Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Monday, April 29, 2013

A Candle Lit In The Dark

Ingatkah anda siapa yang ada bersama dengan anda ketika dunia terlihat sangat gelap?; Siapa yang duduk menemani anda di saat anda sedang merasa sangat bingung?; Siapa yang tetap berdiri di sisi anda ketika orang lain berbalik memunggungi anda?

Do you remember who was with you when the world turned upside down? Or who sat by your side when you felt you lost your way? And who stood by your side when others turned their back on you?

Selain orang tua, pasangan atau sahabat, siapa yang akan melakukan hal-hal itu kepada diri anda?

Beside your parents, girl/boyfriend, spouse or bestfriend, who would do those things to you?

Masa sukar adalah masa penyingkapan.

Hardship is actually a revealing time.

Karena di saat kita sedang tidak berada dalam kondisi berhasil, kuat, sehat, bersinar dengan cemerlang, kita dapat melihat siapa yang tetap berdiri bersama kita dan siapa yang meninggalkan kita.

Because at times when we were not succeed, strong, healthy or shine brightly, we could see who stick with us and who flee.

Saya sama sekali tidak menduga ada orang dari lingkungan kerja saya yang akan menjadi orang yang berdiri di sisi saya tepat di saat saya sedang berada di titik terendah dalam hidup saya.

I never expect that a person at work would stand by my side when I was at my lowest point of my life.

Saya telah mengalami beberapa kali kesulitan yang seakan menempatkan saya di titik terendah.

I have had several lowest point.

Saya pernah kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik saya dinilai tidak lagi menguntungkan tempat kerja saya. Dan tidak seorang pun berdiri di pihak saya.

I lost a job once when the company where I worked consider me no longer useful for them. And no one stood by my side.

Saya pernah di tolong oleh seseorang tapi beberapa waktu kemudian terlihat bahwa orang ini memiliki niat-niat tidak baik. Lalu ketika orang ini merasa dia tidak bisa mewujudkan niat-niat tersebut, dia berbalik sikap terhadap saya.

I was once rescued by a person but after a little while it was revealed that she had bad intentions. And when she felt she couldn’t get what she wanted, she turned her back on me.

Saya pernah mengalami kasus di tempat kerja dan seseorang membela saya. Beberapa bulan kemudian ketika saya kembali berbentur dengan suatu kasus, orang ini berbalik ikut menyerang saya. Tapi ada seseorang yang tetap membela saya. Tetap konsisten berdiri di pihak saya di kasus pertama dan kasus kedua. 

I had a case at work and someone stood up for me. Few months later I bumped myself in another case and this person decided not to be on my side. However, one person consistently stood up for me in both case.

Semua pengalaman itu membuat saya mengeraskan hati dan memasang barikade berupa prinsip bahwa jangan pernah berharap ada yang berdiri dipihakmu ketika kamu sedang menghadapi masa sukar.

All those experience hardened my heart. I barricade myself thinking never expect anyone to stand by my side in hardship.

Itu sebabnya ketika saya sedang sedih, marah, kecewa, takut, bingung dan sakit dari yang ringan sampai yang paling parah, saya menyembunyikannya. Menutupnya dengan sangat rapi sehingga hanya segelintir orang terdekat yang mengetahuinya. 

It is why when I am sad, angry, disappoint, scared, confuse and sick, from minor to major one, I hid it. I hid so well that only a very few closest friend know about the ordeal I was going through.

Mungkin karena prinsip ini atau karena orang yang membela saya pada kasus pertama dan kedua itu adalah orang yang selalu bersikap enteng-enteng saja menghadapi kehidupan, yang membuat saya tidak pernah berpikir bahwa dia konsisten dengan sikapnya untuk berdiri di pihak saya entah di saat saya sedang bersinar atau ketika saya sedang hancur-hancuran.

I don’t know is it this principle or because the person who stood up for me in first and then second case has an easy going approachment toward life that made it never crossed my mind that he would be consistently stand by my side when I am shining or when I am torn apart.

Hari Selasa, 16 April adalah saat dimana saya secara fisik dan mental sedang berantakan. Ibu saya sudah sehari di rawat di rumah sakit. Lalu pada hari itu kondisi fisik saya menurun drastis karena volume menstruasi saya yang demikian banyak dan mengalir tanpa henti.

Tuesday, 16th April marked the time when I was in a mess, physically and mentally. My mother has been hospitalized for a day. My physical condition deteriorated because the volume of my menstruation increased and it went unstoppable.

Ketika ibu saya harus di rawat di rumah sakit, hanya tiga orang di tempat kerja yang saya beritahu. Orang ini adalah satu diantaranya.

When my mother had to be hospitalized, I leaked the information only to three people. That person was one of them.

Kemudian hari Selasa itu saya memberitahu beliau bahwa saya membutuhkan bantuan dana untuk membayar uang jaminan untuk rawat inap ibu saya. Ketika itu uang yang ada pada saya tidak sampai sejuta.

On that Tuesday I asked this person if I could borrow a million to pay deposit money for my mother’s hospitalization. I was short in cash.

Saya tidak menghubungi keluarga ayah atau ibu saya dan meminta uang dari mereka karena saya tahu keadaan ekonomi mereka yang tidak lebih baik dari keadaan kami. Saya jelas tidak akan mau meminta (baca: meminjam uang) dari tetangga, teman atau pacar.

I didn’t contact my father’s or my mother’s family to ask them for that money because I  am aware of their own financial condition. In the meantime I for sure would never ask (borrow) money from neighbor, friend or partner.

Orang ini sudah mengatakan bahwa dirinya akan menolong dan bahwa saya tidak perlu khawatir. Pada waktu itu kondisi pikiran saya terlalu kacau untuk dapat berpikir apakah hal itu benar atau tidak. Namun saya memegang ucapannya ketika saya meminta bantuan setelah menyadari bahwa saya berada dalam kondisi mentok.

This person has said that he would help and that I should not worry. I was too much in stress that I couldn’t tell if I should believe it or not. But I relied on his words when I realized I was cornered.

Hari Selasa sore itu saya betul-betul dalam kondisi fisik terburuk. Sudah 8 bulan  menstruasi menjadi abnormal dalam volume dan jangka waktu. Dan saya ketika saya memutuskan untuk berobat pada dokter kandungan yang berada di rumah sakit dimana ibu saya di rawat inap, ternyata saya harus melewatkan waktu sekitar 2 jam menunggu  untuk sebelum akhirnya saya di periksa dokter dan sekian menit lagi untuk menunggu obat. Di total mungkin ada 3 jam karena saya datang jam 4.30 sore dan obat baru keluar jam 7.30 malam!. Luar biasa!

I was in my worst condition on that Tuesday afternoon. I have been having my abnormal menstruation for 8 months. And when I finally decided to see the gynecologist at the hospital where my mother was hospitalized, I had to spend at least 2 hours in the waiting room and spent another minutes to wait for the medicine. 3 hours I think in total because I came there at 4.30 pm and left at 7.30 pm! Outrageous!

Beliau datang ketika saya sedang frustrasi duduk di ruang tunggu.

He came when I frustratedly sat in the gynecologist waiting room.

Saat itu tekanan darah saya anjlok menjadi 90/60. Pagi harinya saya cek darah di klinik kantor dan tekanan darah saya saat itu 100/70. Kelelahan, ketegangan dan menstruasi rupanya membuat tekanan darah saya sore itu menjadi sangat rendah. Dan tekanan darah sedemikian rendah itu membuat saya lemas. Saya tidak membawa bekal makanan karena tidak mengira harus menunggu sampai hampir 2 jam. Tapi saya tidak mau pergi mencari makanan karena takut ketika saya pergi, nomor saya akan dipanggil.

My blood pressure dropped to 90/60 at that time. I had it checked in the morning when I had blood test at my work place’s clinic. It was 100/70 in the morning. The weariness, tension and menstruation were responsible on making my blood pressure dropped that low in the afternoon. Worst is I didn’t have anything to eat because I didn’t expect it to be two hours spent at the gynecologist’s waiting room. I didn’t want to leave because they would call me and I just wanted to be at present when they did that.

Beliau menelpon. Sedang kesulitan mencari tempat parkir. Saya terlalu lelah dan lemas sehingga tidak mungkin kuat untuk pergi keluar menemuinya. Lagi pula di luar sedang hujan. Jadi saya pikir apa boleh buat, beliau harus berupaya sendiri atau kalau tidak ya, besok sajalah.

He called. Had trouble to find empty parking lot. I was too exhausted and drained to come outside to meet him. Beside, it was raining outside. So I thought, well, he had to do it himself or if he couldn’t, let it be tomorrow then.

Mungkin 10 menit berlalu tanpa ada telpon dari beliau. Saya tidak terlalu memikirkan karena saat itu mentalitas saya sedang ambruk. Kalau bukan karena ada ayah saya yang menemani, pastilah saya sudah angkat kaki. Pergi. Pulang. Persetan dengan dokter itu. Persetan dengan menstruasi ini. Kalau memang saya harus mati karenanya, biarlah saya mati. Persetan dengan segalanya. Saya capek. Saya ingin istirahat.

Maybe 10 minutes passed without any call from him. I barely gave a thought about it. I was mentally broke down. If it wasn’t because of my father who came with me, I would leave. Go home. Fuck with the gynecologist. Fuck this menstruation. If I should die out of it, let it be. Fuck everything. I was exhausted. I just wanted a rest.

Ditengah-tengah keputusasaan, kekesalan dan fisik yang lemah itu tiba-tiba saya melihat beliau muncul dari pintu di ujung ruangan. Dan saya sendiri kaget karena merasa seakan ada tenaga kembali mengalir dalam nadi saya, jantung saya memompa lebih cepat dan saya melompat berdiri, melambai dan berjalan menghampirinya seakan saya dalam keadaan super sehat.

In the midst of desperation, upsetness and weakened physic I suddenly saw him entered the room from the entrance door dawn the hall. It surprised me to feel that something ran through my vein, my heart pumped faster and I hurriedly stood up, waved my hand and walked toward him as if I was so in super healthy condition.

Beliau berjalan cepat menghampiri. Menggenggam kedua tangan saya. Lalu kami duduk bersebelahan. Bicara. Menepuk pundak saya dan mengatakan ‘be strong’.

He walked faster and when we finally stood face to face, he hold my hands. We sat next to each other and we talked. He patted my shoulder as he said 'be strong'.

Susah payah saya menahan tangis. Bukan sedih. Bukan menangisi diri sendiri. Tapi rasa demikian lega yang luar biasa menyadari ada orang yang peduli, ada yang ingat pada saya, mau datang walaupun hari sudah sore, walau harus berputar-putar di tempat parkir untuk mencari tempat kosong serta sempat tersasar ketika mencari klinik dimana saya sedang berobat dan melihat mukanya yang lelah serta kemejanya yang agak lusuh  membuat saya semakin terharu, saya tahu beliau datang dari pabriknya dan sudah beberapa minggu beliau sedang sibuk dengan pemasangan mesin dipabriknya itu. Beliau juga bukan anak muda. Usianya 15 tahun lebih tua dari saya. Dengan kondisi fisik yang juga tidak terlalu baik.

I hold my tears. Not of sadness. Not of self pity. But it was the relief feeling to see there was someone who cared, someone who remembered me, willing to come eventhough it was late in the afternoon, had to circle the parking lot to find an empty spot to park his car and then got lost when he looked for the clinic where I was in. It touched me deeply to see his tired face, I knew he came straight from his factory, he has spent few weeks busy with the installing work of his new machines. He is not a young person. He is 15 years older than me. With not a very strong physic himself.

Tapi tidak ada kekesalan dimukanya. Yang saya lihat justru keprihatinan. Seakan penderitaan saya terjadi pada dirinya atau pada anggota keluarganya.

But he didn’t look upset. What I saw was concern written clearly on his face as if my pain was his or if it were happening on his own family.

Belum pernah saya menemukan yang seperti ini.

I have never met anyone like this.

Beberapa saat kemudian beliau pergi ke kamar tempat ibu saya di rawat. Sementara itu ternyata butuh waktu lebih lama dari yang kami perkirakan sebelum segala urusan dengan dokter dan obat selesai. Saya dan ayah saya memperkirakan mungkin beliau sudah pulang karena sudah lewat jam 7.

Later he went to see my mother. In the meantime it took longer than I thought to get done with the gynecologist and the prescribed medicine. My dad and I thought he must have left. It was after 7 pm.

Karena itu saya kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba melihat beliau muncul di depan saya. Waduh, kirain sudah pulang, demikian kata saya ketika kami saling menggenggam tangan-tangan kami. Kekuatan itu kembali terasa mengaliri diri saya. Merasakan ada yang peduli membuat saya merasa jauh lebih baik.

It is why I was so surprised to see him appeared in front of me. I thought you were already left, I said when we hold hands again. The strength flew in me. To know that somebody cared made me felt so much better.

Pada hari itu bukan uang yang dibawa beliau yang membuat saya demikian tersentuh. Perhatian, kepedulian dan kasih dalam kehadirannya yang membuat kegelapan yang menyelimuti saya pada saat itu seakan menyingkir oleh secercah cahaya.

The money he brought that day was not the one that touched me deeply. It was the attention, care and love in his presence that made the darkness that surrounded me was ceased by a light.

Saya telah mengalami banyak peristiwa. Sekalipun saya mengakui bahwa semua itu menjadikan diri saya sebagai manusia yang lebih baik tapi di sisi lain saya juga menjadi seorang yang penuh dengan kepahitan dan kehilangan kepercayaan pada manusia. Peristiwa pada hari Selasa itu seakan tidak hanya ingin menguatkan saya tapi juga mengatakan kepada saya bahwa masih ada orang yang peduli dengan segala ketulusannya kepada saya dan orang tua saya.

I have been through so many things and though I admit that they make me a better person but they also turn me into a bitter person. But the thing happened on that Tuesday not only meant to make me stronger, it was to tell me there is someone who sincerely care for me and my parents.

Saya menulis semua ini supaya saya dan juga anda menyadari kekuatan yang bisa kita berikan kepada orang lain yang sedang berada dalam kesukaran. Kehadiran kita di sisi orang yang sedang menderita dapat menjadi seperti cahaya lilin yang bersinar dalam kegelapan.


I make this note so both you and myself realize the power we can give to anybody who is going through hardship. Even our presence can mean so much for somebody who is in pain because it is like a candle lit in the dark.  

No comments:

Post a Comment