Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, July 24, 2013

The Impossible

Nonton film adalah satu dari antara sekian banyak hobi saya .

Watching movie is one of my hobbies.

Di tahun 1988-2000 nonton film di bioskop masih jadi kegiatan yang saya lakukan secara berkala. Tapi kemudian harga tiket bioskop makin mahal dan di tambah dengan semakin sibuknya saya kuliah, lalu kerja, nonton di bioskop terpaksa harus di hapus dari agenda.

In between 1988-2000 going to the movie was the thing I did periodically. But later the cinema ticket price increased and busy with college, followed by work, made going to the movie had to be removed from the agenda.

Tapi bukan berarti saya sudah tidak suka menonton film. VCD dan DVD adalah jalan keluarnya. Lebih murah dan lebih nyaman menonton film di rumah sendiri.

It does not mean I don’t like watching movie anymore. VCD and DVD are fulfilling that need. It is cheaper and more comfortable to watch movie at home.

Yang saya sukai adalah film yang di angkat dari kisah nyata.

My favorite film is the ones that based on true stories.

Ada banyak gunanya menonton film yang mengisahkan tentang hal-hal yang terjadi dalam kehidupan orang lain.

Watching movies about things happened in other people’s lives is giving good impact on ourselves.

Yang saya pilih adalah kisah dari orang-orang biasa seperti diri saya yang dalam suatu masa kehidupannya atau berkali-kali mengalami masalah, kesusahan atau penderitaan dan pada akhirnya semua dapat teratasi atau semua selamat.

My choice goes to the stories of ordinary people just like myself who once in their lifetime or have had to go through one after another hardship but at the end everything was all passed by and everyone is saved.

Bulan April lalu saya mengalami hal-hal yang membuat mental saya ambruk habis-habisan.

Things happened in April that made me had a worst mental breakdown.

Ibu saya sakit. Masuk rumah sakit dua kali dengan hanya berselang tidak sampai sebulan. Keadaannya tampak demikian parah sampai saya pikir kematian sudah membayang.

My mother was ill. Had to be hospitalized twice in just about a month apart. Her condition looked so critical that I thought death was close.

Sesuatu yang tidak bisa saya terima karena saya selalu meyakini orang tua saya harus melihat semua yang kami impikan dan cita-citakan terjadi. Mereka tidak boleh pergi dengan membawa kenangan tentang hidup kami yang masih serba prihatin begini.

I could not accept it. I did not want to accept it because I always have this belief that my parents would pass away after they see our dreams and hopes come true. They should not pass away bringing the memory about our lives in shortage.

Tapi melihatnya saat itu membuat saya bertanya-tanya apakah selama ini saya menipu diri sendiri dengan menginginkan sesuatu yang tidak pernah ada atau tidak akan pernah terjadi?

But seeing her condition made me wondered if I have fooled myself by believing or wanting something that was not real or would never happen?

Saya marah. Saya takut.

I was angry. I was scared.

Saya sendiri saat itu sedang dalam keadaan jauh dari sehat. Selama 8 bulan jumlah menstruasi saya luar biasa banyaknya dan siklusnya bisa berjalan selama hampir sebulan (normalnya antara 3-14 hari). Berhenti seminggu atau paling lama 10 hari, untuk kemudian mulai lagi.

I myself was far from healthy at that time. For 8 months I have had abnormality in my menstrual quantity and cycle. It could go for a month (normal cycle takes about 3-14 days). It stopped for only a week to 10 days before it raged again.

Dokter kandungan kedua yang saya temui memberi saya obat dan mengatakan bila obat tidak bisa menghentikan pendarahan maka ada dua kemungkinan, ada tumor (myum) atau kanker rahim.

The second gynecologist I consulted gave me some meds and told me that if they didn’t stop the bleeding then there are two possibilities, a tumor or uterus cancer.

Kala itu rasanya dari 41 tahun umur saya, rasanya baru kali itu saya berhadapan dengan masalah yang tidak menyediakan jalan keluar. Sebelumnya, seburuk atau seberat apa pun masalah yang pernah saya atau orang tua saya hadapi, kami selalu bisa berkelat-kelit melepaskan diri dan keluar dari masalah.

At that time it seemed that of all my 41 living years, that was the first time I dealt with something that looked like it had no way out. Before that, no matter how worst or tough a situation or problem that my parents and I had faced, we had managed to get out of it.

Saya berpikir tentang segala kemungkinan yang paling buruk. Sejak badai kehidupan menghantam kami bertubi-tubi, saya tidak mau lagi membayangkan hal yang paling baik karena pengalaman justru menunjukkan kebalikannya. Jadi saya membayangkan semua yang paling buruk untuk mempersiapkan mental bila memang hal itu benar-benar terjadi.

I thought every worst scenario. Eversince hardship hit us one after another, I did not want to think all the best possibilities because experience showed it did not happen that way. So I went by thinking the worst to prepare myself if it should really happen.

Dan yang paling buruk yang saya bayangkan tentunya adalah kanker.

And the worst I could think of was of course about cancer.

Hal itu membuat saya merasa sulit untuk percaya, sulit untuk menerima.

I hardly believed nor accepted it.

Saya telah mengalami penyakit-penyakit berat di masa lalu dan juga mengalami kecelakaan dari mulai saat berkendara dengan bis bis, mobil sampai kereta api, saya selalu keluar dengan selamat. Apa sekali ini saya tidak akan bisa mengelak lagi dari maut? Beginikah hidup saya akan berakhir? Lalu semua cita-cita dan harapan saya itu adalah omong kosong?

I had serious illness in the past and had accident involving a bus, a car and a train. I survived them all. But would I still be able to cheat death this time? Would my life end this way? And everything I have ever dreamed or hoped for were just bullshits?

Lalu ada biaya perawatan, dokter dan obat yang jumlahnya bisa bikin orang yang paling sehat pun terkena serangan jantung. Hehe. Dengan gaji ngepas, tidak punya asuransi kesehatan lalu kena sakit serius… hmm.. siksaan dunia akhirat, lahir dan batin… lengkaplah sudah penderitaan orang sakit di negeri ini.

And there were medical bills, the amount would make the most healthiest person had heart attack. Lol. With minimum wage, no health insurance and facing serious illnesses… hmm.. heaven and earth torture, physically and mentally suffering. This is what happening in this country for those who get ill.

Dalam seluruh masa kehidupan saya, baru pada waktu itu saya merasa demikian susah dan demikian miskin. Harga diri saya bukan lagi saya gadai tapi saya jual ketika kami harus meminta bantuan keuangan dari kiri kanan. Belum pernah saya merasa demikian tersinggung dan terhina karenanya. Tapi saya punya pilihan apa?

Of all my life I have never felt so poor and needy. I have not just pawned my dignity, I sold it when we looked around to get financial aid. I have never felt so offended and insulted. But what option did I have?

Kemudian pada suatu hari saya menonton film berjudul ‘The Impossible’.


And one day I watched a movie ‘The Impossible’.

Film itu mengangkat kisah nyata yang di alami oleh satu keluarga yang terdiri dari suami istri dengan tiga orang anak lelaki asal Inggris yang sedang berlibur akhir tahun di Khao Lak, Thailand. Keesokan harinya di pagi hari tanggal 26 Desember 2004 ketika mereka sedang berada di kolam renang resor yang menghadap ke laut, tsunami menghantam daerah itu.


The movie was a true story of a couple with three sons from England who spent their Christmas holidays in Khao Lak, Thailand. The next day in the fateful morning on December 26th, 2004 when they were resort’s swimming pool overlooking the beach, tsunami hit the area pretty bad.

Satu keluarga ini tercerai berai. Si istri hanyut terbawa arus dan secara ajaib anak sulungnya juga sedang hanyut tidak jauh dari dia.


 This family was scattered. The wife found herself floating by the current and miraculously her eldest son was also floating not too far from her.

Mereka harus berjuang melawan arus dalam keadaan terluka, kedinginan dan shock, lalu harus keluar dari air. Berjalan melewati puing-puing dan menemukan mayat manusia serta hewan. Kondisi si istri sangat parah karena daging dibetisnya robek dan sudah menggantung nyaris lepas.

They had to fight the current while in hurt, cold and shock. Then they had to struggle to get off the water. Walked through the debris and found dead bodies of people and animals. The wife condition was bad for having her calf was cut and her flesh was hanging.

Mereka berjalan mencari kampung, mencari pertolongan tanpa mengetahui arah, dalam keadaan luka, kedinginan, dibayangi ketakutan memikirkan kemungkinan akan datang gelombang tsunami yang berikutnya, shock dengan hal-hal yang baru saja menimpa mereka dan tidak mengetahui apakah anggota keluarga mereka yang lain masih hidup atau sudah mati.

They walked looking to find a village, looking for help without knowing which way to go, hurt, cold, scared by the thought of another tsunami would hit again, going into shock of the things they just experienced and had no idea whether their family members were still alive or dead.

Saya mengetahui benar bagaimana rasanya. Saya tidak mengalami tsunami tapi yang kami alami bulan April itu memberikan rasa seperti itu.

I knew how it felt. I was not being hit by tsunami but what we had to endure in that April felt like it.

Hanya satu keberuntungan mereka ditemukan oleh beberapa penduduk desa yang sedang mencari korban-korban yang masih hidup. Mereka dibawa ke rumah sakit. Kelihatannya ada sedikit titik cerah. Tapi tidak juga.

Only by luck they were found by some villagers who searched for the victims. They were then brought to the hospital. It seemed there was a light shone on them. Well, not quite. 

Di rumah sakit, si sulung pergi sebentar untuk menolong seorang ayah mencari anaknya. Ketika kembali, dilihatnya tempat tidur ibunya sudah kosong. Dia tidak tahu apa yang terjadi atau kemana ibunya di bawa. Tidak seorang pun yang tahu. Jadi dia mulai berteriak memanggil-manggil ibunya dalam kepanikan dan ketakutan.

And while in the hospital, this elder boy went to help a man looking for his son. When he went back, he saw his mother bed was empty. He did not know what has happened or where his mother was taken. No one knew. So he started screaming for his mother in frantic and fear.

The family whose surviving story was made into The Impossible movie
Saya menangis ketika menonton adegan ini. Saya tahu benar bagaimana rasa panik dan takut itu. Saya merasakannya ketika saya pulang di hari ibu saya di bawa ke rumah sakit untuk ke dua kalinya. Saya pikir saya tidak akan melihatnya lagi. Tidak seorang pun, tidak juga Tuhan atau semua setan di neraka yang mengatakan apa yang terjadi padanya atau bagaimana semua kesulitan ini akan berakhir.

I cried when I saw this scene. I knew about the frantic and fear. I felt it when I had to go home on the day my mother had to be taken to the hospital for the second time. I thought I would never see her again. No one knew what would happen to her, not God nor all demons in hell could tell me what was happening or how this hardship would end.

Dan untuk beberapa jam lama si sulung ini di bawa ke tenda yang rupanya menjadi tempat bagi anak-anak yang terpisah dari keluarganya. Tanpa mengetahui apa yang terjadi pada ibunya, apakah masih hidup atau tidak, kalau sudah meninggal, kemana mayat ibunya di bawa dan tanpa mengetahui bagaimana nasib atau keberadaan ayah serta dua adiknya membuat anak lelaki ini, yang saya perkirakan mungkin baru berusia 11-12 tahun, menjadi seperti orang linglung.

And for few hours the boy was brought to a tent where it was for children who were separated by their family. Not knowing what have happened to his mother, if she were dead, where did her body taken and still had no clue what have happened to his father and two younger brothers made him, whom I assumed was probably 10-11 years old, looked like someone who lost his mind.

Kesusahan yang beruntun menimpa saya dan orang tua saya juga sempat membuat saya merasa takut saya akan kehilangan akal sehat. Dari luar kelihatannya saya baik-baik saja, saya tetap dapat melakukan pekerjaan dengan baik dan saya tidak bermuka murung. Tapi pada saat bersamaan, saya merasa seperti sesuatu dalam diri saya sudah mati. Saya hanya berbentuk fisik tanpa jiwa lagi. Hanya nyawa tanpa kehidupan.

The one after another hardship that hit me and my parents made me scared of losing my senses. I looked ok from outside, I could still do my work and I never put sad face. But at the same time I felt something in me just died. I was just a body with no soul. A living person with no pulse.

Keluarga ini ternyata selamat semua dan dapat berkumpul kembali. Tidak semua mengalami hal seperti itu. Banyak yang kehilangan anggota keluarga, teman, kenalan atau pasangannya.

This family were all saved, alive and could get together again. But not everyone was that lucky. Many lost their family members, friends, acquaintances or partners.

Sudah berkumpul pun bukan berarti masalah sudah selesai atau maut sudah mundur. Kondisi si istri demikian parah sampai dia sudah mengira ajalnya akan datang sehingga kepada suaminya dia sudah berpesan untuk menjaga anak-anak mereka seandainya dia meninggal.

Even after they were reunited it did not mean problem was solved or death left them. the wife condition was critical that she thought she wouldn’t make it, she told her husband to look after their children.

Saya tahu benar rasa putus asa ini. Saya tahu bagaimana kehidupan seperti di gantung di atas selembar tali menyeberangi jurang yang sangat dalam. Tanpa pertolongan. Tanpa pelindung. Tanpa kepastian akan selamat atau tidak.

I knew the desperation. I knew how it feels to have life hanging on a rope over a steep and deep cliff. No rescue. No cover. No certainty. Not knowing whether it would be saved or not.

Mudah untuk menjadi kuat ketika segalanya berjalan lancar dan baik. Tapi masih bisakah kekuatan itu bertahan ketika segalanya terlihat buruk, tanpa pilihan dan tidak ada jalan keluar.

It is easy to be strong when things go smooth and well. But will it survive at times when everything looks worst, no option and no way out.


Tapi pada akhirnya keluarga ini berhasil diberangkatkan ke Singapura. Si istri mendapat pengobatan dan selamat.

At the end that family was evacuated to Singapore. The wife survived.

Hidup adalah tentang menghadapi penyakit keparat, bencana alam keparat, masalah keuangan keparat, kecelakaan atau kejahatan manusia yang semuanya serba keparat.

Life is about dealing with fucking illness, fucking calamity, fucking financial problem, accidents or bad people that all are fucking ones.

Kita akan selamat melalui beberapa atau tidak ketika melewati yang lain.

We might survive some or might not when another one came.

Jangan berpikir kekanak-kanakan bahwa karena kita orang baik-baik atau dilengkapi dengan segudang kelebihan maka hal-hal buruk itu tidak akan pernah menyentuh kita.

Don’t think childishly that if we are good people or have plenty of abundant things that those bad things will not or can not touch us.

Perjalanan ibu saya tidak terhenti. Dia berhasil melalui kondisi terburuk. Walau sekarang masih bergantung pada obat tapi dia hidup dan kondisinya membaik.

My mother’s journey was not ended. She got over the worst. Though still depending on meds but she is alive and getting better.

Kondisi saya pun demikian. Obat ronde pertama berhasil menghentikan menstruasi saya dari 23-30 April (seminggu setelah saya ke dokter kandungan itu dan minum obat yang diberikannya). Tanggal 1-9 Mei mulai lagi, 10-12 Mei berhenti, 13-26 Mei mulai lagi, 27 Mei saya minum obat ronde ke dua.

My condition is the same. The meds stopped my menstruation. First round of medication stopped my menstruation from April 23rd-30th (a week after I went to see that gynecologist and took his meds). It started again on May 1st-9th, stopped on May 10th-12th, May 13th-26th started again, stopped on May 27th after I took the second round of meds.

Sebagai info, 1 ronde totalnya terdiri dari 15 tablet (terdiri dari 3 macam obat: antibiotik, untuk menghentikan pendarahan dan vitamin) yang harus di minum 3x sehari.

FYI, 1 round of meds are consist of a total 15 pills (3 different meds: antibiotic, med to stop the bleeding and vitamin) that I have to take 3 times a day.

Setelah minum obat ronde ke dua, menstruasi saya berhenti lebih dari sebulan (28 Mei-30 Juni). Kemudian kembali menggila pada 1-16 Juli dan berhenti setelah selama seminggu saya minum obat ronde yang ke tiga. Jadi dari 17 Juli sampai hari ini mens berhenti.

After took the second round of meds my menstruation stopped for more than a month (May 28th – June 30th). It raged again from July 1st-16th but it stopped after I took the third round of meds for almost a week. So it stopped from July 17th to the day I drafted this.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya.

I don’t know what will happen after this.

Saya tidak tahu bagaimana semua ini akan bisa terlewati dan teratasi. Saya tidak punya bayangan bagaimana seluruh cita-cita, impian dan harapan saya akan bisa jadi kenyataan. Karena realita yang ada tidak menjanjikan sama sekali. Bahkan Tuhan mau pun seluruh setan di neraka pun tidak ada satu pun yang memberikan kepastian sehingga saya tidak lagi mempercayai satu pun dari mereka.

I don’t know how to get through this or how this is all going to resolve. I have no idea how all of my dreams and hopes should come to pass. Reality is dim. Not even God nor all demons in hell could give certainty so I trust none of them.

Saya hanya memegang rasa di dalam batin yang tetap mengatakan bahwa semuanya akan menjadi baik dan saya akan mendapatkan semua yang pernah saya cita-citakan, harapkan dan inginkan.

I hold on to this gut feeling that says things will be okay and that I shall get everything I have ever dreamed of and wanting to have.

No comments:

Post a Comment