Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Friday, March 30, 2012

(Berdiri) Di Pihakmu / Stand By Your Side

I cry and you comfort me
I’m lost & you hear my scream

…. Gonna stand by your side now
Let me kiss all your tears away
You can stay in my arms now
And I know I can make you believe again

I walk but you can run through fire
I search for reason baby you inspire
I know somebody hurt you
& I know you really need a friend
You can take my hand

When you feel you like you can’t go on
Don’t you know that you never walk alone
You live in me

…. I’m gonna stand
Stand by your side now..
… see you smiling, smiling again…


Saya menemukan lagu ini ketika sedang browsing lagu-lagunya Celine Dion. Kata-katanya tidak terlalu berkesan bagi saya sampai suatu ketika saya mengalami keadaan yang menekan saraf.

Tepat di saat saya merasa sangat sendiri, terpojok dan tidak memiliki siapa pun yang bisa diandalkan (kecuali Tuhan tentunya), saya kaget juga melihat bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar.

Saya bukanlah seorang yang terlahir dengan membawa sifat tegar dan tabah. Justru sebaliknya. Saya mellow, cengeng, gampang putus asa, sering depresi, bahkan di masa kanak-kanak, remaja dan masa muda dulu saya juga seorang yang sangat pemarah, cepat tersinggung dan juga pendendam.

Lewat perjalanan waktu yang puanjaaaang dan melalui pengalaman yang buanyaaaaak naik turunnya, banyak dari sifat-sifat itu yang sudah terkikis dan bahkan hilang, berganti dengan sifat-sifat baik seperti misalnya saya menjadi lebih sabar, tahan banting dan pemaaf.


Tapi di sisi lain waktu dan pengalaman yang segudang itu juga membuat saya tidak mau bergantung secara emosional kepada siapa pun.

Karena itu ketika ada masalah atau cobaan, saya selalu berpikir saya membawa diri sendiri dengan hanya Tuhan dan orang tua yang berdiri di pihak saya. Itu pun kadang kelihatannya Tuhan tidak peduli atau orang tua tidak bisa mengerti sepenuhnya masalah atau beban saya sehingga saya tidak terlalu menuntut mereka untuk bisa secara sempurna berdiri di pihak saya tepat di saat ketika saya membutuhkan mereka.

Jadi pikir saya, kalau ke Tuhan dan ortu sendiri saja saya punya pandangan seperti itu, bagaimana menurut anda pandangan saya tentang orang lain?

Tapi beberapa tahun yang lalu teman karib saya dari jaman kuliah di Perbanas mengontak saya. Kami terpisah menjalani kehidupan masing-masing sejak lulus tahun 1994. Tapi komunikasi tetap berjalan melalui telpon. Bahkan setelah saya pindah ke Bogor tahun 1998 hubungan pertemanan kami bisa tetap terjalin. Sebetulnya dia satu-satunya teman dari Perbanas yang tetap kontak dengan saya sementara hubungan dengan teman sekelas lainnya bisa dikatakan terputus sampai 2011 ketika saya mencari mereka melalui facebook.



Nah, beberapa tahun lalu itu teman karib saya ini menghadapi krisis dalam pernikahannya. Dia merasa demikian depresi sehingga ingin bunuh diri. Hubungan kami hanya bisa dilakukan melalui surat dan telpon karena dia tinggal di Jakarta dan saya di Bogor. Saya tidak bisa mengunjunginya karena pada waktu itu saya masih bekerja sebagai guru yang tidak memiliki hari libur.

Walaupun begitu kehadiran seseorang yang menaruh perhatian dan simpati rupanya mampu memberikan semangat kepada teman saya ini sehingga dia mampu bangkit dan dengan doa serta iman kepada Tuhan membuat pernikahannya membaik. Kami sama-sama lega dan bersyukur tentunya.

Lalu datang masa-masa gelap bagi saya. Orang tua saya bergantian sakit. Sakit yang menakutkan. Menyedot seluruh emosi saya. 

Nah, mengikuti prinsip saya yang tidak mau bergantung dalam hal apa pun pada manusia manapun membuat saya berpikir ini adalah perkara saya. Hanya Tuhan yang berdiri di pihak saya. Itu pun rasanya Tuhan seperti sangat jauh. Jadi saya agak kaget juga ketika teman karib saya itu yang berganti peran menjadi orang yang mendukung saya dari belakang. 

Krisis demi krisis dalam kehidupan masing-masing justru membawa hubungan persahabatan kami ke tingkat yang lebih tinggi karena kini kami tidak lagi merasa hanya sebagai teman tapi juga memiliki rasa ikatan persaudaraan.

Rasa persaudaraan bisa timbul di antara orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan. Ini terjadi saat hubungan persaudaraan dengan anggota keluarga / kerabat sendiri tidak memuaskan. Itu yang dialami oleh teman karib saya. Sedangkan saya karena tidak memiliki saudara kandung sementara famili dari pihak orang tua tidak terlalu dekat dengan saya oleh karena berbagai alasan.

Beberapa bulan lalu ibu dari murid les saya tanpa direncanakan menceritakan tentang masalah yang dihadapinya di rumah. Dari sini kemudian terungkap rupanya ada masalah dalam pernikahannya.

Saya tidak tahu berapa bulan atau tahun dia menghadapi permasalahan tersebut. Tapi selama itu dia tidak pernah berhenti berdoa, berusaha dan meyakini bahwa satu hari nanti akan ada jalan keluar serta pertolongan bagi masalahnya itu. Namun semuanya itu tidak datang dalam sekejap. Ada selang waktu sekian bulan atau sekian tahun sebelum doa, usaha dan keyakinannya itu terjawab.

Saya tahu benar tentang masa penantian. Menunggu di tengah masalah yang menekan perasaan betul-betul memakan syaraf. Ketika dia menangis saat berdoa bersama dengan saya dan orang tua saya, sesuatu menyentakkan perasaan saya;

“ Berdirilah di sisi seseorang tepat di saat orang itu mengalami masa sukar dalam hidupnya “

Karena kita semua tahu bagaimana rasanya pada waktu semua terasa gelap dan kita seperti ditinggalkan sendiri..

* Pernikahan ibu itu secara luar biasa dipulihkan Tuhan. Dia dan keluarganya sedang dalam proses penyatuan kembali. Kami sangat bersyukur dan gembira karenanya.

Lalu bagaimana dengan saya? Yah, Tuhan agaknya mempertemukan saya dengan orang-orang yang tepat untuk menjadi saudara di kala susah dan senang. Saya tentu saja bersyukur walaupun.. mm.. prinsip saya untuk tidak bergantung pada siapa pun tetap saya berlakukan dalam hidup saya. Namun yah, kita tidak bisa hidup selamanya sendiri. Ada saatnya di mana kita membutuhkan orang lain atau orang lainlah yang membutuhkan kita.
___________________________________________________________

I found that song when I was browsing Celine Dion’s song. I didn’t pay too much interest on the words not until I went through some trying time.

Right at the time when I though I was left all alone and cornered without anybody to rely or trust (except God) that I realized it was not true.

I wasn’t born to be someone who is tough. On the contrary. I am meek by nature, easily crushed. Back then in my teen it was added by bad temper.

Through a very long years and long experience I was changed. Lots of those bad characters were gone. I have gained lots more positive ones in change.

But those long years have made me learned not to depend emotionally with anyone. When I am in hardship I instill in myself the belief that only God and my parents who are on my side. Still there were times when I thought they couldn’t really understand my feelings and so I thought they too failed to become my shield.

So if I could have that kind of thought about my own parents and God, what would be my thought about other people?

But few years ago my bestfriend in college had crisis in her marriage. It was so bad that she either thought of leaving her kids with her husband or committed suicide.

We went to our own separate lives after graduating college in 1994. Then my parents and I moved to Bogor, making the gap between us grew even wider (I lost contact with our classmates not until 2011 when I found them through facebook). But she turned to me when she was in her lowest situation and I just couldn’t let her drowned.

We wrote to each other. Phone calls were made back and forth. We couldn’t visit each other due to situation. I practically had no holiday when I was working as kindergarten teacher while she stuck with the kids and an impulsive husband.

But the knowledge of someone who cares have slowly taken her out of depression and her marriage situation too improved.

Then it came my turn to have gloomy phase in my life when my parents took turn in getting ill.

Living under the principle that my problem is mine and that only God who really understands though it looked like God wasn’t there for me, I was ready to face it all alone so I was surprised to find that my college best friend took turn to stand by my side.


Crisis by crisis have surprisingly taking our friendship into higher level as we are not only friends. We are sisters.

Someone can feel this kind of family attachment with other people who are not related by blood because his or her own family or relatives can not fulfill his or her needs. In this case, it is the need to have someone or people who can support in time when one feels vulnerable. My best friend in college & also in present time has that kind of situation with her family and relatives. Me on the other side forced to become an only child in the family who for some reasons can’t find any bonding with my relatives.

Few months ago a mother of my tutoring student told me about her domestic situation. It revealed about her marital problems.

I don’t know who many months or years she had that problem but one thing for sure she never gave up praying, believing and trying to find help. Although it finally paid off but the time of waiting is definitely the hard one to deal.

I know too well about waiting period. It could eat your nerve. When she cried while we all prayed for her, something smacked me;

“ Stand by someone’s side when the person is having hardship meant the world for him or her “

Because we all know how it felt when everything seemed dark, cornered or being left alone.

* the marriage of my tutoring student’s parents has then being restored miraculously by God. They are even being tied so close as a family now. We couldn’t be more happier and grateful for that.

As for me, well, God has sent me the right people to be by my side in dark and light time. I am gratefull for that though still very much walking with my principle of not relying on other people in any kind of situation in my life. But the fact is we can’t live on our own. We need other people or it is other people who need us to rely on.

Wednesday, March 28, 2012

Penyakit Menular / Contagious Diseases

Kalau melihat judulnya pasti yang terpikir adalah penyakit model pilek, batuk, cacar air, campak, demam berdarah, tipus, tbc dll.


Tapi ada penyakit-penyakit menular lainnya. Tidak pakai bersin, batuk, muntah atau demam. Bahkan seringkali tidak ada yang sadar kalau dirinya sudah tertular atau menulari penyakit-penyakit itu. Boro-boro langsung pergi ke dokter.

Hayooo… penyakit apa ya itu?

Takut, cemas, curiga, marah dan iri.

Pasti deh langsung ber-oooooh…. Kalau itu sih saya juga tahu, mungkin anda akan berkata demikian. Tapi mungkin juga lalu mengerutkan kening. Takut bisa menular? Bisa ikut-ikutan ketularan cemas orang lain? Curiga, marah dan iri begitu juga? Iya, betul. Tapi yang kali ini mau saya bahas adalah soal takut.

Takut paling mudah untuk ditularkan atau untuk tertular. Coba saja kalau ada orang di sebelah kita yang lagi senewen karena melihat kecoak, ular, berdiri di tempat tinggi, naik pesawat, nonton film horor, jalan malam-malam di tempat sepi, lewat kuburan pula.. kalau kita tidak bakal ikut-ikutan senewen alias ketularan jadi takut juga.


Tapi ada jenis ketakutan lain yang lebih gawat dari takut pada kecoak, gelap, setan, terbang dengan pesawat dsb. Jenis ketakutan begini sering saya temui pada diri murid-murid saya. Ketakutan macam apakah itu gerangan?

Takut salah. Takut disalahin. Takut diomelin. Takut dimarahin.

Siapa juga di dunia ini yang tidak pernah berbuat salah?

Dan siapa yang bisa menduga bahwa sesuatu dalam pemikiran, perbuatan atau perkataan kita bisa menjadi suatu kesalahan?

Adakah orang yang dengan seluruh kesadaran akal sehatnya sengaja berbuat salah? Hampir tidak ada. Kecuali pada orang-orang tertentu yang memiliki masalah psikologis sehingga sengaja membuat kekacauan untuk menarik perhatian orang lain.

Jadi kita berbuat atau mengeluarkan perkataan yang salah. Konsekuensinya sudah jelas. Teguran. Omelan. Kemarahan. Nasihat. Tindakan memaafkan atau meminta maaf. Dalam batas wajar tentunya.

Tapi bagaimana bila konsekuensinya melebihi batas? Teguran atau omelan yang berlebihan, kemarahan ekstrim melalui ucapan yang menyakiti hati atau hukuman fisik. Permintaan maaf yang dipaksakan. Lalu rajin mengingatkan tentang kesalahan itu bahkan ketika permintaan maaf sudah diberikan dan waktu sudah berlalu sekian hari, sekian minggu atau bahkan sekian tahun kemudian.

Ini yang saya maksudkan dengan jenis penyakit menular yang sama berbahayanya dengan penyakit-penyakit fisik karena seseorang yang pernah berbuat salah dan kemudian menerima reaksi seperti yang saya tuliskan di atas akan belajar untuk takut berbuat salah. Dia tidak bisa mengerti bahwa kesalahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Dia mungkin luput untuk belajar bahwa intinya adalah bukan menjadi terobsesi dengan kesalahan yang diperbuatnya melainkan belajar dari kesalahan tersebut untuk membuat dirinya berkembang dan menjadi lebih baik.

Beberapa murid saya pernah mengalami hambatan dalam belajar karena faktor takut model begini.

Setelah mereka yakin bahwa saya tidak menekan, mereka mulai merasa nyaman, ketakutannya pelan-pelan hilang, kesalahan yang di buat tidak lagi menjadi momok yang menakutkan sehingga rasa percaya diri mulai muncul dan kemajuan belajar mereka luar biasa pesat.


Tadinya saya mengira hal seperti ini hanya terjadi pada anak-anak. Tapi di dunia orang dewasa rupanya terjadi juga.

Di tempat kerja saya sekarang ini saya menjumpai orang-orang yang dibelenggu oleh rasa takut dan sadar atau tanpa sadar mencoba menularkan ketakutan mereka kepada saya. Sebal betul saya jadinya. Ya bagaimana tidak kalau melihat mereka serba takut disalahkan dan lebih menyebalkan lagi bahwa mereka mewanti-wanti supaya jangan sampai saya disalahkan (lagi). Bah!

Kalau takut berbuat salah ya berhenti saja hidup karena selama kita masih bernapas maka kita pasti tidak akan luput dari berbuat salah.

Saya senang bekerja di tempat ini. Mayoritas orangnya baik. Kecuali ya itu tadi. Serba takutan. Takut salah. Takut disalahin. Ini yang membuat saya sering gerah. Memang tidak ada yang sempurna tapi saya pikir tidak seharusnya ketakutan itu tetap menghantui apalagi berurat berakar dan kemudian ditularkan kepada orang lain. Akibatnya sekelompok orang-orang baik ini adalah orang-orang yang juga takut salah dan takut disalahin. Dari pemimpin sampai ke anak buah.

Bagaimana cara menangkalnya? Tetap berpikir positif dan mempertahankan pendirian. Saya menanamkan dalam hati bahwa saya tidak takut berbuat salah dan saya tidak akan hancur karenanya. Kesalahan yang saya buat bisa sepele atau bisa rumit. Tapi dalam semuanya itu saya akan memakainya sebagai pembelajaran untuk mengubah diri saya menjadi manusia berkembang dan berubah ke arah positif.


Bagaimana cara menangkalnya? Tetap berpikir positif dan mempertahankan pendirian. Saya menanamkan dalam hati bahwa saya tidak takut berbuat salah dan saya tidak akan hancur karenanya. Kesalahan yang saya buat bisa sepele atau bisa rumit. Tapi dalam semuanya itu saya akan memakainya sebagai pembelajaran untuk mengubah diri saya menjadi manusia berkembang dan berubah ke arah positif.

___________________________________________________________________

Judging from the above title you might guess it would be cold, cough, measles, dengue fever, typhus or tbc.

Well, not quite as there are other contagious diseases apart from them. But people are unaware of those diseases presence because their sympthoms are not seen as diseases. It is why many people don’t realize that they may have already have them or become the carrier, spreading to other people.

So what are they anyway?

Fear, worries, suspicion, anger and jealousy.

Oh, so what’s the big deal? You would have just shrug it off or wonder if you might have one of those diseases. Yes, I call them disease. Not just emotion. And there are actually many of their kinds though I chose to pick fear as the topic.

Fear in my opinion is very contagious. Just see how easy it is to make people around you scared of what scarrying you. If you see a snake, a cockroach or having anxieties over flying by aeroplane for example and let your fear visible to others, I bet it would effect them. Or spreading it through horror movies.., let’s see if you can still walk with light heart at night, passing quiet, dark alleys or even passing the cemetery after you watch horror movies.

But there is other kind of fear that I have found in my students. It is the fear of making mistake, fear to be blamed, fear to be yelled at.


Talk about making mistakes. Who on this earth is free from making mistakes? No matter how smart or wise we are, we can not keep our minds, doings or words free of mistakes.

Well, there are kind of people who do wrong things for wrong reason. These people do that to get attention. But most of us are not like them.

So we make mistakes and the consequence is pretty clear. We have to deal with other people’s anger, warning, reprimand, advices and apologies. 

Only when the consequences went beyond normal level that it would left scars or trauma in the heart, mind or psyche of the person who is causing the mistake. This is what I called contagious disease because it is easily spreading. We can pass it to other people.

Those who already have it would miss the point that nobody is perfect, that everyone can make mistake and the whole thing is not about making ‘ the mistake ‘ but it is about learning from mistakes, learning how to fix it and to use it as a way to develop and becoming a better person.

Some of my students had this disease. Only after they saw that I didn’t exaggerating their mistakes, I don’t pressed them over their imperfectness that they become relaxed and start to make improvements in their learning abilities and also in their personalities.

At first I thought it only happens in children. How wrong I was after I experienced it few times at work how adults are having this kind of fear as well.

I have got a bunch of nice people in the place where I work but I soon discover that some of them have the mistake-making-fear and the bad thing is they try to pass it to me when they like to remind me about the mistake I made and how not to get yelled again over making mistakes.


Well, hear this, if we want to be free of making mistake, then just stop living!

I can’t figure it out how could they have this kind of fear. Few of them have important and even high position in their office. But seeing, hearing and feeling their fears could really make me feel wanting to break free, to just get as far as I could from them.

Now how if we have a leader or a boss like this?

It is actually cureable. All we need is to think positive. I keep telling myself that I will not let my errors destroy me. I am learning from them and I will get positive outcome from them.


Wednesday, March 21, 2012

‘ Say ‘ / ‘ Love ‘

Pasti pernah dong bilang ‘ say ‘ ke seseorang. Saya yakin setiap manusia yang masih bernyawa di dunia ini pasti pernah ngomong atau nulis kata itu ke orang lain.

Say, lagi ada di mana? Mau minta warta minggu lalu. Masih ada ga?” begitu bunyi sms yang dikirimkan anggota jemaat gereja di mana saya bekerja.

“Jadi ke rumah ga, say?” tanya ibu dari murid les saya beberapa waktu lalu.

“Aduh say, lu pasti lupa deh” kata teman saya saat menelpon saya.

Nah, jadi kalau mau iseng-iseng diperhatikan (alias kurang kerjaan) pasti sehari setidaknya ada dua kali kita ngomong ‘ say ‘ ke orang lain atau sebaliknya, orang lain ngomong ‘ say ‘ ke kita.

Eh, tapi tahu ga ‘ say ‘ itu apa artinya? Atau kependekan dari apa sih? Amit najong deh,  sungguh terlalu kalau bilang tidak tahu. Hehe. Yap, betul! ‘ say ‘ adalah kependekan dari ‘ sayang ‘.

Jangan salah lho, jaman sekarang teguran ‘ say ‘ tidak cuma ditujukan pada suami, istri, pacar, selingkuhan, anak, orang tua atau sanak keluarga. Ke temen pun bisa.

Tapi tidak juga berarti ke semua orang kita mengatakan ‘ say ‘ karena sudah jelas kita hanya menggunakannya pada orang-orang yang memiliki arti khusus bagi diri kita atau yang dekat, akrab, yang betul-betul kita sukai.

 Haloo... siapa yang ga suka dipanggil 'say', angkat tangan  ..
Hehe....
Jadi ketika beberapa waktu lalu ada orang yang mengatakan dia tidak suka saya menegurnya ‘ say ‘, saya terheran-heran. Bahwa hal itu bahkan membuatnya gusar saja hampir tidak masuk akal rasanya.

Seorang anggota majelis gereja yang mendengarnya rupanya ikut heran sehingga beliau meledek saya dengan berkata ‘Kalau ke saya jangan bilang ‘ say ‘ ya, Ke” sambil tertawa. Haha. Spontan saya langsung terbahak-bahak, lupa bahwa saya sedang di komplain orang karena perkara perkataan ‘ say ‘ ini.

Tapi kemudian saya mengerti bahwa sebetulnya bukan perkara ‘ say ‘.

Pemikiran kita sendiri yang sering membuat hal sederhana menjadi rumit;
Membuat sesuatu yang tidak seharusnya dijadikan perkara malah di cari-cari perkara;
Yang harusnya tidak harus dipikirkan justru membuat uring-uringan;
Yang harusnya bisa menjadi bahan untuk belajar menerima perkataan atau perbuatan orang dengan kebesaran hati, kesabaran, pengertian, kerendahan hati dan memaafkan tapi malah menjadi amunisi untuk mengobarkan amarah, sakit hati, kekesalan dan keegoisan.

Saya tidak mungkin bisa mengucapkan kata ‘ say ‘ dengan nada atau maksud menghina atau melecehkan. Bukan pula untuk merayu siapa pun.

Pengalaman membuktikan bahwa kata itu adalah salah satu bentuk ekspresi keakraban. Tapi rupanya pendapat saya itu tidak selamanya benar. Dalam kenaifan saya, saya mengira perempuan yang merasa tak suka (baca: tak sudi) dipanggil ‘ say ‘ itu dapat menjalin keakraban mengingat sikap (dan juga muka) manisnya kepada saya. 

Yah, ada banyak kepalsuan di dunia ini;
Ada banyak keangkuhan;
Ketidakpercayaan diri;
Keegoisan…
Hal-hal yang muncul dalam perilaku manusia yang kadang sulit untuk bisa dipahami oleh sesamanya.

Saya tidak akan pernah menyesali kata ‘ say ‘ yang saya ucapkan padanya dan juga pada orang-orang lain. Yang sampai detik ini saya sesali adalah kepalsuan yang baru terungkap beberapa bulan kemudian dan bahwa kepalsuan itu memaksa saya untuk menghapus perempuan itu dari daftar orang-orang yang memiliki arti di hati saya.

Tapi pepatah bilang “ Patah Tumbuh, Hilang Berganti “. Betul ga, ‘ say ‘?. Hehe. Betul dong karena hilang satu, gantinya banyak kok… iya kan, ‘ say ‘? …

____________________________________________________

say ‘ in Indonesian means ‘ love, sweetie, honey, dear, darling ‘. And so we say those words not only to our spouse, boy / girlfriends, parents, kids, relatives or friends because we call people who we think special to each of us with those affectionate words.



“Hon, where are you? Do you have last week’s church bulletin?” texted a lady who is incharge in church library to me.

“Would you come to my house today, dear?” asked a mother of my tutoring student.

“Now sweetie, you must have forgotten this one” said my friend to me when she called me.

So if you want to take your time, I bet you’d notice that you have said one of those words at least twice in a day. I think most of us say it more often. Or other people call you with one or two of those words.

Well, it doesn’t mean that we say those words to everybody. It goes only to those who we consider close or held special place in our hearts or lives.

So it was kind of a big blow for me when someone told me that she found it upsetting. I mean, I didn’t say it to tease, harassed or degrading anyone. So I couldn’t believe my own ear!

A member of church board who heard it shared my puzzleness that he joked “ So you better not ‘ dear ‘ me, ‘ dear ‘” that made me spontaneously bursted into laugh, forgetting that someone was filing a complain over me calling her ‘ dear ‘. 

But later I understood. It was never about the ‘ dear ‘ or ‘ love ‘ or any other words of affection.

Is this thing in our minds that make simple things became complicated;
Something that we could just shrug it off have became a big deal;
Pick your battle carefully and wisely, it is said to spare us the pain;
And so what should became things to practice our gracious, patience and kind hearts have became ammunition for anger, ill feelings and ego raising. Nearly no place for understanding and forgiving.

Experience has shown me that affection can be expressed by words and in my naivety I thought the lady who dislike to be addressed ‘ dear ‘ by me felt mutual affection considering her sweet attitude and nice way of speaking to me.

What can I say? There are many artificial stuff in this world. Behavior is one of them.
Arrogancy;
Low self esteem;
Selfishness;
Nicely wrapped inside..
That once in a while all can manifest in ridiculous act of behavior..


I never regret I said ‘ dear ‘ to her. What still become my regret to this very minute is her artificial face and behavior to me that I failed to see. It is painful to discover the truth that forced me to delete her from the list of people whom I consider are ‘ dear ‘ to me.

Yeah but fact also shows that there are others to replace one loss. I always believe it is true. Don’t you agree with me, ‘ dear ‘?.. lol. You gotta tell me it is right, isn’t it ‘ hon ‘?.