Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, March 9, 2013

Colours Everywhere

Bulan Februari postingan blog sengaja saya pilih bertemakan  ‘Indonesian and…’. Kenapa?. Karena saya adalah orang Indonesia. Dilahirkan dan dibesarkan, tinggal dan bekerja di Indonesia. Saya bukanlah seorang yang ahli tentang Indonesia jadi jangan mengira bahwa saya tahu segala sesuatunya mengenai negeri ini. Saya bukan ensiklopedia. Kalau ingin tahu lebih banyak atau lebih spesifik tentang hal-hal yang ada di Indonesia, yah, browsing saja sendiri di yahoo atau google.. hehe..

My chosen theme for February was ‘Indonesian and…’because I am an Indonesian who was born and raised, live and work in Indonesia. I am not an expert about Indonesia so don’t assume I know everything about this country. I am not an encyclopedia. If you want to know more about Indonesia, you better browse on yahoo or google.. lol.

Yang saya tulis adalah hal-hal yang saya tahu, yang menarik perhatian saya, hal-hal yang saya temui dalam keseharian kehidupan di sekitar saya. Jadi saya tidak akan menulis tentang hal-hal yang memang sudah terkenal atau di kenal, misalnya tentang Bali, kemacetan di kota-kota besar, terorisme atau tempat-tempat nongkrong yang ada di Indonesia.

What I wrote was about the things I know, the ones that captured my attention, the stuff on daily basis. I won’t write about well known places such as Bali or common issues like traffic jam, terrorism or hang out places in Indonesia. 

Saya melihat ke sekitar saya.

I just looked around.

Pada suatu hari kerongkongan saya terasa agak panas dan perih, pertanda buruk, harus puasa dulu dari makan sambal selama 2-5 hari. Sampai ngiler saya melihat teman-teman dengan enaknya makan dibubuhi oleh sambal sementara makanan saya rasanya jadi kehilangan warna. Ketika sedang mendongkol dan menyesali kerongkongan, merepet dalam hati karena harus berpisah dengan cabe dan sambal, terciptalah tulisan ‘Indonesian and Chilis’.

One day I had sore throat. Bad news. I had to stop eating chilis for 2-5 days. I literally drooled seeing friends eating chilis, it looked so tasty while my own meals looked as if it felt so flat. When I was feeling sorry for myself and grumbled over my sore throat, idea came into my mind and voila’Indonesian and Chilis’ became the first of my ’Indonesian and…’ series.

Lalu pada suatu pagi di hari libur saya, bau sedap bumbu-bumbu mampu menarik saya bangkit dari tempat tidur. Padahal saya tidak akan bangun sebelum jam 8 pagi pada hari libur saya. Tapi pagi itu saya tidak mampu melawan daya tarik harumnya bau bumbu dapur yang terbang memasuki kamar saya. Di dapur, segenggam ketumbar sedang di sangrai oleh ayah saya. Di atas meja tergeletak bawang merah, bawang putih, kemiri yang sudah di goreng dan batang sereh. Bumbu-bumbu untuk membuat ayam goreng. Saya duduk memperhatikan dengan hidung sibuk membaui aroma rempah-rempah itu. Dan jadilah tulisan ‘Indonesian and Spices’.

The good smell of spices dragged me off my bed on that morning. I rarely get up before 8 am in my off day.  But on that particular day my dad was cooking and the smell of spices was so good that I couldn’t resist it so I got up and went straight to the kitchen. There I saw my dad fried a handful of coriander. Some shallot, garlic, fried candlenut and lemon grass lied on the kitchen table. All the spices for fried chicken. I sat, watching and sniffing the smell of those spices. That was how I came up with the idea to write about ’Indonesian and Spices’.

Seorang tukang bakso bermotor di sisi jalan yang saya lewati entah mengapa membuat saya tersenyum sendiri ketika melintas di depan mata bayangan Andre dengan nekad dan pedenya menaiki motor seorang tukang bakso. Bahwa dia sudah lama terobsesi dengan para pedagang keliling memang tidak aneh lagi bagi saya tapi saya tidak pernah menduga dia akan melakukan hal gila seperti itu. Mungkin juga saya sedang kangen padanya hingga melihat tukang bakso bermotor itu membuat ingatan saya kembali kepada peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu. Tapi dari situlah muncul tulisan tentang ‘Indonesian and Vendors’.

’Indonesian and Vendors’ written after I passed a meatball vendor riding on his motorcycle. I smiled to myself when images from the past filled my memory. Images of Andre riding on a meatball vendor’s motorcycle similar with that one.  So he has been obsessed with vendors but I never imagined that he would do such crazy stunt. Well, perhaps I was missing him so the meatball vendor riding on a motorcycle reminded me when Andre decided to borrow that meatball vendor’s motorcycle and gave it a ride.

Belum lama ini saya berbelanja di Pasar Anyar, Bogor. Sengaja saya berjalan kaki. Cuaca sedang bagus, selain itu saya pikir saya perlu latihan berjalan karena otot-otot di lutut saya akhir-akhir ini sedang tidak baik dan saya juga ingin melihat-lihat para pedagang kaki lima karena ada beberapa benda yang ingin saya beli, jenis benda yang di jual di pedagang semacam itu.

Not so long a go I went to Anyar market in Bogor. I walked there because the weather was good and I thought my stiff muscles needed some exercise. Beside, walking gave me a chance to have a closer look on the street vendors. I wanted to buy something that only sell by those kind of vendor. 

So, jadilah di sore hari yang sejuk itu saya berjalan kaki lumayan jauh menuju Pasar Anyar. Biar pun dengan sedikit terpincang-pincang dan beberapa kali saya menggigit bibir menahan rasa ngilu (apalagi ketika naik turun tangga di dalam pasar) serta hujan gerimis yang kemudian turun disertai angin kencang yang lumayan dingin tidak mampu merontokkan semangat serta tekad saya. Untungnya pemandangan sepanjang jalan mampu mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit di lutut.

So on that cool afternoon I took a long walk to Anyar market. The pain on joints, the chilling wind and even drizzle didn’t deter me. I refused to be defeated though I walked in pain and sometimes couldn’t help myself not to greet my teeth when I went up and down the stairs inside  that market. I am glad the view along the way to the market or inside of it could distract my attention of the pain in my kneecap joints.

Melewati rel kereta api, saya berhenti sejenak untuk membeli tambalan panci dari seorang pedagang kaki lima yang menjual mulai dari paku payung sampai mungkin korek kuping. Saat itu kereta api lewat. Wah, kereta itu tampak jadi semakin besar dan menakutkan karena jaraknya dengan tempat saya berdiri di sisi pedagang itu mungkin hanya sekitar satu meter. Tapi saya perhatikan kok si abang dan beberapa pedagang lain disekitarnya bisa cuek-cuek saja seakan yang lewat hanyalah sebuah sepeda sementara saya sedang berdiri dengan berbagai macam perasaan mulai dari ngeri sampai kagum.


I stopped by at a street vendor near railway to buy some tin paper to patch the hole in my tin pan. It was when a train passed by. Dear goodness, I thought in amazement and fear upon seeing the train looked so big. Well, I was only about a meter away from it.  Then I noticed the street vendor guy and other vendors looked as if it were just a bicycle that passed by.

Kemudian pengalaman lain lagi saya temui di dalam pasar. Suasana khas di dalam pasar tradisional. Agak remang-remang di beberapa tempat, pengap, panasnya membuat saya bertanya-tanya apa saya sedang berada di dalam pasar atau dalam ruang sauna, namun keramahan-teguran penuh harap dari pemilik kios bahwa saya akan berhenti untuk membeli barang dagangannya-muka lelah tapi tetap ceria menggambarkan suatu sisi kehidupan orang Indonesia yang tidak akan ditemui di mall atau pasar swalayan.

Another neat experience came when I was inside the market. It was a typical Indonesian traditional market. Dim in some places, no plenty of fresh air, freakingly hot as if it were in a sauna but the friendliness-full of hope greetings by the merchants, tired faces but never lost their spirits fully describe one side of the life in Indonesia that you don’t find in malls or supermarkets.

Malam itu jam di kamar menunjukkan waktu hampir pukul satu dini hari ketika saya pergi tidur setelah merampungkan tulisan ‘Indonesian and Traditional Market’.

It was nearly passed midnight when I went to bed after completing my blog post under the title of ’Indonesian and Traditional Market’.

Percakapan antara saya dalam tulisan saya berikutnya yang berjudul ‘Indonesian and Tardiness’ memang betul-betul terjadi. Bahwa orang Indonesia itu terkenal dengan ‘jam karet’ sudah bukan hal baru. Tidak semua orang Indonesia seperti itu tapi sayangnya kebiasaan demikian masih eksis. Selalu jadi bahan jengkel dan juga memalukan, apalagi kalau kita sedang mengikuti suatu acara berskala nasional atau internasional. Namun saya melihat bahwa kebiasaan ngaret ini ada hubungannya dengan didikan yang kita terima dari masa kecil. Namun pada beberapa kasus, orang yang terdidik dan terlatih untuk tepat waktu ternyata bisa mematahkan dan keluar dari kebiasaan tersebut.

’Indonesian and Tardiness’ was written based on true conversation between me and that lady. But I used it as my way to express concern toward Indonesian well known of unability to be punctual. It is annoying and embarrassing when a big event or international event had to delay its opening time because some invited guests came late. And I see the connection of this habit to childhood disciplining. But in some rare case, those who have been taught to be punctual could develop the opposite habit after they grow up.

Kasus bayi yang meninggal setelah di tolak oleh 8 rumah sakit kembali mengangkat kenyataan pahit bahwa di Indonesia akses untuk mendapat pengobatan tidak terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Saya memiliki pengalaman dalam hal ini dan bahkan masih berhadapan dengan kenyataan itu pada saat ini. Dan saya berpikir bahwa di Indonesia, yang namanya kemewahan bukanlah rumah, mobil atau pakaian. Pengobatan dan pendidikan adalah dua kemewahan di negeri ini. ‘Indonesian and Luxuriousness’ adalah bentuk keprihatinan, kepedihan dan kenyataan yang dihadapi oleh saya serta sebagian besar rakyat Indonesia.

A sick baby died after 8 hospitals refused to care for it has become another reminder of the dark truth about Indonesian health system that does not reach  all level of Indonesian society. I had the experience and still facing that painful fact. So I thought health service and education are two luxurious things in Indonesia. ’Indonesian and Luxuriousness’ was my way to express concern, pity and reality that I and most of Indonesian have to live with.

Ide ‘Indonesian and English’ muncul tepat ditengah-tengah pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung di rumah saya sore menjelang maghrib. Saya sudah mengajar les bahasa Inggris dari tahun 2005. Karir saya sebagai guru les lebih panjang dari masa kerja saya sebagai guru taman kanak-kanak. Bahkan pernah ada masa dimana penghasilan saya mengajar les bisa dua kali lipat penghasilan saya dari mengajar di sekolah.

’Indonesian and English’ came to me right at the time I was giving tutoring in my house that late afternoon. I became English tutor since 2005 and it is longer than my teaching years in school. There was even time when my fees from tutoring doubled my teaching salary.

Dan dari sekian puluh murid les saya, yang tersisa kini hanya 3 bersaudara Joan-Dite-Dio. Bukan karena saya tidak laku lagi sebagai guru les. Permintaan tetap berdatangan. Tapi saya tolak. Bukan karena saya tidak mau, tidak berminat atau tidak butuh duitnya tapi karena saya bekerja full time dan kondisi fisik saya menurun sejak bulan September 2012. Jadi ya, sudahlah, dari pada badan babak belur karena memaksa kerja melebihi kemampuannya, hanya 3 bersaudara itu yang masih tetap saya pertahankan.

But now I tutor English to just 3 kids. Joan and her brothers, Dite and Dio. I have refused many kids because I work full time now and my physical condition is as good as before since September 2012. So I don’t want to work myself hard.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa saya tidak bisa lepas dari bahasa Inggris sejak pertama kali saya mempelajarinya di usia 13 tahun (1984). Itu adalah bahasa asing pertama yang saya pelajari dan saya langsung terpaut dengannya walau di waktu-waktu berikutnya saya sempat mempelajari bahasa Jerman dan bahasa Jepang. Kecintaan saya tetap pada bahasa Inggris.

However, I can’t be separated from English since the first time I learned it when I was 13 in 1984. That was my first foreign language and I just love it though in later time I also learned German and Japanese. I just stuck with English.

Bahasa itu telah menjadi jembatan penghubung saya dengan banyak orang asing yang terdiri dari teman-teman korespondensi saya, rekan-rekan kerja, atasan, mantan pacar dan pacar. Bahasa Inggris tidak hanya membuat saya mampu berkomunikasi dengan orang-orang asing itu tapi juga memampukan saya menyerap berbagai berita, ilmu dan keindahan dalam seni melalui berbagai media.

The same language has become a bridge to connect me with many foreigners from my correspondence friends, colleagues, superiors, former and present boyfriend. It is also allowing me to get many kinds of information from many sources.

Saya adalah jenis orang otodidak. Tapi ketika satu hari nanti saya punya uang lebih dari cukup untuk bisa melanjutkan pendidikan, maka Sastra Inggris adalah salah satu bidang studi yang menjadi pertimbangan untuk saya pilih selain Pendidikan Guru, Psikologi dan Programer Komputer dan Fotografi. Yah, selama nafas masih di kandung badan dan duit ada, segalanya bisa saja dilakukan.. hehe.

I am a self taught person but when I have plenty of money to afford myself to go back to college, English will be among my choices of major beside Education, Psychology, Computer Programming and photography. Well, anything is possible as long as I am still breathing.. lol..

Orang Indonesia adalah orang-orang yang terhitung ketat dalam beragama tapi bisa-bisanya dalam saat yang bersamaan masih percaya dengan segala hal yang tidak masuk akal, masih dipengaruhi oleh segala macam kepercayaan bersifat takhyul, bahkan masih mempraktekkan segala hal berbau mistis yang tidak masuk akal. Ampun dah!.. hare gene.. ketakutan pada dunia gaib masih mampu mengalahkan bukan hanya logika tapi juga segala dalil agama. Maksud saya, ketika ketakutan pada setan mengalahkan kepercayaan pada kekuatan dalam hal keagamaan.. nah, itu yang saya sebut ‘Freaky’ (nakutin). Dan salah satu ketakutan pada setan itu menyangkut tentang kepercayaan bahwa setiap malam Jumat atau Kamis malam adalah saat yang angker karena pada waktu itu semua setan di neraka sedang jalan-jalan di bumi. ‘Indonesian and Freaky Thursday Night’.

Indonesian are considered to be religious people. But at the same time they still believing in superstition stuff. Now when the fear for supernatural things overcome religious faith, now that is what I called freaky. I mean, come on, how the fear of ghost became greater than the faith to God. So the old belief that Thursday night is the time when all ghost from hell haunting the earth made me wrote  ’Indonesian and Freaky Thursday Night’.

Jaman yang semakin sulit membuat kreativitas manusia muncul. Banyak hal diciptakan orang untuk menjadi cara mencari uang. Tapi banyak juga hal diciptakan untuk bisa mendapatkan uang tanpa mempertimbangkan keselamatan nyawa atau kesehatan orang lain. Itulah inti isi tentang ‘Indonesian and Hazardous Food and Drink’.


Hardship has brought the creativity in some Indonesian people. They came up with ideas to make money, to get more money and to earn more profit. But in doing so some of them have removed real ingredients from the food and drink they are making and selling only to be changed with hazardous stuff that are not supposed to use for making food or drink. ’Indonesian and Hazardous Food and Drink’ is a reality and also a warning so people can be more cautious when they buy food or drink in Indonesia.

Sebetulnya masih banyak hal yang bisa saya jadikan tulisan di bawah topik ‘Indonesian and …’ tapi saya pikir waktu satu bulan adalah batas maksimal untuk membuat suatu tulisan berdasarkan topik tertentu. Bagaikan warna, di dunia ini ada begitu banyak hal yang bisa dijadikan bahan tulisan.

There are interesting stuff to be written under the theme of  ’Indonesian and..’ but I thought I would only use that theme for a month or otherwise I would make myself or the reader bored. Like colours, this world contains plenty things that can be used as writing material.

Apa yang akan saya tulis di bulan Maret ini? Belum tahu. Ide seringkali munculnya tiba-tiba.

What will I write in March? Don’t know yet. Ideas can just popped out in the unexpected time and place.

Menulis bisa diibaratkan seperti melihat berbagai warna. Mengagumi warna-warna itu. Memilih warna kesukaan. Melakukan percobaan dengan mencampur warna-warna itu. Menggoreskan satu warna atau beberapa warna di atas kertas dan melihat sebuah gambar menjadi lebih menarik dengan adanya kehadiran warna-warna tersebut.


Writing is like seeing colours. Admiring them. Choosing favourite ones. Experimenting by mixing them. Scratching one or few of them on paper. And a drawing certainly is more interesting to see because there are many colours on it.

No comments:

Post a Comment