Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, February 27, 2015

Listen, Please..

Hari Selasa lalu, tiga orang murid les saya berkumpul di rumah saya pada jam 2.45. Biasanya saya tempatkan Nia dan Debora di jam 3 sore sementara Melissa di jam 4.


Last Tuesday, three of my tutoring students gathered in my house at 2.45 pm. I usually have Nia and Debora at 3 pm while Melissa gets her tutoring at 4 pm.

Ketika mereka mengetahui bahwa saya mempunyai puzzle, mereka langsung ingin main puzzle. Jadi hari itu saya gabungkan les mereka supaya ada waktu bagi mereka untuk bermain puzzle bersama-sama.


When they knew I have puzzles, they immediately said they wanted to play puzzle together. So on that day I had their tutoring at the same time so there would be some time left for them to play puzzle.

Hanya diperlukan waktu beberapa detik bagi saya untuk menyadari bahwa saya telah mengambil keputusan yang salah.

It took only few seconds for me to realize I have made a wrong decision.

Menggabungkan tiga orang anak perempuan berusia 4, 6 dan 7 tahun, yang semuanya lincah untuk les pada jam yang sama ternyata adalah keputusan yang sama sekali tidak tepat.

Having three energetic girls, age 4, 6 and 7, to have their tutoring at the same time has definitely not the right decision.

Walau pun saya ini penaik darah, tapi saya selalu punya kesabaran ekstra kalau sedang mengajar.

Despite of having short temper, I always have extra patience when I am teaching.

Tapi hari itu saya nyaris kehilangan seluruh kesabaran saya.

But on that day I nearly lost all my patience.

Nia dan Debora les membaca pada saya. Dan saya sudah mengenal kelemahan mereka. Sulit berkonsentrasi. Tapi hari itu kesulitan tersebut jadi berlipat kali ganda.  


Nia and Debora are put on reading tutoring. And I am well aware to their weakness point. Hard to concentrate. But on that day, that handicap seemed to double up.

Situasinya seperti ini, saya minta Debora untuk menuliskan satu kata dan saya harus mengulangi perintah saya itu sampai lebih dari tiga kali karena dia betul-betul sama sekali tidak mendengar saya. Dan saya baru mendapatkan perhatiannya setelah hidungnya saya pencet.

The situation was like this, I asked Debora to write a word and I had to repeat it more than three times because she really didn’t hear me. And I only got her attention after I pinched her nose.

Karena saat itu rasanya seakan-akan Debora sama sekali tidak mendengar suara saya, padahal saya duduk persis disebelah kirinya dan jarak mulut saya dengan telinganya mungkin hanya sekitar sepuluh senti.

Because at that time it seemed Debora didn't hear my voice at all, and I sat right at her left side which made the distance between her ear and my mouth is probably just ten centimeter. 

*  *  *  *  *

Kemarin tanpa terduga saya kembali bertemu dengan situasi yang hampir sama. Saya mengajar les seorang anak mengenal huruf dan kemarin saya lihat dia masih ingat bagaimana bentuk serta cara menulis huruf ‘a’.


I met a quite similar situation yesterday. I tutored a kid to write a-b-c and yesterday I saw she remembered the shape and how to write the letter ‘a’.

Jadi saya memutuskan untuk mengenalkan huruf lain padanya. Saya menunjukkan bagaimana menuliskan huruf ‘u’, mengatakan padanya bentuk huruf itu seperti gelas dan saya membimbingnya saat menuliskan huruf ‘u’.

So I decided to move to another letter. I showed her how to write the ‘u’ letter, told her its shape looks like glass and I helped her when she wrote that letter.

Setelah itu saya memintanya untuk menuliskan huruf itu tanpa saya bantu.

A moment later I asked her to write the letter by herself.

Coba tebak huruf apa yang dituliskannya?

Guess what letter did she scribble?

Huruf ‘a’!

It was the letter ‘a’!

Dengan sabar, saya ulangi kembali proses mengenalkan huruf ‘u’. Beberapa menit kemudian, setelah merasa cukup, saya memintanya untuk menuliskan huruf itu tanpa saya bantu.

I patiently started again the whole process of introducing her to the ‘u’ letter. Few minutes later, after I felt I have made it quite clear for her, I asked her to write that letter without my assistance.

Dia kembali menuliskan huruf ‘a’..

Once again she wrote the letter ‘a’..

Saya terperangah tapi dengan sabar kembali mengulangi seluruh proses mengenalkan huruf u itu.

I couldn’t believe my eyes but once again I patiently repeated the whole process of introducing the ‘u’ letter.

Dan hal yang sama kembali berulang.

And the same thing happened.

Tidak, dia tidak sedang bercanda atau meledek saya. Dia kelihatan serius. Tapi ketika hal yang sama kembali berulang.. empat kali, bray.. wah, saya jadi garuk-garuk kepala karena benar-benar bingung.

No, she was not joking or trying to play games on me. She was serious. But when the same thing happened.. four times, people.. man, I scratched my head for completely lost.

Jadi sepertinya selama saya bicara padanya tadi, kata-kata saya tidak dimengertinyakah? Rasanya sih tidak karena saya bicara dengan kata-kata sederhana dan disertai dengan memberi contoh.

So it seems when I talked to her, were my words unable to be understood by her? But I don’t think that possible because I used simple words and I gave examples.

Jadi kenapa kok rasanya seperti bicara pada tembok? Atau seperti saya bicara dengan bahasa asing yang tidak dimengertinya?

So howcome it felt as I was talking to a wall? Or as if I talked in foreign language that she didn’t understand?

*  *  *  *  *

“Keke, kamu tidak mendengarkan saya” Andre punya kebiasaan untuk menepuk pipi saya atau memencet hidung saya kalau dia merasa saya salah atau tidak juga mengerti hal-hal yang dikatakannya pada saya.

“Keke, you are not listening to me” Andre has a habit to pat my cheek or pinch my nose whenever he feels I don’t listen to him correctly or not understand what he was saying.

“Ah, saya dengar kok” bantah saya tanpa merasa bersalah.

“Nah, I heard you” I told him without any remorse.

“Ya, kamu mendengar tapi tidak menyimak” katanya.

“Yes, you heard me but you didn’t listen” he said.

Mendengar dan menyimak adalah dua hal yang berbeda.

To hear and to listen are two different things.

Kita semua bisa mendengar tapi belum tentu bisa menyimak. Padahal menyimak adalah hal yang penting. Karena menyimak membuat kita memahami suatu perkara, mengerti suatu situasi, memahami orang lain dan juga diri sendiri.


All of us can hear but that does not make us able to listen. The fact is listening is important. Because by listening, we are able to understand a problem, a situation, to understand others and to understand ourselves.

Banyak konflik terjadi karena kita hanya mendengar tanpa menyimak.


Many conflicts occur because we only hear without listening.

Banyak konflik terjadi karena kita hanya mau mendengar suara kita sendiri serta suara-suara yang ada dalam pikiran kita.


Many conflicts occur because we only want to hear our own voice or the voices in our heads.

No comments:

Post a Comment