Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Monday, May 9, 2016

Under Construction

“Sedang dibangun” saya pernah membaca pelang pemberitahuan didepan sebuah bangunan.

“Under construction” I once read a signage infront of a building.

Gedung lama itu dirubuhkan dan diatasnya dibangun gedung baru.

www.123rf.com
That old building was torn down and on it a new one was being built.

Saya pikir ada masa-masa tertentu ketika setiap manusia mendapati dirinya yang lama dirubuhkan dan kemudian yang baru dibangun.

I think there were times when people found their old self was torn down and a new one was built.

*  *  *  *  *

Kenapa yang lama harus dirubuhkan?

Why the old self has to be torn down?

Bangunan yang sudah tua tentu saja kondisinya tidak lagi sebaik dan sekuat bangunan baru. Itu sebabnya dia dirubuhkan supaya diatasnya bisa dibangun sebuah bangunan baru yang lebih baik, kuat dan bagus.

Old building’s condition is not as good and strong as new building. That is why it must be torn down so a new one can be built on it.

Setiap manusia memiliki bagian-bagian gelap dan terang dalam dirinya, baik dan buruk.

Each of us has dark and lights parts, good and bad.

Setiap bagian itu jelas tidak bisa dibiarkan tetap begitu dari waktu ke waktu karena yang baik harus dijadikan semakin baik dan yang buruk diperbaiki.

Every part shouldn’t be left as the way it is from time to time because the good ones need to be made better and the worse should be fixed.

Tapi ada beberapa hal yang berperan dalam setiap perubahan.

However, there are few things that  play role in setiap change.

*  *  *  *  *

Majikan, Mandor atau Jendral?

Master, Supervisor or General?

Sekolah adalah tempat pertama dimana kita belajar tentang banyak hal.

School is the first place where we learn many things.

Sebelas tahun yang lalu Tuhan memberikan saya pekerjaan sebagai guru dan saat itu juga saya jatuh cinta pada bidang itu, saya mencintainya dengan sepenuh hati dan saya tidak pernah berhenti mencintainya.

Eleven years ago God gave me a job as teacher and I fell in love with it right at that moment, I love it with all my heart and I never stop loving it.

Saya mencintai murid-murid saya sesulit dan seaneh apa pun mereka.

I love my students no matter how difficult and weird they are.

Tidak ada yang lebih membahagiakan saya selain melihat mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Nothing makes me happier than to see them become better than before.

Ya, saya mengajari mereka membaca, berhitung, menulis, menyanyi, mewarnai, berbahasa Inggris dan banyak lagi pengetahuan umum lainnya tapi yang terutama bukanlah itu.

Yes, I teach them how to read, I teach them math, writing, singing, coloring, English and many other subjects but those are not the most important ones.

Ketika mereka masuk sekolah, mereka membawa seribu satu kepribadian, sifat dan kebiasaan.

They bring one thousand and one personalities, characters and habits when they enroll in school.

Ada yang pemarah, manja, penakut, gampang tersinggung, sombong, minder, pemberontak, pembohong, pengkhayal, sangat mandiri, sangat pasif, pemalu, kasar, agresif, rajin, pemalas..

There’s the short tempered, fearful, touchy, cocky, low self esteem, rebellious, liar, day dreamer, independent, passive, shy, rude, aggressive, diligent, lazy..

Bahkan yang kelihatannya manis, penurut dan baik-baik saja ternyata kemudian ketahuan punya sisi-sisi gelap juga yang tersembunyi atau disembunyikan dibalik muka manis, senyum semanis madu serta kelakuan sebaik malaikat.

Even the ones who seemed sweet, obedient and nice are actually have dark sides that hid or deliberately hidden behind the sweet face, sweeter than honey smile and angelic attitude.

Saya bukanlah tuan atas mereka, bukan mandor, bukan jendral yang berdiri di depan mereka dan menunjukkan segala kesalahan mereka serta memerintahkan mereka untuk merubahnya.


I am not their master, not their supervisor, nor their general who stands infront of them, showing them all their errors and order them to make correction.

Saya seorang guru. Tugas saya adalah membuat mereka mengetahui apa yang tidak benar dan tidak baik dalam diri mereka.

I am a teacher. My duty is to make them see the things that are not good in them.

Saya juga tidak boleh meninggalkan mereka. Saya terlibat penuh dalam proses perbaikan diri mereka.

I shouldn’t leave them alone either. I am fully involved in their change process.

Dari pengalaman saya, mengajari seorang anak membaca sejuta kali lebih gampang dari pada menumbuhkan percaya diri pada seorang anak yang minder.

Speaking from experience, teaching a child to read is a million of times easier than to instill self esteem in a child with low self esteem.

Ada seorang murid saya yang dibawa ibunya ke saya untuk les membaca. Usianya sudah enam tahun, beberapa bulan lagi dia akan masuk SD dan kemampuan membacanya menyedihkan.

There was a student brought by her mother to me to have reading tutoring. She was six years old, would enter first grade in elementary school in few months and her reading was poor.

Ibunya frustrasi. Mengeluh panjang pendek ke saya.

Her mother was frustrated. She unburdened her worries to me.

Pada hari pertama les itu dia mendampingi anaknya. Tanpa ragu dia menunjukkan kesalahan-kesalahan yang biasa dibuat putrinya saat belajar membaca. Membuka kelemahannya.

She accompanied her daughter on the first day of our tutoring. She unhesistantly pointed at the errors her daughter usually did on her reading. Showed her flaws.

Anaknya diam. Menunduk. Mukanya datar nyaris tanpa emosi. Tapi saya melihat rahangnya mengeras.

Her child was quiet. She bowed her head. Her face showed no emotion. But I saw her jaws tightened.

Saya segera mengerti. Masalah utamanya bukan pada perkara tidak bisa membaca. Perkaranya ada pada ibunya. Tipe seorang mandor, jenderal. Sungguh suatu ironi bahwa ibunya adalah penghalang bagi kemajuan anaknya sendiri.

I understood it right away. The main problem was not on reading. The obstacle was the mother. A supervisor, general type of person. What an irony that the mother was the one who blocked the progress.

Anak itu seorang pendiam, pemalu, perasaannya halus. Amat sangat berbeda dengan ibunya yang asertif dan dominan.

The child is quiet, shy, sensitive. So very much different with her assertive and dominant mother.

Saya tidak punya pilihan selain… “Ibu, kalau ibu mau anak ini bisa membaca, percayakan dia sepenuhnya ke tangan saya” saya membawanya keluar “Datanglah satu jam lagi untuk menjemputnya setelah les selesai”

I had no choice than… “Ma’am, if you want your child to able to read, entrust her completely on me” I took her out “Come in an hour later to pick her up after the tutoring is done”

Anak ini tidak akan bisa belajar selama ibunya berada didekatnya. Yah, jangankan untuk seorang anak berusia enam tahun, saya yang orang dewasa pun akan merasa terintimidasi bila berada di sekitar orang yang dengan cepat bisa menemukan dan mengumumkan kesalahan yang saya buat.

The child wouldn’t able to learn if her mother was still around her. Well, let alone a six year old child, an adult like myself would feel intimidated to be around someone who quickly find my mistakes and announce them to the world.

Dengan kesabaran, kelemahlembutan dan penghargaan pada setiap kemajuan yang dibuatnya pelan-pelan menumbuhkan rasa percaya dirinya.

Patience, gentleness and appreciation for her every progress had slowly built up her self confident.

Seminggu kemudian dia sudah bisa membaca dengan lancar.

A week later she could read well.

Dua minggu kemudian dia keranjingan membaca. Buku, majalah, koran habis dibacanya.

Two weeks later she read everything. From books, magazines to newspapers.

Dia masuk SD tanpa kesulitan apa pun.

She entered elementary school without any difficulty.

Nilai-nilainya bahkan amat baik.

She even got good grades.

Hati saya menari dengan kebahagiaan dan ucapan syukur ketika mengetahuinya lewat cerita ibunya.

My heart danced with joy and gratefulness when I knew about this from her mother.

Usianya lima belas tahun sekarang. Cantik dan pintar. Kira-kira empat tahun lalu dia minta saya untuk memberikannya les bahasa Inggris. Hubungan kami tidak terbatas sebagai guru dan murid, kami berteman, kadang rasanya dia lebih menyerupai seorang adik dari pada seorang murid.

She is fifteen now. Beautiful and smart. About four years ago she asked me to give her English tutoring. We are not just teacher and student, we are friends, sometimes it feels she were more like a sister than a student.

Kehidupan memperlihatkan kepada kita bahwa kita harus berubah tapi seberapa cepat kita berubah dan seberapa banyak perubahan yang bisa kita capai tergantung pada diri kita serta pada dukungan orang-orang disekitar kita.

Life shows us that we need to change but how fast do we change and how far we change are depend on ourselves along with the support from those around us.

*  *  *  *  *

Rasa takut atau cinta?

Fear or love?

Setiap kali saya melihat tempelan ini di pintu ruang kerja saya, ingatan saya akan terbang ke masa-masa dua tahun lalu..


Everytime I see this sign on my door’s room, my memory flew back to the old days of two years ago.

Ketika itu saya sedang melalui proses merobohkan yang lama dan membangun kembali yang baru.

At that time I was undergoing the process of tearing down the old self and built up the new one.

Saya tidak mengetahuinya. Yang saya tahu masa-masa itu saya dilingkupi dengan kebingungan seakan saya berjalan dalam kegelapan, saya takut, marah, kecewa, sedih dan merasa ditinggalkan.

I didn’t know it. All I know is those were the time when I dealt with confusion as if I walked in the dark, I was scared, angry, disappointed, sad and felt being left alone.

Bagaimana saya bisa membuat orang lain bisa mengerti? Saya sendiri saat itu tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi pada diri saya.

How could I make others understand? At that time I myself didn’t understand what was going on.

Ketika saya mencoba menjelaskan apa yang saya pikirkan dan rasakan, orang menerimanya sebagai tanda bahwa saya murtad.

When I tried to explain what I thought and felt, people accepted it as a sign that I had become an unbeliever.

Kebetulan pada waktu itu saya memang sengaja mengosongkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.

At that time I happened to deliberately abstained myself off anything connected to spirituality.

Justru pada saat itulah sebenarnya segala pengetahuan dan pengertian yang lama sedang dirobohkan dan digantikan dengan yang baru.

It was actually the moment when all the old knowledge and understanding was tore down and replaced with new ones.

Orang tidak mengerti akan hal ini dan masih tetap tidak mengerti bahkan setelah dua tahun berlalu. Mereka berpikir bahwa menyuruh, meminta, membujuk dan bahkan memerintahkan saya untuk beribadah akan menyelesaikan seluruh masalah seperti menempelkan plester ke atas luka dan luka itu pun akan sembuh.

People didn’t understand this and still don’t understand though two years have passed. They thought that by telling, asking, persuading and even ordering me to attend the service would solve the whole problem like putting band aid on a wound and the wound would heal.

Jadi setiap kali melihat tempelan di pintu ruang kerja saya itu, saya tersenyum sendiri..

So whenever I see that sign on my room’s door, I smiled to myself..

Apa pun yang terjadi dalam kehidupan kita dapat menjadi alat untuk merubah diri kita dan kita tidak selalu menyadarinya. Kita hanya melihatnya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Things happened in our lives could be made as the tool to change us and we rarely realize it. We just see it as pleasant and unpleasant things.

Setiap kali saya melihat atau mendengar seseorang sedang menjalani proses ini, yang dapat saya lakukan adalah mengatakan bahwa saya mengerti, bahwa yang dia rasakan adalah manusiawi, tidak mengkhotbahinya panjang pendek, tidak memaksakan apa pun dan diam-diam mendoakannya.

Everytime I see or hear that somebody is going through this process, all I can do is to tell that person that I understand, whatever he/she feels is completely human, not preaching on him/her, not forcing anything and quietly pray for him/her.

*  *  *  *  *

Demi citra?

For the sake of an image?

Manusia membangun citra diri yang seringkali kebalikan dari dirinya yang asli.

People build self image that is opposite to the real one.

Mereka yang punya rasa rendah diri biasanya menampilkan diri sebagai orang yang gagah, penuh percaya diri, sukses, serba bisa, serba tahu dan pada orang-orang tertentu bahkan jadi tampil angkuh, membanggakan diri, harus selalu dipuji, dihormati, diperhitungkan dan tidak jarang menemukan kepuasan ketika dapat merendahkan orang lain, orang yang lebih lemah, yang tidak bisa membalas.

Those with low self esteem usually appear as tough, full of confident, can do it all, know it all and some even appear cocky, prided themselves, need to be praised, respected, recognized and sometimes find pleasure in degrading other people, especially the inferiors, those who can’t fight back.

Pencitraan diri ada dimana-mana, kadang masih masuk akal tapi seringkali memuakkan.

Putting on self image is common, sometimes it makes sense but oftenly disgusting.

Saya termasuk dalam segelintir orang yang berani menampilkan diri apa adanya.

www.pinterest.com
I am among the very few people who are unafraid to appear as real as possible.

Karena menurut pendapat saya, pencitraan diri itu melelahkan dan menyiksa. Buat apa berpura-pura?

In my opinion, putting on self image is tiring and torturing. Why pretend?

Yang menyedihkan adalah saya menemui kenyataan bahwa ada banyak orang yang menampilkan diri sebagai orang yang saleh dan rohani tapi semuanya hanyalah pencitraan.

The sad thing is I found the fact that many people appear themselves as righteous and religious but it’s nothing but putting up an image.

Mereka bahkan mempercayai hal itu sebagai suatu kebenaran sehingga tidak bisa melihat bahwa mereka sedang menipu diri.

They even believed it as the truth that they failed to see they are deceiving themselves.

Ketika saya sedang dalam masa perombakan dan pembangunan ulang, ada yang bicara bahwa kelakuan saya ketika saya mengosongkan diri pada segala yang berbau keagamaan bisa jadi sorotan.

When I was undergoing the process of tearing down and rebuild, someone spoke of my attitude of abstaining from anything connected to spirituality would put me on the spotlight.

Betul-betul menggelikan bahwa saya harus menampilkan diri sebagai seorang yang religius demi citra baik.

How hilarious that I had to appear myself as a religious person for the sake of good image.

Kalau memang harus berubah, berubahlah demi kebaikan. Jangan pernah lakukan itu demi citra karena itu hanyalah suatu kepalsuan.

If you have to change, then make it for the good. Never do that for the sake of image because it is just a fake.

*  *  *  *  *

Bisakah ditulis ulang?

Could it be rewrite?

Saya banyak berubah. Yang saya alami selama tiga tahun terakhir ini telah merubah banyak hal dalam diri saya.

I have changed a lot. What I have been through in the past three years have changed many things in me.

Saya tidak bisa mengelak dari perubahan yang memang harus terjadi.

I can’t avoid the things that meant to be.

Tapi ada satu hal yang sampai saat ini masih saya harap untuk tidak pernah ada dalam hidup saya.

However, there is one thing that I still wish it never happened in my life.

Seandainya saya adalah penulis dari kisah hidup saya maka satu fase itu tidak akan pernah ada dalam kitab kehidupan saya.


If only I were the writer of the story of my life then that one phase wouldn’t ever appear in my book of life.

Yah, untuk apa melihat lagi ke belakang? Untuk apa menyesali sesuatu yang tidak bisa lagi dirubah?

Well, why keep looking back? Why regret the things that can’t be changed?

Ah, tapi seandainya semua bisa ditulis ulang..

Ah, but if everything could be rewritten..

No comments:

Post a Comment