Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, October 21, 2015

K.I.S.S.


Hari Minggu kemarin saya sebenarnya ada menumpuk sedikit rasa kesal pada pacar saya karena beberapa sms dan pesan whatsapp saya tidak dibalasnya.

Last Sunday I have actually kept a bit of upsetness on my boyfriend because he didn’t reply few of my text and whatsapp messages.

“Heran, apa susahnya sih kasih balasan pendek” gerutu saya dalam hati “Kan ga ngabisin waktu sampai semenit cuma buat ngetik ‘tq, say’ atau ‘iya, say’ atau kalau itu juga masih kepanjangan, ya taruh aja emoticon jempol atau ciuman”

“Geez, what’s so hard to send me short reply” I grumbled quietly “It wouldn’t take a minute to type ‘thanks, hun’ or ‘yes, hun’ or if it’s still too long, just put emoticon sign of thumb or kiss”

Sudah empat bulan kami pacaran dan selama itu saya belajar mengenali sifat dan kebiasaannya. Kami punya beberapa kesamaan dan segudang perbedaan.

We have been together for four months and during that time I learned about his character and habit. We have few things in common and tons of differences.

Dalam hal merespon sms atau pesan-pesan yang masuk, sesibuk apa pun saya, saya berusaha selalu membalas walaupun singkat seperti ‘Ok’ atau ‘Tq’ atau ‘sama2’

When it comes to responding text or incoming messages, no matter how busy I am, I try to always give respond though it’s only short ones such ‘Ok’ or ‘Thanks’ or ‘ur welcome’.

Nah, pacar saya tidak seperti itu. Sibuk atau tidak sibuk, tidak terlalu terpikir olehnya untuk memberikan respon pendek untuk pesan-pesan yang diterimanya.

Now, my boyfriend doesn’t think that way. Whether he is busy or not, it doesn’t cross his mind to give short respond to the messages he received.

Saya pernah menegurnya sekali “dibalas dong, sayang, pendek juga tidak apa-apa. Supaya juga orang yang mengirim pesan itu tahu kalau pesannya sudah kita terima. Lha, kalau kita diam, kan si pengirim pesan tidak tahu apa pesannya sampai atau tidak, itu bikin dia bisa bertanya-tanya” (atau jadi uring-uringan, tambah saya dalam hati teringat pada reaksi saya ketika pesan-pesan saya tidak diresponnya).


I once talked to him about this “please respond it, hun, it doesn’t matter to give short one. It is to make the message sender knows we have received his/her message. If there’s no respond, the sender will wonder if we have received the message or haven’t received it” (or would get upset, I quietly added as I remembered my reaction when he didn’t respond my messages).

Tapi yah.., mungkin karena tidak terbiasa atau mungkin saking kelewat cuekan, tetap saja dia begitu lagi.

Yeah well.., maybe because he is not accustomed with it or perhaps he is way too easy going, he’s doing it again.

Beda dengan saya yang mungkin karena faktor kebiasaan karena saya lama bekerja sebagai sekretaris dan kemudian sebagai guru, memaksa saya untuk memperhatikan pesan yang saya terima dan memberikan respon, kalau bisa tidak terlalu lama setelah saya menerima pesan tersebut. Ya, soalnya kalau tidak, saya diprotes orang.

It is so different with me who have developed it into a habit probably after years of  having been in the job as secretary and later as a teacher force me to pay attention to the messages given to me and duly respond them, right away, if it’s possible, after I received them. Or otherwise, people would protest me.

Nah, selama enam hari (sebelum kami bertemu hari Minggu itu) saya memendam kejengkelan karena beberapa pesan saya kok tidak direspon oleh pacar saya.

So, for six days (before we met on that Sunday) I kept my upsetness for not received any respond from my boyfriend.

Akhirnya saking kesalnya, saya sempat mogok mengiriminya pesan ucapan selamat pagi dan hari Sabtu sengaja saya cuekin permintaannya untuk mengirimkan sms kalau saya sudah sampai di rumah.

On top of that upsetnes,s I stopped sending him good morning message and on Saturday I deliberately ignored him when he asked me to text him once I have got home.

Hari Minggu kami bertemu di kantor saya dan saya menyadari cuaca hati saya tidak terlalu baik.

We met in my office that Sunday and I knew I wasn’t in quite  a good mood.

Kami berdua sibuk sampai hampir tengah hari.

We were busy until it was almost noon.

Setelah orang-orang pulang, saya mencarinya ke halaman kantor dimana dia memarkir motornya dan menemukan dia, dengan dibantu oleh rekan saya, sedang memperbaiki bagian motornya yang terlepas.

After everyone has left the office, I went looking for him at the office yard where he parked his motorcycle and I found him, working on something on it that fell off, with the help of my colleague.

Saya diam-diam memperhatikan mereka berdua bekerja.

I quietly watched them working.

Dan saya teringat pada seluruh kekesalan serta berbagai pikiran saya yang membuntuti saya selama hampir seminggu.

And I remembered all of my upsetness along with my thoughts that have followed me for almost a week.

Tapi sementara memperhatikannya bekerja, melihat mukanya yang tetap riang dan mendengar nada suaranya yang ringan ketika dia bicara pada rekan saya, bahkan sempat-sempatnya dia bergurau tentang bagian motornya yang copot itu, semuanya membuat saya berpikir.

But as I watched him working on his bike, seeing his cheerful face, hearing his light tone when he spoke to my colleague, even joked about the part of his bike that fell off, the whole thing made me thinking.

Saya membandingkan situasi yang masing-masing kami hadapi. Saya begitu cepat uring-uringan dan memendam kekesalan cuma karena beberapa pesan saya tidak diresponnya. Lalu saya melihat bagaimana dia menghadapi masalah dengan motornya dan dia tetap tenang serta tidak kehilangan keceriaannya.

I compared our situations. I was easily annoyed and stored my upsetness just because few of my messages were not responded by him. And then I saw how he dealt with the problem on his motorcycle and how he remained cool and didn’t lost his cheerfulness.

Itulah perbedaan di antara kami berdua.

That’s the difference in both of us.

Tapi bukankah keceriaannya itu yang membuat saya tertarik padanya? Bukankah itu juga satu dari beberapa hal yang saya kagumi dari dirinya?

But isn’t it because of his cheerfulness that made me attracted to him? Isn’t it one of the things that I admire in him?

Saya terlalu mengenal diri saya. Saya tahu sekalipun saya punya rasa humor tinggi tapi saya pemikir, saya cepat parno, gampang stress dan cenderung bisa jadi depresi.

I know myself all too well. I know despite my great sense of humor, I am also a thinker, I easily get paranoid, get stressed and then fall into depression.

Karena itu entah disadari atau tidak, saya selalu mencari orang-orang yang lebih kokoh dari saya tapi memiliki ketenangan serta keceriaan untuk mengimbangi hal-hal dalam sifat serta kepribadian saya.

Therefore, whether I realize it or not, I always seek for people who are stronger than me but have calmness and cheerfulness to balance my character and personality.

Saya sudah mengagumi pacar saya sejak di hari pertama kami bertemu beberapa tahun lalu karena saya melihat dia menghadapi sikon dan tantangan yang jauh lebih berat dari saya tapi dia menghadapinya dengan penuh ketenangan, keyakinan, ketegaran, keberanian, keceriaan dan optimisme.

I have admired my boyfriend on the first day we met few years ago because he faces tougher situation and challenges than mine but he deals it with calmness, faith, resilience, courage, cheerfulness and optimism.

Jadi ketika kami jadian empat bulan lalu, saya tahu saya menemukan seseorang yang saya anggap cukup kuat untuk bisa tahan menghadapi segala keruwetan dalam diri saya, laki-laki yang tegar dan kokoh untuk menjalani hari-hari bersama saya tapi memiliki ketenangan, keceriaan, keyakinan serta optimisme untuk mengimbangi saya.

So when we got together four months ago, I knew I found someone who I think strong enough to deal with my complexity, a tough and solid man with whom I want to spend my days but he has calmness, cheerfulness, faith along with optimism to balance me.

Dan siang itu dia tidak menyadari bahwa sikapnya saat menghadapi masalah telah memberikan contoh sangat baik. Buat saya ini jauh lebih mengena dari pada seribu nasihat.


And that afternoon he didn’t realize the way he handled his problem has set a very good example. It gave deeper effect on me than thousands of advices.

Segala kekesalan saya padanya pun hilang.

All my upsetness to him was just gone.

Dia memang orang yang luar biasa tapi dia juga tetap manusia. Ada hal-hal dalam sifat dan pribadinya yang tidak sempurna. Tapi bukankah saya juga tidak sempurna?

He is indeed a remarkable person but he is still a human being. There are imperfectness in his character and personality. But I am not perfect either.

Jadi manakah yang harus lebih saya perhatikan? Cinta saya padanya, cintanya pada saya atau memperhatikan setiap ketidaksempurnaannya?

So which one should I put my focus? My love to him, his love to me or watching his every imperfectness?

Setelah urusan dengan motornya beres, kami berdua kembali ke ruangan saya untuk duduk-duduk dan mengobrol. Ditengah-tengah obrolan, dia berhenti bicara, menatap saya dan kemudian menarik saya dalam pelukannya dan menghujani saya dengan ciuman.

After he was done with his bike, we returned to my room to sit and talked. He stopped talking in the middle of the conversation, he stared at me and then he pulled me into his arm and gave me kisses.

Saya tahu bahwa saya amat sangat mencintainya dan bersyukur karena saya sudah berhasil mengusir keruwetan pikiran saya.

I knew I love him so very much and glad I have able to get rid all of the things that burdened my mind.

Jadi berpikirlah sederhana saja seperti dia, kata saya dalam hati.  

So think simple just like him, I thought to myself.

Kalau dia tidak membalas pesan-pesan saya saat itu juga, kadang dia menelpon saya besok paginya. Kadang juga tidak. Tapi toh pesan-pesan itu juga tidak terlalu penting karena kalau penting, saya pasti akan menelponnya. Sederhana aja kan?

If he didn’t answer my messages right away, sometimes he would call me the next morning. Sometimes he didn’t call. But those were not important messages anyway, if it was important, I would definitely call him. There, it’s simple, right?

K.I.S.S. (Keep It Simple, Stupid; sederhanakanlah itu)

Saya tersenyum sendiri.

I smiled to myself.

Saya balas memeluknya dan menciumnya.


I hugged him back and kissed him.

No comments:

Post a Comment