Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Sunday, April 29, 2012

Psikotest / Psychology Test

Saya pernah beberapa kali mengikuti psikotest. Sebagai seorang guru saya melihat beberapa dari murid-murid saya juga pernah menjalani test itu.



Saya TIDAK menyukai psikotest.

Psikotest banyak diandalkan oleh para ahli jiwa (psikolog atau psikiater), guru, atasan / pemilik perusahaan dan bahkan pemerintah serta gereja untuk bisa mengetahui kelebihan, kelemahan, bakat dan minat seseorang.

Herannya nih, sebelum pertanyaan-pertanyaan dalam psikotest itu ditemukan, hal-hal mengenai diri seseorang sudah dapat dibaca lewat ramalan bintang, rajah tangan atau susunan serta bentuk muka seseorang. Hehe.  

Sebelum psikotest mengatakan bahwa saya lebih berbakat ke bidang pekerjaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan atau pelayanan, sebuah ramalan bintang serta shio yang pernah saya baca bertahun-tahun sebelumnya sudah dengan jelas dan gamblang mengatakannya. 

Itu sebabnya saya TIDAK menyukai psikotest.

Buat apalah saya harus menjawab berbagai pertanyaan hipotesis dalam suatu psikotest kalau saya bisa mendapatkan hasil akhir mengenai siapa diri saya, potensi apa yang ada dalam diri saya, kelemahan, kekurangan, kelebihan, bakat, minat dan bahkan pekerjaan serta jodoh yang paling tepat untuk saya melalui ramalan bintang, shio, rajah tangan dan bentuk muka serta posisi mata, alis, hidung, telinga sampai ke bibir.

Nah, jadi katakan kepada saya kenapa saya harus lebih mengandalkan dan percaya pada hasil psikotest kalau ramalan-ramalan itu saja tidak saya percaya sepenuhnya?

Dengan segala hormat kepada mereka yang sudah menjalani tahun-tahun panjang mempelajari ilmu jiwa dan mendedikasikan banyak waktu dalam pekerjaan sebagai ahli jiwa, saya katakan bahwa psikotest merendahkan harkat diri seorang manusia.

Psikotest hanya menilai manusia dari kulit luarnya.

Psikotest mengatakan kita berbakat dalam bidang musik, matematika atau sebaliknya. Psikotest mengatakan bahwa kita seorang yang teliti, pemarah atau pembosan. Psikotest bahkan bisa mengatakan bahwa kita seorang penderita skizofrenia.

Tapi bisakah psikotest mengatakan bahwa pada waktu kita menjalani test itu kondisi fisik sedang tidak fit, bahwa keadaan emosi sedang labil, bahwa diri kita terlalu cerdik dan lihai sehingga dapat memanipulasi test tersebut?

Tentu saja tidak.

Dan itu sebabnya saya TIDAK menyukai psikotest.

Saya telah bertemu dengan orang-orang yang bila menjalani psikotest pastilah akan memperoleh hasil yang menyatakan bahwa intelejensi mereka tinggi, memiliki bakat dan kemampuan top. Tapi beberapa dari mereka memiliki pikiran dan jiwa yang busuk.

Saya juga telah bertemu dengan orang-orang yang masuk dalam kategori pas-pasan atau bahkan memiliki banyak keterbatasan tapi ajaibnya mereka adalah orang-orang yang memiliki hati, pikiran, jiwa dan kehidupan yang jauh lebih bernilai tinggi dari mereka yang masuk dalam kategori top.

Setiap kali saya harus menjalani suatu psikotest, setiap kali itu pula saya membencinya. Apalagi kalau ada yang kemudian mengomentari diri saya berdasarkan dari hasil test tersebut.

Saya adalah seorang guru dan juga seorang manusia. Saya melihat,  menilai, menyikapi dan menerima murid-murid serta orang-orang lain dengan hati serta naluri dan bukan berdasarkan hasil dari sederet pertanyaan diatas kertas.

Psikotest tidak menyatakan siapa diri anda atau diri saya.
___________________________________________________

I have taken psychology test several times before. And as a teacher I have seen my students taken psychology test.

I hereby stated that I dislike psychology test.

The test has somehow has become one of the reliable source to determine one’s pschye, mind or intelligence. The shrink, government, employers, teachers and even church to tell one’s weaknesses, talents or abilities.

Oddly, the soothsayers and face reading experts have found ways to tell those things before the shrink invented that test. 

A psychology test I once took said the works suited for me is one that deals with community service has actually came to my knowledge long before I took the test. My horoscope has clearly said it.

I definitely dislike psychology test.

I mean, why the heck should I answer hypothetic questions in psychology test when I can know my weaknesses, talents, suitable job and partner from horoscope and the art of palm or face reading?!.

Tell me now, why the heck should I trust what psychology test tells about me when I don’t trust what those horoscope, palm and face reading tell me?

With all respect for psychology experts who have dedicated long hours of studying human’s psyche, mind and intelligence, I say psychology test is degrading man. It is disrespecting us as human being.

Psychology test can only see us skin deep.

Yeah so it can tell that we have talents in music or math. It can tell if we are sloppy, diligent or short tempered one. It can even tell if we are sane or a schizoprenic.

But can it tell that we were unwell physically or mentally when we took that test? Can it tell if we manipulate the test?

Definitely not.

It is why I DO NOT like psychology test.

I have met people whom can get brilliant results from their psychology test. But many of them have sickened mind and psyche.

On the contrary, I have met people whom would not get bright result from psychology test. But many of them are kind, generous and sincere people.

I hate it everytime I had to take psychology test. Especially when people see me only from the result of that test.

I am a teacher and also a human being. I see my students and people with my heart and instinct. Not by what psychology test tells me.

Psychology test does not tell about the real you and me.

Thursday, April 26, 2012

TTM / ‘Dearest’ Friend

Dalam persahabatan ada tuh yang disebut TTM alias Teman Tapi Mesra. Ini bukan lagi sahabat karib. Tapi juga bukan pacar. Mau dibilang selingkuhan juga bukan.

TTM cuma bisa terjalin antara laki-laki dan perempuan. Kata orang-orang tua, pertemanan atau persahabatan antara dua gender itu memang susah tanpa akhirnya melibatkan perasaan yang lebih dalam. Ya gitu deh, ujung-ujungnya jadi saling tertarik. Susah buat tetap netral kalau setelah bersahabat sekian lama, mengalami banyak hal bersama-sama dan mempunyai kecocokan. Manusia bukan robot. Itu kelebihan kita tapi sialnya juga menjadi titik kelemahan yang gampang menjatuhkan kita.

Disisi lain TTM juga menguntungkan tipe-tipe manusia tertentu seperti saya yang susah jatuh cinta. Hehe. Jangan harap saya bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Ga ada ceritanya tuh saya seneng-senengan sama cowok trus langsung jadian.

Yang sudah berapa kali terjadi sih cowoknya sudah naksir, eh, saya cuek bebek. Malah saking cueknya suka ga nyadar kalau tu cowok sudah kasih-kasih sinyal. Hehe. Kereta api kali dikasih sinyal.

Sekali pernah kejadian nih saya punya temen sekantor yang guanteng dan bikin cewe-cewe heboh waktu dia pertama kali di masuk. Nah, sekian bulan kemudian saya baru tahu kalau dia suka pada saya pada saat pertama kali kami kenalan dan sejak itu dia diam-diam mengirim sinyal ke saya. Tapi berhubung pekerjaan menyita banyak waktu, tenaga dan perhatian bikin saya tidak ngeh.

Lantas apa yang membuat saya akhirnya ngeh? Kami berteman dan selama berteman itu saya melihat kualitas manusianya. Bukan gantengnya, duitnya atau jabatannya yang membuat saya tertarik padanya. Sayangnya dalam proses TTM itu saya menemui ketidakcocokan diantara kami sehingga TTM tidak happy ending.

Perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Saya beberapa kali bertemu lelaki yang memaksakan diri untuk ber-TTM dengan saya karena memang pada dasarnya mereka naksir saya. Kalau kasusnya seperti ini jangan harap saya jadi simpati. Justru kebalikannya. Untuk berteman dengan mereka saja saya ogah karena saya tahu pertemanan itu ada unsur ‘udang dibalik piring’. 

Apa saat ini ada TTM? Ya ada. Kadang susah payah saya mengendalikan emosi. Berulang-ulang saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya ada di sini untuk bekerja dan ini adalah bagian yang harus saya lalui dalam perjalanan menuju perwujudan dari apa yang saya cita-citakan.

Saya bagaikan pesawat yang siap sedia untuk lepas landas. Saya tidak boleh mengikatkan hati pada apa pun dan pada siapa pun.

Nanti, pada suatu hari kelak, ketika semua yang sekarang ini ada sudah berlalu dan sebagian besar dari apa yang saya harapkan, impikan, cita-citakan dan inginkan sudah tercapai, barulah saya mau membagi diri, hati dan hidup saya dengan seorang laki-laki yang mencintai saya.
______________________________________________________

The term of ‘Dearest’ friend is always exist in every friendship. But this one refers to someone who is a special one, not truly pure friendship but it is not romance, definitely not having sort of affair either. 

A man and a woman therefore are subject to this kind of friendship. General opinion says a man and a woman can’t have pure friendship because emotion can lead to attraction and ending up in falling in love to eachother or one may feel that way toward the other partner. So we are human, not robot. We are not machine. We have emotion. That is our advantage but also our weak point.

In other hand there are certain people who benefit from this kind of friendship. Me, for an example, I am not the love at first sight type of person. Nor can I have fallen in love with a guy in a short courtship. It does not work like that for me.

Most guys who have loved me found me being too unaware of their signs of ‘hey, I like you, I’m in love with you’.

Like this one guy I once met at work. He made quite a fuss in the office on his first day because he was cute and words soon reached my ears that ‘we’ve got a cute new guy’. Still I was too occupied with work that I could careless about it.

What made me finally noticed him? It took few months and a friendship later that I saw him as a person. So it was not his look, money or rank that made me fell for him. It is the person’s qualities. However we didn’t have a happy ending due to some things.

I can’t force myself to have a ‘dear’ friend. I have met guys who fought too hard to become my ‘dear’ friend. They never earn my symphaty, let alone to have my love. I don’t even want to have any friendship with them because I know they can’t be true in that friendship.

Do I have any ‘dear’ friend now? There is one. Sometimes I hardly hold my feelings for him so I have to remind myself that I only here because life brings me in this place and it is too shall pass. I am in a journey to the fulfillment of my dreams and I am like a plane ready to take off at anytime.

I should not tied my heart to anything or anyone.

Maybe someday after I have all or half of my dreams fulfilled that I can share my life, heart and dreams with the man who loves me.

Wednesday, April 18, 2012

What Is Friendship?

Jangankan teman atau sahabat, orang yang tidak dekat dengan kita pun bisa meninggalkan jejak dalam kehidupan atau kepribadian kita.

Jejak apa saja yang sudah ditinggalkan teman-teman di masa lalu dan di masa sekarang dalam kehidupan, kebiasaan atau kepribadian anda? Tentunya ada yang baik dan ada juga yang tidak baik.

Sahabat karib saya di kelas 2 dan 3 SMA adalah perokok. Padahal dia perempuan. Di tahun 1980an jarang ada siswi yang sudah menjadi perokok sejak dari SMP atau SMA. Jadi terhitung luar biasa teman saya yang satu itu.


Melihatnya merokok akhirnya menjadi pemandangan sehari-hari karena di luar sekolah dia sama sekali tidak menyembunyikan kebiasaannya itu. Dan dalam usia di bawah 30 tahun kita masih mudah terpengaruh atau terbawa dengan hal-hal yang ada di lingkungan pergaulan.

Jadi tidak mutlak harus dalam bentuk tawaran, bujukan, paksaan atau ancaman yang diberikan oleh orang-orang dengan siapa kita bergaul yang membuat kita melakukan atau meniru gaya hidup atau kebiasaan mereka. Dengan hanya melihat saja pun, jejak mereka bisa tertinggal dalam diri kita.

Teman saya yang perokok itu tidak pernah sekalipun menawarkan sebatang rokok kepada saya. Dia tahu dirinyalah yang perokok. Dia juga tahu saya tipe yang sangat bertolak belakang dengan dirinya. Jadi kalau dia bertemu dengan teman-teman kami yang juga perokok barulah dia akan meminta atau menawarkan rokok. Namun toh saya sempat merokok juga. Untunglah kebiasaan itu tidak bertahan lama dalam diri saya.

Tahun 1998-2001 saya bertemu dengan rekan-rekan kerja yang memperkenalkan saya dengan benda yang lebih canggih dari rokok. Alkohol. Lingkungan pekerjaan kami membuat kami sehari-hari bergaul dengan orang-orang asing. Nah, tahu sendiri dong, alkohol bagi mereka sudah seperti kita minum air putih.

Jadilah kami bekerja dari pagi sampai sore kemudian dari sore sampai tengah malam dan bahkan bisa sampai subuh kami nongkrong di café atau pub setelah makan malam. Kalau sudah begitu alkohol pasti mengalir tanpa henti sampai pernah dalam satu malam saya sudah tidak tahu nama dari minuman-minuman yang saya telan saking banyaknya. Dari yang manis sampai yang rasanya tidak karuan juntrungan, semua masuk ke perut tanpa di pikir lagi. Hehe.

Untungnya lagi pola hidup yang amat sangat tidak sehat itu hanya berjalan selama 3 tahunan. Saya tidak menyesalinya karena hitung-hitung semua itu pengalaman hidup. Saya hanya lega karena kemudian saya keluar dari lingkungan pergaulan seperti itu karena kalau tetap berada diantara mereka ada kemungkinan saya sulit untuk berhenti.

Alkoholnya sendiri mungkin lebih mudah untuk dihentikan setelah tiga kali saya mengalami di kejar-kejar oleh rekan kerja (laki-laki) yang mabuk. Entah mabuk beneran, setengah mabuk atau pura-pura, tidak jelas juga apakah orang itu memang memendam rasa-rasa ‘sesuatu’ pada saya atau hanya hasrat sesaat di bawah pengaruh alkohol atau kedua-duanya, saya tidak berminat untuk mencari tahu. Yang pasti nakutin, bo, di kejar-kejar sampai mau dicium oleh orang mabok! Apalagi kalau orang itu nyelonong masuk ke kamar kita. Selamatlah saya karena pada waktu insiden itu terjadi otak waras saya masih jalan.

Saya tidak menentang alkohol. Sampai sekarang pun saya senang-senang saja kalau disodori minuman beralkohol. Tapi setelah adanya pengalaman itu saya menjaga agar kadar alkohol dalam darah saya tidak melebihi batas supaya otak saya bisa tetap berfungsi dengan baik.

Mantan sahabat saya yang lain meninggalkan jejak berupa kata ‘Penjol’. Dia mengeluarkan kata itu bila dia sedang kesal, gemas, bercanda dan bahkan menjadikannya juga sebagai panggilan sayang kepada orang-orang yang dekat dengannya.


Dan saya juga melakukannya sampai sekarang. Bahkan saya menambahinya dengan ‘Benjol dan Dodol’ sampai seorang mantan murid saya di TK pernah bertanya ‘Dodol’ itu apa sih? Usut punya usut ternyata dia belum pernah makan dodol. Ya ampun, kalau begitu susah dong nerangin ‘Dodol’ itu kayak gimana. Hehe.

Kok kelihatannya hanya jejak-jejak jelek saja yang ditinggalkan oleh mantan teman-teman saya di masa lalu. Tidak juga. Saat kuliah ada serombongan teman yang benar-benar baik. Mereka adalah teman merangkap guru karena kepada mereka saya minta diajari kalau ada pelajaran yang tidak saya mengerti, terutama yang berhubungan dengan hitung menghitung.

Saking sayang dan pedulinya mereka pada saya sampai setiap kali keluar pengumuman nilai ujian maka yang mereka cari lebih dulu adalah nama saya dan bukan nama mereka. Ini karena mereka yakin benar dengan kecanggihan otak mereka yang menjamin nilai ujian mereka akan selalu bagus. Berbeda dengan saya tentunya.

Seorang dari antara mereka bahkan sangat gembira ketika saya berhasil mendapat nilai A sementara dia hanya mendapat nilai B. Dia menilai dirinya sukses mengajari saya. Hehe.

Bagaimana dengan orang-orang disekitar saya saat ini? Di tempat kerja saya lebih banyak dikitari oleh orang-orang yang umurnya jauh di atas saya. Sejujurnya saya lebih suka demikian. Orang-orang ini sudah melewati ‘masa-masa gila’ mereka dan umur membuat mereka lebih kalem dan bijak walau harap di catat baik-baik bahwa hal ini tidak berlaku untuk semua orang.

Orang-orang ini kini secara sadar atau tidak, sedang mengajari saya tentang ilmu kepemimpinan dan kerendahan hati. Ini adalah jejak yang mereka tinggalkan yang tidak akan hilang sampai kapan pun karena saya sudah memutuskan untuk tetap menyimpannya.

Teman-teman yang kita miliki meninggalkan jejak malaikat atau jejak setan dalam diri kita. Begitu pula sebaliknya. Kita juga meninggalkan entah jejak malaikat atau jejak setan dalam diri atau kehidupan orang-orang yang menjadi teman-teman kita.


Saya menilai diri saya bukan termasuk kategori orang yang memberi pengaruh jelek pada orang lain. Tapi itu kan penilaian pribadi. Mungkin benar di mata orang lain, saya meninggalkan jejak malaikat tapi bisa saja ada yang menganggap saya meninggalkan jejak setan dalam hidup mereka.
__________________________________________________________

Anybody can leave their prints in our lives or affected our personality. So imagine how immeasurable the prints are that left by our close friends.

Surely they are varied. Some are good. Some are bad.

I spent two years in highschool having a chain-smoker friend. In the 80-s it was quite rare to have students who have developed smoking habit in Junior highschool or in highschool. It is why she was an extraordinary one.

However, it was not an extraordinary view seeing her smoked since she didn’t hide it. She smoked everywhere with the exeception of school’s ground. She knew she was a smoker. But she also knew I was her opposite type and that is why she never offered me a cigarette.

She didn’t have to. I eventually had my own first cigarette. It does not need persuation or threat to influence people. Seeing one’s behavior is enough to influence or inspire other people. I am just glad my infatuation with cigarette didn’t last long.

In between 1998 to 2001 through the people I met at work I was introduced me to alcohol. It was pretty much of foreign environment influence. Foreign people drink alcohol like we, the easterners, drink water.

So we worked from morning to evening and after dined we went clubhopping all through the night that could last till dawn. Alcohol was served as the main drink that I oftenly found myself unable to recall their names for they were too many. I just drank them all without care. The sweet. The sour. The mild. The strong. I didn’t give too much thought of what I drank.

I never regret those three years of lifestyle. I consider them as life experience. Still, I am glad when I was made to leave that environment because I doubt I would able to come to my senses if I were still living or working around them.

For me it was not the alcohol itself. I have no problem with it. It was just first hand experience of nearly assaulted by drunk coworker (male) that happened three times that freaked me out. It was not amusing when a drank guy came to you to kiss, made out or refusing to leave your room. I am so glad I got out in one piece. Lol. Well, yeah, that was close. I don’t know if they were really drunk, half drunk or pretending to be drunk or if they made it as an excuse to let their hidden feelings out, I really don’t care. I just don’t want it to happen again.

My other friend left me another trace of herself in term of the word ‘lump’. It was spoken when she cursed, joked and even became her loving call to the ones close to her.

I picked the word. Adding it with my own ‘toffee’ that my former student asked what it is. Well, kind a hard to explain when you never taste this sweet.

But is it only the bad influences that my friends have left me? Not really. I had a bunch of good gals in college of whom had become my tutors. They were the bright types. They would find my grade first after we had exam. They knew they would get good grades so their concern was not on their own grades but it has always been to my grades.

One of them showed touching excitement when I once got an A while he got a B because he considered himself have succeed in tutoring me.

How about the people in my present life? Most of them are much older than me which I personaly think is better because they have passed their ‘crazy phase’ of life, thus have gained wisdom and more able to control their emotion though please be noted that not all people senior in age are like this.

But these people have taught me about leadership and modesty whether they realize it or not. It is what I decide to keep and carry with me forever.

Our friends leave us angelic marks or devil prints. So it goes vice versa.

I consider myself not a bad influence on others but that is personal judgement. I maybe seen as good influence by some while few may see me as the other way around.

Sunday, April 15, 2012

Teman dan Sahabat / Friends and BF

Gara-gara menulis blog bertemakan teman, saya jadi kepikiran soal teman. Ada banyak teman tapi sedikit sahabat.

Yah, yang namanya teman pastilah idealnya tidak pilih-pilih.

Saya berteman dengan siapa saja. Dari kelas atas sampai yang golongan terbawah. Sikap saya pun tidak membedakan.

Kepada yang konglomerat dan yang kulomelarat, sikap saya sama dalam artian; sama ramahnya atau bisa sama juteknya.. hehe.

Entah itu yang ningrat atau yang rakyat jelata, saya tidak menilai dari kulit luarnya. Toh kalau kita kentut, baunya sama saja. Tul kan?. Ya, mungkin kentut yang ningrat berbau steak, sementara yang rakyat jelata berbau jengkol. Beda-beda tipislah.. Hehe.. Lagian kalau mati pun nantinya semua jadi mayat yang membusuk dalam tanah. Jadi apa yang membuat masing-masing kita bisa menilai diri lebih tinggi dari orang lain?

Jaman masih sekolah dulu saya mungkin tergolong mahluk ajaib. Teman saya bisa di hitung dengan jari. Sahabat? Wah, lebih sedikit lagi tuh.

“Kuper lu” mungkin itu kata anda.

“Asosial” ejek kepsek di sekolah tempat saya mengajar dulu.

Terserahlah apa kata orang. Saya tidak mau repot-repot membela diri atau berdebat kusir. Saya hanya jadi kepikiran soal teman dan sahabat gara-gara materi yang saya tulis di blog saya 2 hari lalu. Trus kepikiran buat mendedikasikan isi blog ini buat orang-orang yang pernah jadi teman dan sahabat saya.

Sebagai anak-anak dan kemudian remaja, saya berjalan di bawah bayang-bayang teman-teman sebaya yang ceritanya pada waktu itu meningkat dari status teman menjadi sahabat.

Virta - 1984
Betul. Sahabat-sahabat saya di masa sekolah adalah orang-orang yang mendominasi saya. di SD ada sekelompok sahabat. Zuriah, Virta dan Evi. Semuanya tipe asertif. Aktif. Saya hanya mengintil saja di belakang mereka.


Lalu di kelas 1 dan 2 SMP datanglah Miranti. Sama-sama anak tunggal. Bedanya dia tunggal murni dari lahir sementara saya tunggal kepaksa karena satu persatu adik-adik saya di ambil Tuhan dalam usia balita.

Karena 10 tahun sempat merasakan punya adik membuat saya punya bawaan bisa mengalah. Tapi Miranti.. di pikir-pikir dulu kok saya bisa tahan betul menghadapi dia… hehe. Galaknya, kepala batunya… alamakjan! Mengingatkan saya pada seekor banteng. Saya betul-betul semakin menjadi bayangan di samping dia. Hehe.


Vera & Sari - 1986
Kelas 3 SMP kami berpisah kelas. Saya lalu bersahabat dengan Vera yang cantik tapi kemampuan otak tidak terlalu canggih. Dia baik dan jelas lebih lembut dari Miranti. Cuma ada satu hal yang bikin saya gerah; dari guru sampai tukang becak semuanya mendadak jadi perhatian atau malah genit kalau ada dia. Yang nyebelin dia juga menyadari hal ini dan bukannya sebal, dia malah lebih sering jadi kecentilan sendiri. Haduh mak! Lain orang, lain lagi adatnya. Saya sampai kebingungan sendiri memikirkan mana yang lebih enak buat dihadapi; Miranti atau Vera? Hehe.

Dilema itu diakhiri dengan lulusnya kami. Adios Miranti. Sayonara Vera. Tidak seorang pun dari mereka yang masuk ke SMA yang sama dengan saya. Sukur… (Hehe. Jahat betul ya saya). Sekolah baru. Lingkungan baru. Teman-teman baru. Seragam baru. Lembaran-lembaran baru tentunya dong.

Kelas 1 SMA sahabat-sahabat baik saya ada 2; Dewi dan Asih. Saya pikir dalam sejarah persahabatan saya di masa sekolah, mereka itulah yang paling normal. Dua-duanya sama-sama pintar tapi sangat bersahaja. Dewi bahkan aktif di kegiatan Paskibra sekolah kami. Sayangnya di kelas 2 kami harus berpisah kelas karena masing-masing masuk jurusan berbeda. Pada tahun 1988 itu pembagian kelas menurut jurusan A1 (Fisika), A2 (Biologi) dan A3 (Ekonomi/Sastra).

Jadi sejak kelas 2 SMA saya bertemu dengan Fina yang mungkin lebih tepat dijuluki Xena berhubung badannya tinggi (178 cm). Rada kebule-bulean hasil karya DNA kakek moyangnya yang asli Belanda.

Fina, 1988
Bentuk fisiknya inilah yang membuat dia jadi beken di sekolah. Dan sebagai sahabatnya saya pun jadi kebawa-bawa beken walaupun kami berbeda bagai langit dan bumi dalam segala hal. Disampingnya saya bagaikan kodok sawah. Hehe. Bukan tandingan deh. Karena itu sementara dia rame dapat tawaran ikut jadi panitia ini itu, terpilih jadi pengurus kelas, gabung dengan berbagai kegiatan eskul, saya hanya jadi penonton di pinggir pagar.

Satu ciri khas dari mantan sahabat-sahabat saya itu adalah mereka berada 1000 langkah di depan saya. Semuanya lebih pintar dan lebih garang dari saya. Hehe.

Lalu di kampus saya bertemu dengan Santi. Agaknya umur bertambah membuat kepribadian dan kemampuan akademik saya menjadi lebih berkembang dan sudah mulai kokoh jadi sekali itu Santi yang mengintili saya. Hehe. Jadi bukan lagi seperti jaman SD, SMP dan SMA ketika saya berjalan di bawah bayang-bayang sahabat-sahabat saya, tenggelam di bawah kebesaran nama, prestasi atau kehebatan mereka.


Kemudian saya masuk dalam dunia kerja dan saya lebih banyak dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua. Saya mendapati bahwa berteman, bersahabat dan bekerja dengan orang-orang yang lebih tua ternyata menimbulkan rasa tentram, nyaman dan aman sehingga sampai sekarang pun saya lebih suka bekerja di antara atau dengan mereka yang umurnya lebih senior.

Tahun 2005 tiba-tiba saja terjadi perubahan pada alur perjalanan hidup saya. Bagaikan orang banting setir, tiba-tiba saja saya mendarat di dunia pendidikan. Tidak main-main. Dunia pendidikan Taman Kanak-Kanak.

Dari berteman dan bersahabat dengan orang-orang sebaya, meningkat dengan orang-orang yang lebih tua. Trus, dari tahun 2005 itu saya dikerubuti anak-anak dari umur 3 sampai 6 tahun. Waduh!

Tapi kalau ada persahabatan yang paling tulus, paling murni, paling indah, paling unik, paling sejati, maka saya dapat katakan bahwa itulah pertemanan dan persahabatan dengan nilai tertinggi yang bisa saya dapatkan di dunia ini.

Yang unik adalah pada kasus seorang murid saya, Niko. Saya kemudian bersahabat juga dengan Ogut, mamanya. Kemudian sejak Juli 2011, saya bersahabat juga dengan ibu Martha yang juga bekerja di gereja yang sama di mana saya bekerja dan Martha adalah neneknya Niko. Nah, jadi saya bersahabat mulai dari anaknya, emaknya sampai ke neneknya. Hehe.

6 tahun terbiasa dalam kemurnian dan ketulusan itu membuat saya lupa bagaimana rasanya hidup di dunia orang dewasa. Saya gamang, saya takut, saya sempat depresi ketika saya memulai kerja di dunia orang dewasa.


Dari sekian ratus orang yang berdatangan ke gereja ini atau beberapa yang keterlibatannya tidak terbatas hanya dengan datang setiap hari Minggu ternyata ada yang mampu masuk dan menempati tempat istimewa di hati saya. Mereka itulah yang saya anggap sebagai sahabat walaupun jelas jenis persahabatan kami berbeda dengan jaman sekolah dulu di mana harus selalu bersama-sama, sampai seperti tidak punya kepribadian lagi.

Kelebihannya menjadi orang dewasa adalah saya kini bisa mempunyai teman atau sahabat tanpa harus berjalan di bawah bayang-bayang mereka. Bahwa saya tetap bisa menjadi diri saya sendiri. Memiliki pemikiran, pilihan, kemauan dan keputusan sendiri. Bahkan juga kehidupan sendiri. Kemandirian yang masih absolut.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing tetaplah saya wajib berterimakasih pada mantan sahabat-sahabat saya dan juga teman-teman saya yang disadari atau tidak telah memberikan kontribusi dalam pembentukan diri saya saat ini.

Saya sudah kehilangan kontak dengan sebagian besar dari mereka. Sejujurnya saya tidak berminat untuk mencari mereka lagi karena belum tentu yang dulu cocok bisa cocok pula di masa sekarang.

Masing-masing kita tidak akan pernah kekurangan stok teman. Orang-orang lama boleh saja berlalu tapi yang baru akan selalu berdatangan. Jadi jangan terlalu menangisi yang terhilang di masa lalu karena yang ada di depan mata bisa jadi adalah berlian. Dari sekian banyak teman nantinya secara alami akan terseleksi siapa yang benar-benar sahabat.
___________________________________________________________

I wrote about friendship in my previous blog posting and eversince that the subject stays in my mind. Well, there are many friends and only few bestfriends.

We ought not be picky on making friends.

I make friends with everybody. From the upper class to the grass level. I don’t treat them differently.

My attitude is the same toward the haves and the less fortunate. It means I can be as same as nice or as nasty to them. ☻

It has never been skin deep judgement toward the blue blood or the commoner. After all everytime we fart it smells the same, right? Lol. Well, probably the blue blood’s fart smells like steak while the commoner smells like dead fish but what so different? It is all smell like shit, isn’t it? Besides, we all will end up rotten inside the grave so what gives each of us the right to feel higher than others?

Back to the school days I was a freak who had less friends and even lesser bestfriends.

“Totally freak” you would say.

“An anti social creature” mocked the headmaster of the school where I used to work.

What a heck. Why bother of what people say about me? I won’t waste my time to even explain or give excuses. The friendship topic has been on my mind eversince I wrote my last blog and I thought I would write this one dedicated to all the people who used to be my friends and BF in my past.

Evi - 1984
As a kid and teenager I was pretty much walked under their shadows. They dominated me. Zuriah, Vita and Evi, they have always been the assertive type. I was always the follower one.

For 2 years in junior highschool my bestfriend was Miranti. We had one thing in common. We have no siblings. The difference is she has been born into that kind of situation while I was forced to be an only child after losing my 2 younger sisters.

Having the precious 10 years as the older sister making me less selfish. But not to Miranti. She reminded me to a bull. So strong willed and stubborn. I am amazed that I could stand to have her as a BF. I was really a shadow next to her.

We were put in different class in our senior year in junior highschool. So I met beautiful  but less smart Vera. She was definitely gentlier in character in comparation with Miranti. The only stain about her is every man from our teacher to pedicab driver became flirtious to her and it didn’t upset her. She knew she was beautiful and she was flirty. Gosh. I couldn’t tell which one better; Miranti or Vera.

Highschool separated me from both of them. Adios Miranti. Sayonara Vera. They went to different schools to my relief. I was in new school. New environment. New uniform. New friends. New start.


Circled : Keke & Dewi, 1987

Dewi and Asih were my bestfriends in my first year in highschool. I consider them to be the normal people whom I made friends with. Both were smart, diligent and very much involved in school extracurricular activities. Unfortunately we had to enter different class in our second and third year because in 1988 it was divided in 3 types of class; one is called A1 or Chemistry class, the next is called A2 or Biology class and the last is called A3 or Economy / Literature class.

And it was how I met Vina or I should call her Xena because she was so tall and big for Asian as the result of her late Dutch grandfather’s DNA.

But it was her physical appearance that made her popular in school. She was asked to become member of this and that organization or committee in school. I felt like a frog near her. Just a sidekick.

So they were all had one in common; they seemed to have walked 1000 steps ahead of me. It looked like they were already made themselves somebody and outshoned me.

Santi, 1990
College came. I obviously have made my own person because I met Santi who very much following me around. My friendship has made a new turn.

Off college and I found myself plunged into working people world where I was surrounded mostly by older people. I have ever since experience the benefit working with older people. They can give me the feelings of security. I feel comfortable and safe around them.

In 2005 I made a surprising turn in my career when I got a job as kindergarten teacher. My friends were little ones aged 3 to 6 years old. You could not imagine how it felt at first.

But it is the most sincere and wonderful friendship I have ever had!

With Nico's mom
The most unusual friendship I have made is with Nico, one of my student. And then with his mom. Funny thing is I work with his grandmother in this church and so I make friends with her too. From the kid to his mom and later to his granny. That is the most unique friendship.

However, being kindergarten teacher for 6 years have made me forgot how it felt to work among adults. It is why I got off balanced, scared and even depressed in my first months working in this church.

But among the people who come or involve in church activities there are nice ones whom found their way to get special places in my heart. 

The thing about being an adult is the ability to be on your own and no longer walk under other people’s shadow. You are entitled to have your own minds and can stand your ground.

But I need to appreciate all my former friends for being my friends and to be able to deal with me as they knew how I was in our time. They had their contribution of shaping me into a person I am today.

I have lost contact with most of them to which I honestly feel glad because I am not sure they could be fit to be my friends now. That was then, this is now.

We will never be running out of friends as they are keep coming. So don’t cry for the lost ones because you can’t tell if the ones infront of you are actually diamond in disguise. There are many friends. Time will sort them into 2 catagories; one that will remain just as friends and the other that will make bestfriends.