Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, May 16, 2013

Mother


Dimana pun kita berada, kemana pun kita pergi, kita akan selalu bertemu dengan seorang ibu bersama anaknya. 

Everywhere we go, where ever we are, we will always meet a mother with her child/children.

Belum lama ini saya menjumpai seorang gadis muda menggendong bayinya. Berhubung usianya masih tergolong sangat muda maka penampilannya pun terlihat funky. Namun sikapnya adalah sikap seorang ibu terhadap anaknya. Sangat melindungi dan penuh kasih terhadap anaknya.

I recently met a young girl carrying her baby. She is probably in her early 20's seeing her face and her funky way of dressing. But her attitude is an attitude of a mother. She was very protective and full of love toward her child.

Ibu...

Mother…

Adakah seorang wanita yang tidak mencintai anaknya?

Is there any woman who doesn’t love her child?

Ada banyak motivasi yang membuat seorang wanita mau memiliki anak tapi nyaris tidak mungkin bagi dirinya untuk tidak mencintai anak itu. Bahkan ketika hubungannya dengan pasangannya memburuk atau terputus di tengah jalan, dia akan tetap mengasihi anak itu.

There are many motives why a woman willing to have a child but it is impossible that she doesn’t love that child. Even when her relationship with her partner or spouse got worst or ended, her love for her child remains unaffected.

Saya tidak percaya kalau ada yang mengatakan seorang ibu yang membuang atau membunuh anaknya dikarenakan oleh karena hilangnya rasa cinta dalam hatinya kepada anak itu. Ada banyak hal yang membuatnya sampai melakukan hal itu dan bila anda belum pernah mengalami stress tingkat tinggi atau kesulitan ekonomi yang demikian menjepit maka anda akan sulit untuk bisa memahami sikon, emosi, rasa, penalaran dan pemikiran dari seorang ibu yang pada akhirnya melakukan tindakan seperti itu terhadap anaknya.

I don’t believe it when people say the reason why a mother could abandon or even killed her child was because she didn’t love that child anymore. There must be many reason that made her did that and if you haven’t experienced high level of stress or never had bad financial problem then you wouldn’t understand the situation, emotion, feelings, sense and thinking of a mother who did bad things to her child.

Ibu...

Mother…

Dulu saya kerap menertawakan wanita yang mengatakan bahwa dirinya belumlah sempurna sebagai seorang wanita sebelum memiliki anak seakan-akan bahwa sebelumnya dia hanyalah seekor monyet atau bahwa segala sesuatu dalam hidupnya tidak bisa membahagiakan atau memuaskan dirinya. Maksud saya, dimana penjelasan logika untuk perasaan seperti itu? Bagi saya hal itu membuat wanita itu seakan tidak bisa melihat, menyadari, menikmati dan mensyukuri segala hal yang ada pada dirinya.

I used to laugh at woman who said she is not a woman before she has a child. I mean, come on, then what was her before that? a monkey? Or everything she had in her life couldn’t satisfy or make her happy? Where is the logical explanation for that remark? To me it seems she can’t see, realize, enjoy and grateful for all the things she has.

Tapi pada hari Selasa, 16 April itu saya menghabiskan waktu hampir 2 jam berada di ruang tunggu dokter kandungan. Duduk termenung merasakan tubuh yang semakin lama semakin lemah karena terlalu banyak darah yang keluar, capek, belum makan dan merasa demikian kesepian, takut serta putus asa. Yang berada di sisi saya hanyalah ayah saya yang saat itu kondisi fisik dan mentalnya tidak lebih baik dari saya. Sementara itu orang yang sangat saya kasihi dan yang saya harapkan berada di sisi saya pada sore itu berada demikian jauh dari saya. Dia bahkan tidak tahu tentang keadaan saya karena saya tidak memberitahunya. Yang datang dan memberi kekuatan pada saya justru orang lain. 

On that Tuesday, April 16th, I spent nearly 2 hours at that gynecologist waiting room. I sat there with little words spoken, feeling my body got weaker and weaker for having that raging menstrual, I was exhausted and haven’t eaten anything. I have never felt so lonely, scared and desperate. The one I had by my side was my father whose physical and mental were not better than of my own. In the meantime, the man I love so much and wished to be there was so far away from me. He didn’t even know about my condition or the ordeal because I didn’t tell him. The one who came for me and gave support was another person.

Selama saya berada di ruang tunggu itu saya perhatikan bahwa sesama pasien yang juga berada di sana hampir seluruhnya adalah ibu-ibu hamil. Mereka tampak santai dan bahagia. Mereka berada disana dengan suami dan anak.

While I was in that waiting room I noticed that the patients were.. well, almost all of them.. pregnant women. They looked so relaxed and happy. They were there with their husbands and children.

Sungguh sangat berbeda dengan keadaan saya. Saya tidak bersuami, pacar jauh diseberang lautan dan saya berada disana bukan karena saya sedang hamil tapi karena ada yang tidak beres dengan organ-organ di dalam badan saya. Semuanya itu membuat saya tidak dalam keadaan santai atau bahagia.

A sharp contrast with my own situation. I don’t have a husband, my boyfriend is so far away across the ocean and I was there not because I was pregnant but because there were something wrong with my reproduction organs. All made me felt uneasy and unhappy.

Dokter kandungan yang saya temui bulan November tahun lalu mengatakan mungkin saya sedang mengalami pra-menopause. Dokter kandungan yang saya temui pada hari Selasa, 16 April memberikan diagnosa yang tidak lebih baik ketika dia mengatakan bahwa ada 3 kemungkinan penyebab menstruasi saya mengamuk seperti itu selama 8 bulan yaitu karena hormon, miom/tumor atau kanker rahim.

The previous gynecologist I went to see in November 2012 said I probably undergone a pra-menopause. The gynecologist I went to see on that Tuesday gave no better diagnosis  when he said there were 3 probabilities that caused my menstrual went crazy for 8 months; hormone, myoma or cancer.

Saya terduduk di ruang tunggu itu dengan pikiran buntu. Terpandang oleh saya wanita-wanita hamil dan anak-anak yang berada di sana. Dan hati saya hancur lebur. Saya memang selalu mengatakan bahwa saya tidak ingin memiliki anak tapi itu bukan berarti saya berharap rahim atau indung telur saya dikebiri dengan demikian kejam.

I sat there with blank mind. I looked at those pregnant women and the children. I was devastated. So I have always said I don’t want to have any children but that doesn’t mean that I wished my uterus or my ovaries to be cruelly castrated.

Saya tidak menginginkan anak karena saya merasa ada banyak hal yang belum saya capai dan anak akan menghalangi langkah saya, karena saya merasa tidak yakin saya bisa menjadi ibu yang baik, karena saya tidak ingin membesarkan anak dalam keadaan ekonomi serba terbatas seperti sekarang ini dan karena saya tidak ingin anak itu nantinya harus mengalami berbagai kesedihan, tekanan atau keterbatasan untuk bergerak mencari kehidupannya sendiri, mencari jati dirinya, mewujudkan impian serta cita-citanya serta mengorbankan banyak hal karena dia harus mengurusi saya yang menjadi tidak berdaya di usia tua.

I don’t want to have any children because I have so many things that I haven’t achieved and a child will become an obstacle; another reason is I doubt I could be a good mother, I don’t want to raise any child in my present financial condition and I don’t want to give that child lots of stress and pain or make her/him sacrifice so much to take care me when I became weak in my old age.

Saya toh berusaha untuk realistis menghadapi kemungkinan bahwa organ kewanitaan saya memang harus dikebiri oleh penyakit. Sekali pun pada waktu itu belum ada buktinya tapi saya berusaha mempersiapkan mental bila memang ternyata kemungkinan itu benar.

Still I tried to be realistic in facing the possibility that my reproduction organs had to castrated by the illness. There was no proof at that time but I tried to make myself prepared if it should be the case.

Tapi perasaan bahwa saya bukan lagi wanita yang utuh menghantui diri saya selama setidaknya seminggu. Dan saya melakukan tindakan yang tidak bijak. Saya mengatakan pada Andre bahwa saya ingin hubungan kami diistirahatkan tanpa batasan waktu. Saya mengatakan bahwa dia masih bisa mengunjungi saya tapi datanglah sebagai teman.

But the feeling that I no longer a complete woman haunted me for at least a week. And I did the unwise thing. I told Andre that I wanted our relationship to have an unlimited time out. I told him when he comes to visit me, he will do that as a friend.

Tentu saja dia tidak bisa mengerti dan tidak bisa menerimanya. Tapi saya bersikukuh. Dalam diri saya ada ketakutan yang tidak bisa saya ungkapkan. Tahun 2001 saya menjalani operasi pengangkatan kista yang menempel di bagian luar indung telur dan 11 tahun kemudian saya mengalami masalah hormonal yang membuat menstruasi saya jadi awut-awutan. Entah apalagi yang akan terjadi di masa depan.

He surely can’t understand nor accept it. But none made me change my mind. There is this fear in me that I can’t express. I had a surgery to remove a cyst in my ovary and 11 years later I had this hormones problem that caused me to have this raging menstrual. I don’t know what will follow in the future.


Kami sama-sama tidak menginginkan anak tapi kami sering membicarakan berbagai hal yang ingin kami capai dan wujudkan bersama-sama. Dan bila hidup akhirnya membaik dan saya dapat bersama dengannya, kami bahkan pernah membicarakan kemungkinan untuk mengadopsi anak. 

We both don’t want to have children but we talked about the things we wanted to achieve or bring to pass. And when life finally gets better and I can live with him, we even talked about the possibility of adopting a child.

Ibu…

Mother…

Bila semua itu terwujud, saya tahu saya memiliki anak bukan karena saya ingin merasa menjadi wanita yang sempurna. Tapi karena saya telah melalui begitu banyak hal yang membuat saya merasa hidup seakan berhenti. Memiliki anak akan menjadi seperti  hadiah yang tidak pernah saya harapkan akan bisa saya dapatkan dan miliki.

When all those things really come true, then I know I shall have a child not because I want to feel as a complete woman. But it is because I have gone through so many things that made me feel that my life has had its final course and that child will be a gift that I never expect to get and have.

No comments:

Post a Comment