Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, November 23, 2013

Why Being an Independent Traveler?

Kalau soal jalan-jalan, dari umur 6-7 tahun saya sudah di ajak jalan dengan orang tua.


When it comes to traveling, my parents have been taking me on trips since I was around 6-7 years old.

Lucunya, orang tua saya justru melarang saya pergi-pergi sendiri.

Funny thing is, my parents are the ones who not allowed me to make my own traveling.

Jangankan untuk bepergian sendiri, untuk menginap semalam di rumah teman saja membutuhkan perjuangan panjang sebelum ijin itu keluar.

Let alone having my own traveling, spending a night at a friends house took quite an effort before they gave me the permit.

Jadi selama puluhan tahun saya tidak pernah punya pikiran apalagi keberanian untuk traveling sendirian.

So for many years I never had any thought nor guts to travel on my own.

Kalau pun saya pergi jalan-jalan, itu pasti dengan seorang atau beberapa teman atau dengan pacar.

When I went traveling, it always with the company of one or few friends or with my boyfriend.

Terus kenapa kok sekarang mendadak berubah?

So why suddenly change now?

Oh, itu ada ceritanya..

Oh, there is a story behind it..

Yang pasti adalah saya banyak berubah setelah mengalami masa-masa sukar selama satu setengah tahun terakhir ini.

One thing for sure is I have changed a lot after having hardship in the past one and a half years.

Masa-masa sukar apa sajakah itu? Aduh, kalau mau diceritakan lagi dari awal bisa jadi panjang banget jadi telusuri saja postingan-postingan saya sebelumnya karena saya sudah beberapa kali menuliskannya.

What kind of hardships are they? Awww, if I had to write them again from the start it would make a long story so just go to my previous posts because I have several times written about them.

Setelah melalui kesulitan-kesulitan itu, saya berkesimpulan bahwa apa yang tidak akan membunuh saya berarti tidak akan menghentikan kehidupan.

After got through those hardships, I came to a conclusion that what wont kill me wont stop life either.

Saya menjadi lebih menghargai hidup.

I became more appreciative toward life.

Kehidupan terlalu singkat dan karenanya terlalu berharga untuk dibiarkan lewat begitu saja.

Life is too short and thus too precious to let it passing me by.

Memaksa diri keluar dari ketakutan, kecemasan, kemarahan, kesedihan, keputusasaan dan bahkan dari depresi adalah cara untuk membuat diri saya bisa melihat bahwa hidup bukan sesuatu yang penuh dengan penderitaan tapi sebagai sesuatu yang harus bisa saya hargai dan nikmati juga.

Forcing myself to get out of fear, worries, anger, desperation and even depression is my way to make myself see that life is not a pit filled with misery but it is something that I can appreciate and enjoy.

Dan cara yang saya pakai untuk bisa keluar dari semua emosi serta pikiran negatif itu adalah dengan pergi traveling sendirian karena di saat-saat demikian saya mendapat kesempatan untuk melatih dan memperkuat keyakinan diri serta keberanian.

And my way to get rid those negative emotion and thoughts are by traveling on my own as it  gives me chance to train and strengthened my self-confident and my guts.

Traveling sendirian merupakan cara saya untuk mengatakan dan meyakinkan diri bahwa ‘Hei, kamu masih hidup. Kamu pasti berhasil. Kamu tidak boleh dikalahkan oleh apa pun. Kamu tidak boleh menyerah’.

Making independent traveling is my way to say and convince myself that Hey, you are alive. You will make it. You cant be defeated by anything. You just cant give up’.

Saya menjadi lebih santai ketika menghadapi segala tantangan yang saya temui dalam perjalanan.

I am more relaxed when facing any kind of challenges in the trip.

Dan selama itu pula saya mendapat kesempatan untuk menikmati serta menghargai hal apa pun yang saya temui atau dapatkan, entah besar atau kecil, entah menyenangkan atau menyebalkan.

And during the trip I got a chance to enjoy and appreciate any thing I met or got, big or small, good or bad.

Dengan melakukan perjalanan sendirian, saya mengenali, mengakui dan diperhadapkan pada keterbatasan, kelemahan dan kekurangan yang ada dalam diri saya tanpa membuat semua itu menjadi sesuatu yang menakutkan, yang tidak bisa diatasi atau tidak bisa dirubah.

Through my independent traveling, I came to recognize, admit and face my limitation, weaknesses and imperfection without turning them all into frightening monster neither they are unsolveable or unchangeable.

Selain itu traveling sendirian = KEBEBASAN.

Besides that, independent traveling = FREEDOM.

Pernah melihat seekor kerbau yang sedang membajak di sawah?


Ever seen a buffalo plowing in paddy field?

Pernah melihat seekor kuda menarik gerobak?


Ever seen a horse pulling a cart?

Ada persamaan di antara kedua hewan itu. Keduanya mengenakan kekang.

Those animals share one thing in common. Both are tied with curbs.

Saya harus bekerja tidak hanya untuk menghidupi diri saya sendiri. Itu adalah tali kekang pertama.

I have to work not just to feed myself. It is the first curb.

Sebagai orang bayaran saya bekerja menghambakan diri pada mereka atau pada tempat yang membayar saya. Itu adalah tali kekang kedua.

Being a person on payroll, I work serving those who or to the place that pay me. It is the second curb.

Masih terdaftar sebagai pengikut agama tertentu mengharuskan saya hidup mengikuti aturan tertentu demi iming-iming ‘masuk surga’. Bahkan ketika saya sudah tidak lagi mempercayai semua itu, setiap orang disekitar saya masih memaksa saya untuk tetap tampil sebagai seorang beragama. Itu adalah tali kekang ketiga.

Still registered as a believer to one religion force me to live under certain rules, being promised to enter heaven. Even after I no longer have faith in those things, people around me still force me to appear myself as a believer. It is the third curb.

Saya telah melakukan beberapa pemberontakan dalam upaya untuk membebaskan diri dari tali-tali kekang itu. Menjadi penulis dan pergi traveling sendirian memberikan saya kebebasan yang saya cari dan butuhkan.

I have done few rebellion to set myself free of those curbs. Being a writer and going on independent traveling give me the freedom I seek and need.

Hal lain yang membuat saya lebih suka traveling sendirian adalah karena tidak perlu harus menyesuaikan diri dengan sikon yang menyangkut waktu, keuangan, mood,  kesehatan atau mentalitas orang lain.

Other thing that makes independent traveling is more suitable for me is because I dont have to adjust myself with other peoples time, financial, mood, health or mentality.

Belum lama ini misalnya, beberapa kawan berencana untuk pergi ke suatu obyek wisata. Semangat. Antusias. Tapi mendekati hari H, ada yang mengajukan syarat ‘mau pergi kalau ada…’, yang lain beralasan kondisi jalan menuju lokasi obyek wisata itu tidak bisa ditempuh oleh kendaraannya.

Not long ago for instance, few friends planned to go to a site. They were excited. Full of enthusiasm. But approaching the D day, one gave a condition will come along if there would be…’, while other said the road to the site is too tough for his vehicle.

Pada akhirnya mereka batal pergi.

At the end they called it off.

Saya sungguh amat sangat heran sekaligus kecewa melihat orang-orang ini yang semuanya lelaki dan berusia jauh lebih muda dari saya, jauh lebih kuat serta lebih sehat dari saya ternyata begitu mudahnya menyerah, begitu gampangnya mundur ketika menghadapi tantangan.

I was and still am very much amazed and disappointed to see those people who are all young men, much younger, stronger and healthier than me would give up so easily, backing off when facing challenges.

Jadi hanya saya yang tetap pergi ke obyek wisata itu pada hari tersebut. Membawa kondisi badan yang tidak seratus persen sehat dan kuat karena saya sedang menstruasi, tekanan darah saya ketika di ukur sehari sebelumnya menunjukkan angka mengejutkan yaitu 95/70, lalu pada hari keberangkatan itu cuaca mendung bahkan agak gerimis, di tambah lagi dengan kenyataan bahwa saya tidak tahu persisnya letak obyek wisata itu karena keterangan yang saya dapatkan sangat samar dan saya pergi kesana memakai kendaraan umum. Sendirian.

So I was the only one who went to that site on that day. Brought with me my physical condition that was not one hundred percent healthy and strong because I was having my menstruation, a day before that I had my blood pressure checked and it showed an alarming scale of 95/70, it was cloudy and a little drizzling on the departure day, added with the fact that I didnt know where the exact location of the site as I just given blur information and I used public transportation to go there. All by myself.

Tapi saya berhasil sampai di lokasi obyek wisata tersebut. Itulah Curug Luhur. Saya telah menuliskan tentang perjalanan saya kesana dalam postingan sebelumnya.


But Ive made it there. It was Curug Luhur (Luhur Waterfall). I have written about my traveling there in my previous post.

Pengalaman terakhir itu semakin meyakinkan saya bahwa traveling sendiri lebih cocok untuk diri saya. Setidaknya saya mengetahui dengan pasti dan dapat mengukur keseriusan, kesiapan dan tekad yang ada di dalam diri saya.

That last experience convinced me more that traveling on my own is suitable for me. At least I know for sure and can measure the level of my seriousness, readiness and will.

No comments:

Post a Comment