Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, May 3, 2014

Sweet Child of Mine

“Bu Keke!”

“Ms. Keke!”

Bogor itu kota kecil. Karena itu berpapasan dengan orang yang kita kenal bisa lebih sering terjadi dibandingkan kalau tinggal di kota besar.

Bogor is a small town. The probability to pass people we know is higher than if we live in big city.

Kemungkinan itu semakin besar dilingkungan tempat tinggal saya karena banyak mantan murid saya yang tinggal di kompleks perumahan yang sama.

That happens more often in my housing complex where many of my former students live.

Kalau saya berangkat lebih pagi pastilah saya akan bertemu dengan Jerry. Dan sambil berdiri menunggu angkot, kami mengobrol seakan-akan kami adalah dua teman lama.

Old photo of me and Jerry

When I leave early to work I meet Jerry. And the two of us chat as we wait for our ride to come, just like two old friends.

Jerry kecil yang dulu di TK suka membuntuti saya, sebentar lagi akan menjadi murid SMP.

Can you find Jerry in this pic?

Little Jerry who used to follow me around will soon enroll in junior high school.

Saya melihat mantan murid-murid saya bertumbuh besar. Bahkan banyak dari mereka yang sudah bukan lagi anak-anak karena telah menjadi remaja.

I watch my former students grow. Many of them are even no longer kids as they have become teenagers.

Menjadi guru itu sama seperti menjadi orang tua.

Being a teacher is like being a parent.

Itu yang membedakannya dengan bekerja kantoran. Di kantor yang kita hadapi adalah benda-benda mati yang dengan lewatnya waktu kemampuannya akan berkurang hingga mencapai satu titik yang mengharuskan kita mengganti dengan yang baru.

That is what makes it different with office job. In the office we deal with stuff that worn off as they get older, until in one point we have no other choice than to replace them with new stuff.

Tidak demikian halnya dengan anak. Kita menyaksikan bagaimana dia bertumbuh dari bayi menjadi kanak-kanak, kemudian menjadi remaja, menjadi pemuda-pemudi dan akhirnya menjadi dewasa.

It is a different thing with children. We watch how he/she grows from baby into a toddler, a youngster, a teenager, a young person and finally become an adult.

Kita melihat bagaimana nilai-nilai yang kita tanamkan dalam diri mereka membentuk sifat, kepribadian dan kebiasaan mereka.

We see how the values we instill in them form their character, personality and habit.

Saya masih sering kaget ketika mendengar mantan murid-murid saya masih ingat dengan kata-kata, sikap atau hal-hal tertentu yang saya ajarkan pada mereka bahkan setelah waktu berlalu demikian lama.

It is still surprise me to see my former students can still recall my words, my attitude and things I taught them despite the passing years.

Tapi begitulah seorang anak.

But that how a child is.

Seminggu lalu saya bertemu dengan ibu mantan murid les saya. Dan seperti sebelum-sebelumnya dia pasti akan bertanya kapan saya bisa kembali memberikan les bahasa Inggris pada putrinya.

Last week I met a mother of my former tutoring student. And as it has happened before she asked me when I can tutor English to her daughter.

Saya memberikan les bahasa Inggris untuk menambah penghasilan karena uang gaji saya sepenuhnya untuk keperluan rumah.. yah, saya bekerja tidak untuk diri sendiri. So untuk keperluan transport dan keperluan pribadi, saya harus putar otak bagaimana caranya mendapatkan uang. Untunglah kecintaan saya pada bahasa Inggris dan pada mengajar laku di jual.. hehe..


I tutor English to make more money because all of my salary is to support not just me. So I found myself in need for some cash to finance my personal expenses. Lucky me to have my love for English and teaching as commodities that I can sell.. hehe..

Tapi gitu-gitu saya tidak mengkomersilkan diri. Saya guru yang punya idealisme dan sebagai guru les, saya hanya mau mengajar anak-anak yang memang betul-betul membutuhkan pelajaran tambahan karena lemah dalam bahasa Inggris atau yang nilainya turun.


However, I do not do everything for money. As a teacher I have my idealism and as a tutor I accept only children who need tutoring because they are weak in English or they flunk on it.

Jadi setiap kali ada yang minta saya untuk memberikan les pada anaknya, saya akan mengajukan pertanyaan standar; nilai anak itu bagus atau tidak dalam bahasa Inggris.

So whenever somebody asks me to tutor his/her child English, I ask standard question, the child’s grade in English, is it good or not.

Kalau memang bagus dan tidak ada masalah dengan belajar, saya akan menolak untuk memberikannya les. Lebih baik waktu yang ada dipakai oleh anak itu untuk belajar pelajaran yang lain atau untuk beristirahat atau untuk menikmati masa kanak-kanaknya.


If the grade is fine and the child has no problem in studying English, I tell the parent his/her child needs no tutoring. It is better the child uses the time to study other subject or to rest or to enjoy his/her childhood.

Ibu tadi mengatakan semuanya baik tapi dia ingin supaya anaknya ada yang membimbing dalam belajar bahasa Inggris dan si anak mengatakan kalau memang dia harus les maka dia hanya mau saya yang menjadi guru lesnya.

The lady said everything is fine but she wishes someone to watch over her daughter while she studies English and the child said if she has to take tutoring she specifically asked me to be her tutor.

Saya tertegun mendengarnya. Sudah lebih setahun saya berhenti menjadi guru lesnya karena kesibukan saya bertambah, kesehatan saya pada waktu itu menurun dan saya lihat anak itu bisa di lepas belajar sendiri.

It surprised me so much to hear that. It has been more than a year since I stopped tutor her because I was busy with work, I had health problem and I saw her English has improved.

Itu sebabnya tadi saya tuliskan, menjadi guru itu sama seperti menjadi orang tua.

It is why I wrote above that being a teacher is like being a parent.

Kecintaan seorang anak pada orang tuanya tidak akan bisa dilupakan, dilepaskan apalagi dibuang.

Love of a child for his/her parents can’t be forgotten, can’t be let go nor be forsaken.

Demikian pula rasa sayang saya pada murid-murid saya. Mereka tetaplah anak-anak saya, dulu, sekarang dan selamanya. Saya bisa berhenti mencintai orang dewasa dan menggantikannya dengan kebencian tapi tidak demikian kepada anak-anak betapa pun sangat menyusahkan atau menyebalkannya mereka.

It goes the same of my love for my students. They remain my children, now, then and forever. I can stop loving adults and change it with hatred but I can’t do that to children no matter how troubling they are.


No comments:

Post a Comment