Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Monday, July 22, 2013

Because You Are My Bestfriend

“Terima kasih ya, Keke, masih mau jadi temen aku”

“Thank you, Keke, for still wanting to be my friend”

Alis mata saya mungkin sudah terangkat demikian tinggi, lebih tinggi lagi pasti bakal copot.. hehe.. bukan apa-apa, kalimat teman saya itu terdengar agak tidak biasa.

My eye brow must have been raised so high, it would fall off its place if it raised higher.. lol.. it was all after hearing unusual lines which my friend just told me.

“Aku takut kamu tidak mau jadi teman aku setelah tahu aku begini”

“I was afraid you wouldn’t want to be my friend anymore after you knew me like this”

Saya nyengir sambil dalam hati menggeleng-gelengkan kepala karena isi kepala saya di hari pernikahan ‘adik’ saya (6/7) lalu itu sedang penuh dengan berbagai macam pikiran; beberapa saat sebelumnya kami baru saja tiba di gereja tempat pernikahan dilangsungkan, ngos-ngosan dan ngebul kepanasan karena harus berjuang mencari kendaraan, menghadapi macet dan udara tengah hari yang panasnya sampai ke ubun-ubun. Pff…

I grinned while deep inside I shook my head in amazement because I was having like a ton of thoughts on that day of my ‘brother’s’ wedding (July 6th), just a moment ago we got at the church where the wedding was held, pretty much puffing and huffing over having to struggle to get the vehicle, stuck in the traffic in mid-day heat that felt like burning my head.

Lalu di dalam gereja, saya duduk sambil berpikir-pikir apa yang ada dalam hati ‘adik’ saya itu. Diantara perasaan saya sendiri yang bercampur aduk antara senang melihatnya menikah setelah berpacaran cukup lama, mengkhawatirkan nasib persahabatan kami yang telah berjalan selama 2 tahun, akankah berubah setelah dia menikah? Lalu sms dari Andre mengingatkan saya bahwa malam sebelumnya kami sempat sedikit bersitegang karena saya tidak mau dia ikut ke pernikahan ini. Dan saya bertemu dengan laki-laki lain yang beberapa waktu lalu dan untuk sekian waktu lamanya sempat masuk ke dalam hati saya. Semua itu bercampur aduk dengan kegembiraan bertemu dengan beberapa orang yang sudah lama tidak saya temui. Di sela-sela canda tawa dengan mereka yang punya rasa humor sama dengan saya.

And then in the church, I sat there thinking what my ‘brother’ had on mind. In between my happiness seeing him married his long time sweetheart and my own anxieties over the thought of what our two years old friendship would be like now that he is married, would it change? A text from Andre reminded me of our minor tension over this wedding and me not wanting him to attend it. And I met that other guy who a short while a go and for a period of time got into my heart. All mixed with my pleasure of meeting some people whom I have not seen in quite a while. In between exchanging laugh and jokes with those whom share the same sense of humor.

Melambung-lambung dalam rasa gembira, cemas, bersemangat, bingung, merasa bersalah yang memabukkan itu, saya menghadapi tamparan kenyataan bahwa fisik saya sedang kembali berjuang melawan hormon.

Bouncing by the euphoria of happiness, anxieties, excitement, confusion, reality slapped me when it showed how once again my physic was in a battle against the hormone.

Hari itu sudah tiga kali saya mengganti pembalut dan di toilet gereja, saya gemetaran dalam ketakutan melihat begitu banyaknya darah. Mengalir deras seperti keran bocor. Dalam hati saya memaki dengan segala macam makian yang saya ketahui. Keparat! Hormon dan menstruasi terkutuk ini tidak akan pernah mengalahkan saya. Bahkan sejuta topan badai pun tidak akan bisa membuat saya tidak menghadiri pernikahan ‘adik’ saya ini. Dia adalah sahabat saya, rekan kerja dan orang yang telah saya anggap sebagai adik sendiri. Persahabatan dan persaudaraan kami pada hari itu mampu mengalahkan kelemahan fisik saya.

I had my sanitary napkin changed three times that day and in the church’s toilet I shook in fear seeing so many blood came out of my body as if it was water out of leaking tap. Fuck! I cursed ever curse I knew. This damn hormone and menstruation will never defeat me. Even a thousand hurricanes would not stop me from attending my ‘brother’s’ wedding. He is my bestfriend, a colleague and somebody who I have considered as a brother. Our friendship and brother-sisterhood were much too strong, they overcame my weak physic.

Saya belum minum obat saat itu karena masih berharap jumlah dan siklus menstruasi itu akan menormalkan dirinya sendiri secara alami. Selain itu saya tahu kalau saya minum obat, bisa-bisa saya tidak sanggup datang karena tiga macam obat itu juga menyedot tenaga saya, membuat saya mengantuk, capek dan perut tidak boleh kosong. Jadi saya baru minum obat pada hari Senin (8/7).

I did not take the meds because I was hoping the quantity and cycle of my menstruation would become normal by itself. Beside, I was afraid I would not able to come since the meds sucking my energy, making me sleepy, tired and can’t have empty stomach. So I took them on Monday (July 8th).

Acara pernikahan ‘adik’ saya itu berjalan rasanya panjang dan lama sekali. Makin sore, makin terasa badan saya mulai dingin. Wah gawat, saya tahu betul gelagatnya. Tekanan darah saya mulai turun. Saya kehilangan banyak darah dan tenaga karena banyak bergerak. Saya membutuhkan kalori dalam bentuk makanan atau minuman manis. Tapi acara makan belum di mulai.

My brother’s wedding went like ages. Late in the afternoon I felt chill ran over my body. Bad news, I knew it too well. My blood pressure went down. I lost lots of blood and energy. I needed calories in form of food or sweet drink but the reception has not even started.

Untungnya saya bisa duduk. Seorang ibu memberikan permen kepada saya. Oh, sukur.. sukur. Mudah-mudahan semua itu bisa membuat badan saya memulihkan diri.

I was glad to get myself a seat. A lady gave me some candies. Oh man, thank goodness… hopefully they could recharge my body.

Ketika akhirnya para undangan dipersilahkan menikmati hidangan…

When the guests were finally asked to have the food and drink... 

“Keke, aku ga lapar” kata teman saya.

“Keke, I am not hungry” said my friend.

Saya sampai harus berhenti berjalan sejenak untuk menatapnya.

I stopped walking to look at her.

“Gimana ceritanya ga lapar?” tanya saya bingung “kamu kan tidak makan apa-apa dari siang tadi”

“What do you mean you are not hungry?” I asked in my confusion “you have not had anything from noon”

“Iya, Keke, tapi aku ga lapar” kata teman saya dengan muka yang semakin membingungkan saya.

“Yes, Keke, but I am not hungry” said my friend with her look that made me more confused.

“Kamu sama laparnya dengan saya” kata saya akhirnya “kamu harus makan, biar pun sedikit. Ayo”

“You are just as hungry as I am” I said that “you have to eat something, even if it is just a little. Come on”

Dengan kepala yang terasa sedikit pusing, badan yang agak dingin dan sedikit limbung saya berjalan sambil menggandeng tangannya, setengah menyeretnya ke dalam. Saya ambil piring, sendok, tisu dan air mineral, lalu saya taruhkan ke tangannya. Kami antri mengambil makanan.

With a slight dizzy, a chill ran through my body and could not walk straight, I grabbed her hand and half dragged her inside. I put the plate, spoon, tissue and mineral water on her hands. We stood in line to get the food.

“Ini apa?” dia bertanya mengamati deretan makanan “itu apa?. Aku ga makan daging. Tidak boleh yang pedas dan terlalu berbumbu”

“What is this?” she asked as she studied the food on the table “what is that? I don’t eat meat”

Hadoh! Trus mau di kasih makan apa dong teman saya yang satu ini?

Gosh! What should I feed her then?

“Itu ada sayur, brokoli, kentang, kamu boleh makan ikan?” saya menghiburnya sambil menunjuk beberapa jenis masakan yang saya perkirakan dan harap mudah-mudahan bisa serta mau dia makan.

“There are some veggies, broccoli, potatoes, you could eat fish, could you?” I soothed her up as I pointed some meals that I assumed and hoped she could eat.

“Ya.. ya, bener, Ke” dia tampak gembira. Diam-diam saya menghela napas lega. Hehe. Soalnya repot kan kalau nanti jadi sakit gara-gara tidak mau makan, yang entah karena apa.

“Yes.. yes, you are right” she looked happy. I quietly sighed my relief. Lol. It would make her sick for not eating anything, I wondered why she just seemed reluctant to eat.

Kami lalu mengambil tempat duduk di luar. Ah… dalam beberapa menit setelah makan, saya merasakan tubuh saya menjadi segar. Pusing, rasa dingin dan lemas itu hilang. Pikiran saya jadi terang lagi.

We got ourselves seats outside. Ah… few minutes after had the meals I felt refreshed. Gone were the dizzy, chill and nausea. I could think straight again.

“Kerumunan orang dan suara yang bising bikin aku hilang selera” kata teman saya tiba-tiba “kalau sudah begitu aku jadi tidak berasa lapar”

“Crowd of people and the noise made me lost my appetite” said my friend “and it just made me not hungry”

“Masa sih?” saya tertawa kecil. Tidak percaya.

“Really?” I laughed. Hardly believed it.

“Ih, bener, Keke” dia tampak serius sekali.

“It is, Keke” she looked deadly serious.

Saya terheran-heran jadinya.

This puzzled me.

Beberapa detik kemudian sesuatu menyentakkan ingatan saya..

Few seconds later something shook my memory..

“Dulu saya juga begitu, rasanya kikuk, senewen. Tapi lama-lama saya lawan karena merugikan diri sendiri” saya ingat saya juga seperti itu ketika umur saya di bawah 25 tahun. Di usia 42, rasanya semua itu terjadi sekian abad yang lalu. Saya hampir melupakannya.

“I used to feel like that, being awkward, nervous. But I fought it because they did no good for myself” I was reminded that I was just like her before I turned 25. At 42, it looks like it happens ages ago. I almost forgot how it was felt.

“Iya betul, tapi rasanya susah” dia tertawa, setengah mengeluh, setengah bingung.

“True but it feels so hard” she laughed, half despaired, half confused.

Saya menatapnya. Untuk pertama kalinya melihat satu sisi dalam diri teman saya yang satu ini yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dia tampilkan dalam kesehariannya.

I stared at her. For the firs time discovering the side in this one friend of mine who is so contrast with what she appeared herself on daily basis.

“Tenang, dekat-dekat aja sama saya. Nanti lama-lama kamu pasti ketularan semangat, pede dan keberanian saya” kedengarannya mungkin seperti bercanda tapi saya tidak sedang bergurau ketika mengucapkan ini.

“Relax, just get close with me. You will get my spirit, confidence and courage” it sounds like a joke but I was not joking when I told her this.

Menurut saya, teman saya ini memiliki segudang kelebihan. Dia tinggi, langsing, seorang guru di sekolah swasta yang cukup terkenal, berpendidikan sarjana psikologi, bergaji lebih besar dari saya, bisa menyanyi, bermain piano dan sering menjadi MC. Dia punya segalanya yang saya inginkan. Rasanya hidup akan menjadi lebih mudah dan indah seandainya saya memiliki hal-hal tersebut.

I think my friend has it all. She is tall, slim, a teacher in a well known private school, has psychology degree, her salary must be much higher than my own, she can sing and play piano, she has been a master of ceremony in many occasions. Geez, she has everything I dream of. My life would be a whole lot easier and fun should I live her life.

Lalu kenapa saya yang setahun lebih muda dari dia, yang tidak memiliki semua kelebihan yang dimilikinya, yang telah dan sedang berjuang dalam hidup dan menghadapi kelemahan fisik sampai sempat membuat saya merasa kehidupan tidak berpihak kepada saya, bisa menjadi lebih kuat, tabah serta pede dari dia?

So why then I am who is a year younger than her, who does not have all the things she has, who had and am struggling with life and facing physical weakness that make me life is not standing on my side, can be stronger, tougher and more confident than her?

Apa saya iri kepada dia? Tidak pernah. Sebelum saya mengenalinya dengan lebih baik, saya memandangnya sebagai seorang dengan segala kelebihannya dan yang dengan batin, saya rasa nyambung.

Do I envy her? Not at all. Before I knew her better, I have seen her as someone with all those things, with whom I felt the click by heart.

Saya punya banyak kenalan, saya ramah ke semua orang tapi saya memilih orang-orang tertentu yang dengan batin terasa nyambung. Orang-orang yang memiliki ketulusan dan kejujuran adalah mereka yang biasanya melanjutkan hubungan dari kekawanan biasa menjadi persahabatan dan persaudaraan.

I know lots of people, I am friendly to them all but I am picky when it comes choosing whom I will take as my close friends. It has to have the click by heart. People with sincerity and honesty are the ones who take one step higher from being friend to bestfriends and brother/sisterhood.

Sekali mereka sudah masuk ke dalam hati saya, tidak semudah itu saya melemparkan mereka keluar bahkan setelah saya melihat kekurangan dan kelemahan dalam diri mereka.

Once they are in my heart, it will not be that easy to kick them out even after I see their weaknesses.

Toh saya sendiri juga bukan orang yang sempurna sekali pun dari luar saya kelihatannya sangat yakin dengan diri sendiri.

I am not a perfect person myself despite the fact that I might appear like a confident person. 

Persahabatan adalah untuk menerima, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya.

Bestfriend term for me is about accepting, fulfilling and completing each other.

No comments:

Post a Comment