Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, May 22, 2013

Walk In My Shoes


Pembicaraan itu berlangsung tidak sengaja. Sabtu sore itu seorang teman datang. Akan  memakai ruangan untuk berlatih. Tapi dia datang terlalu awal sehingga akhirnya dia menunggu diruangan saya.

It was a conversation that none of us intended to happen. That Saturday afternoon a friend came by. She would use the room to rehearse but she came too early so she waited in my room.

Saya sudah lupa persisnya apa yang kami bicarakan tapi akhirnya dia jadi bercerita tentang ibunya.

I forgot what exactly we talked about but she ended up telling me about her mother.

Ibunya menderita diabetes dan tingginya tingkat gulanya mengenai titik-titik saraf tertentu. Fisiknya memang pulih tapi kerusakan pada sarafnya membuatnya menjadi seorang dengan cara berpikir dan berperilaku sulit.

Her mother is a diabetic and her high blood sugar has somehow damaged her nerve. She recovered, physically but her damaged nerve turning her into a difficult person on her way of thinking and behaving.

Contohnya, ketika suaminya memintanya untuk memakai sandal pada waktu dia akan berkebun, reaksinya adalah marah dan melakukan kebalikannya. Berkebun tanpa alas kaki dan dengan kaki kotor berjalan masuk ke rumah sambil menghentak-hentakkan kaki sehingga tentunya lantai rumah menjadi kotor.

For example, when her husband asked her to wear sandals when she wanted to do some gardening work, she got mad and did the opposite. She went to the garden barefoot and then got in the house with her dirty barefoot, thumping on the floor, making it all dirty.

Sekalipun secara fisik beliau sudah pulih tapi tetap saja tidak memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi tidak ada satu pun pembantu yang bisa tahan bekerja karena sikap beliau yang terlalu kritis, sok tau dan skeptis.

Despite that she has recovered but her condition still making her unable to do house chores but she never able to get along with any maid. She would criticize, patronize and be so sceptic toward the maid that none last long.

Jadilah akhirnya teman saya itu yang meluangkan waktu untuk pulang bukan hanya untuk menengok orang tuanya tapi juga untuk membersihkan rumah. Dan ibunya menyambut kepulangannya dengan berkata,

So my friend has to spare her time to go to her parents house not only to check on them but also to clean the house. And her mother greeting is,

“Babu mami pulang”

“My maid is here”

Teman saya menangis saat menceritakan hal ini sementara saya tertegun. Tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena terlalu sulit percaya seorang ibu akan mengeluarkan perkataan seperti itu terhadap darah dagingnya sendiri tapi penyakit diabetes telah menyerang sarafnya dan membuat beliau menjadi orang yang sulit, sulit untuk dipahami dan sulit untuk ditangani.

My friend cried as she told me this while I was speechless out of disbelief that a mother would say such rude thing to her own flesh and blood. But diabetic has damaged her nerve. Making her a difficult person. Difficult to understand and hard to handle.

Yang melintas dipikiran saya pada saat itu adalah ibu saya yang belum lama ini mengalami krisis kesehatan dan kondisinya kadang masih naik turun. Melihatnya seperti itu sudah menguras seluruh enerji, emosi dan saraf saya.

What crossed my mind at that time is my own mother who had her health in crisis not so long ago and having her condition in yo-yo situation, ups and down. Seeing her like that has already taken lots of my energy, emotion and nerve.

Tapi setidaknya ibu saya tidak kehilangan akal sehatnya. Saat kondisinya sedang baik, kami bisa mengobrol dan bercanda seperti tidak ada seorang pun dari kami berdua yang sedang mengalami masalah dengan kesehatan.

But at least my mother’s senses are still working well. When she is well, we talk and joke as if none of us are having health issues.

Selama berbulan-bulan saya terjebak dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan berkaitan dengan kesehatan ibu saya dan kesehatan saya sendiri. Saya berjuang untuk orang tua saya dan juga untuk diri saya sendiri. Tapi bulan April lalu saya sampai di titik terendah dalam hidup saya yang membuat saya kehilangan seluruh keinginan untuk hidup. Saya menyerah. Saya ingin berhenti mengayuh dan membiarkan diri tenggelam.

For months I stuck in unpleasant situation due to my mother’s health and also my own. I fought it hard not only for my parents but also for myself. But last April I got to the lowest point in my life and I lost my spirit. I gave up. I wanted to stop paddling and let myself drowned.

Ketika teman saya menceritakan tentang ibunya, saya merasakan kepedihan dalam hatinya karena saya juga merasakannya walau dalam kasus yang berbeda. Penderitaan emosi dan fisiknya bisa saya pahami.

When my friend told me about her mother, I felt her pain because I felt it too though through different situation. I understood her misery and sorrow.

Ungkapan yang saya jadikan judul tulisan ini menjadi ilustrasi bahwa kalau kita mau mengerti tentang permasalahan, perasaan atau penderitaan orang lain, kita harus menempatkan diri dalam posisi orang tersebut. Lebih baik lagi kalau kita sendiri pernah mengalami hal yang sama.

The proverb I use as the title illustrates what would it take for us to really understand other’s problem, feelings or pain. It would be to place ourselves in her/his position. It would be much better if we have been there, that we have had same or similar situation.

Satu alasan utama mengapa saya ogah menceritakan kesusahan saya adalah karena orang belum tentu bisa mengerti seperti apa sesungguhnya situasi dan perasaan saya. Mereka bisa saja mendengarkan, mengangguk-angguk seakan mengerti, memberi senyum simpatik tapi saya meragukan apa benar-benar demikian yang ada dalam hatinya.

One main reason why I don’t tell people about my problems is because they can’t really understand my situation and my feelings. They could listen, nodded as if they understood, smiled sympathetically but I doubt it if that genuinely came from the heart.

Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru TK, beberapa kali saya harus menjadi konselor bagi orang tua murid saya yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Satu hal yang bikin saya pusing tujuh keliling karena saya sendiri belum menikah, manalah saya tahu tentang perkara orang berumah tangga jadi bagaimana saya bisa memberi saran atau nasihat yang benar atau bijaksana.

When I worked as kindergarten teacher, sometimes I had to act as a counselor to my students’s parents who were having marital problems. It gave me quite a headache because I am not married, how am I suppose to know marital problems? How could I give them the right or wise suggestion and advice?

Yang bisa saya katakan pada mereka adalah yang sejujurnya, saya tidak bisa sungguh-sungguh mengerti keadaan yang sedang mereka hadapi, saya minta maaf untuk itu. Tapi saya ada di sini bila mereka ingin curhat dan membagi beban di hati.

I could only tell them the truth, that I can’t really understand their situation, I apologized for that. But I am here if they want to talk and share the burden.

Kehadiran seorang yang peduli seringkali lebih dibutuhkan dari seribu nasihat atau sejuta kata penghiburan. Saya mengalaminya sendiri. Seseorang hadir ketika saya tiba di titik dimana saya menyerah. Dia tidak mengatakan sejuta kalimat. Dia datang pada saat yang tepat untuk menangkap tangan saya ketika saya hampir tenggelam.

The presence of someone who cares is more important than a thousand advice or a million words of consolation. I knew this too well. Somebody came at the time I was ready to give up. He didn’t say a thousand words. I was drowned and he caught my hand on time.

Untuk beberapa waktu sesudahnya dia tidak berada jauh dari saya sampai kemudian saya memutuskan untuk melepaskan diri dan melanjutkan perjalanan dengan kemampuan sendiri.

For a short period of time he was never far from me. Until I decided to let myself go and continue my journey on my own strength.

Bahkan ketika saya telah sanggup melakukannya sendiri, saya tahu dia tetap mengawasi dari jauh dan memastikan bahwa saya baik-baik saja. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana dia hadir ketika saya memerlukan seseorang. Saya menghargai semua yang telah dilakukannya dan setulus hati menghormatinya sebagai seorang pribadi.

Even after I am able to stand on my own feet, I know he is watching from a far, making sure that I am doing just fine. I will never forget how he was there when I needed somebody. I appreciate all the things he has done and truthfully respect him as a person.

No comments:

Post a Comment