Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Monday, August 10, 2015

Please Listen to Me

Mendengar bukan berarti sekedar menangkap suara dengan telinga.

Listening is not just about hearing voices with our ears.

Ada hal-hal tentang perkara mendengar yang mau saya bagikan.

There are things about this matter that I want to share.

- Saya Mendengar Apa yang Ingin Saya Dengar -

- I Hear What I Want to Hear -

Setahun lalu ketika saya berkeinginan untuk mengunjungi rumah sahabat saya, tentu saja saya merasa berkewajiban untuk memberitahukan tentang keinginan, rencana dan persiapan saya pada orang tua saya.

A year ago when I wanted to visit my best friend’s place, I surely felt obliged to let my parents knew about my plan and preparation.

“Buat apa?”

“What for?”

Itu reaksi pertama ayah saya setelah saya selesai bicara.

That was my father’s first reaction after I talked.

Saya mengerutkan kening. Saya sudah mengatakan tadi bagaimana Santi, sahabat saya itu, dan saya sama-sama saling kangen. Kami satu kelas ketika kuliah di Perbanas dari tahun 1990-1993. Tapi setelah lulus, kami terpisah dan perpisahan itu semakin jauh setelah saya pindah ke Bogor tahun 1998.

I raised my eyebrows. I have told them how Santi, my bestfriend, and I missed each other. We were in the same class in Perbanas college in 1990 to 1993. But we went on our separate ways after we graduated and it got farther after I moved to Bogor in 1998.

Persahabatan kami tidak terputus oleh jarak dan waktu. Semakin lama malah erat sampai kami menjadi seperti saudara.


Time and distance do not end our friendship. It gets even stronger that we have become like sisters.

“Datang deh ke rumah gue. Nginap disini. Anak-anak juga pingin banget ketemu sama elu” kata Santi ketika kami sedang mengobrol di telpon.

“Come to my place. Spend few days here. The kids have been wanting to meet you too” said Santi when we talked on the phone.

Hal itu memang sudah terpikirkan oleh saya setelah beberapa kali Santi dan keluarganya batal bertemu dengan saya di Bogor. Santi bisa saja datang bersama anak-anaknya ke Bogor tapi suaminya punya sifat yang agak sulit hingga walau pun dia memberikan Santi dengan fasilitas kendaraan berupa motor dan mobil serta keuangan tanpa batas tapi dia tidak bisa pergi, diluar rutinitas mengantar jemput anak, tanpa kawalan suaminya.

I have thought about it after Santi and her family couldn’t meet me in Bogor. She can come with her children to Bogor but her husband has quite a difficult character for he provides her with motorcycle and car along with money but she can’t go anywhere, apart from driving and picking her kids from school, without him escorting her.

Jadi ya kelihatannya tidak ada pilihan, kalau kami mau bertemu, itu artinya harus saya yang datang ke rumahnya.

So yeah it looks like there is no option, if we want to meet, it has to be me who go to her place.

Saya tidak keberatan. Hanya saja..

I don’t mind. It’s just that..

“San, gue buta total daerah Cengkareng” kata saya “Gue mesti naik apa ke sana?”

“I am not familiar with Cengkareng area” I told her “How do I get there?”

Santi pun lalu meng-sms rute dan kendaraan apa yang harus saya tumpangi. Dia berjanji akan memantau saya lewat telpon dan akan menjemput saya kalau saya sudah sampai di kompleks perumahan tempat tinggalnya.

So Santi texted me the route and the vehicles I must take. She promised to track me down through the phone and would pick me up once I have arrived at her housing complex.

Biar pun jaraknya jauh banget dan melewati tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi, tapi saya merasa yakin saya pasti bisa sampai ke tujuan.

Though it is so far away and I have never been there before but I was sure I could get there.

Orang tua saya berpikir berbeda dan apa pun yang saya katakan seperti tidak didengarkan sama sekali.

My parents had different mind about it and the things I told them fell on deaf ears.

Saya kesal karena merasa suara saya di anggap angin lalu.

It upset me for being treated as if my voice was nothing.

Saya bingung juga memikirkan saya sudah ambil cuti dan saya tidak mau mengecewakan Santi serta anak-anaknya yang amat sangat mengharapkan saya datang serta menginap di rumah mereka. Lagi pula saya orang yang pegang omongan sendiri, kalau saya bilang saya akan datang, itu artinya benar-benar saya akan datang.

It confused me too as I have taken a leave and I didn’t want to disappoint Santi and her kids who eagerly looked forward for me to come and spent few days in their place. Besides, I am the kind of person who sticks to my own word, when I said I would come, it meant I would really come.

Saya berpikir dan mempertimbangkan dari berbagai sisi sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk tetap pergi.

I gave it a thought and put all the perspective before finally decided to keep on the plan.

Saya juga memutuskan untuk tutup mulut tentang hal itu.

I also decided to shut my mouth about it.

Saya baru menelpon orang tua saya untuk memberitahu mereka dimana saya berada setelah saya sampai di rumah Santi.

I called my parents to let them knew where I was after I arrived at Santi’s place.

Itu bukan peristiwa pertama dan bukan pula yang terakhir.

That was not the first case and not the last either.

Bulan Mei tahun ini saya traveling ke Ambon dan dari jauh-jauh hari saya tentu saja telah memberitahu orang tua saya tentang hal itu.

In May this year, I went traveling to Ambon and I have informed my parents about it long before the due date.

Reaksi orang tua saya persis sama dengan kasus Santi. Bahkan ditambah dengan omongan dan omelan mereka yang membuat saya merasa seakan-akan saya baru saja memberitahu mereka kalau saya akan melakukan suatu perbuatan yang amat sangat buruk.

My parents reaction was the same with the one in Santi’s case. It was even added with the things they said and grumbled that made me felt as if I just told them that I would going to do something awfully bad.

Sekali lagi saya menyesal telah memberitahu mereka tentang hal itu.

Once again I felt sorry I have told them about it.

Dan untuk yang kesekian kali saya tutup mulut. Saya tetap berangkat ke Ambon dan sampai hari ini saya tidak mengatakan sepatah kata pun tentang hal itu kepada orang tua saya.


And again I shut my mouth. I went traveling to Ambon but said nothing about it to this very present day.

Mungkin suatu hari nanti saya akan menceritakannya pada mereka atau mungkin juga saya akan tetap tutup mulut.

Maybe one day I will tell them about it or maybe I will just keep it to myself.

Kasus ketiga adalah yang sedang saya hadapi saat ini.

The third case is very much what I am dealing right now.

Saya jatuh cinta.

I fall in love.

Sesuatu yang terjadi di luar dugaan, tanpa direncanakan, tidak di sengaja.

It happens unexpectedly, unplanned, accidentally.

Tapi diawalnya saya sempat menceritakannya pada orang tua saya. Ketika itu saya belum jatuh cinta pada laki-laki ini.

But when the whole thing was still in the beginning I have told this to my parents. At that time I have not fallen in love with this man.

Kami sudah lama kenal dan kami berteman cukup baik tapi tidak dekat. Lalu sejak sebulan lalu saya merasa ada hal-hal yang berubah tapi saya takut membuat kesimpulan yang salah jadi saya menceritakannya pada ibu saya untuk mengetahui bagaimana pendapatnya, saya mencari dan membutuhkan nasihatnya.

We have known each other for some time and we have been friends quite well but not close. So about a month ago I sensed things were changed but I was afraid to jump into wrong conclusion so I told this to my mother to know what is her opinion, I was looking and in need for her advice.

Yang terjadi adalah ibu saya menceritakannya pada ayah saya dan mereka berdua tidak bisa menerima laki-laki ini.

What happened then is my mother told it to my father and they both can’t accept this man.

Saya bisa memahami kekhawatiran mereka tapi saya tidak bisa terima bahwa mereka tidak mendengarkan saya. Mereka hanya mendengarkan suara mereka sendiri. Selalu seperti itu.

I can understand their concern but I can’t accept how they wouldn’t listen to me. They just listen to their own voice. It’s always be like that.

Dengan berlalunya waktu, hubungan saya dengan laki-laki ini pun semakin dekat dan semakin saya mengenalnya semakin saya mendapati adanya hal-hal dalam dirinya yang membawa pengaruh positif pada diri saya.

Time passes and my relationship with this man goes deeper, the more I know him, the more things I discover in him that have brought positive impact on me.

Dan saya tidak bisa menceritakannya pada orang tua saya. Mereka tidak mau mendengarkan saya.

And I can’t tell this to my parents. They don’t want to listen to me.

Saya memutuskan untuk memberitahu Andre tentang hubungan kami ini. Bagaimana pun juga tidak mungkin saya punya dua pacar. Hati saya tidak tentram dan saya di kejar oleh rasa bersalah.

I decided to tell Andre about our relationship. After all, I can’t have two boyfriends. It made me felt so restless and I felt guilty about it.

“Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan” kata Andre datar “Kamu terlalu banyak minum tadi”

“You have no idea what you were just talking” Andre said it with almost no emotion “You have been drinking”

“Saya tidak mabok!” protes saya.

“I am not drunk!” I protested.

Kami baru pulang setelah menghadiri perayaan ulang tahun pernikahan temannya dan ya, saya memang minum setidaknya empat jenis minuman beralkohol dari bir, anggur putih, champagne dan terakhir tequila tapi saya tidak mabok. Pikiran saya masih jernih dan saya masih bisa berjalan lurus. Alkohol memang memberi saya keberanian untuk bicara tentang keinginan saya untuk mengakhiri hubungan kami.

We just got back after celebrating his friends anniversary and yes, I drank at least four kind of alcohol drinks from beer, white wine, champagne and tequila but I wasn’t drunk. I could still think clearly and I could walk straight. Alcohol did give me the guts to tell him that I wanted to end our relationship.

“Kamu capek” dia mencium saya “Ini sudah malam. Tidurlah”

“You’re tired” he kissed me “It’s late. Go to sleep”

Saya menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Hebat. Saya baru saja mengatakan padanya bahwa saya ingin hubungan kami diakhiri karena saya jatuh cinta pada seorang laki-laki dan reaksinya seakan-akan tidak ada satu pun kata-kata saya yang didengarnya.

I fell myself on the bed. Great. I just told him that I wanted to end our relationship because I fell in love with another man and his reaction was as if he didn’t hear any word that I said.

Beberapa hari kemudian kami kembali bicara.

Few days later we had a talk.

“Kamu hanya sedang dalam periode dimana kamu tidak bisa berpikir” begitu kata Andre.

“You’re just in a period of time where you can’t think straight” that was what Andre told me.

“Apa maksudnya?” saya heran tapi juga mulai gusar “Saya sudah memikirkan hal ini selama berhari-hari sebelum sampai pada keputusan..”

“What is that suppose to me?” I was puzzled but also started to feel annoyed “I have been thinking about this for days before I decided..”

“Cepat atau lambat kamu akan kembali pada pikiran yang jernih”

“Sooner or later you will get back to your senses”
  
Saya tidak bisa tidak tertawa mendengarnya “Kenapa tidak menerima kenyataan bahwa saya tidak mau lagi meneruskan hubungan kita. Saya tidak sedang mabok. Saya bicara dengan seluruh akal sehat saya. Lepaskanlah saya. Bukan berarti saya berhenti mencintaimu, kita akan tetap bersahabat..”

I couldn’t help myself not to laugh “Why can’t you just accept the fact that I don’t want to keep our relationship. I am not drunk. I am thinking clearly with my sense. Release me. It doesn’t mean that I stop loving you, we will remain friends..”

“Saya tidak mau mendengar ini” Andre memotong kalimat saya dan dia pergi keluar.

“I don’t want to hear this” Andre cut my line and he just went out of the room.

Tinggallah saya sendirian disana. Tidak tahu apa yang harus saya pikirkan, katakan atau lakukan.

There I was all alone. Not knowing what I should think, say or do.

Pada akhirnya saya hanya bisa menarik napas panjang “Kenapa tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan saya?”

At the end all I could do was just took a deep breath “Why is it that no one is listening to me?”

*  *  *  *  *

Berkaca pada pengalaman-pengalaman saya diatas, saya meminta untuk mereka yang sudah memiliki anak untuk mau mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh anak itu tanpa praduga negatif dan jangan terburu-buru mengambil kesimpulan sepihak.


Take my experience as reflection, especially to those who have children I ask please listen when your child speaks, listen without negative presumption and don't quickly make one side conclusion.

Karena kalau anak merasa dia tidak di dengar atau dia merasa tidak bisa dengan bebas dan nyaman bicara pada orang tuanya sendiri, dia akan mencari orang lain atau dia akan melakukan hal-hal berdasarkan kemauan, keputusan dan caranya sendiri.

Because when the child feels that his/her voice is not listened or when the child doesn't feel he/she can talk freely and comfortably to his/her own parents, the child would find other people to talk to or would do things his/her own way.

4 comments:

  1. Bener banget, mbak. Anak butuh input dan pengertian dr org tuanya. Dan utk bisa memberi input yg membangun, ortu hrs menyediakan telinga mereka utk dgrkan isi hati dan pemikiran sang anak. Nice share, Mba. :)

    ReplyDelete
  2. hub kita dgn ortu bisa dibilang mirip mba... mrk pun dulu jrg mw mndengar apa yg saya mau.. akibtnya udh jlas..ampe skr saya g bs terbuka dgn mereka. tiap kali saya traveling misalnya, saya prefer lgs pergi tanpa memberitahu mrk drpd diksh tau tp dilarang.. untungnya dulu saya kos..jd ga gitu susah mencari alasan knpa saya ga di rumah bbrp hr ;p

    pelajaran yg saya dpt, anak saya g bkl saya perlakukan sperti itu... saya hrs hormati apa keinginan dia jg... jd g ada yg ditutup2in antara ortu dan anak

    ReplyDelete
  3. tq komennya mbak alaika, memang tdk mudah utk orang tua mau mendengar segala omongan anak, apalagi kalau setelah mendengar lantas terbentuk opini di dlm pikiran si orang tua & opini itu langsung dikeluarkan sebelum tuntas mendengarkan seluruh omongan anak atau tanpa mau memposisikan diri dlm sikon si anak.. kalau yg terjadi begini akhirnya anak mengambil kesimpulan orang tuanya bukanlah orang yg tepat utk dijadikan tempat curhat & dia akan mencari orang lain atau bertindak sesuai dg kemauan, pengertian & caranya sendiri.. kalau semuanya benar sih tdk jadi masalah tapi kalau tdk, gimana?

    ReplyDelete
  4. Iya, fan.. setiap anak nalurinya kan pengen bisa dekat & terbuka sama orang tuanya tapi ya gitu deh dlm kasus kita berdua.. kedekatan & keterbukaan itu akhirnya susah utk diwujudkan.

    ReplyDelete