Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, February 20, 2016

Did I Hurt You?


Apa saya melukai perasaanmu?

Ok, anggaplah saya telah melukai perasaanmu.

Ok, so assuming I have hurt you.

Entah saya telah melukai hatimu, ego-mu, kebanggaanmu, intelektualitasmu, harga dirimu atau apalah..

Whether I have hurt your heart, your ego, your pride, your intellectuality, your integrity or whatever it is..

Apa yang akan kamu lakukan? Seperti apa reaksimu?

What would you do? How would you react?

*  *  *  *  *

Artikel yang ditulis oleh Dr. Gregory J. Lantz Ph.D. dan diposting dalam website Pschology Today tanggal 2 February 2016 ini bikin saya terinspirasi buat merangkum point-pointnya (yang saya ambil hanya beberapa saja, cuma inti-intinya dan saya pakai terjemahan bebas);

The article written by Dr. Gregory J. Lantz Ph.D. which was posted on Pschology Today website on 2 February 2016 inspired me to make summary of the points (only few of it, just the keynotes and I translated it to a simpler Indonesian to make it easier to understand);


1. Recognize the offense for what it is.
Is it intentional? Is it unintentional? Is it a misunderstanding?  
  
1. Maksud yang sebenarnya dibalik peristiwa itu. 
Apakah itu disengaja? Ataukah tidak sengaja? Apakah itu terjadi karena salah paham?

    
2. Resist the tendency to defend your position. 
It is amazing how many confrontations you can diffuse by removing defensiveness and hostility. When you stick to what you are feeling, you give the other person permission to explain his or her point of view. Then together you can come to a consensus, hopefully resulting in mutual forgiveness.

2. Tahanlah keinginan untuk membela diri. 
Ada banyak konfrontasi yang dapat dihindari kalau kamu tidak membela diri dan tidak mengambil sikap bermusuhan. Beri kesempatan pada orang yang menyakiti hatimu untuk menjelaskan sudut pandangnya. Lalu bersama-sama kalian bisa mengambil jalan tengah, dengan harapan dapat saling memaafkan.


3. Give up the need to be right. 
This can escalate a bad situation into a worse one. Other people are entitled to their own thoughts and opinions. When differences of opinions arise, it does not necessarily dictate that one person is right and the other is wrong. 

3. Jangan merasa sebagai pihak yang benar. 
Karena ini bisa memperburuk situasi. Orang lain berhak memiliki pemikiran dan pendapatnya sendiri. Di saat terjadi perbedaan pendapat, tidak perlu menentukan bahwa yang seorang benar dan yang lain salah.


4. Respond, don't react. 
This will require you to pause long enough to take the opportunity to think and evaluate. Sometimes, just waiting will add needed perspective. By responding and not just reacting, you exert control over your behavior. Learning this skill will help you respond appropriately. 

4. Merespon, bukan bereaksi. 
Ini berarti kamu harus mengambil waktu lama untuk berpikir dan mengevaluasi. Kadang, dengan memberi waktu akan memberikan pandangan berbeda. dengan meresponi dan tidak bereaksi, kamu mempunyai kendali atas perilaku-mu. Mempelajari keahlian ini akan menolongmu untuk memberikan respon yang tepat. 


5. Adopt an attitude of bridge-building as opposed to attacking. 
A conciliatory attitude is much easier for everyone to deal with than a hostile, defensive one.  

5. Ambil sikap menjembatani dari pada bersikap menyerang. 
Sikap tenang lebih mudah diterima oleh siapa saja dari pada sikap bermusuhan, penuh pembelaan diri.



*  *  *  *  *

Seorang rekan kerja saya pada suatu sore masuk ke ruangan saya dengan membawa berita. Separuh karena heran, separuh karena kesal. Separuh karena hanya mengungkapkan perasaannya, separuh karena (mungkin) mau mengadu ke saya.

A colleague walked into my room in one afternoon with a news. Part of it because it amazed her, another part because it upset her. On one side she just wanted to unburden herself, other side she (probably) wanted to tell me about it.

Seorang rekannya tidak mengacuhkannya ketika dia berpapasan dengannya.

Her colleague ignored her when she passed her.

“Ah, mungkin dia benar-benar ga lihat ibu” jawab saya kalem.

“She probably really didn’t see you” I replied her calmly.

“Masa sih?” rekan saya tidak bisa menerima pendapat saya “Segini gedenya saya lewat didepannya masa ga kelihatan”

“How could that possible?” my colleague couldn’t accept my opinion “I am this big, it would be impossible for me to be invisible”

“Yah, siapa tahu dia lagi ada beban pikiran sampai ibu yang segede gaban begini lewat dan dia ga lihat” saya tertawa.

“Well, who knows she has had many things on her mind that she didn’t see a giant like you passed her” I laughed.

Rekan saya ikut tertawa.

My colleague laughed too.

“Bisa jadi” katanya.

“That could be the case” she said.

“Saya juga suka gitu kok. Sudah deh, ga usah dipikirin” kata saya menenangkannya.

“I have done the same sometimes. So, don’t bother yourself with it” I said to calm her.

Respon kalem saya membuat rekan saya kalem dan selesailah perkaranya.

My calm respon has calmed my colleague and so we rest the case.

*  *  *  *  *

Tapi ada juga yang kasus-kasus yang bikin saya juling.

But there were cases that drove me crazy.

Yang paling saya sebelin adalah saat saya berhadapan dengan orang-orang yang mau main lempar tanggung jawabnya ke saya.

What upset me most are people who tried to ran away from their responsibilities and pass them to me.

Yang punya jabatan siapa, tanggung jawabnya kok mau dilempar ke orang lain.

It is their posts, but the responsibilities are passed to someone else.

Tapi kalau lagi ngomong, widih.. semua jadi kayak ayam jago.. iye, ayam jago yang kesiangan berkokok.

But when it comes to talking, wow.. everyone were like a cock.. well, a cock who got up after the sun rose high on the sky.

*  *  *  *  *

Semakin bertambah usia saya, semakin bertambah juga pengalaman saya dan dari sini saya bisa mengatakan bahwa masalah yang sebenarnya adalah bagaimana kita meresponi suatu masalah.

The older I get, the more experienced I have become and I can tell that the real problem is our respond toward a problem.

Respon dan reaksi itu berbeda.

Respond and reaction are two different things.

Reaksi bagaikan ledakan bom. Cepat. Tanpa harus berpikir, tidak wajib membuat banyak pertimbangan, tidak perlu kebijaksanaan dan karenanya tidak memperhitungkan efek jangka pendek serta jangka panjangnya.

Reaction is like an explosion of a bom. Quick. No thinking, no obligation to make many considerations, no need wisdom and therefore it does not calculate the short and long effect.

Jadi reaksi kita terhadap suatu peristiwa atau masalah bisa sama buruknya atau bahkan lebih buruk.

So our reaction toward an incident or a problem may as worse as it is or may even make it worst.



www.pixteller.com


No comments:

Post a Comment