Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, April 28, 2016

Hello, Fear, Come on in..

“Oma!” anak lelaki kecil itu berlari masuk ke ruangan saya. Mukanya menggambarkan suatu ketakutan yang luar biasa. Suaranya terdengar begitu panik seakan dia baru saja melihat seekor singa yang terlepas dari kandang.

“Oma!” the little boy ran into my room. He looked terrified, it was shown clearly on his face. He sounded so panic as if he just saw a lion broke out of its cage.

Beberapa menit sebelumnya dia asyik bermain dan mengobrol dengan teman saya sehingga tidak menyadari omanya pergi ke ruangan lain.


Few minutes earlier he enjoyed playing and talking with my friend that he didn’t realize his grandmother went to other room.

“Dia memang penakut, Ke” kata omanya “Ga kayak kakaknya”

“Such a fainted heart, Keke” said his grandmother “Unlike his older brother”

Saya memperhatikan anak itu. Dia anak yang baik. Cerdas. Lucu. Tapi banyak takutnya. Takut ditinggal omanya. Dia bahkan takut digendong, entah karena takut jatuh atau takut ketinggian.

I looked at the boy. He is a good kid. Smart. Funny. But afraid of many things. He's afraid to be left by his grandmother. He is even afraid to be carried, whether it is because he is afraid of falling or afraid of height.

Saya menjadi guru taman kanak-kanak dari tahun 2005 sampai 2011. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai pekerjaan. Itu adalah panggilan hati. Saya memang terlahir untuk menjadi guru. Saya mencintai setiap detiknya. Saya mencintai murid-murid saya, tidak peduli sebandel, sesulit, seaneh apa pun mereka.

I worked as kindergarten teacher from 2005 to 2011. I never see it as a job. It is a calling. I am born to be a teacher. I love every second of it. I love my students no matter how naughty, difficult, weird they are.

Ada satu permainan yang sering saya lakukan untuk mengenali murid-murid saya sekaligus untuk mendekatkan diri dengan mereka, menghibur mereka, mengajarkan mereka untuk tidak takut dan untuk mempercayai seseorang.

There is one game that I often used as a way to know my students, to also get close with them, to entertain them, to teach them not to have fear and to trust somebody.

Permainan itu sederhana dan tercipta tanpa sengaja.

It is a simple game and just came up unplanned.

Saya dan seorang anak berdiri berhadapan, kedua tangan saling berpegang erat lalu anak itu akan melompat setinggi mungkin untuk naik ke pinggang saya. Pada saat dia melompat, saya menarik tangannya untuk menaikkan dia dan kemudian menangkapnya hingga hasil akhirnya adalah dia berada aman dalam gendongan saya.

A child and I stood facing each other, both hands hold each other tightly and the child then jumps as high as he/she can to my hip. As the child jumps up, I pull his/her hands to lift him/her up and then catch him/her that the child ends up being safely carried by me.

Oh, mereka suka sekali dengan permainan ini. Mereka suka ketika melompat setinggi-tingginya, menangkap pinggang saya dengan kaki mereka lalu mengaitkan kaki di sana dan berakhir dengan berada dalam gendongan saya. Mereka suka sekali ketika saya menghadiahkan ciuman di pipi atau kening mereka sebelum menurunkan mereka dari gendongan saya.

www.123rf.com
Oh, they loved this game. They loved it when they jumped up as high as they could, caught my hip with their feet, wrapped the feet around it and ended up being carried by me. They loved it when I kissed them in the cheek or forehead before I put them down.

Awalnya saya hanya bermain dengan beberapa anak tapi kemudian murid-murid di kelas saya bergabung dan sebelum saya sadari, lebih dari lima belas anak menggabungkan diri. Hebatnya lagi, mereka berbaris rapi di depan saya... tidak ada yang dorong-dorongan, tidak ada yang sirik-sirikan, semua sabar menunggu giliran.. hehe..

At first I just played with few kids but then the students in my class joined in and before I realized it, more than fifteen kids were in it. More impressingly, they lined up infront of me.. nobody pushed each other, nobody envied at each other, everyone patiently waited for their turn.. lol..

Yang lebih penting adalah anak-anak ini tidak menyadari kalau lewat permainan itu mereka sedang belajar untuk menyingkirkan rasa takut dan untuk mempercayai seseorang.

Most important thing is while playing this game these children unawaredly learned to cast away their fear and to trust somebody.

Sebelum seorang anak melompat, saya memberitahunya bahwa saya memegang kedua tangannya erat-erat, saya tidak akan melepaskannya dan saya tidak akan membiarkannya jatuh.

Before a child jumped, I told him/her that I hold his/her hands tightly, I wouldn’t take their hands off mine and I wouldn’t let him/her fall.

Seorang anak yang pada dasarnya bukan penakut atau anak yang berhasil menyingkirkan rasa takutnya akan mudah melompat dan terasa ringan ketika saya menariknya.

A child who is basically fearless or a child who could cast away his/her fear would easily made the jump and felt light when I pulled him/her up.

Tapi anak yang dibayangi oleh rasa takut akan jatuh melorot ke kaki saya dan badannya terasa berat sekali sampai saya tidak kuat untuk mengangkatnya, saya bahkan nyaris jatuh karena dalam ketakutannya dia menarik saya.

But a child who is overshadowed with fear would slip down to my feet and his/her body felt so heavy that I couldn’t pull him/her up, I was even nearly fell because in his/her fear, the child dragged me down with him/her.

Nah, saya memainkan permainan ini dengan anak lelaki itu dan dibutuhkan lompatan berkali-kali sebelum akhirnya dia berhasil. Itu pun mungkin cuma untuk lima detik karena dia ketakutan luar biasa.

So, I played this game with that boy and it took many jumps before he finally succeed. Even so, it lasted like just five seconds because he was so scared.

Jadi bukan karena dia tidak bisa melompat. Ketakutannya yang demikian besar itu yang membuat dia tidak bisa melompat dan ketakutan juga yang membuat dia tidak bisa menikmati kepuasaan serta kebahagiaan ketika akhirnya dia berhasil melompat ke pelukan saya.

So it is not because he can’t jump. His fear is so big, it makes him can’t jump and it is also fear that makes him can’t enjoy the satisfaction and happiness for his success to make the jump that earns him being carried by me.

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

*  *  *  *  *

Saya adalah orang dewasa yang tidak menyukai dunia orang dewasa.

I am an adult who dislike adult’s world.

Bagi saya, orang dewasa adalah mahluk-mahluk yang paling rumit dan paling tidak masuk akal.

To me, adults are the most complicated and unreasonable creatures.

Ketika saya berhenti dari taman kanak-kanak itu dan kembali ke dunia orang dewasa.. saya shock mendapati dunia orang dewasa yang rasanya seperti berenang dalam limbah kimia.

When I quitted my job from that kindergarten and got back to adult’s world, I was shocked to find it felt like swimming in toxic waste.

Begitu banyak ketakutan dalam dunia orang dewasa.

There are so many fears in adult’s world.

Takut mati, takut sakit, takut miskin, takut susah, takut kehilangan pekerjaan, takut dipecat, takut kalah, takut kesaing, takut ga kepake, takut tidak dihormati, takut tidak dikagumi, takut diremehkan, takut gagal, takut citra baiknya akan rusak, takut dibilang ga laku karena belum dapat pacar atau belum menikah, takut di cap mandul karena tidak punya anak, takut mobilnya hilang, takut rumahnya dirampok, takut kendaraan yang dinaikinya kecelakaan.. busettt, panjang banget ye? Saya masih bisa nambahin lho.. hehe.. tapi nanti kalian jadi takut ngebacanya.. wakakakak..
Fear of death, fear of being sick, fear of poverty, fear of losing a job, fear of being fired, fear of being casted off, fear of being a loser, fear of being disrespected, fear of not being admired, fear of being underestimated, fear of failure, fear of ruining the good image, fear to be told old bachelor for not having girl/boyfriend of for being single too long, fear of being called as barren for not having any child, fear to lose the car, fear to have the house robbed, fear of having an accident.. damn, whatta a long list.. I can add it.. haha.. but then, you might get some fear to read it.. lol..

Orang dewasa itu sebetulnya seringkali tidak beda dengan anak kecil.

Most of the time adults are actually have no difference with a child.

Bedanya adalah, mereka membuat banyak hal menjadi lebih rumit.

The difference is, they make lots of things more complicated.

Kerumitan yang kadang bisa membuat dunia menjadi lebih baik tapi lebih seringnya sih membuat banyak hal menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

The complexity that sometimes make the world better but oftenly makes things a whole lot worse than it was before.

*  *  *  *  *

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

Satu contoh untuk direnungkan;

One example to be given a thought;

Takut tidak dihormati rekan sekerja, bawahan atau anggota keluarga membuat kita menampilkan diri sebagai seorang otoriter atau seorang pelaku bully karena kita berpikir dengan menekan orang lain terutama mereka yang posisinya lebih rendah dan lebih junior akan membuat mereka menaruh hormat pada kita.

Fear of being disrespected by fellow colleague or family member makes us appear ourselves as stern or a bully doer because we thought by pressing other people, especially those the inferior or the junior would make them respect us.

Oh ya, mereka akan menghormati kita dengan kehormatan palsu dan dengan begitu banyak kebencian serta sakit hati.

Oh yes, they respect us but the fake respect and with lots of hatred and heartache.

Apakah hal itu bisa kita anggap sebagai suatu kebahagiaan? Suatu prestasi?

Would we take it as happiness? As an achievement?

Adakah hal yang bisa kita banggakan dari hal tersebut?
Anything we could be proud out of it?

Lalu ketika kita mati dan berhadapan dengan Tuhan, sanggupkah kita berdiri dihadapanNya dan melihat bagaimana Dia menunjukkan perilaku kita terhadap mereka yang lebih inferior and junior itu?

When we died and found ourselves stand face to face with God, could we stand infront of Him and see how He showed our behavior toward those inferiors and juniors?

*  *  *  *  *

Hampir lima tahun saya berada di dunia beraura keagamaan.

I have been involved in this religious afffairs for nearly five years.

Saya melihat begitu banyak sikap, kebiasaan dan pola pikir manusia-manusia disekitar saya sebagai hasil dari ketakutan yang mereka simpan dalam jiwanya.

I have seen so many attitudes, habits and mindsets of the people around me that are the outcome of fears kept in their souls.

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

Yang menyedihkan adalah, mereka orang-orang yang lebih tua dari saya, memiliki lebih banyak pengalaman dibandingkan saya dan sekian puluh tahun menghabiskan waktu bersama Tuhan.. tapi sikap, perilaku, perkataan dan pola pikirnya menunjukkan bahwa mereka..

The sad thing is, they are older than me, more experienced than me and have spent decades with God.. but their attitude, behavior, words and mindset show that they..

Terpenjara dan terbelenggu oleh ketakutan.

Imprisoned and chained by fear.

Saya melihat bagaimana ketakutan itu membuat mereka tidak bisa melihat dan menghargai hal-hal baik dalam diri orang lain karena mereka terlalu berkonsentrasi untuk menjaga supaya orang itu berkelakuan benar, bersikap benar, berkata-kata benar, bekerja dengan benar, hidup dengan benar, beribadah dengan benar demi menjaga citra yang baik dan mendapat hasil kerja yang sempurna.

I saw how that fear has made them fail to see and appreciate the good things in others because they are too focus on keeping others to behave correctly, to act correctly, to speak correctly, to work well, to live well, to worship properly for the sake of good image and to get the perfect work outcome.

*  *  *  *  *

Saya tidak sedang menghakimi siapa pun.

I am not judging anyone.

Saya sendiri bukanlah manusia super sempurna.

I myself am not a super perfect human.

Tuhan memperbaiki saya selangkah demi selangkah tapi selain itu ada banyak sekali hal yang Dia buka kepada saya.

God fixes me one step at a time but apart from that He also revealed so many things to me.

Itulah inti dari setiap postingan saya di sepanjang bulan April ini.

That is the point in each of my post in this April.

No comments:

Post a Comment