Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, June 27, 2013

Drama Queen

Hari Sabtu (22/6) seseorang di tempat kerja saya muncul diruangan saya sambil menyedot-nyedot hidung. Matanya kelihatan agak merah.

Last Saturday (June 22nd) somebody at work showed up in my room making sound like she was having runny nose. Her eyes looked a little teary.

Lalu dia bicara tentang ‘musibah’ yang menimpa keluarganya. Ibu mertuanya yang berusia 98 tahun muntah darah.

And she talked about the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her family. Her 98 year old mother in law spitted out blood.

Hmm…

Sekitar 1-2 jam kemudian dia kembali ke ruangan saya ketika saya sedang berada bersama seorang rekan dan lagi-lagi dia menyedot-nyedot hidung seperti sebelumnya. Kali ini lebih keras.

About 1-2 hours later she came to my room again when I was with my colleague. Again, she made a sound like someone who was having runny nose. This time she made it sounded louder.

Saya tidak memperdulikannya. Rekan saya yang sedang banyak pikiran juga tidak terlalu memperhatikan. Jadi dia kembali mengulangi ucapannya bahwa keluarganya sedang mengalami ‘musibah’.

I pretend I didn’t notice any of this. My colleague who had lots of things on his mind apparently didn’t notice it either. So she told us again about the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her family. Her 98 year old mother in law spitted out blood.

Rekan saya mengajukan beberapa pertanyaan singkat tapi terlihat pikirannya sedang tidak terfokus pada apa yang didengarnya. Sedangkan saya memilih untuk sama sekali tidak berkomentar.

My colleague asked few short questions but it was clearly showed his mind was very occupied that he didn’t focus on what he heard. In the meantime I chose not to say any comment.

Belakangan saya mendengar bahwa dari ruangan saya, orang itu pergi ke ruangan lain dimana sedang berkumpul sejumlah ibu-ibu yang sedang latihan nyanyi. Di sana, sambil menyedot-nyedot hidung dan bercucuran air mata, dia (kembali) bercerita tentang ‘musibah’ yang sedang menimpa keluarganya dalam bentuk ibu mertuanya yang muntah darah.

Later I heard that after leaving my room, she went to another room where some ladies were gathered to have a choir rehearsal. There, making sound like having runny nose and so teary, she (again) told about the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her family when her 98 year old mother in law spitted out blood.

Hari berikutnya dia datang ke ruangan saya pagi-pagi sekali. Kebetulan di ruangan itu ada 4 orang lain.

The next day she came to my room early in the morning. There were 4 people in my room.

Di luar dugaan saya tanpa di tanya, dia langsung duduk dan bercerita tentang.. yah, apalagi kalau bukan tentang.. tentang ‘musibah’ yang sedang menimpa keluarganya dalam bentuk ibu mertuanya yang muntah darah.

To my surprise without being asked how she was doing, she sat down and started to tell.. well, what else than about.. the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her family when her 98 year old mother in law spitted out blood.

Itu termasuk dengan acara menyedot-nyedot hidung dan air mata bercucuran. Satu paket lengkap.

That was including making loud runny nose sound and tearful. One whole package was there.

Kalau saya pikir pertunjukannya cuma segitu saja, wah, saat itu saya betul-betul salah kira karena ketika senior saya masuk, eh, dia langsung meledakkan tangisnya dengan suara keras.

If I thought the show was all that, I was completely wrong because when my senior came into the room, she cried loudly.

Senior saya tentu saja kaget. Dia melirik-lirik tapi untungnya tidak bertanya. Saya pun mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memintanya untuk menandatangani dua buah surat. Selesai tanda tangan, senior saya keluar dari ruangan saya. Tetap tanpa komentar. Saya lega.

This surely surprised my senior. He looked at her but thankfully didn’t ask any question. I tried to distract his attention by asking him to sign two letters. After that he left my room. Still without saying any comment which relieved me.

Beberapa saat kemudian senior saya kembali ke ruangan saya. Mungkin mengira hanya tinggal saya yang ada di dalam ruangan sehingga bisa bertanya ada kejadian apa tadi itu. Ya, orang-orang itu memang sudah keluar tapi orang yang tadi membuat pertunjukan sinetron satu babak itu masuk lagi ke ruangan saya dan masih ada di sana ketika senior saya masuk.

A moment later my senior returned to my room. Thinking I was probably already alone in my room so he could ask what was happening early this morning. So yes, everyone has left my room but the person who made a scene got into my room again and was still there when my senior came in.

Senior saya jelas melihat dia ada diruangan saya jadi ya ga ada pilihan selain senyum dan nanya gimana kabarnya. Lah, malah di jawab ‘maaf ya pak, kalau saya atau suami saya punya salah ke bapak’.

My senior saw her and had no other choice than to smile to her and asked how she was to which she replied by saying ‘please forgive me and my husband if we have done mistakes’

Pret!

Wtf!

Senior saya terheran-heran mendengarnya. Pada waktu itu saya betul-betul merasa antara ingin tertawa, malu, tapi rasanya juga ingin banget melempar sepatu saya ke kepala manusia pencipta adegan sinetron sebabak ini. Kirain sih pertunjukannya sudah selesai tapi rupanya masih mau dilanjutkan toh?

It puzzled my senior. I felt I wanted to laugh, embarrassed and at the same time wanting it so bad to throw my shoes to that make-a-scene person. I thought the show has ended, well, so she wanted to make another scene?

Pertanyaan senior saya malah di jawab dengan tatapan mata berkaca-kaca. Hah!

And she answered my senior’s question with her teary eyes. Blah!

Keesokan harinya saya mendengar dari seseorang yang dekat dengan saya di tempat kerja ini bahwa kemarin itu si pembuat adegan sinetron satu babak itu mengulang-ulang cerita tentang ‘musibah’nya lengkap dengan adegan menyedot-nyedot hidung dan berlinangan air mata.

The next day I heard from a trusted person that make-a-scene-person went around and repeated her story about her mother in law, oh, of course served in full package of made noise of having runny nose and teary eyes.

“Kok ya kayak semua orang harus tahu tentang kesusahannya” kata orang yang dekat dengan saya itu.

“As if everybody has to know about her trouble” said my trusted person.

Saya cuma mencibir.

I just sneered.

Maaf. Saya mungkin memberi kesan sebagai orang yang sangat jahat, tidak punya belas kasihan dan tidak bisa berempati terhadap kesusahan orang.

Well, excuse me. I may give you the impression like a very mean person, not showing mercy nor emphaty toward somebody’s misery.

Tapi orang ini sudah kami juluki ‘lebay’ dan semakin lama lebay-nya tidak berkurang tapi malah bertambah.

We actually have dubbed that person as ‘drama queen’ and her exaggerating on making a scene has not lesser but increases.

Saya jadi ingat hal-hal yang saya alami sekitar 2 bulan lalu.

Something just reminded me to what have happened to me about 2 months ago.

Ibu saya dua kali harus di rawat di rumah sakit dalam selang waktu hanya 2 mingguan.  Yang terakhir kali masuk rumah sakit, malah saya kira riwayatnya sudah akan habis sampai di situ saja.

My mother had to be hospitalized twice in just 2 weeks apart. The last time she was hospitalized I really thought she was dying.

Bulan April itu juga menandai kira-kira 8 bulan saya mengalami menstruasi nyaris tanpa henti karena gangguan hormon.

That same April marked the 8 months of me having uncontrollable menstrual caused by hormones.

Dokter kandungan yang saya temui bicara blak-blakan bahwa saya sebetulnya harus dibiopsi untuk mengetahui apa penyebabnya. Kalau obat yang diberikannya tidak bisa menghentikan menstruasi saya maka ada 2 kemungkinan penyebab; ada myum (tumor) dalam rahim atau ini adalah gejala kanker rahim.

The gynecologist spoke frankly that I needed to have a biopsy in order for him to know what has caused my menstrual went crazy like that. If the medicines he gave me could not stop the bleeding then there might be 2 possible causes; a tumor in my uterus or a sign of uterus cancer.

Ketika sedang berada di apotik, saya duduk terpekur. Pikiran saya kosong. Saya tidak tahu apakah saya harus tertawa atau menangis. Saya hanya duduk dan tidak bisa merasakan apa pun.

When I was in the drugstore, I just sat there quietly. My mind was empty. I didn’t know if I had to laugh or cry. I just sat there dan felt numb.

Ibu saya sakit. Saya sakit. Diagnosa dokter sama sekali tidak membesarkan hati.

My mother was ill. I myself was ill. The doctor’s prognosis was bleak.

Saya telah mengalami berbagai macam kesusahan tapi selalu ada jalan keluar. Namun malam itu, di apotik, sementara duduk diam membisu, saya merasa perjalanan hidup saya sudah sampai ke titik akhir dan saya tidak melihat ada jalan keluar.

I have had many hardship before but there were always way out. But that evening, in that drugstore, sitting quietly alone, I felt I had reached the end of my journey and I saw no way out.

Dan pada saat kritis itu, senior saya yang baik hati itu datang. Beliau bertanya apa yang dikatakan dokter. Dan beliau sejenak terdiam setelah mendengar diagnosa menyeramkan yang beberapa menit sebelumnya disampaikan dokter kepada saya.

In that critical moment, my senior came. He asked what was the gynecologist told me. He stood there, speechless for a minute or so after he heard the prognosis.

Mungkin beliau tidak mengira kalau selama berbulan-bulan saya menyembunyikan kondisi saya. Bahkan keadaan ibu saya yang naik turun pun baru diketahui banyak orang pada bulan April itu.

He probably surprised to know that I had been hiding my real condition for months. The news about my own mother’s condition was become known by people in that April.

Selama berbulan-bulan itu apa pernah orang melihat saya bermuka sedih, pasang aksi seakan sedang sangat susah atau berdukacita?

For those months has anyone ever seen me put on sad face, acted like I was in so damn miserable?

Selama berbulan-bulan itu apa pernah saya mengumbar cerita tentang kondisi fisik saya atau orang tua saya?

For those months have I ever spread the news about my physical condition or my parents’s?

Tidak pernah.

Never.

Ada saat dimana saya sempat menjadi manusia yang cengeng. Tapi kemudian saya belajar bahwa air mata tidak akan mengubah apa pun. Tidak akan mengakhiri kesusahan. Tidak akan bikin penyakit hilang.

There were times when I was teary and meek. But then I learned that tears won’t change anything. Won’t end the misery. Won’t make illness gone.

Jadi saya mengeraskan hati. Menegarkan diri.

So I hardened my heart. Turn myself into a tough person.

Pantang untuk saya menunjukkan isi hati saya yang sesungguhnya.

I won’t show the things I really feel.

Saya tekan seluruh emosi negatif dalam hati dan pikiran. Saya tutup rapat-rapat. Saya sembunyikan semuanya.

I press down all my negative emotion in my heart and mind. I close the door. I hid them all.

Ketika saya sudah tidak tahan, saya masuk ke kamar, saya kunci pintunya dan saya menangis diam-diam di dalam. Jauh dari tatapan orang. Tidak terdengar oleh siapa pun.

When I couldn’t take it anymore, I got into my room, I locked the door and I cried there quietly. Hidden from anyone’s prying eyes. Unheard by them.

Sehari-hari saya menampilkan diri sebagai orang yang ceria, tenang, sabar, terkendali.

I appear as a fun loving person, calm, patient, controllable on daily basis.

Karena itu saya tidak bisa bersimpati terhadap orang yang berkelakuan atau berkepribadian sebagai ‘drama queen’ (atau mungkin juga ‘drama king’?).

It is why I feel no emphaty nor sympathy toward people who act or have ‘drama queen’ personality (or perhaps there are also ‘drama  king’ out there?).

Siapa sih yang bebas dari kesulitan, masalah atau penyakit?

Who is problem free or illness free?

Tidak ada.

None.

Kita hidup lurus-lurus saja pun, hal-hal menjengkelkan, menyusahkan atau menyedihkan tetap terjadi.

Even when we have a straight live, annoying, troubling or hurting stuff still came.

Jadi ketika ada orang yang berkelakuan menyebalkan atau ketika tiba-tiba mengalami sakit, bencana alam atau kesusahan lainnya, tidak usah deh dilebih-lebihkan seakan-akan semua itu sengaja muncul untuk menyulitkan kita.

So when people act like a jerk toward us or out of the blue we fell ill, natural disaster hit or other troubles, don’t exaggerate it as if it came on purpose to put us into trouble.

Jangan bertingkah kayak anak kecil!

Don’t be such a baby!

Apa anda pikir dengan mendramatisir perasaan, pikiran atau keadaan anda maka segala sesuatunya akan berubah? Atau anda mengira masalah akan pergi? Atau anda berpikir anda akan mendapatkan apa yang anda inginkan? Bahwa anda akan mendapat kemenangan?

Would you think that by dramatizing your feelings, thoughts or situation then everything would be okay? Or problems would go away? Or you would get what you wanted? Or you think it would make you win the battle?

Yang bener aja..

Yeah, right, get real..

Atau itu untuk mendapat perhatian dari orang-orang? Lalu mereka akan mengalah kepada anda? Atau anda mengira bisa memperoleh keuntungan?

Or it is to get people's attention? That they would allow you to have you go on your own way? Or you thought you could get something profitable?

Dulu sewaktu kita masih kecil, hal-hal demikian masih bisa kita lakukan dan masih bisa memberi hasil memuaskan. Tapi masa umur bertambah tapi kelakuan dan kepribadian masih setara dengan anak umur 5, 10 atau 15 tahun?

Sure, when we were kids, we could do things like that and gained some. But come on, would you get older but your attitude and personality are equal with a 5, 10 or 15 year old?

Jadilah orang dewasa.

So grow up.

Ingatlah bahwa bukan hanya kita satu-satunya yang mengalami masalah dan jangan pula mengira hanya kita yang paling menderita atau yang sangat susah. Ada banyak orang yang mengalami masalah lebih rumit dari yang kita hadapi atau harus hidup dalam penderitaan serta kesusahan yang lebih berat dari yang kita alami.

Just remember that we are not the only one with problems and don't assume that we are the most suffering people on earth. There are many people dealing with more problems or suffer  more than us.  

No comments:

Post a Comment