Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, July 25, 2013

The Pursuit Of Happyness

Ini film ke dua setelah The Impossible yang sangat saya rekomendasikan untuk di tonton saat sedang menghadapi masalah atau kesukaran dalam hidup.

This is the second movie after The Impossible that I highly recommend you to watch when you are in the midst of problem or having hardship in life.

Soalnya begini, ketika sedang tertimpa masalah atau kesukaran, biasanya kita berpikir atau merasa bahwa masalah atau kesukaran itu teramat sangat besar dan berat.

The thing is when problem occurs or hardship hits us, we would think it were so huge and unbearable.

Reaksi yang sering muncul adalah marah. Entah itu marah kepada diri sendiri atau marah kepada orang lain.

The common reaction is get angry. Whether it is angry to yourself or to other person/people.

Kadang membuat dalih atau mencari kambing hitam.

Sometimes making excuses or looking for a scapegoat.

Ada yang membenarkan diri. Ada yang mengasihani diri.

Some make self justification. Others feel self pity.

Itu sebabnya kita harus berusaha untuk keluar dari perangkap itu.

It is why we have to try to set ourselves out of the trap.

Ya, masalah boleh ada. Kesukaran memang tidak langsung hilang seperti orang main sulap. Penyakit tidak langsung sembuh. Uang tidak tiba-tiba jatuh ke atas pangkuan. Pekerjaan tidak serta merta didapatkan dalam sekali mengirim lamaran kerja. Kesalahan yang sama tidak bisa diharapkan untuk tidak terulang lagi. Tidak mungkin berharap berjodoh dengan orang pertama yang dipacari.

Yes, so problem is very much exist. Troubles don’t disappear magically. Illness is not cured. Money does not fall on to our lap. One job application does not earn us that job. Same mistake can not be expected from not happening again. Do not hope the first person who became our boy/girlfriend would end up in marriage.

Jadi yang pertama kali dilakukan adalah realistis. Boleh sedih, boleh kesal, boleh putus asa, boleh bingung.

So the first thing to do is to be realistic. Yes, we can feel sad, upset, despair, confuse.

Film The Pursuit Of Happyness (Mengejar Kebahagiaan) adalah film yang di angkat dari kisah nyata tentang satu masa dalam kehidupan seseorang yang mengalami masalah demi masalah, baru mengalami sedikit kelegaan kemudian harus menghadapi kesulitan berikutnya.

The Pursuit Of Happyness is a true story movie about a man who for some period of time had to go through one problem after another, one small good thing followed by another hardship.

Dari seorang yang memiliki tempat tinggal sampai harus pindah ke motel dan karena tidak punya uang untuk membayar maka dia harus bermalam di toilet stasiun kereta api dan akhirnya di rumah singgah untuk gelandangan. Untuk bisa mendapat tempat di rumah singgah itu dia harus mengantri karena begitu banyaknya gelandangan yang juga membutuhkan tempat untuk bermalam.

Father & son

From someone who had a place to stay then forced to move to a motel and because he had no money to pay the rent he had to spend a night at the train station’s toilet. Later he stayed in a house for homeless people. To be able to get a place at that house he had to stand in a long line along with other homeless people.

Spending a night at train station toilet

Istrinya meninggalkannya karena mendapat pekerjaan di kota lain. Putra mereka satu-satunya ditinggalkan. Jadi putranya itu ikut terseret-seret dalam berbagai kesusahannya.

His wife left him because she got a job in other town. Their only son was left under his custody. So the boy was dragged from one tough time to another one.

Pekerjaannya sendiri adalah menjual alat medis dan benda itu tergolong mahal serta tidak semua dokter atau rumah sakit memandangnya sebagai benda yang sangat dibutuhkan sehingga bukan perkara mudah untuk bisa menjualnya. Membutuhkan waktu berhari-hari atau malah berminggu-minggu untuk bisa menjual satu.

His business was selling this medical equipment and it was quite expensive, plus not all doctor or hospital think it as a necessary equipment so it was not an easy thing to sell it. It took days or even weeks to sell just one of that thing.

Demi mendapatkan uang untuk makan putranya, dia sampai harus mendonorkan darahnya. Di Amerika rupanya menerima bayaran untuk mendonorkan darah. Di Indonesia hanya menerima susu, telur atau mie instan.

To get money to buy food for his son, he had to sell his blood. I just knew that people in America get paid when they donate their blood. In Indonesia red-cross just give milk, egg or instant noodle as a reward.

Pokoknya menonton film ini bisa membuat kita tertawa, gemas dan juga meneteskan air mata.

This movie can make us laugh, shake our heads in disbelief and also cry.

Soalnya itu yang terjadi pada saya selama menonton film itu. Hehe.

I laughed, I shook my head in disbelief and I cried when I watched it. Lol.


Yang paling penting adalah saya merasa semua masalah, penderitaan dan penyakit saya jadi seperti kecil sekali bila dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh si tokoh yang kisah hidupnya di angkat dalam film itu.

The most important thing is I felt all my problem, suffering and illness are small if they are compared with what the man had to deal with.

Seburuk-buruknya keadaan saya, saya masih punya pekerjaan tetap, gaji tetap setiap bulan, segala pengeluaran ekstra karena sakit bisa dilunasi tanpa harus berhutang, masih ada rumah sendiri dan kami tetap utuh sebagai satu keluarga.

No matter how worst my situation was, I have a job, I get paid every month, every extra expenses could be paid without leaving us in debt, we have our own house and we remain as a family.

Inilah yang saya maksudkan dengan kita harus keluar dari perangkap.

This is what I meant when I wrote we have to get ourselves out of the trap.

Perangkap dalam bentuk kemarahan, kesedihan, rasa mengasihani diri sendiri, putus asa, kekesalan, mencari kambing hitam, membuat dalih, membenarkan diri sendiri, iri, benci, bersikap kekanak-kanakan.

The trap in the form of anger, sadness, self pity, despair, upsetness, looking for scapegoat, making excuses, envy, hatred, act childishly.

Saya tidak suka melihat orang yang membesar-besarkan perkara setiap kali ada masalah. Yang bereaksi seakan langit runtuh di atas kepalanya ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapannya.

I dislike anyone who exaggerates thing when problem occurs. Who reacts as if sky fell on his/her head when things don’t go according to his/her wishes.

Atau orang yang lebih suka mengasihani diri sendiri. Memasang muka muram atau berkeliling menceritakan tentang penderitaannya.

Or to anyone who likes to dwell in self pity. Putting sad face or walk around telling everybody about his/her misfortune and suffering.

Berhentilah menjadi anak kecil.

Stop being a child.

Tidak mudah untuk berubah dari kanak-kanak menjadi seorang dewasa.

It is not easy to transform from being a child into an adult.

Saya menjalani kehidupan yang tidak mudah dari tahun 2001 sampai ke tahun 2013 ini. Kehidupan saya di tahun-tahun sebelumnya memang tidak bertabur bunga tapi rasanya yang saya alami dari selama 12 tahun terakhir ini lebih berat dari yang sebelumnya.

I had quite hard years from 2001-2013. My life was not an easy one before that but it seems in the past 12 years I have lived a more harder life.

Hasilnya sih banyak merubah sifat, kebiasaan dan kepribadian saya.

They have changed my characters, habits and personality.

Penyakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan dan perjuangan untuk mendapat pekerjaan, kesulitan keuangan, jatuh cinta-patah hati berjuta kali telah membuat saya berubah dari seorang kanak-kanak menjadi lebih dewasa.

Illness, accidents, losing a job and struggle to get a job, financial problem, falling in love-heart broken like a million of times have turned me from a child into an adult.

Umur tidak menjamin kita menjadi orang dewasa. Hanya dewasa dalam definisi hukum. Patut disayangkan kalau sikap, kelakuan dan cara berpikir kita ternyata tidak ada bedanya dengan anak berusia 5 tahun.

Age is not making us into adults. The law may set what age can be considered as adult. It is such a shame if the attitude, characters and way of thinking are showing no difference with a 5 year old.

No comments:

Post a Comment