Completing
Melengkapi
Acara Talent Show adalah acara dalam Leadership Camp ini
yang paling tidak saya tunggu, yang paling tidak menggugah semangat saya dan
kalau bisa malah saya tidak ingin ikut serta didalamnya.
Talent Show was
a program in Leadership Camp which I didn’t look eagerly, nor did it excite me
and if I could choose, I wouldn’t participate in it.
Tapi ya apa boleh buat, berhubung sudah dimasukkan dalam acara dan ini melibatkan seluruh kelompok, terpaksalah ikut juga.
But what could I do, it has been put in the program and it involved the whole group so no choice than to participate in it.
Tema diberikan.
Theme was
given.
Terserah pada masing-masing kelompok mau mengaplikasikannya
dalam bentuk drama, tarian, nyanyian atau pantomim.
It was up to
each group to made it into a play, dance, singing or pantomime.
Jiah!. Dari dulu yang model beginian justru yang paling
tidak saya sukai.
Geez!. This
is exactly the kind of activity that I dislike.
Karena bakat saya memang tidak ada di bidang drama, tari,
nyanyi apalagi pantomim.
My talent is
not in acting, dancing, singing or pantomime.
Saya seorang penulis tapi bukan berarti seorang penulis
otomatis bisa jadi pemain drama. Rata-rata penulis berada di belakang layar.
Karya-karyanya bisa di kenal sampai kemana-mana tapi orangnya memilih tidak mau
menggembar-gemborkan diri.
So I am a
writer but it doesn’t mean that it automatically turns a writer into an actor
or actress. Most writer prefer to stay off the spotlight. Their writings may be
known all over the world but they choose to remain unknown.
Tipe kepribadian saya juga seperti itu. Bukan orang yang
mencari sensasi, pujian atau pengakuan.
It fits my
kind of personality. I am not someone who looks for sensation, praise or
acknowledgment.
Dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi banyak hal positif
telah saya lakukan. Tapi saya melakukannya karena saya tahu saya mau dan bisa
melakukannya. Bukan untuk membuat orang terkesan, kagum atau memuji saya.
I have done
many positive things at work and in my personal life but I did it all because I
knew I wanted and I could do it. Not to impress people. Not to seek their
admiration or praise.
Perkara menghargai atau berterima kasih itu relatif. Saya
tidak menempatkannya sebagai prioritas.
Appraisal is
relative. I don’t put it as my priority.
Hanya ketika saya merasa saya sama sekali tidak dihargai, ya
sudah, saya bisa cari tempat dan orang lain yang bisa menghargai saya dengan
sepantasnya.
Only when I
feel I am under appreciate, well, I will go and find somewhere else or someone
else who can give me proper appreciation.
“Oh gitu ya?” cetus Andre ketika saya memberikan garis besar
tentang apa yang akan saya tulis berikutnya berdasarkan hal-hal yang saya dapatkan
dari Leadership Camp itu “jadi kalau kamu merasa saya tidak menghargai kamu,
kamu cari lelaki lain?”
“Is that so?”
Andre snapped when I gave him the outline of my next writing based on the
things I got from that Leadership Camp “when you feel I don’t appreciate you,
you go and find another man?”
“Mungkin” saya malah menggodanya.
“Maybe” I
teased him.
Dia tertawa “awas kamu. Bentar lagi saya bakal datang”
He laughed
“watch it. I am gonna come in a short of time”
Saya ikut tertawa “coba itu, say, saya tidak bisa akting,
eh.., di suruh main drama. Tampil pula di atas panggung. Sudah syukur tidak
pakai acara nyanyi”
I laughed “would you imagine that, hun, I can’t act, damn.., I was put on a play. On a stage. I was glad it didn’t involve singing”
“Kan kamu sudah sering tampil”
“You did your
performance often”
“Tampil apaan?”
“What
performance?”
“6 tahun kamu jadi guru. Kan itu artinya kamu tampil di
depan umum”
“You spent 6
years as a teacher. You did your performance on public”
“Oh, itu sih beda. Tampil sebagai guru di depan kelas beda
dong. Itu kan ngajar, bukannya pertunjukan”
“Oh, that’s
different. Teaching in class is not the same with doing performance”
“Anggap saja sama”
“Just act as
if it were same thing”
“Mana bisa. Ngajar tidak bikin demam panggung”
“I can’t.
Teaching never gives me the butterfly-on-the stomach-feelings”
Andre ngakak “ga bisa kebayang kamu main drama. Ada di
tengah kerumunan orang aja, kamu panik”
Andre laughed
it out loud “I can’t imagine you were in a play. Being in a crowd makes you
panic”
“Eh, gitu-gitu kelompok saya jadi juara kedua”
“Dude, my
group won second place”
“Masa?”
“Really?”
“Jurinya pasti mabok semua”
“The jury
must be have had hangover”
“Itu pilihan penonton, tahu. Bukan keputusan juri”
“That was the
audience’s choice, y’know. Not the jury’s verdict”
“Berarti penampilan kelompok kamu ga jelek-jelek amat”
“Then it
means your group’s performance wasn’t that bad”
Saya nyengir. Itu soal selera sih. Penonton sebagian besar
menilai penampilan kelompok saya bagus. Padahal saya sendiri menilai ada
kelompok lain yang penampilannya jauh lebih bagus.
I grinned.
That was a matter of choice. The audience somehow thought my group’s
performance was good. I myself thought there other group with better
performance.
“Itu bukan tentang pertunjukannya” saya berpikir-pikir “saya
melihatnya sebagai kerjasama suatu tim memadukan kemampuan dan bakat
anggota-anggotanya untuk mencapai suatu tujuan”
“That was not
about the show” I gave it a thought “I saw it as a team work turning the
members’ abilities and talents to achieve a goal”
Dan memang seperti itulah.
And that what
it was all about.
Begitu tema sudah diketahui, ‘adik’ saya dan ketua kelompok
menanyakan seperti apa pertunjukan kami nantinya.
Once the
theme was given, my ‘brother’ and the group leader asked what kind of
performance would we choose.
Kemudian ‘adik’ saya segera merancang jalan cerita. Tanpa di
protes dia langsung menjadi penulis naskah merangkap sutradara.
After that my
‘brother’ came up with the story board. With no protest he became the script
writer and the director.
Sama seperti saya, dia juga seorang penulis blog walau patut
disayangkan blognya sudah setahun atau mungkin lebih dibiarkan mati suri.
Just like
myself, he is a blog writer though it is a shame that it has been a year or
more he left it idle.
Sama seperti saya, dia kutu buku.
Just like
myself, he is a book worm.
Sama seperti saya, dia seorang pembicara.
Just like
myself, he is a speaker.
Perbedaannya adalah, saya menilai gaya tulisannya dan
buku-buku pilihannya terlalu serius dan kaku.
The
difference is I think his writing and the books he reads are too serious and
stiff.
Perbedaan lainnya adalah saya lebih sering tampil di depan
anak-anak sementara dia dari berbagai umur.
Another
difference is I perform infront of my students while his audience came from any
age.
Hal yang menentukan juga adalah sekali pun saya kelihatannya
lebih terbuka dari dia tapi sifat sebetulnya lebih tertutup. Itu sebabnya saya
merasa tidak nyaman untuk menampilkan diri sementara ‘adik’ saya mampu
mengambil peran itu.
Another key
role in this is thought I appear to be outgoing but I am a reserved person. It
is why I feel uncomfortable to show myself off while my ‘brother’ can play that
role.
Saya mengetahui keterbatasan, kelemahan dan kekurangan saya.
I am well
aware of my limitation and weaknesses.
Saya sudah belajar untuk tidak merasa dikecilkan karena
hal-hal itu tapi bukan berarti hanya pasrah menerima tanpa berusaha untuk
memperbaikinya.
I have
learned not to feel be littled by those things but it doesn’t mean that I just
accept it without doing something to improve them.
Saya belajar untuk bisa menerima kelebihan orang lain tanpa
membuat saya merasa tidak punya kelebihan apa pun.
I have
learned to accept what other people have that I don’t have without making me
feel I have nothing.
Saya bahkan mencari orang-orang yang memiliki hal-hal yang
tidak saya miliki supaya mereka bisa mengisi kekurangan saya.
I even look
for people who have things that I don’t have so they can fill the empty spots.
Dan saya melengkapi kekurangan mereka.
And I fill
their empty spots.
Dimana pun kita berada, kita akan mendapati diri kita
menjadi bagian dari suatu tim.
Where ever we
are, we will always find ourselves as part of a team.
Anggota tim adalah orang-orang yang saling mengisi, saling
melengkapi.
No comments:
Post a Comment