Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, September 27, 2013

For The People I Love…

Kalau bukan karena permintaan orang-orang yang saya sayangi, hari Rabu (25/9) itu saya pasti sudah bablas pulang.

If it wasn’t because the request from the people I love, I would definitely go straight home on that Wednesday (Sept 25th).

Pertama adalah ‘adik’ saya yang beberapa kali minta saya supaya ikut dalam acara yang diadakan hari Rabu sore itu. Sekali pun alasan yang diberikannya terdengar agak tidak masuk akal, tapi..

The first is my ‘brother’ who asked me to attend it. Though I found his reason was a bit not make sense, still..

Duh, keluh saya dalam hati, coy, elu bikin gue susah nolak.

Geez, I sighed quietly, dude, you make me can’t say no.

Sama seperti dia, senior saya juga meminta saya untuk datang sejak dari beberapa minggu sebelumnya. Bahkan ketika saya menelponnya hari Rabu pagi, beliau masih minta saya untuk datang.

Not just him, my senior has been asking me to attend it even from few weeks earlier. He asked me again when I called him on Wednesday morning.

Duh, lagi-lagi saya mengeluh dalam hati, bapak.. bapak.., gimana saya mau nolak?

Geez, once again I sighed quietly, sir, you make me can’t say no.

Saya merutuki diri sendiri. Saya lemah terhadap orang-orang yang saya sayangi.

I am angry to myself. I am weak toward the people I love.

Saya berkali-kali menolak permintaan Andre untuk pindah ke negerinya karena cinta saya pada orang tua saya terlalu besar. Mereka bergantung pada diri saya. Tidak akan sampai hati saya meninggalkan mereka.

So many times have I turned down Andre’s request for me to move with him to his country because my love to my parents is too big. They depend on me. I don’t have a heart to leave them.

Cinta saya pada orang-orang tertentu membuat saya mengorbankan banyak hal..

My love to certain people make me give many sacrifices.

Saya kesal pada diri sendiri. Saya lemah terhadap orang-orang yang saya sayangi.

I am upset with myself. I am weak toward the people I love.

Biar pun saya pemarah, tidak sabaran dan keras kepala, tapi kasih saya pada orang-orang tertentu membuat saya mau saja menjalani, melakukan atau menerima hal-hal yang sebetulnya membangkitkan amarah saya atau membuat saya nyaris gila karena merasa tidak sabaran.

Eventhough I am a short tempered person, with thin patience and stubborness, but my love for certain people make me willing to go through, do or accept things that actually making me mad or drew me crazy out of impatience.

Hari Rabu itu misalnya, saya sebetulnya sudah amat sangat capek.

That Wednesday for example, I was actually feeling so exhausted.

Saya tipe manusia pagi. Semakin siang, tenaga, semangat dan konsentrasi saya semakin berkurang.

I am a morning person. My energy, spirit and concentration are become less and less by the passing hour.

Jadi hari Rabu sore itu saya membawa sisa-sisa tenaga dan semangat saya.

I came with what was left in my energy and spirit on that Wednesday afternoon.

Rasa kantuk yang luar biasa membuat mata saya perih. Susah payah saya menahan supaya tidak menguap. Tapi tak ayal, saya sempat merasa hampir tertidur.. ketika saya duduk dan menundukkan kepala.


I felt so sleep that it hurt my eyes. I tried so hard not to yawn. But still, I felt I dozed off.. as I sat there and bowed my head down.

Acaranya sama sekali tidak menggugah semangat saya. Bahkan saya langsung teringat pada jaman sekolah di SMP dan SMA dulu ketika kami melakukan diskusi di dalam kelas.

The thing they had there was not lifting my spirit. I was even reminded to the old time back in Junior highschool and highschool when we had discussion in the classroom.

Amat sangat membosankan!

It was so boring!

Saya jenis orang yang memilih belajar langsung dari kehidupan.

I am the kind of person who prefer to learn from life itself.

Saya akan menguap lebar kalau anda mendatangi saya dan mengocehi saya tentang isi sebuah buku, apalagi kalau saya melihat anda hanya fasih mengucapkannya tapi tidak bisa menerapkannya dalam kehidupan dan pada diri anda sendiri terutama ketika masalah mendatangi hidup anda.

I would give you a big yawn if you came to me and lecture me about a book, especially when I see that you are only good at speaking about it without really apply it in your own life or on yourself at times when problems came to your life.

Jangan berikan kepada saya segudang teori. Saya bisa menghapalkannya sendiri.

Don’t give me piles of theories. I can memorize them by myself.

Tapi bergunakah segudang teori itu ketika badai kehidupan datang? Atau ketika rasanya matahari tidak akan pernah terbit lagi.

But would those piles of theories came in handy when the storm of life strikes? Or at times when it seems the sun will never rise anymore.

Bicaralah tentang hal-hal seperti itu dan jangan berikan kepada saya materi yang mengingatkan saya pada pelajaran semasa sekolah dulu.


Talk about those kind of things and don't give me stuff that reminds me to the old days in school.

Kepala saya semakin lama semakin terasa berat dan pusing.

I felt headache grew bigger and bigger as the clock ticking.

Kalau bukan karena rasa sayang saya pada ‘adik’ saya yang sangat besar, saya pasti langsung angkat kaki begitu saya merasa yang sedang disuguhi kepada saya ini sama sekali tidak ada gunanya bagi saya.

If I don’t love my ‘brother’ s much, I would definitely leave the moment I felt what they gave me there was useless for me.

Kalau bukan karena rasa sayang dan hormat saya yang sangat besar untuk senior saya, saya, tidak akan mau saya duduk menyabarkan diri di dalam ruangan itu sementara hati saya digerogoti oleh rasa bosan dan sebal.

If it was not for my tremendous love and respect toward my senior, I wouldn’t sit there and told myself to be patient right at the time my heart was grew thin out of boredom and upsetness.

Saya memukul kepala saya dengan kesal. Inilah yang tidak saya ingini. Saya menjadi lemah ketika saya mulai melibatkan emosi saya pada orang-orang di sekitar saya. Yaitu ketika saya mengasihi mereka. 

I patted my head out of upsetness. I don’t want this. I am weak when I involved my emotion. It is when I start to love the people around me.

Biar pun jumlahnya cuma segelintir, tapi buat saya segelintir itu pun menunjukkan bagaimana saya sudah melanggar prinsip saya sendiri untuk tidak melibatkan perasaan dengan mereka.

Their number probably is very few but to me that is enough to show me that I have violated my own principle of not to have emotionally involved with them.

Ya, saya ramah dan baik kepada semua orang. Tapi saya berprinsip hal itu harus dikerjakan tanpa harus melibatkan perasaan. Semua demi menjaga hubungan kerja atau perkawanan yang baik saja. Jangan jadi mencintai seorang pun dari mereka.

Yes, I am friendly and kind to everybody. But it is in my principle that it has to be done without involving any feelings. It is done for the sake of keeping a good work relationship or friendship. Don’t ever love them.

Ketika saya berhenti bekerja dari taman kanak-kanak itu, yang membuat saya susah tidur dan menangis di malam hari selama berhari-hari adalah karena saya terlanjur mencintai murid-murid saya yang masih bersekolah di sana dan juga beberapa rekan guru.

When I quited my job at that kindergarten, what made me had sleeping problem and cried at night for days was because I loved my students who were studying there and for few fellow teachers.

Ketika mantan atasan saya yang orang Jepang itu harus kembali ke negerinya karena perusahaan kami di tutup saat krismon tahun 1998, saya memeluknya sambil menangis ketika mengantarkannya di bandara.


When my former Japanese superior had to return to his country after our company was closed due to 1998 monetary crisis, I hugged him and cried when I came along to the airport.

Hampir 2 tahun kami bekerja di satu kantor yang sama. Hubungan kami bukan lagi sebatas atasan dan sekretaris. Kami berteman, bersahabat, saling mengasihi seperti kakak adik.

We worked in the same company for nearly 2 years. We were not just boss and secretary. We were friends, bestfriends, we loved each other like brother and sister.

Sementara itu hubungan saya dan Andre mungkin aneh di mata orang. Saya menyayanginya tapi tidak mampu untuk membiarkan diri saya menjadi miliknya sepenuhnya. Saya menolak ikut ke negerinya, saya menolak dinikahinya, saya minta supaya hubungan kami tidak terikat sehingga masing-masing kami bebas untuk pergi dengan orang lain dan bila akhirnya seorang dari kami jatuh cinta pada orang lain maka yang lain harus dapat menerima dan melepaskannya.

In the meantime my relationship with Andre maybe seen unusual for some people. I love him but I can’t let myself to completely be his. I don’t want to move to his country, I don’t want to get married with him, I asked that our relationship be made into open relationship so each of us is free to date others and when one of us fall in love with other person then the other party will let him / her go.

Semua karena satu alasan; cinta akan melemahkan saya. Dan pada akhirnya akan menyakiti hati.

All for one reason; love weakened me. And eventually it only led to heartache.

Setiap kali saya bertengkar dengan ayah atau ibu saya, setiap kali itu pula amarah itu berbalik menyakiti diri saya sendiri karena rasa sayang saya kepada mereka membuat amarah itu pada akhirnya seperti merobek jiwa saya sendiri.

Everytime I had a fight with my father or mother, everytime the anger turned against me and hurt myself because my love for them made it ribbed my own soul.

Setiap kali saya lepas kendali dan marah pada ‘adik’ saya, apakah hal itu membuat saya lega, puas atau gembira? Apakah ego saya bersorak kegirangan?. Tidak. Saya justru di dera oleh rasa bersalah, di siksa oleh penyesalan. Apalagi kalau dia diam dan tidak membalas.


Everytime I lost control and blew up at my ‘brother’, would it relieved, satisfied or made me happy? Would my ego cheered happily?. No. I have even driven by guilt, tortured by regret. Especially when he was quiet.

Ketika saya mengamuk pada Andre, apakah itu membuat saya merasa superior?. Tidak. Hal itu malah menghancurkan hati saya.

When I enraged wildly to Andre, would it make me feel superior?. No. It crushed my heart instead.

Rabu itu, sudah lewat jam 6 ketika acara selesai.

That Wednesday, it was already passed 6 pm when it was done.

Di luar hujan deras.

It was pouring rain outside.

Kendaraan yang katanya akan disediakan untuk mengantar peserta acara ini ternyata tidak ada.

The car that was said would be provided to drive home the participants was not there.

Saya heran memikirkan kenapa selama 2 minggu tidak ada yang memikirkan rencana cadangan kalau mobil yang mau di pinjam ternyata tidak bisa di pinjam.

I was puzzled to think that wouldn’t anyone have backup plan incase the car couldn’t be borrowed.

Oh ya, sewa angkot.. itu rencana cadangannya.


Oh yeah, rented the public car.. that was the backup plan.

Tapi yang saya lihat saat itu adalah semua hanya ribut bicara tentang menyewa angkot. Kenapa tidak langsung saja keluar dan minta seseorang untuk mencarikan angkot? Kenapa harus bertanya pada saya dan ibu-ibu lain apa perlu menyewa angkot.

But what I saw was everyone talked about renting it. Why not just got out there and asked someone to get it. Why should ask me and other ladies about renting it?

Saya terlalu capek, terlalu mengantuk, terlalu pusing, terlalu lapar, terlalu kedinginan, terlalu bingung, terlalu tegang dan terlalu sebal untuk bersuara.

I was too tired, too sleepy, too dizzy, too hungry, too cold, too confused, too tense and too upset to say a word.

Saya tidak mau ngomel, tidak mau menggerutu, tidak mau bersikap konyol cuma gara-gara urusan kendaraan untuk pulang.

I didn’t want to get mad, neither to grumble, certainly didn’t want to act silly just because the transportation to get me home.

Saya pikir kalau tidak ada mobil, persetan, saya punya kaki dan duit kok. Saya bisa pulang sendiri.

I thought to myself if there isn’t any car to drive us home, hell, I have my own feet and money. I can go home by myself.

Yang harus saya perhitungkan adalah hujan deras dengan angin dingin.

What I should think is the pouring rain with freezing wind.

Tapi saya sudah tinggal di kota hujan ini selama 15 tahun. Saya sudah mengantisipasi kondisi cuaca dengan selalu membawa payung, topi atau jaket. Tapi dengan hujan sederas itu saya perlu payung yang lebih besar dan saya menyimpan satu di kantor. Juga jaket.

But I have lived in this rainy town for 15 years. I have anticipated the weather by always bringing umbrella, hat or jacket. But I need bigger umbrella in this pouring rain and I keep one in the office. So does the jacket.

Jadi tanpa berkata apa-apa, saya keluar dari ruangan.

So without saying a word, I left the room.

Saya ambil payung dan jaket saya. Lalu terpikir oleh saya..

I took my umbrella and jacket. Then it just crossed my mind..

“Say, kamu ada dimana sekarang?”

“Hun, where are you now?”

“Di Fatmawati” jawab Andre “Kenapa?”

“At Fatmawati” said Andre “Why?”

Yah, terbanglah semangat saya. Andre sedang di daerah Fatmawati, Jakarta.

There went my spirit. Andre was in Fatmawati area, Jakarta.

“Ga apa-apa. Saya pikir kamu bisa jemput saya”

“Nothing. I was wondering if you could come and pick me up”

“Saya lagi nemuin beberapa klien baru. Memangnya kamu ada dimana?”

“I was meeting some new clients. Where are you anyway?”

“Di kantor”

“In the office”

“Oh? Lembur? Ada acara?”

“Oh? Overtime? Some event?”

“Ada acara. Sekarang sudah selesai. Tapi belum bisa pulang. Hujan besar di sini. Saya pikir kamu di rumah. Pingin minta di jemput”

“Some event. It is done now. But I can’t go home. It’s pouring rain here. I thought you were at home. I need a lift home”

“Saya mungkin sampai sana lebih dari sejam” jawab Andre setelah diam sejenak “Kamu mau nunggu?. Kalau mau, saya buru-buru pulang sekarang”

“It may take me more than an hour to get there” said Andre a moment later “Do you want to wait for me?. Because if you do, I will leave now”

Wah, bisa garing saya nungguin dia. Lagi juga kasihan dia harus terbirit-birit pulang.

No, I can’t wait that long. Beside, I don’t want him to go back in such a hurry.

“Tidak usah deh. Saya bisa pulang sendiri”

“That’s okay. I can go home by myself”

“Yakin?”

“Are you sure?”

Ya, saya yakin. Dengan mantap saya kembali ke dalam ruangan untuk pamit pada senior saya dan orang-orang yang masih ada di sana.

Yes, I am sure. I walked firmly to the room to tell my senior and others that I would leave.

Saya kalah cepat membuka mulut karena begitu melihat saya masuk ruangan, senior saya langsung berkata “Keke, kita sewa angkot buat antar kamu pulang ya”

I wasn’t quick to speak because once my senior saw me entered the room, he quickly said to me “Keke, we rent the car to drive you home, ok”

Dalam hati saya mau tertawa sekaligus menjerit kesal.

I felt like laughing and screaming out of my upsetness.

Jadi soal sewa angkot masih belum diputuskan juga? Astaga! Dari mulai saya keluar ruangan untuk ambil payung dan jaket, pakai jaket dan telpon Andre, kemudian mengunci pintu-pintu.. urusan per-angkotan belum juga beres? Aduh, ngapain harus nungguin saya balik ke ruangan, pak? Apa pun keputusan bapak, saya ngekor aja deh. 

So the renting car matter hasn’t been decided? Goodness! From the time I left the room to get my umbrella and jacket, put on the jacket and called Andre, locked the doors.. that matter hasn’t been settled? Why should wait for me to return to the room, sir? I take whatever decision you make, sir.

Kalau saya ini banteng, mungkin dari hidung saya sudah keluar asap saking kesalnya. Hehe.


If I were a bull, smoke probably would come out f my nose out of my upsetness. Lol.

Akhirnya angkot pun datang. Saya memanggil rekan saya yang saya tahu memang ahli menawar dan tahu jalan.

And the car arrived at last. I called my colleague that I know is a good bargaining person and knows the route well.

Akhirnya semua beres. Senior saya memberi saya uang untuk membayar sewa angkot itu. Dan saya pun langsung naik ke angkot tanpa banyak bicara lagi.

Things were settled at last. My senior gave me money to pay the rent fee. And I got into it with less words to say.

Selintas saya melihat senior saya berdiri di depan pintu. Memperhatikan kami.

I took a glimpse at my senior standing infront of the gate. Watching us.

Di dorong oleh rasa capek dan kesal, saya bahkan tidak pamit sebelum pulang. Saya nyaris tidak bersuara.

Forced by nausea and upsetness made me didn’t even said ‘goodbye’ to him. I barely spoke.

Sementara saya bicara pada rekan-rekan saya yang berada di angkot, saya merasa rasa nyeri menusuk hati saya.

As I talked to my acquaintances in the car, I felt a sharp pain in my heart.

Saya telah marah pada seseorang yang saya sayangi dan kini amarah itu berbalik menyakiti hati saya. Saya menyesali diri karena rasa marah itu demikian menguasai diri saya.

I was mad to someone I love and that anger turned back to hurt me. I felt sorry that it really got into me.

Ingin rasanya saya melompat turun dari angkot dan berkata pada senior saya, ‘Saya sungguh tidak marah. Saya hanya sedikit kehilangan akal sehat saya karena saya capek, lapar dan kedinginan. Janganlah terlalu mencemaskan saya. Saya hanya perlu mandi, makan dan tidur. Besok pagi saya akan kembali normal’

I felt like jumping out of the car to tell my senior ‘I am not really mad. I am just loosing my common sense, just a little of it, because I am tired, I am hungry and cold. Don’t worry too much about me. I just need a bath, dinner and sleep. I will be back to normal in the morning’

Saya tidak akan merasa seperti ini pada orang-orang yang tidak saya kasihi.

I won’t feel this way toward the people I don’t love. 

No comments:

Post a Comment