Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, February 28, 2014

The Trouble With Love is..

Tidak selalu berkaitan dengan belas kasihan.

Not always correlated with mercy.

Pengemis di pinggir jalan.. meminta belas kasihan orang = meminta uang.


A beggar on the street.. begging for mercy = begging for money.

Jarang ada yang tuh pengemis yang minta diberikan pekerjaan.

A beggar asking for a job is rarely found.

Masalahnya adalah jaman sekarang ini banyak pengemis menjadikan mengemis sebagai cara untuk mencari nafkah. Keadaan ekonomi dan jumlah penduduk yang banyak membuat orang sulit mendapat pekerjaan dan karenanya dipaksa untuk menciptakan lahan pekerjaan. Mengemis menjadi satu bidang pekerjaan. Tidak lagi menjadi sesuatu yang memalukan untuk dilakukan, tidak menjadi hal yang terpaksa, tidak pula merupakan sesuatu yang sifatnya sementara tapi sudah menjadi pekerjaan.


The problem is many beggars make begging as a way of making livelihood. The economy and population have tightened the job market and people are forced to create their own field of work. Begging thus has become one of field of work. It is no longer a shameful thing to do, not something one have to do for running out of option to feed him/herself, neither does it become a temporary solution but it has become a job.

* * *
Saya kenal dengan seseorang yang saya juluki aktris pemenang piala oscar karena demikian mudahnya dia menyetel muka dan suaranya ketika sedang bercerita tentang masalah atau kesusahannya yang ditambahi tentunya dengan cucuran air mata. Dan semua itu dilakukannya untuk mendapatkan simpati dan belas kasihan orang, bahkan tidak jarang juga sebagai alat untuk memudahkan misinya ketika akan meminjam atau meminta bantuan uang.

I know someone whom I mockingly called an Oscar winner actress because she is easily transformed her face and voice when she speaks about her problem or trouble which of course add with tears. And she does it to get people's sympathy and mercy, sometimes it is her way to get what she wants, to borrow or get some money.

                                        * * *
Belum lama ini terungkap ada panti asuhan yang mempergunakan anak-anak yatim sebagai cara untuk mencari donasi. Donasi yang tidak digunakan sebagaimana mestinya yaitu untuk merawat dan mendidik anak-anak itu. Donasi itu dipergunakan oleh orang-orang tertentu yang mengelola panti. Anak-anak bagaimana? Terlantar. Teraniaya.

Just recently it was discovered that an orphanage used the orphan kids as way to get donation. Donation that didn't use as it should which is to care and educate those kids. Donation has been used by people who run the orphanage. How about the kids? Neglected. Abused.

                                        * * *

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik tapi juga emosi. Pelakunya bisa suami ke istri, istri ke suami, orang tua ke anak, anak ke orang tua, menantu ke mertua, mertua ke menantu, majikan ke pembantu. 

Domestic violence. Not just physical but also emotional. Anyone can be the perpetrator, husband to wife, wife to husband, parents to their children, children to their parents, daughter/son in law to their parents in law, parents in law to their daughter/son in law, employer to their domestic worker.

                                        * * *

Cinta dan belas kasihan seharusnya bergandengan tangan. Tapi dalam prakteknya tidak selalu demikian.

Love and mercy should come together. But not so in daily life.

                                        * * *

Bisakah kita memberikan cinta tanpa syarat? 

Can we give unconditional love?

Di tahun 1980an ayah saya melayani narapidana di penjara, pelacur dan anak-anak gelandangan. Ayah saya lulusan seminari, lulus sebagai pendeta muda dan gereja dimana dia melayani mengirimkan pendeta-pendetanya untuk melayani di penjara, tempat pelacuran dan perkampungan kumuh.

In the 80s my father served the prison inmate, prostitute and homeless children. He graduated from a seminary, becoming a minister and the church where he served sent its ministers and priests to serve in prison, prostitution places and the slum neighborhood.

Ayah saya selalu melibatkan keluarganya dalam pelayanannya. Saya ingat pada suatu kali ibu saya menyisihkan uang gajinya, saya mengorek celengan saya dan nenek saya (ibu dari ayah saya) mengirimkan uang. Berbekal semua itu ayah saya yang jago masak lalu memasak makanan dan sorenya berangkatlah kami ke Cimanggis.

My father always involved his family in his service. I remember one time my mother spared some of her salary, I took my piggy bank and my grandmother (my father’s mother) sent some money. With all those money, my father, the chief cook of our family,  cooked some dishes and in the evening we left to Cimanggis.

Malam natal itu ayah saya melayani di sebuah gereja kecil.

My father preached in a small church on that christmas eve.

Ayah saya melayani selama beberapa tahun di gereja itu. Jemaatnya datang dari golongan ekonomi ke bawah. Ayah saya tidak mau merepotkan mereka. Dia tidak mau menerima pemberian uang mereka. Sekalipun kami hidup amat sangat sederhana pada waktu itu tapi ayah saya tidak pernah mengkhawatirkan soal uang.

My father served in that church for several years. The congregation came from low class. My father never wanted to burden them. He never accepted money from them. We lived a very simple life at that time but my father never worried about money.

Saya ingat pada suatu hari ayah saya diminta untuk mendoakan seorang jemaat yang sekarat karena kanker. Karena jemaat itu terlalu sakit dan lemah maka ayah saya datang ke rumahnya untuk menengok dan mendoakannya. Saya dan ibu saya tentu saja ikut.

I remember one day my father was asked to pray for a congregation who was dying of cancer. Since she was too sick and weak, my father came to her house to see and pray for her. My mother and I came along.

Rumahnya kecil, sumpek dan ya ampun baunya! Wek! Saya tidak tahan berada didalamnya tapi ayah saya masuk dan rasanya lama sekali berada didalam.

It was a small house, bad vent and smell! Yuck! I couldn’t stay in there but my father came in and felt like he would never leave.

Hal lain yang saya ingat adalah ketika kami melayani diperkampungan nelayan. Ayah saya yang karena sudah sering melayani disana segera dikerumuni oleh sekelompok anak-anak kecil yang berebut untuk menyalami, bicara dan memeluknya.

Another thing I remember is when we served in fisherman village. My father who came there often soon be swarmed by young children who wanted to greet, talk and hugged him.

Ibu saya dikemudian hari bercerita sambil tertawa mengenang pakaian ayah saya yang bersih dan wangi itu langsung berbau tidak karuan karena janganlah membayangkan anak-anak itu wangi dan bersih. Beberapa dari mereka ingusan. Tapi ayah saya tanpa ragu atau jijik bersalaman, menggandeng, memeluk dan bahkan menggendong mereka.

Years later my mother laughed when she recalled how my father’s clean clothes soon smelled like hell. Well, those children were not smell good and clean. Some of them have runny nose. But my father shook their hands, hold, hugged and carried them without hesitation nor disgust.

Kalau ke penjara atau ke tempat pelacuran memang belum pernah ayah saya mengajak keluarganya melayani ke sana. Tapi seingat saya, dia pernah beberapa kali membawa mantan napi yang sudah bertobat ke rumah kami untuk berlatih menyanyi.

My father never took his family when he served in the prison or prostitution places. But I remember he took home some of ex-prisoners to have rehearsal.

Napi yang dilayani oleh ayah saya dan tim-nya bervariasi dari yang kelas pencuri sampai ke perampok dan pembunuh. Entah bagaimana orang-orang seperti itu bisa jadi jinak dan bahkan akhirnya menjadi orang-orang yang bisa hidup dengan benar karena banyak dari mereka yang datang dari keluarga kacau, lingkungan yang keras dan penjara yang membuat mereka seperti binatang liar.


The prisoners whom my father and his team served were varied from thieves to robber and murderer. I don’t know how those people could be tamed and even lived normally because many of them came from dysfunctional families, lived in tough neighborhood and the prison that made them like wild animals.

Saya pernah bertanya pada ayah saya apa yang membuatnya mau melayani orang-orang yang terpinggirkan seperti mereka?

I once asked my father what made him willing to serve the people like them?

“Keke, bersama dengan mereka, kamu akan merasakan kasih yang demikian besar mengisi hatimu untuk mereka dan kasih itu bukan datang dari dirimu karena kamu tidak akan pernah bisa menerima atau mengasihi orang-orang seperti itu. Kasih demikian besar dan murni seperti itu hanya bisa diberikan oleh Tuhan. Jadi kalau kamu merasakannya mengalir dalam darahmu, mengisi hatimu dan menyatu dengan setiap detak jantungmu maka itu artinya Tuhan sendirilah yang ada dalam dirimu. Kasih itu membuat kamu tidak jijik, kesal, takut, cemas, bosan, capek atau putus asa ketika melayani atau berada di antara mereka”

My father (wearing tie).
At his left is his mentor & friend Rev. Jacob Nahuway, founder of the church GBI Mawar Saron

“Keke, when you are with them, you will feel a tremendous love fill your heart for them and that love doesn’t come from you because you can’t possibly accept or love people like them. Love that much and genuine can only be given by God. So if you feel it runs in your vein, fill your heart and becoming one with every beat of your heart, it means God Himself is in you. That love makes you don’t feel disgust, upset, scared, worry, bored, tired or desperate when serving or being with them”

No comments:

Post a Comment