Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, August 12, 2011

Habit

Percayakah anda kalau manusia adalah mahluk yang sangat terikat pada kebiasaan?

“Ok bu, daaggg” atau “iya pak, daaggg”

Itu kutipan dari kata-kata yang selalu saya ucapkan setiap kali ada yang pamit pada saya untuk pergi atau pulang duluan. Atau …

“Pulang duluan ya.. daaaggg” ini ucapan saya kalau saya yang pamit pergi atau pulang duluan.


Beragam jawaban yang saya terima tapi sedikit yang bisa membalas salam saya dengan ber-dag dag ria. Umumnya mereka menjawab dengan ‘yuk’. Yah, tidak semua orang Indonesia terbiasa dengan penggunaan kata ‘daag’ yang notabene adalah kata adaptasi dari bahasa Belanda.

Mau tidak mau saya memperhatikan hal ini karena saya baru menyadari bahwa salam atau tabik seperti yang selalu saya ucapkan itu ternyata seperti hal yang tidak umum bagi orang-orang tertentu. Bagaimana saya bisa tahu? Dari reaksi mereka. Ada yang tersenyum, tertawa atau malah tidak sedikit yang tampak canggung. 

Awalnya saya dibuat agak heran juga tapi kemudian saya berpikir saya bisa dengan nyaman mengucapkan salam seperti itu karena pengaruh dari ibu saya (terutama). Beliau yang menanamkan kebiasaan tersebut.


Ayah saya sendiri datang dari keluarga yang berantakan sehingga tidak pernah mengenal kebiasaan untuk mengucapkan salam seperti itu. Tapi karena puluhan tahun hidup bersama ibu saya yang memiliki kebiasaan demikian membuatnya jadi terbiasa untuk mengucapkannya.


Ketika saya menjadi guru TK dari tahun 2005 sampai 2011, kebiasaan itu saya bawa pula ke sekolah. Saya tidak hanya mengucapkan selamat siang saat menyalami murid-murid saya sepulang sekolah. Saya menambahinya dengan ucapan ‘Sampai ketemu besok ya. Daaaggg!”. Dan rasanya wajar saja saat anak-anak itu membalas ucapan saya dengan mengatakan ‘Daagg, bu Keke”. Tidak pernah terbayangkan bahwa pada suatu masa telinga saya akan rindu mendengar ucapan seperti itu.


Ya, saya tidak lagi berurusan dengan anak-anak kecil setelah saya di terima bekerja di gereja ini. Saya berurusan dengan manusia-manusia dewasa seperti diri saya sendiri tentunya. Saya tidak mengatakan mereka adalah orang-orang yang tidak baik hanya karena tidak terbiasa bersalam ‘daaagg’. Mereka adalah orang-orang baik yang mengitari saya dengan kehangatan, dukungan dan tangan terbuka.


Namun dalam hal-hal tertentu saya merindukan anak-anak itu. Hal sesederhana seperti mengucapkan ‘daagg’ sebagai salam sebelum pulang pun mampu mengingatkan saya pada mereka.

Kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan terbukti bisa menyenangkan hati orang lain. Tapi sebaliknya juga bisa menjadi seperti “duri dalam daging”. Menusuk. Menyakitkan. Mengganggu. Hehe. Kenyataannya memang demikian sih.

Kebiasaan baik atau tidak baik tidak terjadi begitu saja. Diperlukan waktu sebelum akhirnya suatu prilaku atau pola pikir tertentu terbentuk dan tertanam di dalam diri setiap manusia. Sekali sudah mendarah daging akan membutuhkan waktu dan kebulatan tekad untuk merubah atau membuangnya.

Orang bilang lebih mudah meniru kebiasaan buruk dari pada kebiasaan baik. Saya pikir ada benarnya juga. Ada satu masa dalam hidup saya di mana kebiasaan memaki ‘S**t’ menjadi sesuatu yang wajar saja keluar dari mulut saya. Siapa yang mengajari saya mengucapkan kata makian seperti itu? Jelas saja bukan orang tua atau guru. Tapi lingkungan. Seorang rekan kerja saya terbiasa mengeluarkan kata makian seperti itu dan pelan-pelan kebiasaannya itu menular kepada saya.

Di sisi lain sampai sekarang saya punya kebiasaan untuk selalu menyiapkan pakaian atau benda-benda lain yang akan saya pakai atau yang akan saya bawa ke kantor pada keesokan harinya. Kebiasaan ini ditanamkan oleh ibu saya sejak saya mulai masuk sekolah.

Ada juga beberapa kebiasaan yang murni saya ciptakan dan kemudian saya tanamkan dalam diri saya. Misalnya kebiasaan untuk saya berpikir positif. Sampai sekarang saya masih tetap mengindokrin diri sendiri untuk berpikir positif. Hal ini saya lakukan setelah menyadari bahwa saya cenderung untuk berpikir negatif. Setelah melihat, merasakan dan mengalami bahwa hal itu merugikan diri sendiri dan juga orang lain maka saya membulatkan tekad bahwa saya harus membiasakan diri untuk berpikir positif.

Jadi bisa dilihat bahwa kebiasaan dalam diri kita bisa mendatangkan berkah dan kutukan. Sulit untuk menanamkan kebiasaan baik. Tapi lebih sulit untuk merubah dan menghilangkan kebiasaan buruk. Diperlukan kebesaran hati untuk mau melakukan instropeksi diri dan diperlukan kemauan serta kebulatan tekad untuk menanam atau membuang suatu kebiasaan.
__________________________________________________________________

Would you believe that we all are men of habit?

I can’t help not to notice this after seeing how people returned my greetings. I used to say ‘daag’ that means ‘bye’ in English. The word is actually a Dutch word for bye. Since Indonesia was colonized for 250 years by the Dutch, many of their lifestyle or language have been adapted by the Indonesian. Well, not all. Some Indonesian find it awkward to return that goodbye greetings.

My mother who instilled this habit while my father who came from broken family couldn’t care less about greetings but after spent decades living with her makes him too adapted the habit to say that greeting.

I developed a certain habit to say ‘see you tomorrow. Daag (bye)’ from 2005 to 2011 when I worked as kindergarten teacher. I didn’t just shake hands with my students when it was time for them to go home. I inserted those words too and it was almost natural for them to say ‘daag’ in return. Never did it cross my mind that I’d miss to hear those words.

Yeah so I don’t deal with kids, at least for time being, but I am not saying the people around me aren’t nice people only because not all of them say ‘daag’. No. They are nice people who surrounded me with kindness, support and open arms.

But in some ways, I miss those kids. The habits we did able to make me miss them.

So it is proven that habits can make people happy or torchured. It’s the fact. Our habits effected so many people.

But habits are not just came out. Each of them are formed from certain behaviours or way of thinking which after taken a period of time become formed and then instilled in each of us.

People say it’s easier to form and instilled bad habits than good habits. I think it’s true because in the past I’ve developed a cursing habit of saying ‘S**t’. How did I get this habit? Well, one of my former co-worker had that habit. It was contagious.

In other hand I have a habit to always prepare the stuff or clothes I am going to bring or wear the next day. My mother instilled it in me and it preserves until present time.

In the meantime I have deliberately instilled in myself some habits. For example I decided to force myself to think positive after realizing that I tend to think negatively and experience showed how it brought bad influence upon myself and other people.


It is clear that our habits can bring blessing and curse for ourselves and others. But it takes fairness to admit it. Further more, you need to make up your mind to break the bad habits. Remember the saying says ‘old habit dies hard’.

No comments:

Post a Comment