat deh. Air segenggam dituang ke lantai lalu dikubek jadi satu dengan karbol langsung di atas lantai. Hehe. Yang penting supaya sedikit bersih dan terutama menghilangkan bau. Jadi jangan berani memprotes gaya mengepel koboi seperti ini. Hehe. Toh nanti siang teteh akan mengepel kelas dengan cara yang baik dan benar. Hehe.

Jadi begitulah, setiap orang tua mendidik dan membesarkan anaknya dengan mengikuti cara mereka dulu dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya. Ada juga yang kemudian berimprovisasi dengan memasukkan cara-caranya sendiri.

Tapi sebagaimana saya belajar menjadi guru langsung dari praktek maka demikianlah orang tua juga belajar menjadi orang tua dari praktek langsung. Dari pengalaman nyata itulah sebaiknya kita belajar bahwa ada hal-hal yang harus di ubah dan ada sikon-sikon tertentu yang harus dihadapi dengan bijaksana.

Membiarkan kemauan anak yang berlaku pada saat kita mengetahui bahwa kondisi fisiknya tidak dalam keadaan prima menurut pendapat saya adalah hal yang kurang bijaksana. 

Pelajaran menggambar pada hari ini terpaksa hanya bisa saya ikuti selama kurang dari setengah jam karena setengah jamnya habis untuk mengurusi Sekar. Untung sebelum dia muntah saya sudah sempat memotret anak-anak sesaat sebelum mereka mewarnai.



_______________________________________________________________

The day started nicely today (Tuesday, May 3rd) that it didn’t cross my mind it would give me a surprise.

Class activities began with me asking the kids to dribble the volley ball to the floor. Not all could do this.

But I’m pleased to see how the kids encouraged their classmates who couldn’t do it, they told them how to do it correctly & even came forward to show how to do it.

In other hand the kids seemed impressed to see my joy and excitement upon seeing those who couldn’t dribble the ball correctly or hesitated to come forward, could finally do it right.

“What makes me happy is to see you want to try because if you’re afraid to try you’d miss so many good things” I told them “take me for example. I can’t ride a bicycle because I was afraid to fall of it when I learn to ride it. I can’t swim because I was afraid getting in the water would make me get sick”.

It’s true. It was a confession from someone who spent many years trapped in fears and worries. Not naturally born with them of course. It’s something that was instilled in me by my parents. Not something they intend to do on purpose, of course. They didn’t even know the way the raised me would turn me like that.

In fact I find it odd for them to raise me that way because they both were raised to become fearless, active and independent people by their parents.

Now that they wouldn’t let me ride bicycle or participate in outdoor activities such as swimming or camping is something against the things they were brought up with. Mom for example, was thrown literally by his father into the sea when she first learned how to swim and once she could swim well she would spend her day after school at the beach, swimming and playing till dusk. My dad in other hand was active and fearless.

Swimming, riding bicycle, camping, spending a night at a friend’s house and even taking cold shower weren’t in my parents agenda for me. That is why I took it as an achievement everytime I could go somewhere on my own or even to just spend a night at a friend’s house.

When I worked and stayed in a rented place in Jakarta in 2000-2001, my dad would call me everyday to check if I was ok. He couldn’t rest well when I worked and lived in Indramayu in 2002.

All of their anxieties over me increased after my 2 younger sisters passed away. One at the age of 2 months old out of pneumonia and the youngest in 1981 of dengue fever.

I had my rebellion of course. I’d lie if I had to. All is worthed. I went touring the city of Cirebon all by myself. The last one is when I went to Jakarta last year to meet 2 of my former college friends.

It was advanterous because the mall where we agreed to make as our meeting place wasn’t there when I lived in Jakarta. Plus the bus station where they told me to get off the bus was no longer in service for sometime so all the route was different. It took me to another bus station. Once I’ve got there I asked here and there to know what transportation should I take to get to the mall.

Every breaking away from parents’s protective band is an advanture and I’ve always felt so glad, esthatic and proud as if I just participated and won Tour de France. Lol.

But only after I became a teacher did I see first hand how contrast it is the way other parents raise their kids with my own parents.

What happened to Sekar in the middle of drawing lesson is an example. She threw up. I could tell what she had for breakfast because it was all spread on her skirt. Glad she didn’t drink milk because milk and gastric liquid can create smelly sour odor that could anyone dizzy and want to throw up too. Oops, sorry, I hope you’re not reading this while you’re eating or you’d get loose your appetite. Lol.

I moved Dea, Rivandio and Michelle seats and desks away from Sekar’s place so they wouldn’t have to feel sick out of the sour odor from her vomit.

I couldn’t take her to the toilet right away. I had to clean her skirt or it would be spreading on the floor. Glad I’ve got help from Farrell, March and Stevanky who handed me trash can, tissue and newspaper. Our drawing teacher in the meantime ran outside and went back in with the mop. Thank you so much. I couldn’t get help from school’s cleaning lady because she was on duty in Playgroup class today.

Once her vomit was removed from her skirt to the trash can, I took her to the toilet, I wash her hands and mouth, took off her skirt and ran to school’s office to get a shorts and called her home. Nobody answered. I couldn’t leave her too long so I grabbed a plastic bag and a bottle of medicinal oil that usually use for stomachace, headache, reliving nausea.

I didn’t allow her to get back to class fearing she would vomit again. Oh no. I didn’t want to take any risk. So she sat outside while I went back in with carbolic acid used to mop the floor. I took a handful of water, poured it onto the floor where it got some of the vomit, poured some of the carbolic acid too and rubbed it around with the mop. So it wasn’t the proper way to mop the floor but it was an emergency situation. The most important thing is to clean it and get rid the smell.

So glad it happened when we had drawing lesson so I could leave the kids under the charged of our drawing teacher.

But this incident should make us all learn that it’s not wise (in my opinion) to let the kid runs the situation under his or her will at the time when we know they’re not in best physical condition. This is because I found out that Sekar has vomited at home, a clear sign that she wasn’t well but she insisted to go to school and her parents allowed her to have her will be done.

I think as much as I learn how to be a teacher by doing, so do parents. We all learn through experiences so it therefore makes us get some wisdom. One of them is not to let the kids make any decision at the time when we see they are not at their best physical or emotional condition. We adults still have the final say. We’re the incharger and the controller eventhough we want to teach them to be tough, independent, have self esteem, smart and clever. 

No comments:

Post a Comment