Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, November 19, 2015

In My Father’s House

Kalau orang tua saya menceritakan pada saya tentang kelakuan ‘unik’ tetangga-tetangga kami, saya setengah bercanda, setengah serius mencoba menghibur mereka dengan mengatakan, ‘Untung mereka ga tinggal satu rumah dengan kita’.

When my parents told me about our neighbors ‘unique’ behavior, I tried to cheer them up by telling them, ‘Glad they don’t live with us’, well, I was half joking and hal serious when I said that.

*  *  *  *  *

Ya, setiap hari saya menghadapi berbagai macam manusia. Pokoknya begitu keluar rumah.. yah, harus siap mental aja.

Well, everyday I have to deal with many kinds of people. The moment I leave the house.. yeah, just gotta be mentally prepared.

Kadang saya berangkat dari rumah dengan hati gembira, eh, naik angkot yang supirnya entah kenapa bawaannya marah-marah mulu atau yang mungkin karena perutnya lagi mules jadi pas nyetir kayak serasa lagi ikut lomba balap mobil grandprix.


Sometimes I leave the house happily only to meet a bad mood angkot driver who got upset to anything or a driver who probably having stomachache and so drove like he were in a grandprix racetrack.

Manusia  tidak pernah berhenti memberikan kejutan..

People never stop surprise us..

*  *  *  *  *

Atau saya berangkat dengan hati damai, eh, di kantor jadi garing seperti pengalaman saya beberapa waktu lalu waktu seorang karyawan minta supaya saya mengijinkan suaminya yang sedang tugas jaga di kantor saya bisa pulang lebih awal. Pagi ini dia di jadwal terapi ke dokter.

Or I leave the house with peaceful heart, well, at work it turns sour as it happens some time ago when a worker asked my permission for her husband to leave the office early. This morning the worker had an appointment with her doctor.

Oh, pikir saya, kondisinya mungkin sedang tidak fit banget sampai dia harus ditemani suaminya. Saya sudah hampir memberikan ijin ketika..

Oh, I thought, she was probably very unwell that she needed her husband to go with her to the doctor. I was ready to give the permission when..

“Ibu mau minta supaya si bapak jaga toko. Ibu harus pergi berobat, toko ga bisa ditutup. Ada banyak orang, ada … yang mau ketemu anak ibu..”

“I need my husband to look after the shop. I have an appointment with my doctor, the shop shouldn’t be closed. There are many people, … wants to meet my son..”

Kagak salah tuh, coy, ente minta ane ngijinin laki ente ninggalin kantor supaya dia bisa jagain toko selama ente pergi berobat? Ha?! Lah, tutup aja tu toko. Kan sudah tahu kalau hari ini harus pergi berobat, ya, toko jangan dibuka dong. Nanti aja bukanya kalau sudah balik dari dokter.

Do I hear it well, you ask me to allow your husband to leave the office so he could incharge in your shop while you go to the doctor? Huh?! Just close that shop. You already knew you have appointment with your doctor so don’t open that shop. You can open it after you get back from the doctor.

Jelas aja saya tidak memberikan ijin.

I certainly didn’t allow her husband to leave work.

Dia malah jadi kesal, ngambek ke saya.

It upset her, she was pissed on me.

Sinting, pikir saya, jalan pikiran elu yang kagak masuk akal, eh, sekarang elu marah ke gue.

Nuts, I thought, you are being nonsense and now you’re pissed to me.

Manusia  tidak pernah berhenti memberikan kejutan..

People never stop surprise us..

*  *  *  *  *

Atau dari rumah hati lagi sepet, di kantor tiba-tiba ada teman yang curhat tentang masalahnya. Selesai dia curhat, saya berpikir ‘ya ampun, masalah gue jadi kelihatan kecil banget kalau dibandingin sama masalahnya’ dan blas.. sepet di hati pun hilang.


Or I leave the house with troubled heart, a friend at work unburden her problem to me. After she’s done, I thought ‘wow, my problem is nothing compares to hers’ and whoosh.. all the trouble in my heart is gone.

Manusia  tidak pernah berhenti memberikan kejutan..

People never stop surprise us..

*  *  *  *  *

Setiap pagi saya meninggalkan rumah menuju kantor dan setiap manusia yang saya temui membuat saya tertawa atau jadi mengerutkan kening.

Every morning I leave my house to go to work and every human being I met can make me either laugh or frown.

Setiap sore saya kembali ke rumah membawa segala kelelahan fisik dan mental.

Every evening I get back home, physically and mentally exhausted.

Ketika saya masuk ke rumah, di rumah ayah saya, waktu serasa berhenti dan saya berada dalam tempat yang aman, jauh dari segala tekanan dunia serta kebisingan kehidupan.

When I enter the house, in my father’s house, time stops and I am in a safe place, far away from all the pressure along with the hustle bustle of life.

*  *  *  *  *

Sudah empat setengah tahun saya bekerja di tempat yang di sebut sebagai rumah Tuhan dan karena dalam agama saya, Tuhan itu memposisikan dirinya juga sebagai ayah bagi umatnya, maka tempat ibadah disebut juga sebagai rumah Tuhan alias rumah bapa.

I have been working for four and a half years at a place which is called the house of God and because in my religion God positioning Himself not only as God but also as Father to His people, so His place of worship is called the house of the Lord or also known as Father’s house.

Sebelum bekerja di rumah Tuhan ini, dari tahun 1993 sampai 2005 saya bekerja di perusahaan biasa dimana setiap harinya saya berurusan, bergaul dan berteman dengan orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan saya.

Before I work in this god’s house, from 1993 to 2005 I worked in regular companies where I dealt, mingled and made friends with people who differed in belief.

Lalu dari tahun 2005 sampai sekarang saya bekerja di dua tempat berbeda tapi memiliki kesamaan yaitu berdasarkan pada keagamaan yang sama dengan agama saya sehingga otomatis setiap harinya saya berurusan, bergaul dan berteman dengan orang-orang yang memiliki keyakinan sama dengan saya.


Then from 2005 until now I work in two different places which have one thing in common; both place is based on one my religion so it makes me work, mingle and make friends with people who have same belief with me.

Mereka, seperti saya, dibesarkan dengan ajaran satu agama.

They, just like myself, were raised under the teaching of one religion.

Harusnya saya lega dan bahagia karena berada di antara orang-orang yang punya keyakinan yang sama.

It should relief and make me happy to be around people who have same belief.

Yah, awalnya memang demikian..

It did at the beginning..

                                                             *  *  *  *  *

Selama delapan tahun saya bersama Andre, hampir sepuluh tahun saya mengenalnya, dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya seorang bukan pemercaya agama mana pun. Dia berpandangan semua agama itu baik tapi dia tidak mau menjadi penganut agama apa pun.

I had been with  Andre for eight years, I have known him for almost ten years, he never hides the fact that he is an infidel. He thinks all religion is good but he prefers not to have any religion.

Saya yakin setiap orang dari agama apa pun akan berpendapat dia seorang yang tersesat, orang berdosa, orang terkutuk dst.

I am sure everyone from any relition would think of him as a lost one, a sinner, a condemned etc.

Tapi dalam perjalanan kehidupan saya, telah banyak hal saya lihat dan terlalu banyak fakta dimunculkan di depan mata saya yang membuat saya berpendapat lebih baik menjadi seorang atheis yang memiliki hati nurani yang bersih, memiliki kasih sayang yang murni dan kerendahan hati yang tulus..


But in my lifetime, I have seen many things and there too many facts came before my eyes to make me think that it is better to be an atheist who has clean consciousness, pure love and sincere humbleness..

Dari pada menjadi seorang beragama yang penuh dengan keangkuhan, ego dan menyembunyikan niat, tujuan, ambisi, jiwa yang sakit dan bobrok dibalik prilaku serta kata-kata yang religius.

Instead of being somebody with a religion but so very arrogant, ego driven and have the intention, purpose, ambition, sick and rotten soul behind religious attitude and religious words.

Lama-lama saya muak.

Eventually I had enough of it.

Ini bukan saya mengatakan lebih baik menjadi atheis, saya hanya mengatakan bahwa kita sering menilai orang-orang tidak beragama sebagai manusia yang jauh lebih buruk dari mereka yang beragama.

I am not saying it is better to become atheist, I am only saying that we often judge infidel people are worse than those the believer.

Saya juga tidak mengatakan bahwa seluruh orang beragama jauh lebih buruk dari orang-orang yang tidak percaya.

I also am not saying that the believer is worse than the infidels.

Saya hanya tidak mengerti kenapa orang-orang yang mengatakan dirinya beragama adalah mereka yang menjadikan pengenalannya akan agamanya untuk membuat dirinya menjadi lebih superior dari orang lain atau menjadikan agamanya itu sebagai kedok untuk menutupi ambisi, keinginan, tujuan, ego, keuntungan dan rencana pribadinya.

I just don't understand why people who claim themselves to be believer are infact making their knowledge of belief to make them more superior than others or to make religion as a cover for personal ambitions, desires, goals, ego, profit and plans.

Kita bisa menemukan orang-orang seperti itu dimana saja tapi sungguh amat sangat memuakkan kalau memakai Tuhan untuk membenarkan diri atau mencari keuntungan pribadi.

We can find people like that anywhere but it is really sickening to make God as excuse to justify yourself or to seek personal gain.

Semakin lama saya tidak lagi menemukan kedamaian di rumah Tuhan ini, rumah yang disebut sebagai rumah bapa, dan kalau seorang anak tidak lagi menemukan kedamaian di rumah ayahnya sendiri.. untuk apa lagi dia tetap berada disana?

I don’t find peace in this God’s house, one that called as the father’s house, and when a child no longer finds peace in his/her own father’s house.. then why should he/she stays there?

No comments:

Post a Comment