Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Sunday, September 8, 2013

Leadership Camp (4)

Extended Family

Keluarga Besar

Gimana rasanya ya punya keluarga besar?

How does it feel to have a big family?

Punya saudara kandung Dua? Tiga? Lima? Delapan? Sepuluh? Lebih dari sepuluh?


Have two siblings? Three? Five? Eight? Ten? More than ten?

Wow!

Saya cuma punya dua adik. Dan luar biasanya, dua-duanya meninggal ketika masih kanak-kanak.

Two sisters were all that I had. And the most amazing thing is, they both died when they were toddlers.

Sejak adik bungsu saya meninggal tahun 1981 ketika umur saya 10 tahun, saya menjalani kehidupan total sebagai anak tunggal.

Ever since my youngest sister died in 1981 when I was 10 years old, I lived my life totally as an only child.

Karena itu kalau melihat ada orang yang punya saudara banyak, saya suka bertanya-tanya gimana ya rasanya punya saudara begitu banyak?

So when I see someone has lots of siblings, I wonder how does it feel?

“Pusing, kak” kata seorang seorang teman yang sudah saya anggap sebagai adik menjawab pertanyaan itu “apalagi kalau pada lagi ngumpul di rumah. Saya tidak bisa istirahat, sampai akhirnya saya ngungsi ke rumah kakak saya”

“Give me the headache, sis” said a friend whom I have considered as my brother when he answered that question “especially when they were all gathered in the house. I couldn’t have a rest and I had to flee to my brother’s house”

Saya nyengir membayangkan bagaimana penuh dan bisingnya rumah itu dengan orang tuanya, 13 anak, menantu dan cucu. Dia yang sudah dari lahir terbiasa dengan banyak orang di rumah saja masih tidak tahan, gimana kalau saya yang terbiasa dengan suasana rumah yang sunyi sepi?.. hehe.


I grinned when I thought how full and noisy that house is with his parents, 13 children, in laws and grandchildren. If he whom is born into that kind of family and he can’t stand the noise then what would it be like for me who is used to live in a quiet house? … lol.

Tapi mendinglah punya saudara lebih dari satu dari pada tidak ada sama sekali.

But it is better to have more than one sibling than have none.

Orang-orang seperti saya, senang susah di bawa dan di rasa sendiri.

People like me, well, I am on my own in good and bad times.

Terbiasa sendiri membuat saya mengeraskan hati, menegarkan diri dan menabahkan jiwa.

Being used to be by myself makes me toughened my heart, hard on myself and be resillient.

Itu sebabnya saya tidak terbiasa untuk menunjukkan isi hati saya, terlalu sering menekan perasaan sampai akhirnya hal itu menjadi bagian dari kepribadian saya dan memerlukan waktu lama untuk bisa terbuka dengan orang lain.

That is why I am not used to show what is in my heart, I hid my feelings too often that eventually it becomes my personality and it takes quite a while for me to feel at ease to open myself to other people.

Membuka hati membawa resiko ketergantungan secara emosi kepada seseorang. Bagi saya itu artinya menjadikan diri saya lemah.

To have it open brings risk of having emotional dependency on someone. In my perspective it means I make myself weak.

Kemana pun saya pergi dan dimana pun saya berada, saya berusaha untuk tidak mempunyai ikatan emosi dengan tempat itu dan manusia-manusianya.

Where ever I go and where ever I am, I try to avoid to have emotional bond with the place and its people.

Jadi tidak akan terasa berat ketika saya harus meninggalkan tempat itu atau tidak lagi bertemu dengan orang-orang yang berada di sana.

So it won’t be hard for me to leave that place or when I won't meet the people there.

Saya hanya tidak mau merasa kehilangan dan sedih. Tidak mau kecewa. Tidak mau tersakiti.

I just don’t want to feel I am losing them and become sad. Don’t want to be disappointed. Don’t want to be hurt.

Tapi akhir-akhir ini saya merasa saya melibatkan emosi dengan beberapa orang di tempat kerja.

But lately I feel I let myself emotionally involved with some of the people at work.

Seorang rekan kerja yang paling dekat dengan saya sekarang ini baru muncul di tempat kerja pada siang hari. Dan saya mendapati diri saya kesepian sepanjang pagi menunggu kehadirannya.

A colleague who is the closest one with me now comes in the afternoon. And I found myself feeling lonely waiting for her to come.

Ketika ‘adik’ saya tidak lagi tinggal di kamar tamu kantor, berhari-hari saya kehilangan kehadirannya.

When my ‘brother’ moved out of the office’s guest house, I missed his presence for days.

Saya mewanti-wanti diri untuk tidak lagi melibatkan emosi.

I told myself to never involved my emotion.

Tapi selama mengikuti Leadership Camp…

But during Leadership Camp…

Setelah mendaftar ulang, mendapat name tag dan buku acara, yang kami lakukan adalah melihat di kamar mana kami ditempatkan.

After had re-registration, got name tag and program book, what we did next was to find which room we were placed.

Dan saya mengeluh ketika mengetahui bahwa tiga rekan sekamar saya adalah orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal.


And I complained when I learned that my three roomates were completely strangers.

Berada diruangan penuh dengan orang yang tidak saya kenal saja sudah bikin saya merasa tidak nyaman. Bagaimana kalau tidur sekamar dengar tiga orang yang tidak saya kenal sama sekali. Aduh, mak…


Being in a room filled with strangers was already making me felt uncomfortable. How about sharing room with three strangers. Oh, no…

Kalau boleh memilih, saya lebih suka berada sekamar dengan mereka yang serombongan dengan saya.

If I could choose, I would rather be sharing room with the people in my group.

Iya, tapi masa laki-laki dan perempuan mau di campur, anda pasti akan berkata begitu.

Yes, but would you mix the male with the female, you might say

Terus kenapa? Takut diapa-apain gitu? Ah, jangan berburuk sangka dulu dong.

So what? Afraid they would do indecent things? Come on, don’t think negatively.

Saya berapa kali pergi traveling dengan teman laki dan perempuan. Berhubung kami jalan gaya turis miskin, jadi demi pengiritan, kami menyewa satu kamar saja atau satu bungalow model studio untuk dipakai beramai-ramai. Itu artinya kami semua tidur di satu ruangan. 

I have had the experience of going travelling with some friends, male and female. Since we traveled in tight budget, we had to be cheap. That applied to everything including for boarding. We rent a room or a studio bungalow that made us had to sleep in one room.

Saya belum pernah mengalami hal buruk ketika harus sekamar dengan mereka yang tidak berjenis kelamin sama dengan saya. Biar pun mereka tidak serapih dan sebersih perempuan serta ngoroknya bikin gue tobat… hehe.. tapi mereka bersikap melindungi rekan-rekannya yang perempuan.

I have never had bad experience when I had to share room with any male. They may not be as neat or hygiene as the female, not to mention they snore like hell… lol… but they were protective toward their females companions.

Tapi kemudian saya berpikir saya tidak boleh memiliki ketergantungan emosi pada rekan-rekan serombongan saya. Jadi ya, seperti apa pun tiga orang yang ditempatkan sekamar dengan saya, akan saya hadapi saja.

But then I thought I should not have emotional dependency on the people in my group. So I would just going to deal with those three strangers who were placed in the same room with me.

Anyway, saya kira saya sudah berhasil melepaskan kebergantungan emosi pada mereka yang serombongan dengan saya. Kenyataannya..

Well anyway, I thought I have succeededly became emotionaly independent off the people in my group. Actually…

Setiap kali kembali ke kelompok, yang saya cari lebih dulu pasti ‘adik’ saya.

Everytime I returned to the group, I went to see my ‘brother’ first.

Setiap kali bertemu atau berpapasan dengan anggota rombongan kami, saya tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa melihat atau bicara dengan mereka.

Everytime I met or passed the people from our own group, I couldn’t hide how happy I was to see or to talk with them.

Lalu Jumat sore (30/8) ketika kami meninggalkan ruang aula untuk beristirahat di kamar masing-masing, saya melihat senior saya yang sedang duduk sendirian dan tiba-tiba saja saya teringat beliau tidak menginap.

On that Friday afternoon (August 30th) as we left the meeting room to rest, I saw my senior sat alone and I suddenly remembered that he didn’t stay over for the night.

Saya menghampirinya dan bertanya “pak, bapak tidak istirahat? Bapak tidak nginap kan? Itu istirahat saja di kamar … (nama ‘adik’ saya)”

I walked over to him and asked “why don’t you take a rest. You don’t stay over the night here, right? Take a rest in …’s (my ‘brother’s’ name) room”.

Dalam pengalaman kerja saya, mengurusi orang selalu masuk dalam jabaran tugas saya dan semua itu selalu saya lakukan sebaik mungkin. Saya anggap semua itu bagian dari pekerjaan. Emosi tidak ikut terlibat didalamnya. Dengan perkecualian ketika saya bekerja sebagai guru TK karena pekerjaan itu sesuai dengan panggilan hati saya. 

Of all my work experience, taking care people is in my job description and I do it professionally. It is part of the job. No emotion involved. Except when I worked as kindergarten teacher because teaching is my passion. 

Tapi setelah berkata demikian pada senior saya, tiba-tiba saya tersadar, saya sedang mengkhawatirkan beliau!

But after I said that, I suddenly realized, I was worrying about him!

Saya memikirkan dengan cemas akan kondisi fisiknya. Beliau bukan orang muda dan tadi pagi beliau yang menyetir mobil, lalu mengikuti acara Leadership Camp sampai sore begini… saya yang lebih muda saja berasa badan capek dan mengantuk..

I was concerned over his physical condition. He is not a young man and that morning he drove the car, after that followed the Leadership Camp session to the afternoon… I mean, I am younger than him and I felt so tired and sleepy…

Tapi kemudian saya tersadar.. gawat, saya sudah melibatkan emosi. Saya peduli dengan hati.

Then I realized… oh no, I have my emotion involved. I cared by heart.

Karena senior saya hanya menjawab singkat dan tetap menunduk, perasaan saya makin tidak karuan. Waduh, jangan-jangan beliau menganggap saya bawel, sok tahu. Jangan-jangan beliau tidak suka ditanya-tanya begitu.

Since he gave me only short answer and kept bowed his head, I felt more anxious. Gosh, how if he thought I was noisy, acted like a smart-ass. Maybe he dislike the questions.

Akibatnya saya tidak lagi bertanya dan tanpa berkata apa pun saya keluar. Saya mengejar ‘adik’ saya dan berjalan bersamanya menuju kamar masing-masing yang kebetulan berada di bangunan yang sama.

The result was I stopped abruptly and quietly got out of the room. I ran to my ‘brother’ and walked with him to our rooms which was in the same building.

Kemudian mendadak saya berhenti berjalan, menarik tangan ‘adik’ saya.

Then I just stopped on my way, I pulled my ‘brother’s’ hand.

“D, kamu ga nungguin bokin?”

“D, aren’t you going to wait for your wife?”

‘Adik’ saya tersadar “oh iya, tapi kan kamarnya di sana”

My ‘brother’ seemed to just realize “oh yes, but her room is in the building over there”

Tapi toh kami berhenti juga. Menunggu sampai istrinya keluar dari ruangan. Berteguran sejenak sebelum berpisah menuju kamar masing-masing.

But we stood there, anyway. Waited for his wife to get out of the room. Exchanged few words before we went to our rooms.

Namun kemudian saya keheranan sendiri. Kok jadi saya ya yang mikirin ‘adik’ saya setidaknya harus bicara dulu dengan istrinya sebelum kami pergi ke kamar masing-masing.

But later I amazed of myself. Why would I be the one who thought that my ‘brother’ had to speak to his wife before we went to our rooms.

Kenapa ya mendadak saya jadi peduli begini?

Why on earth I suddenly care?

Malamnya.. jam 9 malam, senior saya menghampiri saya dan ‘adik’ saya yang duduk bersisian di deret belakang.


That night.. at 9 pm, my senior came to me and my ‘brother’ who sat next to each other at the back row.

“Pulang dulu ya” katanya berpamitan “tidak tunggu sampai akhir acara. Kepala saya sudah berasa kencang”

“I am going home” he said to us “I can’t stay longer. My head feels tight”

“Hati-hati” cuma itu yang saya ucapkan. Saya sembunyikan kekhawatiran saya memikirkan senior saya yang harus nyetir sendiri, pulang malam, gelap, hujan, membawa badan yang capek, dalam umur yang tidak muda lagi…

“Be careful” that was all I said. I hid my worries thinking he had to drive home, it was dark, raining, tired, he is no longer young…

Setelah berada di kamar pun, saya masih mengkhawatirkan beliau dan baru lega setelah esok paginya melihat beliau masuk ke aula.

Even after I got in my room, I still thought about him and relieved when I saw him entered the meeting room the next morning.

Apa itu hal yang baik? Buat saya itu tidak terlalu baik. Saya sudah menyalahi prinsip saya sendiri untuk tidak terikat secara emosi dengan orang-orang di sekitar saya.

Is it a good thing? Not for me. I have broke my own principle not to have emotional bond with the people around me.

Semakin sulit saja buat saya karena semakin lama waktu yang kita lewatkan bersama-sama dengan orang-orang tertentu maka keakraban akan terjalin dan itu menimbulkan kedekatan. Akhirannya adalah rasa saling mengasihi dan peduli.

It is harder for me because the longer we spend time we with people, a bond is formed and it brings closeness which eventually making us love and care for one another.

Kamis pagi (5/9), ketika saya kembali ke ruangan saya.

Thursday morning, when I returned to my room.

“Kemana aja?” tegur senior saya “lama banget”

“Where have you been?” asked my senior “what took you so long?”

Lho?

Excuse me?

“Habis patroli” jawab saya singkat. Menunggu kelanjutannya. Ditanya begini biasanya berarti saya akan di suruh untuk mengerjakan sesuatu.

“Patrolling the place” I said shortly. Then I waited because that kind of question usually means I was about to be asked to do something.

Tapi, eh, tidak ada perintah atau permintaan untuk saya melakukan sesuatu.

But, nah, no order or request for me to do something.

Saya heran. Kalau saya tidak di minta melakukan sesuatu, lalu kenapa beliau bertanya begitu seakan-akan ketidakhadiran saya di ruangan itu merupakan sesuatu yang harus dipedulikan.

It puzzled me. If I was not asked to do something, why did he asked me that as if my absence in the room was something to be care for.

Beberapa saat sebelumnya beliau beserta seorang senior yang lain, seorang teman dan ‘adik’ saya masuk ke ruangan saya. Lalu mulailah mereka bicara, berdiskusi dan merundingkan banyak hal.


A few moments earlier, he along with another senior, a friend and my ‘brother’ came to my room. And they started to talk and discussed many things.

Saya? Seperti biasa saya lebih banyak diam. Menjadi pendengar. Mengamati. Merenungkan apa yang saya dengar.

Me? As usual I prefer to be quiet. Being a listener. Watching. Thinking over what I heard.

Apa saya dilibatkan dalam pembicaraan itu? Tidak. Kecuali saat di minta untuk ikut bergabung dalam program baru yang akan mereka adakan.

Was I involved in their conversation? Nope. Except when I was asked to participate in the new program that they will run.

Apa saya dimintai pendapat? Tidak. Yang ada adalah beberapa kali saya di ledek oleh senior saya berkenaan dengan penolakan saya untuk bergabung dengan program itu.

Was I asked to give my opinion? Nope. What I had was being teased by my senior over my rejection to join the program.

Akhirnya saya bosan berada di dalam sana. Garing saya jadinya karena hanya menjadi pendengar saja. 

It bored me eventually. It bored the hell out of me for being just as a listener.

Jadi setelah beberapa pekerjaan kecil selesai dan seorang rekan meminta sesuatu dari saya, ha.. saya berpikir ada alasan bagi saya untuk keluar dari ruangan. Toh di dalam ruangan pun saya merasa tidak bisa bekerja. ‘Adik’ saya memonopoli komputer. Mau menelpon, suara mereka terlalu berisik.

So after I did some small work and someone came to ask something for me, ha.. I thought I have got an excuse to leave the room. I couldn’t work anyway. My ‘brother’ monopolized the computer. I couldn’t make some calls because they were noisy.

Pikir saya, nanti saja saya tanya 'adik' saya atau teman saya gimana hasil pembicaraan mereka. Sekarang ini saya mau kabur saja keluar dari ruangan.

I thought I would ask my 'brother' or my friend about the result of their conversation. By then I just wanted to get the hell out of my room.

Saya pun keluar. Mengecek beberapa hal. Melihat keadaan sekitar. Jadi saya tidak berbohong ketika menjawab pertanyaan senior saya. Tapi saya juga tidak mengatakan seluruh kebenaran karena sehabis patroli, saya nongkrong di ruang satpam dan nonton tv.. hehe..

I got out of the room. Checking things. Seeing around. So I didn’t lie when I answered my senior’s question. But I didn’t tell him the whole truth because after patrolling, I stayed at the security post to watch tv… lol…

Ya, tetap sambil pasang telinga. Kalau-kalau telpon di ruangan saya berdering atau mereka memanggil saya.

Yeah, but I kept my ears opened incase the phone in my room rang or if anyone called out for me.

Baru setelah mereka pergi, saya berpikir, saya tidak terlibat dalam percakapan tapi kenapa ketidakkehadiran saya dalam ruangan jadi dipertanyakan?. Telpon tidak berdering dan mereka tidak membutuhkan sesuatu dari saya. 

After they left, I thought, I was not involved in their conversation but why did my absence in the room was being questioned? The phone didn't ring and they didn't need me to do something.

Sehari-hari atau pada hari-hari tertentu saya bertemu, bekerja dan bergaul dengan mereka. Tapi setelah dua tahun, saya menyadari saya memiliki kedekatan emosi dengan beberapa dari mereka. Karena kedekatan itu kadang-kadang malah rasanya seperti punya keluarga kedua.

Everyday or on certain days I meet, work and mingle with them. But after two years I realize I have been having emotional attachment with some of them. The kind of closeness that sometimes make me feel of having another family.

Masalahnya adalah, saya membangun benteng tinggi dan kokoh mengitari perasaan saya. Benteng itu adalah perlindungan saya.


I built a tall and solid fortress around my feelings. That fortress is my shield.

Tapi entah sampai kapan saya bisa menjaganya supaya tidak roboh.

I don't know how much longer I can keep it from not falling down.

No comments:

Post a Comment