Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, May 29, 2013

Welcome To The Country

Sewaktu Ibu Yayah menuliskan tentang nama desa tempat tinggalnya, saya tidak membayangkan bahwa itu betul-betul desa karena tempat saya tinggal pun masih ada yang namanya kantor desa.

When Mrs. Yayah texted me the name of the village where she lives, I did not expect it to be a real village because the place where I live has a village office. 

Tapi daerah tempat tinggal saya tidak lagi bisa dikatakan sebagai desa karena suasananya sudah suasana kota. Lagi pula perumahan tempat tinggal saya sebagian besar di huni oleh pendatang dari Jakarta. Tidak heran kalau gaya kami membawa diri adalah gaya orang-orang yang besar di kota besar.

The place where I live is not a village. It does not have any village atmosphere either. Most inhabitants in my housing complex are people from Jakarta so it is  the big city inhabitant’s attitude.

Saya adalah orang kota besar. Terlahir dan dibesarkan di ibu kota. Walau pun bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan telah banyak mengunjungi berbagai tempat di negeri ini tapi saya masih juga terkaget-kaget ketika mengalami benturan budaya.

I am a big city person. Born and raised in Jakarta, the capital city. Even though I have known lots of people that have various background and I have visited many place in this country but I am still having cultural shock.

Keramahan dan keterbukaan ibu Yayah saja sebetulnya sudah menggambarkan ciri khas masyarakat pedesaan yang belum sepenuhnya terkontaminasi oleh pengaruh pendatang dari kota besar.

Mrs. Yayah’s hospitality and openness have actually put a picture about villagers characteristic that has not completely contaminated by the city’s influence.

Karakter ini saya temui dalam diri keponakan ibu Yayah yang menjemput saya di pasar Purwabakti. Remaja yang baru lulus SMA ini langsung menyapa saya dengan ramah sampai saya merasa seakan-akan kami sudah kenal sangat lama. Sikap ini persis sama dengan yang ada di ibu Yayah, suami, anak dan mantunya.

I found this character in Mrs. Yayah’s nephew who came to pick me from Purwabakti market. The young man who just graduated from highschool greeted me warmly as if we have known each other for many years. This same attitude can be found in Mrs. Yayah, her husband, daughter and son in law.

Buat saya hal ini terasa sebagai sesuatu yang baru tapi sangat menyenangkan. Karakter asli saya jadi muncul karena saya merasa dengan orang-orang ini saya bisa menjadi diri saya sendiri.

For me this is a new thing, a bit odd but it is pleasing. My real character came to the surface because I feel I can be myself when I am with these kind of people.

Saya sebetulnya seorang yang lugas, spontan, tanpa pretensi, tulus dan periang tapi dalam kehidupan sehari-hari terpaksa harus menahan diri, memakai topeng ketika menghadapi orang-orang tertentu dan menyembunyikan diri saya ketika saya menjadi seperti yang orang lain inginkan.

I am a straight forward, spontaneous, unpretentious, sincere and cheerful person but I have to hold myself, wearing mask when facing certain people and hide my real personality when I become what other people want me to be.

Kejutan budaya berikutnya yang saya rasakan adalah saat saya sedang duduk di ruang tamu rumah ibu Yayah. Sementara kami mengobrol itu beberapa kali datang orang yang ingin menemui ibu Yayah. Dan begitu orang-orang itu melihat ada saya di ruang tamu itu, mereka spontan mengulurkan tangan untuk menyalami saya.

The next cultural shock came when I was talking with Mrs. Yayah in her livingroom. People came to see her and when they saw me they spontaneously handed out their hands to shake hands with me.

Dipikir-pikir, mereka kan tidak kenal saya. Saya cuma tamunya ibu Yayah. Kebiasaan orang kota adalah mereka tidak akan menyapa apalagi menyalami!

I mean, they didn’t know me. I was just Mrs. Yayah’s guest. People from the city wouldn’t do such thing!

Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru, setiap hari Sabtu datang orang-orang dari Jakarta yang memberikan les musik dan balet gratis. Biasanya saya belum pulang ketika mereka sampai. Jadi saya masih berada di dalam kelas saya ketika mereka masuk, menaruh barang-barang, duduk atau berdiri sambil mengobrol dan tidak sekalipun menegur saya apalagi menyalami saya!

When I was working as kindergarten teacher, every Saturday we had people came from Jakarta who would give music and balet lesson for free. I usually was there in my classroom when they came there, put their stuff, sat or stood talking to each other without even once greeted nor came to shake hands with me!

Di tempat kerja saya sekarang ini saja pernah saya kedatangan beberapa anak muda yang mengunjungi rekan kerja saya. Mereka masuk ke ruangan saya, duduk, mengobrol dengan rekan saya itu dan tidak sekali pun ada yang menegur, menyalami atau memperkenalkan diri kepada saya sementara ruangan itu adalah ruang kerja saya dan mereka adalah tamu. Rekan kerja saya juga merasa tidak perlu repot-repot memperkenalkan mereka kepada saya. Saya ingat saat itu saya berdecak kagum dalam hati. Luar biasa orang-orang ini!

I had some young people came to my work place to meet my colleagu. They came to my room, sat, talked with my colleague without anyone bothered to greet me, came to shake hands with me or introduce themselves to me. My colleague himself didn’t feel obliged to introduce them to me. And they were in my room! I clicked my tongue in astonishment seeing those people’s attitude. What an amazing behavior!

Rekan kerja saya yang sama itu belum lama ini datang dan pergi tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Saya dan seorang senior saya yang sedang berada dalam ruangan saya menyadari ada orang datang karena mendengar suara pintu ruangan sebelah dibuka orang. Ketika dia pergi, pintu tidak ditutupnya lagi dan juga karena tidak bersuara maka kami tidak tahu kalau dia sudah pergi lagi.

Not so long ago, the same colleague of mine came and left without saying a word. I was in my room with a senior when we heard someone opened the door of the room next to my room. But he didn’t close the door when he left and didn’t make a noise so we didn’t hear him left.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ruangan itu tetap gelap. Heran juga saya karena saya yakin saya dengar ada orang membuka pintu ruangan itu. Jadi saya pergi memeriksa ruangan itu dan memang tidak ada seorang pun di dalam situ.

After a while I peeked the room and wondered why it was dark when I clearly heard someone open its door so I inspected it and found no one was there.

“Siapa, Ke?” tanya senior saya ketika saya kembali ke ruangan saya.

“Who was there?” asked my senior when I returned to my room.

“Ga tau, pak” jawab saya tanpa memberitahunya bahwa saya tahu siapa yang datang karena saya mencium harum parfum khas rekan saya itu “Setan kali. Datang ga ketahuan siapa, pergi juga ga ada bunyinya”

“Don’t know” I didn’t tell him that I knew who came because I smelled his perfume “Maybe a ghost. Didn’t know who came and no sound when it left”

“Mungkin …” senior saya menyebutkan nama rekan saya itu. Tapi karena melihat saya hanya mengangkat bahu, dia pergi keluar untuk bertanya pada satpam. Beberapa waktu kemudian dia kembali, tersenyum lega “Bener, Ke, tadi ….. yang datang”

“Maybe it was …” my senior said my colleague’s name. but seeing me just shrugged my shoulder, he went out to the security to ask who came few minutes ago. He returned to my room with a relief smile “Yes, it was … who came”

Yah, hati orang jahat atau baik memang tidak bisa ditentukan dari sikap dan prilakunya. Tapi beberapa pengalaman saya menunjukkan bahwa orang yang kita sebut orang kampung, yang mungkin kita pandang sebelah mata ternyata bisa lebih berbudaya dari pada kita yang menyebut atau menganggap diri orang kota dengan martabat yang lebih tinggi. 

It is true that a good or bad heart can not be determined from one’s behavior or attitude. But my experiences shown that people whom we called hillbillies, the people whom we underestimated have in fact more culture than us and we regard ourselves as the city people who have more culture than them.

Kita patut merasa malu.

Shame on us.

No comments:

Post a Comment