Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, June 6, 2012

Tetangga vs Tetangga (1) / Neighbor vs Neighbor (1)

Hidup bertetangga itu gampang-gampang susah. Padahal kalo dipikir-pikir tetangga kan tidak tinggal serumah tapi kok ya masih bisa nemu bahan buat berselisih atau malah bertengkar. Seperti yang saya jumpai belum lama ini yang terjadi antara tetangga saya. Lalu ada pula pengalaman panjang saya seputar per’tetangga’an yang bikin saya berpikir-pikir tentang topik ini.

Saya lahir dan besar di Jakarta. Tahun 1998 barulah kami pindah ke Bogor. Beda kota, beda lingkungan tempat tinggal, manusianya berbeda tapi ternyata konflik tetap saja ada diantara yang namanya tetangga.

Yah, masih mending yang di Bogor dari pada yang di Jakarta. Disana rumah kami jaraknya hanya kira-kira 5 langkah dengan rumah tetangga depan. Belum lagi sebagian besar dari mereka datang dari lapisan masyarakat menengah ke bawah.

Itu yang membuat kelakuan mereka sering kami anggap ‘ajaib’. Contohnya dari tahun 1975 sampai 1998 hubungan kami dengan tetangga depan itu bagai madu dan racun. Bisa tiba-tiba tanpa angin dan hujan, mereka tidak mau menegur kami.

Kebiasaan mereka adalah nongkrong didepan rumah atau disepanjang jalan kecil yang memisahkan rumah-rumah setiap sore. Bercengkrama, menyuapi anak, mencari kutu, bergosip, bergenit-genit dengan lawan jenis. Waduh. Suasananya sudah mirip pasar malam saking ramenya.

Kalau sudah bercengkrama begitu sampai anak yang kebelet pipis pun disuruh saja pipis dicomberan, ditiang listrik atau ya embat sajalah ditembok rumah tetangga.

Nah, kalau itu sudah bisa bikin anda geleng-geleng kepala, ah, belum seberapa. Ada seorang tetangga yang anaknya sepertinya selalu buang air besar dimana-mana. Dan karena ibunya terlalu asyik bercengkrama maka seringkali anak itu sudah main jongkok aja dan buang hajat ditanah dijalan itu.

Itu sebabnya kalau kami keluar rumah maka kami harus memperhatikan dengan seksama jalan yang akan kami pijak supaya jangan terpijak ‘ranjau’ dalam bentuk ludah, dahak, kotoran ayam sampai manusia. Hehe. Gitu-gitu, 23 tahun lho kami tinggal dilingkungan seperti itu. Bukan karena betah tapi karena rumah baru laku terjual pada tahun 1998.

Tetangga kami yang lain, beda lagi kelakuannya. Setiap malam bercengkrama dengan anak-anak muda. Ditraktirnya makanan, minuman dan rokok. Lalu mengobrol, bercanda, tertawa cekakakan seakan itu jam 8 pagi.

Perkaranya adalah tetangga yang satu ini sudah bersuami dan punya 2 anak. Tapi setiap malam dia bercengkrama dengan pemuda-pemuda dilingkungan itu. Kebiasaan ini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada yang bisa menghentikan.

Ketika kami baru pindah ke sini pada tahun 1975, lingkungannya tidak demikian. Lebih banyak yang merupakan orang kantoran dan dari latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi semakin lama mereka tergusur oleh kalangan menengah bawah yang tampaknya beranak-pinak lebih cepat daripada kalangan menengah ke atas. Jadi segera saja lingkungan itu dipadati oleh kalangan mereka.

Dulu itu sampai saya ogah membawa teman ke rumah. Bukan karena rumah kami yang kecil atau karena ada di gang tapi karena lingkungannya. Kalaupun ada teman yang bertandang ke rumah maka saya menyarankannya atau membawanya pada jam-jam yang saya tahu sedang sepi.

Itu juga sebentar saja bisa mengundang kepala-kepala bermunculan. Anak-anak kecil mengintip lewat sela-sela pintu pagar. Emak-emak yang merupakan orang dewasa saja mencuri-curi pandang sementara berpura-pura ngumpul sambil menyuapi anak atau bercengkrama.

Alamak. Betul-betul tidak ada privacy.

Saking kesalnya karena rumah kami kok tidak laku-laku juga membuat saya sampai membuat ultimatum pada Tuhan “kalo Tuhan ga keluarin kami dari tempat ini, saya ga akan mau nikah”. Karena dengan kondisi yang saya jabarkan diatas itu manalah enak membawa pacar ke rumah? Masa ya pacaran sambil diintip oleh sekian banyak mata tetangga? Bisa-bisa dikira bukan pacaran tapi adegan sinetron satu babak.

Tahun 1998 rumah kami akhirnya laku terjual juga. Setelah survey ke berbagai kompleks perumahan, kompleks perumahan Ciomas Permai di Bogor menjadi pilihan terakhir.

Mengingat pengalaman tinggal di Jakarta membuat kami memilih blok yang ukuran rumah-rumahnya lebih besar sehingga tidak rumah yang saling berhadapan tidak dipisahkan oleh jarak yang hanya 5 langkah. Selain itu halaman ditiap rumah juga lebih besar sehingga otomatis kami tidak perlu merasa terganggu dengan orang yang lalu lalang dijalan atau kehilangan privasi.

Ciomas Permai, Bogor - 2011
 Tetangga-tetangga kami jelas lebih baik daripada yang ada di Jakarta. Yang pasti tidak ada lagi yang ngerumpi dengan anak muda dijalanan sampai jauh malam, tidak ada sekumpulan emak-emak ngumpul didepan rumah, tidak harus pasang mata kalau berjalan melewati jalanan didepan rumah karena takut menginjak ‘ranjau’ karena memang tidak ada yang menebar ‘ranjau’ dijalan dan kalaupun ada, jalanannya lebih lebar sehingga masih tersedia jalur-jalur yang aman.

Tapi apa terjalin hubungan ‘damai dibumi’ diantara para tetangga dilingkungan tempat tinggal kami ini? Baca deh dibagian berikut dari seri ‘Tetangga vs Tetangga’ ini.
_______________________________________________________

Neighbors don’t live under the same roof but somehow we and them able to pick any cause for arguments or even fights. It is why I say we all have love-hate relationship with our neighbors and the topic steals my attention.

I was born and raised in Jakarta, the capital city of Indonesia. We moved to Bogor in 1998. The town and neighborhood could be different but people still manage to create conflicts.

We live in a so much better neighborhood of course. Back then in Jakarta, the distance between our front neighbor’s gate is just 5 steps away. Not to mention that most of them came from lower level of education.

Their behavior therefore was quite ‘erradic’ in our perspective. For example our front neighbor could suddenly turn cold or hostile toward us without any reason.

The ladies had habits to gather outside their houses, on the street, chatted, joked around, gossiped, while some of the mothers fed or breastfed their kids. Sometimes they didn’t bother to take their kids home when the kids needed to go to the bathroom. So the street infront of the houses in our neighborhood had also served as public restroom meaning the kids peed and sometimes also pooped there.

Unbelievable? Believe it.

Everytime we passed that street we had to watch where we stepped so we wouldn’t step on some ‘mines’ of well, you know what I mean.

Another neighbor, a lady with a husband and 2 kids, would hung out with young men after dark on that same street. They had their own gathering and it went for years without anyone able to stop it.

And we lived in that kind of neighborhood from 1975 to 1998! Not because we loved it but because it took years before the house was finally sold.

It wasn’t a bad environment when we moved there. It used to be occupied by well educated working people but years passed and they moved. Their houses were bought by people who came from lower level of society who seemed to multiply so fast because they, their kids and their grandchildren took over the neighborhood in just a little of time.

There was time when I never brought my friends to my house. Let alone the guys I dated. It was because too much of prying eyes. I myself amazed to see how fast they gathered outside their houses, pretending to chat but actually peeped at our guests.

Tell me about privacy..

I was so upset with the fact that it took many years before our house finally sold that I once set an ultimatum in my prayer where I said to God that I would never get married if we still live in that neighborhood.

Ciomas Permai housing complex in Bogor has became our final choice after made long surveys.

Our experience living in that kind of neighborhood in Jakarta made us picked bigger house because it has wider yard. The street dividing the houses are also wider. Therefore we wouldn’t feel like we had no privacy nor be bothered by the passers by.

My house in Bogor
 No more ladies gather in the street, feeding their kids, no worries about stepping on any disgusting ‘mines’ on the street. No more happy hour after dark on the street.

But wait, would it make heaven on earth? Would that nice environment makes our neighbors have angelic relationship with one another? I tell you more about it in the next part of this ‘Neighbor vs Neighbor’ epic.

No comments:

Post a Comment