Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, June 9, 2012

Tetangga vs Tetangga (2) / Neighbor vs Neighbor (2)

Dibagian pertama saya sudah cerita soal segala macam tetangga kami waktu saya dan orang tua saya masih tinggal di Jakarta dari tahun 1975 – 1998.

Yah, yang namanya perbedaan itu pasti selalu ada karena kita masing-masing datang dari latar belakang budaya, agama, pendidikan, strata sosial yang berbeda yang membentuk kepribadian, kebiasaan, prilaku, pola hidup dan cara berpikir yang berbeda satu dengan lainnya.

Perbedaan-perbedaan itulah yang bisa menciptakan konflik entah disengaja atau tidak. Tapi sebetulnya kalau kita bisa saling mengerti, menerima dan bersabar, konflik bisa dihindari atau dampak kerusakannya bisa diminimalkan.

Cuma perkaranya adalah manusia itu punya pikiran bahwa :
1. saya benar dan kamu salah
2. saya boleh menuntut / protes, kamu tidak boleh
3. saya bisa berbuat salah, kamu tidak boleh berbuat salah
4. kamu harus bisa mengerti saya tapi saya tidak mau  mengerti tentang diri kamu
5. kamu harus bertoleransi ke saya tapi saya tidak mau bertoleransi kepada kamu

Repot kan kalau pola pikir kayak gitu yang kita terapkan dalam hidup keseharian.

Pemikiran ini muncul dibenak saya ketika suatu pagi belum lama berselang ini saya bertemu dengan seorang ibu yang adalah tetangga saya. Kebetulan kami naik diangkot yang sama tapi dia duduk dibelakang sopir sementara saya mendapat tempat tersisa dipojok belakang maka saya enggan mengobrol. Jadi saya hanya ber-hai saja ke dia lalu duduk diam.

Karena itu saya kaget sewaktu tiba-tiba dia memulai suatu pembicaraan setengah curhat maksa yang berjalan hampir lebih dari setengah perjalanan saya.

“Eh, gimana tuh tetangga sebelahmu itu?” dan dia nyerocos terus dengan suara keras untuk mengatasi kebisingan mesin mobil tanpa menyadari keresahan saya yang merasa angkot bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakan hal-hal seperti itu.

“Aduh, betul-betul ga level, bo. Suaranya itu ga pake kira-kira. Kalo lagi nelpon apalagi, bisa orang sekampung dengar semua. Kira-kira menurutmu pantas ga kayak gitu? Apalagi kalau manggil tetangga depanmu itu atau manggil anaknya” katanya lalu menirukan gaya tetangga kami itu.

“Suaranya memang volumenya tidak bisa pelan” jawab saya akhirnya “ya memang orangnya sudah demikian. Kita harus bisa ngerti. Kalau memang merasa terganggu banget, ya ngomonglah baik-baik ke dia”

“Iya. Tapi kalau orangnya bisa ngerti. Bisa terima. Kalau ga?”

Disini saya mulai kesal. Bagi saya, apa intinya kalau kita cuma berputar-putar pada suatu masalah kalau kita tidak hendak mencari jalan keluarnya atau mengambil hikmahnya.

“Ya, suami saya bilang kita jadikan pelajaran aja” katanya akhirnya.

“Betul” saya mendukung.

Dia tertawa sumbang “pelajaran apa?”

“Belajar bersabar”

Dia tertawa sambil turun dari angkot. Tawanya seakan hendak mengatakan ‘bersabar apa?’.

Berhari-hari setelahnya hal ini tetap berada dalam pikiran saya. Tetangga kami yang dikeluh-kesahkan oleh ibu ini memang terkenal sebagai perempuan muda yang volume suaranya diatas rata-rata. Sampai dijuluki ‘lebay’ oleh tetangga kami yang lain.

Perkara terganggu dengan suaranya? Wah, saya berapa kali harus tidur siang dengan menekan selimut atau bantal menutupi telinga atau saya jadi terbangun karena suaranya itu.

Apakah saya terganggu karenanya? Pastilah. Tapi apakah saya sampai sedemikian anti kepadanya? Tidak.

Perempuan muda bersuara lantang ini adalah seorang yang ceria, spontan, lucu, ramah dan tidak pernah ragu untuk menolong siapa saja.

Pada waktu ayah saya harus dioperasi prostat, dia yang mengantar orang tua saya ke rumah sakit. Dia yang ber-repot ria menemani, yang mengangkati tas, yang membantu mendaftar dibagian pendaftaran karena pada waktu itu saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Saya baru beberapa minggu bekerja di gereja dan catatan saya bisa buruk kalau saya sudah minta ijin tidak masuk atau pulang cepat. Saya tidak punya saudara yang bisa menggantikan saya. Jadi kemana lagi kami minta tolong?

Bersyukurlah kami bahwa di Bogor ini kami punya tetangga yang baik.

Tapi apakah rasa hutang budi yang membuat saya mudah untuk mentolerir volume suaranya yang diatas rata-rata itu? Tentu tidak. Sifat-sifat baiknya-lah yang membuat kami bisa mentoleransi kelemahan dan kekurangannya. Dan itu juga dilakukan oleh tetangga-tetangga lainnya terhadap dia.

Lalu bagaimana dengan ibu yang berkeluh-kesah itu? Ketika dia sedang mengoceh panjang lebar tentang tetangga kami itu, yang muncul dipikiran saya adalah apakah dia lupa bagaimana dulu anjingnya menyiksa telinga kami semua.

Dia dan keluarganya memelihara anjing yang terus menerus dirantai. Akibatnya anjing yang awalnya waras menjadi miring. Semua digonggongi tanpa melihat lagi apa tetangga atau orang asing, bahkan majikannya sendiri. Ada orang lewat atau tidak, menggonggong terus. Dan itu tidak pandang waktu.

Pada waktu itu saya sudah bicara terang-terangan kepada dia bahwa anjingnya tersiksa. Bahwa itu bukan cara memelihara anjing yang benar. Lebih baik anjing itu dilepas. Dan bahwa suara gonggongan anjing itu mengganggu orang. Tapi tidak ada yang didengar.

Jadi ketika dia mengeluh tentang volume suara tetangga kami, saya bertanya-tanya dalam hati, sudah lupakah dia seperti apa kebisingan yang diciptakan oleh anjingnya selama kira-kira 2 tahun itu?

Sekalipun yang dikatakan ibu ini tentang tetangga kami itu ada benarnya tapi simpati saya tidak jatuh pada dirinya. Kalau disuruh memihak, saya akan memihak kepada tetangga dengan volume suara diatas rata-rata itu karena orangnya jauh lebih menyenangkan dari ibu yang berkeluh-kesah ini tapi tidak mau berinstropeksi terhadap diri sendiri.

Dalam kenyataannya pun tetangga kami yang bervolume suara keras itu lebih bisa bergaul dengan saya dan tetangga lainnya. Tidak demikian halnya dengan ibu yang berkeluh-kesah itu.

Tidak seorang pun terlahir sempurna. Tapi pada akhirnya terbukti bahwa kebaikan yang ada dalam diri seseorang menutupi kelemahan dan kekurangan yang dia miliki.

_______________________________________



In the part one of this topic I wrote about the neighbors we had in Jakarta in between 1975 to 1998.

Differences are unavoidable due to the diversities in educational, cultural, religion,  background that formed way of life, habits, perspective and characters of every living individual.

And these differences can create conflicts. If we can accept, understand and be patient toward each other, these conflicts can be avoid or at least minimize the damage.

But we have this way of thinking that :
1.  I’m right and you’re wrong
2.  I can make demands / protest, you can’t
3.  It’s ok for me to make mistakes, but it’s not for you
4.  You have to understand me but I don’t want to  understand you
5.  You must show tolerance upon me but I give you no tolerance

Can you see how damaging it is if we apply such way of think on our life?

I thought about this after I met this lady who happens to be our neighbor on my way to work. We met in the car that used as public transportation. She sat behind the driver while I sat in the back. It is why I didn’t gain her in any conversation after I greeted her when I got in it.


I was surprised when all of sudden she spoke to me with quite loud voice to overcome the noise from the car’s engine “what do you think of that neighbor of yours?”, unaware to my discomfort over her voice that made other passengers could hear everything she said to me.

“She’s really a grass level person” this lady continued “would you not notice the volume of her voice when she speaks or when she calls out for her son or to other neighbor?” and she imitated how this high pit voice neighbor speaks or calls out “would you think it is the proper way of speaking?”

“Some people do have high pit voice” I grew uneasy “so she speaks like that. We have to understand and accept that it is the way she is. If we find it so untolerable, we better tell her wisely so she knows other people find it annoying”

“How if she couldn’t accept it?”

This starts to agitate me because I’m the kind of person who dislike talking in circle over something with no intention to find solution or to get lesson out of it.

“My husband said just take it as a lesson” she said.

“Yes, it is”

She laughed in sarcasm “what lesson?”

“Patience”

She laughed as she got off the car. Her laugh sounds like a question ‘what patience?’

For days it stuck in my mind. The neighbor whom she complained about is a young woman who’s married and has a son. She lives next to my house, which is facing that lady’s house. And she can’t speak in soft low voice.

Does her voice volume annoy me? Yes, of course. I had to put my thick folded blanket or a pillow on my ear when I take a nap and she happens to chat in her terrace. Other time it woke me up from my sleep.

But does it make me dislike her? Absolutely not.

mom & dad
This young woman is an outgoing, friendly, funny, spontaneous and helpful person. It was her who lend a hand when my dad had to have prostate surgery. She accompanied my parents to the hospital, carried the bags, helped with the registration forms and did many other things that I should have done but couldn’t because I was just started a new job at the church and it would go bad on my record if I had to skip or left early from work.

I had no siblings. There were no relatives near by that could help us either so where else did we go than to our neighbors?

And I am grateful to have good neighbor in the place where we live here in Bogor.

But is it the feeling of indebted to her that makes it easier for me to tolerate the volume of her voice? No. Her positive characters overcome her weaknesses. It is also what other neighbors may have think of her because we just accept her the way she is.

How about the lady who complained about her voice volume? Well the truth is during the time she complained about that young woman, I couldn’t stop think about how her dogs barking had torchured us all who live near her.

She and her family had dogs that they chained all the time. The dogs ended up going insane. They barked at everyone whether it was a stranger, neighbor or even at their own masters. And they barked so loud almost all the time.

I spoke to her about the attitude of the dogs, how they didn’t treat them right, how it tortured the dogs to be chained all the time. But my words fell on deaf ears.

So I thought how could she complain about the noise from that young woman’s voice when her dogs had created a whole lot worst noise for 2 years!

The lady probably is right about the young woman but if I’m asked to take side, I will definitely take the young woman’s side because she is a better person than that lady who clearly didn’t make self-instropection before she made complain toward other people.

The young woman makes friends with her neighbors. The lady doesn’t.

So nobody is perfect but at the end it is proven that positive sides in someone can overcome her / his weaknesses.

No comments:

Post a Comment