Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, September 21, 2013

Hey, Let’s Talk..

Kamis sore itu saya meninggalkan kantor dengan terburu-buru karena melihat langit sudah mendung. Bogor belakangan ini mulai lagi rajin hujan.

That Thursday afternoon I left the office in a rush after seeing the cloudy sky. Bogor gets plenty of rain these past few days.

Di ujung jalan, telpon genggam saya berdering.

At the end of the road, my cellphone rang.

“Say, saya nunggu di tempat biasa”

“Hun, I am waiting at the usual place”

Suara Andre. Hah?.. Kok?..

Andre’s voice? Huh?.. How?..

Tapi memang beneran Andre. Dia nyengir lebar ketika melihat saya datang.

But it was really Andre. He grinned broadly when he saw me.

Surprise!

“Kapan datang? Kok tidak kasih tahu saya?” saya protes.

“When did you come? Why didn’t you let me know?” I protested.

“Kan kejutan” dia tertawa “lagian, saya kasih tahu pun, kamu kan tidak bisa jemput ke bandara. Sudahlah, saya bisa urus semua kok”

“It’s a surprise” he laughed “beside, even if I told you, you couldn’t come to pick me up from the airport. So relax, I could take care everything by myself”

“Kampret!” saya memaki sambil tertawa dan memeluknya.

“Damn!” I swore as I laughed and hugged him.

Kami berpelukan dan berciuman. Aduh, senangnya saya. Kangennya saya.


We hugged and kissed. How happy I am. How I missed him.

Rasanya kami tidak mau berhenti berpelukan dan berciuman. Kalau tidak karena mikir bakal jadi tontonan orang sekampung, wah, rasanya kami berdua sudah bakal lupa tempat dan lupa waktu.

We just didn’t want to stop hugging and kissing. If not the thought that we would make such a show for the passers-by, we would forget time and place.

“Mau kemana?” tanyanya “Pulang? Mau makan dulu?”

“Where do you want to go?” he asked “Get home? Wanna grab something to eat?”

Oh, saya tidak peduli dia mau bawa saya kemana. Saya tidak peduli apa yang akan kami makan. Saya terlalu gembira. Dia ada disini sehingga hal-hal lain rasanya tidak jadi penting.

Oh, I didn’t care where he would take me. I didn’t care what we would eat. I was too happy. He is here that other things seemed become less important.

“Saya telpon rumah dulu” kata saya akhirnya “kamu nginap dimana?”

“I better call home” I said “where do you stay?”

“Tempat biasa. Mau nginap?”

“Usual place. Want to stay over?”

“Pastilah” saya nyengir.

“You bet” I grinned.

Malamnya, kami duduk berdua di teras belakang. Mendengarkan suara tetesan air hujan. Merasakan angin sejuk berhembus.


That evening we sat at the back porch. Listened to the rain drops. Felt the cool breezing wind.

Kami duduk sambil berpelukan.

We sat with our arms around each other.

Malam itu sepi. Saya bisa mendengar detak jantung Andre. Bunyi nafasnya.

It was a quiet evening. I could hear Andre’s heart beating. The sound of him breathing.

Dan tidak ada yang lebih membahagiakan saya.

And nothing could make me happier.

Kami bertukar kabar tentang kehidupan masing-masing selama hampir 3 bulan terpisah.

We swapped news about the things we had in our lives on our nearly 3 months being separated.

Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang putranya Josh, tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, tentang teman-temannya, tentang hal-hal yang terjadi di kota tempat tinggalnya, tentang negerinya dan berbagai hal umum lainnya.

He told me about his work, about his son Josh, about the things he did, about his friends, about the things happened in his hometown, about his country and many other things.

Saya juga menceritakan tentang kehidupan, pekerjaan dan kegiatan saya serta hal-hal lainnya.

I told him things about my life, work and activities, along with other stuff.

Bergantian kami bicara. Kadang bicara bersamaan. Kadang tertawa geli. Kadang berdebat.

We took turn in talking. Sometimes we talked at the same time. Sometimes we laughed heartily. Sometime we argued.

Saya merasakan lengan-lengannya yang panjang dan kekar itu memeluk saya selama kami bicara. Tapi tidak hanya itu yang membuat saya merasa aman dan tentram.

I felt his long and strong arms wrapped me tightly as we talked. But it wasn’t the only thing that made me felt safe and comfortable.

Ada orang dengan siapa saya bisa menjadi diri saya seutuhnya.

There was someone with whom I could completely be myself.

Ada orang yang mendengarkan saya.

There was someone who listened to me.

Ada orang yang meminta pendapat saya dan memperhitungkan pendapat itu.

There was someone who asked for my opinion and took it seriously.

Saya merasa di dengar dan dihargai.

I was heard and I felt appreciated.

Di tempat kerja, saya tidak selalu merasa demikian. Saya memang dibutuhkan di sana tapi kadang saya merasa dipandang serendah alas kaki.

I don’t feel that way at work. I am needed there but sometimes I felt I was seen like a doormat.

Beberapa hari sebelumnya di ruang kerja saya berkumpul 4 orang. Lebih tepatnya kami semua terdampar di sana. Tidak bisa pulang karena turun hujan sangat lebat.

Few days earlier there were 4 people gathered in my room. Well, we were sort of stranded there. We couldn’t leave because it was pouring down outside.

Kami berkumpul di sana karena seorang dari mereka datang untuk mengajari program photoshop yang akan dipakai dalam pekerjaan.

We gathered there because one of them came to teach us how to operate a program using photoshop. It is something related to work.

Jam 4 sore.. hujan deras.

4 pm.. it was pouring rain.

Jadilah 4 laki-laki itu dan saya tidak bisa kemana-mana. Dan kami pun mulai mengobrol mulai dari membicarakan program yang tadi dipelajari, lalu tentang pekerjaan mereka, program-program komputer, harga-harga di pasar, naik turunnya dollar, sampai ke politik.

So those 4 men and myself couldn’t go anywhere. And so we started talking about the program that we just learned, about their jobs, computer programs, prices in the market, dollar fluctuation, all the way to politics.

Dalam percakapan ini saya tidak hanya menjadi pendengar. Saya aktif bicara.

I wasn’t just being a listener in this conversation. I turned myself into an active talker.

Dan mereka mendengarkan pendapat saya. Biar pun saya bukan seorang ahli dalam bidang komputer, ekonomi atau politik, tapi bagi mereka itu tidak jadi masalah.

And they listened to my opinion. Though I may not be an expert in computer, economy or politics but they didn’t make it as a big fuss.

Informasi atau pengetahuan yang kami miliki mungkin saja tidak lengkap atau tidak sempurna tapi lewat percakapan sore itu kami saling mengisi, mengoreksi dan melengkapi.

The information or knowledge each of us had might lack or imperfect and through that afternoon’s conversation we filled, corrected and completed them.

Saya tidak bisa untuk tidak membandingkan dengan percakapan antara senior saya, teman saya dan adik saya yang juga mengambil tempat di dalam ruangan saya.


I can’t help myself not to compare with the conversation my senior, my friend and my ‘brother’ had that also took place in my room.

Dalam percakapan itu saya hanya menjadi pendengar. Bukan karena saya menganggap topiknya tidak menarik. Tapi karena saya tidak merasa dilibatkan didalamnya.

But in that conversation I put myself just as a listener. Not because I thought the topic was uninteresting. But it was because I felt I was left out of it.

Ketika saya dimintai pendapat, saya merasa pendapat itu tidak terlalu diperhitungkan, bahkan akhirnya jadi bahan ledekan.

When I was asked to give an opinion, I felt it wasn’t really put into consideration, infact, it was made as something to tease me.

Jadi berbeda dengan ketika saya mendengar percakapan 4 orang itu yang mendorong saya untuk ikut bicara dan bahkan kemudian terlibat aktif didalamnya, sekali pun diskusi itu diselingi juga dengan canda, tawa dan ledekan, sementara percakapan antara senior saya, teman saya dan ‘adik’ saya sama sekali tidak menggugah minat saya untuk bicara.

So unlike the one I had with those 4 men that encouraged me to talk and later actively involved in the conversation, a conversation that also filled with jokes, laugh and teasing, while the one that my senior, my friend and my ‘brother’ had didn’t move me to open my mouth and spoke.

Percakapan saya dan 4 orang itu berlangsung selama lebih dari satu jam. Kalau saja hujan tidak berhenti atau hari masih siang, saya rasa percakapan itu akan berlanjut lebih lama.

My conversation with those 4 men went for about an hour. If the rain didn’t stop or it was not late in the afternoon, I think it would go on.

Bandingkanlah dengan reaksi saya terhadap percakapan antara senior saya, teman saya dan ‘adik’ saya. Baru juga mungkin 15 menit mengikutinya (lebih tepatnya: mendengarkan), saya bosan. Begitu ada kesempatan dan alasan, saya segera kabur keluar ruangan.. hehe..

Compare it with my reaction toward the conversation my senior, my friend and my ‘brother’ had. It was probably just gone for 15 minutes (to be precise: being a listener), it bored me so much that once I had a chance and excuse, I ran out of my room.. lol..

Saya menceritakan hal ini pada Andre.

I told this to Andre.

“Kenapa ya?” tanya saya “padahal senior saya, teman saya dan ‘adik’ saya adalah orang-orang baik. Saya tidak usah bersandiwara ketika ada bersama dengan mereka. Saya juga tahu kami saling peduli, saling percaya dan saling menyayangi”

“Why would it be like that?” I asked “my senior, my friend and my ‘brother’ are nice people. I don’t have to pretend when I am with them. I know that we care, we trust and love one another”

Saya mendengar Andre menghela nafas. Berpikir sejenak sebelum menjawab.

I heard Andre sighed. Thought over before he answered that question.

“Saya tidak akan cepat-cepat menyimpulkan bahwa mereka tidak menghargai atau mendengarkan pendapat kamu karena kalau tidak salah kamu pernah bilang kalau mereka mengupayakan supaya ada mobil untuk mengantar pulang mereka yang ikut kegiatan itu kan”

“I wouldn’t quickly conclude that they didn’t appreciate or didn’t take your opinion into their consideration because if I am not wrong, you told me that they work it out so there will be car to drive home those who attend that activity”

Ya, itu benar.

Yes. That’s true.

“Ada orang-orang tertentu yang sepertinya tidak memperhatikan kita, tidak serius ketika di ajak bicara, seperti menganggap angin, semua di bawa bercanda saja. Tapi sebetulnya tidak. Dan seniormu itu modelnya begitu. Karena keputusan untuk menyetujui ada kendaraan untuk mengantar pulang itu kan ada pada dirinya”

“There are people who seem to ignore us, not able to have a serious conversation, go easy on things, turn them into jokes. But they are not like that. And your senior seems like that kind of person. Because the decision to agree on providing a car to drive home the attendants is his”

Saya diam. Mendengarkan. Merenungkan kata-katanya.

I said nothing. Listening. Absorbing his words.

“Atau dia juga seperti saya” Andre mengusapkan dagunya ke kening saya. Membuat saya tertawa geli karena jenggotnya itu terasa seperti menggelitiki saya.

“Or he is just like myself” Andre caressed my forehead with his chin. I laughed because his beard felt tickling.

“Mirip gimana?” saya tertawa sambil mendorong dagunya “kalian dua orang yang sangat berbeda”

“What do you mean?” I laughed as I pulled his chin away “the two of you are not a like”

“Kalau kita mau pergi, kamu kan tahu beres” Andre tersenyum “siapa tuh yang ngurus dari mulai cari informasi, booking hotel, beli tiket, sewa mobil, beli bekal, pilih travel, tempat makan?”

“Whenever we would go travelling, you knew all is well planned” Andre smiled “who do you think taking care from getting the information, booked the hotel, bought the ticket, rented the car, bought the food and beverages, picked the travel agent, the restaurant?”

“Kamu!” saya tertawa dan menciumnya.

“You!” I laughed and kissed him.

“Nah, mana pernah saya ngomong-ngomong ke kamu. Saya juga tidak pernah nanya pendapat kamu kan? Pokoknya semua saya atur. Saya juga tidak pernah melibatkan kamu dalam prosesnya. Kamu tidak tahu apa yang saya kerjain. Pokoknya semua beres”

“So, have I ever talked to you about it? I never asked your opinion either, right? I took care everything. I never involved you. You didn’t know what I did. The thing is everything well done at the end”

“Jadi, saya kira seniormu itu juga demikian. Jangan tersinggung kalau dia sepertinya tidak pernah minta pendapat kamu atau pendapat kamu dijadikan bahan ledekannya”

“So, I think your senior is that kind of person. Don’t get offended when it seems he doesn’t ask for your opinion or makes it as a teasing”

Saya menghela nafas “seandainya saja saya bisa bicara dengannya seperti saya bicara dengan 4 orang itu atau dengan kamu”

I sighed “if only I could talk to him just like I talked to those 4 men or with you”

“Yah, kalau dia memang sudah seperti itu, jangan terlalu menuntut dia harus menjadi seperti yang kamu mau” Andre menghibur saya “toh dia baik ke kamu. Sikapnya ke kamu malah kayak kamu itu anaknya. Sudah syukur kamu punya atasan kayak gitu"

“So, if he is what he is, don’t ask him to be the person you want him to be” Andre soothed my feelings “because despite all those things, he is kind to you. He is even treats you like a daughter. Be happy to have a superior like that"

Melihat saya diam saja, Andre tertawa.

Seeing me idled, Andre laughed.

“Ya, saya tahu kamu kecewa. Kamu mengira karena dia seorang yang punya pembawaan menyenangkan maka otomatis dia bisa dijadikan orang yang juga menyenangkan untuk di ajak bicara serius atau di ajak diskusi”

“Yes, I know you are disappointed. You thought that since he is a pleasant person, it would automatically make him a pleasant person to have a serious conversation or a discussion”

“Ya, saya pikir memang demikian” saya mendesah panjang “si bapak memandang saya seperti anaknya. Anak untuk dilindungi, di bimbing dan juga di ledek”


“Yeah, I guess that is the case” I gave a long sigh “he sees me like his child. A daughter to be protected, guided and also to be teased”

“Gini deh, kan masih ada saya atau 4 temanmu itu buat dijadikan teman diskusi, buat ngobrol serius atau berdebat” Andre menepuk pipi saya pelan “terus juga masih ada juga temanmu dan ‘adik’mu. Teman kamu yang lain juga masih banyak kan..”

“Look, you have me and those 4 friends with whom you can have a discussion, to have a serious conversation or having an argument” Andre patted my cheek gently “there are your friend and your ‘brother’. Beside, you still have many other friends..”

Saya memeluk lengannya. Bergelung nyaman dalam pelukannya.

I hugged his arm. Curled up comfortably in his embrace.

“Itu alasan kenapa kita punya banyak teman” lanjut Andre “supaya kita bisa saling mengisi”

“That is why we have many friends” Andre went on “so we can fill each other”

Kami terdiam sejenak.

We went quiet for few seconds.

“Mungkin juga seniormu itu merasa dia bisa bebas melepaskan diri dari ketegangan kerja dikantornya ketika dia ketemu kamu. Kalau dikantornya sendiri belum tentu dia bisa sesantai atau sebebas seperti kalau dia berada di tempat kerja kamu”

“Perhaps your senior feels he can get off the tension in his office when he is with you. He can’t be as relax or completely be himself as when he is at your workplace”

Saya tertawa kecil.

I laughed lightly.

“Ya, sepertinya sih memang begitu”

“Yep, I thought that too”

“Karena kamu tipe orang yang cuekan, orang berasa tidak perlu jaim sama kamu”

“And, you are an easy going person that make others feel at ease because they don’t have to pretend when they are with you”

“Kamu juga tidak gampang tersinggung. Tidak ngambekan. Kalau marah, tidak pernah lama. Kamu lucu. Kamu spontan. Kamu tidak berpura-pura ke dia. Ya, dia berasa aman dengan kamu”

“You don’t get mad easily. Not someone with bad tantrum. Even if you are upset, it doesn’t last long. You are funny. Spontaneous. You don’t pretend when you are with him. So yes, he feels at ease being with you”

“Dia mungkin tidak bisa dijadikan orang untuk berdiskusi atau ngobrol serius tapi dia memastikan kamu aman dan tentram di situ. Karena itu membahagiakan dia juga mengetahui kamu kerja di situ dengan aman dan tentram”

“He probably can’t be a person to have a discussion with or to have a serious conversation but he makes sure that you are safe and comfortable in that place. It makes him happy to know that you work safely and comfortably there”

Saya menggeliat “mmm..”

I stretched my body “mmm..”

Dia benar.

He is right.

Jadi begitulah. Saya berpikir-pikir.

So there it goes. I gave it a thought.

“Sudahlah, jangan jadi terlalu sedih karenanya” Andre mencium saya “kalian berdua bisa saling melonggarkan urat syaraf karena rasa humor kalian kan sama. Nanti kalau kamu ingin diskusi, ngobrol serius atau berdebat, lakukan itu dengan orang lain”

“Come on, don’t be that sad” Andre kissed me “the two of you can loosened each other's nerves because you both have the same sense of humor. Now, when you want to have a discussion, serious conversation or argument, do it with other people”

Yah, jadi masalah terselesaikan..

And so, the problem is solved..

No comments:

Post a Comment