Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, August 28, 2014

Be Like Children

Murid les saya bertambah lagi. Nia dan Debora. Empat dan lima tahun.


I have more students to tutor. Nia and Debora. Four and five years old.

Nia baru belajar mengenal huruf. Sementara Debora belajar membaca.

Nia is learning abc. While Debora learns to read.

Waktu satu jam lewat tanpa terasa karena yang mengajar dan yang belajar sama-sama sibuk tidak hanya dengan urusan huruf a-i-u-e-o dan ba-bi-bu-be-bo tapi juga dengan berbagai aktivitas mulai bernyanyi, bercerita, bercanda dan yang terakhir kami lakukan di menit-menit terakhir adalah berfoto.

An hour passed without any of us noticed it because the teacher and the students were all busy not only with a-i-u-e-o and ba-bi-bu-be-bo but also with many other activities from singing, talking, joking and in the last minutes were filled by us taking pictures.

Mereka meninggalkan rumah saya dengan muka ceria dan mata bersinar penuh kegembiraan.

They left my house with happiness shown on their faces and their eyes shone brightly.

Saya memperhatikan mereka dan sangat terkesan tidak hanya karena melihat kebahagiaan di muka mereka tapi juga karena teringat satu jam yang lalu kami tidak saling mengenal.

I looked at them and was impressed not only to see happiness on their faces but because the fact is an hour ago we were strangers.

Dua hari kemudian mereka datang lagi karena jadwal les mereka dua kali seminggu.

Two days later they came again as they are scheduled to have the tutoring twice a week.

Hari itu mereka datang beberapa menit sebelum jam empat sore.

They came few minutes before four in the afternoon.

“Sudah tidak sabar nunggu jam empat, bu Keke” kata mamanya “Semangat mau belajar”

“They hardly wait for four o’clock, Keke” said the mother “So excited to have their tutoring”

Mereka masuk sambil berceloteh riang. Sesi les kedua ini berjalan menyenangkan.

They came in, very much chatty. This second session of tutoring went pleasantly.

Minggu berikutnya, Selasa (26/8) Nia datang dengan berurai air mata.

The next week, on Tuesday (August 26th) Nia came, crying.

Lho kok nangis, kenapa, nak?

Why are you crying, kiddo?

“Baru bangun, bu Keke” kata mamanya “Saya bangunin”

“She just wake up” said the mother “I woke her up”

Oh, kasihan.. Saya minta supaya ibunya tidak memaksanya untuk les.

Oh, dear.. I asked her mother not to push her to attend today’s tutoring.

Beberapa menit kemudian, ketika Debora baru saja kelihatan siap untuk mulai belajar.. seseorang memanggil saya.

Few minutes later, just when Debora ready to learn.. someone called out for me.

Nia datang di antar oleh tantenya. Masih menangis.

Nia came with her aunt. Still crying.

“Mau belajar, bu” kata tantenya sambil tersenyum.

“She wants to have her tutoring” said her aunt. Smiling.

Wah, gimana caranya mau belajar kalau masih nangis begini?, tanya saya pada diri sendiri. Tapi saya tidak berkata apa-apa.

Now how would she learn when she is still crying like this?, I asked myself. But I said nothing.

Saya bukakan pintu “Masuk yuk, sayang” kata saya pada Nia yang masuk sambil masih menangis tersedu-sedu dan langsung menggandeng tangan saya.

I opened the gate “Come in, dear” I spoke to Nia who came in, still crying and she held my hand.

Di dalam rumah.. “Nia duduk ya disamping Debora” kata saya lembut. Tapi Nia menggeleng dan menangis lebih keras. Walah.. gimana nih? Masa mau tetap berdiri?

After we got in the house.. “Nia sits next to Debora, ok” I spoke gently to Nia. But she shook her head and cried louder. Oh no.. what should I do? She can’t just stand there.

Saya memutar otak “Nia duduk dipangkuan bu Keke aja ya” Dia tidak menolak. Saya duduk di kursi kecil sementara dia duduk di paha kiri saya. Dia meletakkan kepalanya di bahu saya, masih menangis tersedu-sedu.

I thought hard to come out with something “Nia sits on my lap, ok” she didn’t show anything against it so I sat on a small chair while she sat on my left tigh. She rested her head on my shoulder, still crying.

Debora dan saya mencoba menghiburnya. Mengalihkan perhatiannya. Membuatnya berhenti menangis. Debora bahkan sampai membuat gambar kolam dan ikan sambil berceloteh tentang ikan dalam upayanya untuk membuat Nia mau berhenti menangis.

Debora and I tried to soothe Nia. To distract her. Did everything to make her stop crying. Debora even drew a pool and fishes as she endlessly spoke about those fishes in her effort to make Nia to stop crying.

Diperlukan mungkin lebih dari lima belas menit untuk akhirnya saya bisa membuat Nia berhenti menangis.

It needed probably more than fifteen minutes for me to finally made Nia stopped crying.

Tidak banyak yang bisa mereka pelajari hari ini karena bagaimana saya bisa mengajar Debora yang penuh semangat dan bawel itu dengan Nia yang duduk dipangkuan saya sambil menangis? Dan bagaimana pula saya serta Debora dapat fokus pada pelajaran dengan diiringi oleh suara tangisan Nia?

They didn’t learn much today because how could I tutor the energetic and chatty Debora while having Nia on my lap who seemed unable to stop crying? And how could Debora and I focused on the lesson with the noise of Nia crying?

Yah,sebetulnya saya yang jadi banyak belajar dari mereka.


Well, it was actually me who learned a lot from them.

Hari itu adalah hari ketiga Nia dan Debora datang ke rumah saya. Tiga kali bertemu dengan total waktu tiga jam.

It was the third day Nia and Debora came to my house. Three days and three hours in total.

Berapa banyak yang kita ketahui tentang seseorang dengan hanya bertemu tiga kali atau hanya selama tiga jam?

How much would we know about someone whom we met just three times or for only three hours?

Reaksi Nia pada hari ini menunjukkan bahwa dia mungkin baru mengenal saya selama tiga jam tapi dia mempercayai saya.

Nia’s reaction today showed that she trusts me though she just knew me for three hours.

Malam harinya saya memikirkan anak-anak ini dan merenungkan banyak hal.

I thought about those kids at night and had many things in my mind.

Banyak hal membuat saya terkesan sejak dari hari pertama Nia dan Debora datang ke rumah saya.

Many things impressed me even since the first day Nia and Debora came to my house.

Nia serta orang tuanya adalah tetangga saya. Jarak rumah kami hanya dipisahkan oleh satu rumah. Tapi selama ini saya hanya sekali-sekali saja mengobrol dengan mamanya. Dengan Nia sendiri tidak pernah.

Nia and her parents are my neighbor. Our houses are just one house apart. But I never spoke to Nia, I just occassionaly have short chat with her mother.

Debora adalah sepupu Nia yang sering berkunjung ke rumah Nia. Saya tidak pernah melihatnya, mungkin pernah tapi tidak memperhatikan karena anak-anak itu tidak pernah main sampai ke depan rumah saya.

Debora is Nia’s cousin who oftenly comes to her house. I never saw her before, maybe I had but didn’t pay attention as the kids never played infront of my house.

Jadi saya dan anak-anak itu betul-betul tidak saling mengenal. Karena itu bayangkanlah bagaimana herannya saya melihat pada hari pertama mereka tanpa ragu langsung masuk ke rumah saya tanpa disertai oleh ibu-ibunya.

So the kids and I were total strangers. Imagine how it surprised me to see how they confidently came into my house on their first day of tutoring without their mothers came along.

Tanpa ragu, tanpa takut, tanpa resah, tanpa curiga, tanpa banyak pertimbangan.

Without hesitation, without fear, without anxiety, without suspicion, without too many considerations.

Saya tidak bisa tidak berpikir tentang suasana di kantor selama dua minggu terakhir ini; begitu banyak keresahan, kebingungan, ketegangan, desas-desus. Beberapa orang menjadi demikian tertekan karenanya sampai seorang diantaranya sempat jatuh sakit.

I couldn’t think about the air in the office which in the past two weeks has been filled with so many anxieties, confusion, tension, rumors. Some people have become so troubled by this that it even made one of them fell ill.

Semuanya berawal dari apa? Sederhana saja sebetulnya. Sesuatu yang menurut saya dan juga beberapa orang lainnya, tidak perlu menjadi demikian rumit.

Where did all this starting? It was something simple, actually. Something that I and some people thought should be made complicate.

Tapi ketika pemikiran di isi oleh banyak pertimbangan, ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan praduga.. maka terciptalah suasana yang penuh dengan aura yang sama.

But when mind is filled with so many considerations, fears, worries, suspicion and .. it resulted in a condition that fills exactly with those auras.

Kalau sampai seseorang memilih untuk (terpaksa) tidak datang ke rumah orang lain untuk membantu memasak atau mempersiapkan rumah orang itu (yang sudah dianggap sebagai teman) ketika akan diadakan acara dirumah orang tsb karena takut kalau-kalau tindakan persahabatan itu di lihat dan di nilai sebagai hal-hal yang tidak pantas atau tidak seharusnya dilakukan..

When somebody chose not to come to somebody’s house (who has considered as a friend) to help that person with the cooking or house preparation before a gathering held there for fearing that friendship based thing would be seen or judged as something improper to do..

Ketika dua orang teman terpaksa harus menjauh ketika banyak mata disekitar mereka menatap dengan hati penuh praduga..

When two friends have to distant themselves when many eyes around them stare at them with heart fills with so many prejudice..

Ketika dua orang teman dipaksa untuk mengurangi keakraban mereka karena sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam pikiran mereka..

When two friends are forced to limit their closeness for something that they themselves have never thought..

Saya hanya ingin mengatakan.. ada banyak hal akan menjadi lebih sederhana dan indah seandainya kita mau menyederhanakan pikiran kita..

I just wanted to say.. many things would be more simple and nicer if only we could simplify our minds..

Kita perlu belajar dari anak-anak kecil seperti Nia dan Debora tentang ketulusan, kesederhanaan, keyakinan dan kepercayaan.

We need to learn from kids like Nia and Debora about sincerity, simplicity, faith and trust.

No comments:

Post a Comment