Kamis sore itu saya meninggalkan kantor dengan terburu-buru karena melihat
langit sudah mendung. Bogor belakangan ini mulai lagi rajin hujan.
That Thursday afternoon I left
the office in a rush after seeing the cloudy sky. Bogor gets plenty of rain
these past few days.
Di ujung jalan, telpon genggam saya berdering.
At
the end of the road, my cellphone rang.
“Say, saya nunggu di tempat biasa”
“Hun,
I am waiting at the usual place”
Suara Andre. Hah?.. Kok?..
Andre’s
voice? Huh?.. How?..
Tapi memang beneran Andre. Dia nyengir lebar ketika melihat
saya datang.
But
it was really Andre. He grinned broadly when he saw me.
Surprise!
“Kapan datang? Kok tidak kasih tahu saya?” saya protes.
“When
did you come? Why didn’t you let me know?” I protested.
“Kan kejutan” dia tertawa “lagian, saya kasih tahu pun, kamu
kan tidak bisa jemput ke bandara. Sudahlah, saya bisa urus semua kok”
“It’s
a surprise” he laughed “beside, even if I told you, you couldn’t come to pick
me up from the airport. So relax, I could take care everything by myself”
“Kampret!” saya memaki sambil tertawa dan memeluknya.
“Damn!” I swore as I laughed and hugged him.
Kami berpelukan dan berciuman. Aduh, senangnya saya.
Kangennya saya.
We
hugged and kissed. How happy I am. How I missed him.
Rasanya kami tidak mau berhenti berpelukan dan berciuman.
Kalau tidak karena mikir bakal jadi tontonan orang sekampung, wah, rasanya kami
berdua sudah bakal lupa tempat dan lupa waktu.
We
just didn’t want to stop hugging and kissing. If not the thought that we would
make such a show for the passers-by, we would forget time and place.
“Mau kemana?” tanyanya “Pulang? Mau makan dulu?”
“Where
do you want to go?” he asked “Get home? Wanna grab something to eat?”
Oh, saya tidak peduli dia mau bawa saya kemana. Saya tidak
peduli apa yang akan kami makan. Saya terlalu gembira. Dia ada disini sehingga hal-hal lain rasanya tidak jadi penting.
Oh,
I didn’t care where he would take me. I didn’t care what we would eat. I was too happy. He is here that other things seemed become less important.
“Saya telpon rumah dulu” kata saya akhirnya “kamu nginap
dimana?”
“I
better call home” I said “where do you stay?”
“Tempat biasa. Mau nginap?”
“Usual
place. Want to stay over?”
“Pastilah” saya nyengir.
“You
bet” I grinned.
Malamnya, kami duduk berdua di teras belakang. Mendengarkan
suara tetesan air hujan. Merasakan angin sejuk berhembus.
That
evening we sat at the back porch. Listened to the rain drops. Felt the cool
breezing wind.
Kami duduk sambil berpelukan.
We
sat with our arms around each other.
Malam itu sepi. Saya bisa mendengar detak jantung Andre.
Bunyi nafasnya.
It
was a quiet evening. I could hear Andre’s heart beating. The sound of him
breathing.
Dan tidak ada yang lebih membahagiakan saya.
And
nothing could make me happier.
Kami bertukar kabar tentang kehidupan masing-masing selama
hampir 3 bulan terpisah.
We
swapped news about the things we had in our lives on our nearly 3 months being
separated.
Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang putranya Josh,
tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, tentang teman-temannya, tentang
hal-hal yang terjadi di kota tempat tinggalnya, tentang negerinya dan berbagai
hal umum lainnya.
He
told me about his work, about his son Josh, about the things he did, about his
friends, about the things happened in his hometown, about his country and many
other things.
Saya juga menceritakan tentang kehidupan, pekerjaan dan
kegiatan saya serta hal-hal lainnya.
I
told him things about my life, work and activities, along with other stuff.
Bergantian kami bicara. Kadang bicara bersamaan. Kadang
tertawa geli. Kadang berdebat.
We
took turn in talking. Sometimes we talked at the same time. Sometimes we
laughed heartily. Sometime we argued.
Saya merasakan lengan-lengannya yang panjang dan kekar itu
memeluk saya selama kami bicara. Tapi tidak hanya itu yang membuat saya merasa
aman dan tentram.
I
felt his long and strong arms wrapped me tightly as we talked. But it wasn’t
the only thing that made me felt safe and comfortable.
Ada orang dengan siapa saya bisa menjadi diri saya
seutuhnya.
There
was someone with whom I could completely be myself.
Ada orang yang mendengarkan saya.
There
was someone who listened to me.
Ada orang yang meminta pendapat saya dan memperhitungkan
pendapat itu.
There
was someone who asked for my opinion and took it seriously.
Saya merasa di dengar dan dihargai.
I
was heard and I felt appreciated.
Di tempat kerja, saya tidak selalu merasa demikian. Saya
memang dibutuhkan di sana tapi kadang saya merasa dipandang serendah alas kaki.
I
don’t feel that way at work. I am needed there but sometimes I felt I was seen
like a doormat.
Beberapa hari sebelumnya di ruang kerja saya berkumpul 4
orang. Lebih tepatnya kami semua terdampar di sana. Tidak bisa pulang karena
turun hujan sangat lebat.
Few
days earlier there were 4 people gathered in my room. Well, we were sort of
stranded there. We couldn’t leave because it was pouring down outside.
Kami berkumpul di sana karena seorang dari mereka datang
untuk mengajari program photoshop yang akan dipakai dalam pekerjaan.
We
gathered there because one of them came to teach us how to operate a program
using photoshop. It is something related to work.
Jam 4 sore.. hujan deras.
4
pm.. it was pouring rain.
Jadilah 4 laki-laki itu dan saya tidak bisa kemana-mana. Dan
kami pun mulai mengobrol mulai dari membicarakan program yang tadi dipelajari,
lalu tentang pekerjaan mereka, program-program komputer, harga-harga di pasar,
naik turunnya dollar, sampai ke politik.
So
those 4 men and myself couldn’t go anywhere. And so we started talking about
the program that we just learned, about their jobs, computer programs, prices
in the market, dollar fluctuation, all the way to politics.
Dalam percakapan ini saya tidak hanya menjadi pendengar.
Saya aktif bicara.
I wasn’t just being a listener in this conversation. I turned myself into an
active talker.
Dan mereka mendengarkan pendapat saya. Biar pun saya bukan
seorang ahli dalam bidang komputer, ekonomi atau politik, tapi bagi mereka itu
tidak jadi masalah.
And
they listened to my opinion. Though I may not be an expert in computer, economy
or politics but they didn’t make it as a big fuss.
Informasi atau pengetahuan yang kami miliki mungkin saja
tidak lengkap atau tidak sempurna tapi lewat percakapan sore itu kami saling
mengisi, mengoreksi dan melengkapi.
The
information or knowledge each of us had might lack or imperfect and through that afternoon’s conversation we filled, corrected and completed them.
Saya tidak bisa untuk tidak membandingkan dengan percakapan
antara senior saya, teman saya dan adik saya yang juga mengambil tempat di
dalam ruangan saya.
I
can’t help myself not to compare with the conversation my senior, my friend and
my ‘brother’ had that also took place in my room.
Dalam percakapan itu saya hanya menjadi pendengar. Bukan
karena saya menganggap topiknya tidak menarik. Tapi karena saya tidak merasa
dilibatkan didalamnya.
But
in that conversation I put myself just as a listener. Not because I thought the
topic was uninteresting. But it was because I felt I was left out of it.
Ketika saya dimintai pendapat, saya merasa pendapat itu
tidak terlalu diperhitungkan, bahkan akhirnya jadi bahan ledekan.
When
I was asked to give an opinion, I felt it wasn’t really put into consideration,
infact, it was made as something to tease me.
Jadi berbeda dengan ketika saya mendengar percakapan 4 orang
itu yang mendorong saya untuk ikut bicara dan bahkan kemudian terlibat aktif
didalamnya, sekali pun diskusi itu diselingi juga dengan canda, tawa dan
ledekan, sementara percakapan antara senior saya, teman saya dan ‘adik’ saya sama
sekali tidak menggugah minat saya untuk bicara.
So
unlike the one I had with those 4 men that encouraged me to talk and later
actively involved in the conversation, a conversation that also filled with
jokes, laugh and teasing, while the one that my senior, my friend and my ‘brother’
had didn’t move me to open my mouth and spoke.
Percakapan saya dan 4 orang itu berlangsung selama lebih
dari satu jam. Kalau saja hujan tidak berhenti atau hari masih siang, saya rasa
percakapan itu akan berlanjut lebih lama.
My
conversation with those 4 men went for about an hour. If the rain didn’t stop
or it was not late in the afternoon, I think it would go on.
Bandingkanlah dengan reaksi saya terhadap percakapan antara
senior saya, teman saya dan ‘adik’ saya. Baru juga mungkin 15 menit
mengikutinya (lebih tepatnya: mendengarkan), saya bosan. Begitu ada kesempatan
dan alasan, saya segera kabur keluar ruangan.. hehe..
Compare
it with my reaction toward the conversation my senior, my friend and my
‘brother’ had. It was probably just gone for 15 minutes (to be precise: being a
listener), it bored me so much that once I had a chance and excuse, I ran
out of my room.. lol..
Saya menceritakan hal ini pada Andre.
I
told this to Andre.
“Kenapa ya?” tanya saya “padahal senior saya, teman saya dan
‘adik’ saya adalah orang-orang baik. Saya tidak usah bersandiwara ketika ada bersama
dengan mereka. Saya juga tahu kami saling peduli, saling percaya dan saling
menyayangi”
“Why
would it be like that?” I asked “my senior, my friend and my ‘brother’ are nice
people. I don’t have to pretend when I am with them. I know that we care, we
trust and love one another”
Saya mendengar Andre menghela nafas. Berpikir sejenak
sebelum menjawab.
I
heard Andre sighed. Thought over before he answered that question.
“Saya tidak akan cepat-cepat menyimpulkan bahwa mereka tidak
menghargai atau mendengarkan pendapat kamu karena kalau tidak salah kamu pernah
bilang kalau mereka mengupayakan supaya ada mobil untuk mengantar pulang mereka
yang ikut kegiatan itu kan”
“I
wouldn’t quickly conclude that they didn’t appreciate or didn’t take your
opinion into their consideration because if I am not wrong, you told me that they work it out so there
will be car to drive home those who attend that activity”
Ya, itu benar.
Yes.
That’s true.
“Ada orang-orang tertentu yang sepertinya tidak
memperhatikan kita, tidak serius ketika di ajak bicara, seperti menganggap
angin, semua di bawa bercanda saja. Tapi sebetulnya tidak. Dan seniormu itu
modelnya begitu. Karena keputusan untuk menyetujui ada kendaraan untuk
mengantar pulang itu kan ada pada dirinya”
“There
are people who seem to ignore us, not able to have a serious conversation, go
easy on things, turn them into jokes. But they are not like that. And your
senior seems like that kind of person. Because the decision to agree on
providing a car to drive home the attendants is his”
Saya diam. Mendengarkan. Merenungkan kata-katanya.
I
said nothing. Listening. Absorbing his words.
“Atau dia juga seperti saya” Andre mengusapkan dagunya ke
kening saya. Membuat saya tertawa geli karena jenggotnya itu terasa seperti
menggelitiki saya.
“Or
he is just like myself” Andre caressed my forehead with his chin. I laughed
because his beard felt tickling.
“Mirip gimana?” saya tertawa sambil mendorong dagunya
“kalian dua orang yang sangat berbeda”
“What
do you mean?” I laughed as I pulled his chin away “the two of you are not a
like”
“Kalau kita mau pergi, kamu kan tahu beres” Andre tersenyum
“siapa tuh yang ngurus dari mulai cari informasi, booking hotel, beli tiket,
sewa mobil, beli bekal, pilih travel, tempat makan?”
“Whenever
we would go travelling, you knew all is well planned” Andre smiled “who do you
think taking care from getting the information, booked the hotel, bought the
ticket, rented the car, bought the food and beverages, picked the travel agent,
the restaurant?”
“Kamu!” saya tertawa dan menciumnya.
“You!”
I laughed and kissed him.
“Nah, mana pernah saya ngomong-ngomong ke kamu. Saya juga
tidak pernah nanya pendapat kamu kan? Pokoknya semua saya atur. Saya juga tidak pernah
melibatkan kamu dalam prosesnya. Kamu tidak tahu apa yang saya kerjain.
Pokoknya semua beres”
“So,
have I ever talked to you about it? I never asked your opinion either, right? I
took care everything. I never involved you. You didn’t know what I did. The
thing is everything well done at the end”
“Jadi, saya kira seniormu itu juga demikian. Jangan
tersinggung kalau dia sepertinya tidak pernah minta pendapat kamu atau pendapat
kamu dijadikan bahan ledekannya”
“So,
I think your senior is that kind of person. Don’t get offended when it seems he
doesn’t ask for your opinion or makes it as a teasing”
Saya menghela nafas “seandainya saja saya bisa bicara
dengannya seperti saya bicara dengan 4 orang itu atau dengan kamu”
I
sighed “if only I could talk to him just like I talked to those 4 men or with
you”
“Yah, kalau dia memang sudah seperti itu, jangan terlalu
menuntut dia harus menjadi seperti yang kamu mau” Andre menghibur saya “toh dia baik ke kamu. Sikapnya ke kamu malah kayak kamu itu anaknya. Sudah syukur kamu punya atasan kayak gitu"
“So, if he is what he is, don’t ask him to be the person you want him to be” Andre soothed my feelings “because despite all those things, he is kind to you. He is even treats you like a daughter. Be happy to have a superior like that"
Melihat saya diam saja, Andre tertawa.
Seeing
me idled, Andre laughed.
“Ya, saya tahu kamu kecewa. Kamu mengira karena dia seorang
yang punya pembawaan menyenangkan maka otomatis dia bisa dijadikan orang yang
juga menyenangkan untuk di ajak bicara serius atau di ajak diskusi”
“Yes,
I know you are disappointed. You thought that since he is a pleasant person, it
would automatically make him a pleasant person to have a serious conversation or a
discussion”
“Ya, saya pikir memang demikian” saya mendesah panjang “si
bapak memandang saya seperti anaknya. Anak untuk dilindungi, di bimbing dan
juga di ledek”
“Yeah,
I guess that is the case” I gave a long sigh “he sees me like his child. A
daughter to be protected, guided and also to be teased”
“Gini deh, kan masih ada saya atau 4 temanmu itu buat
dijadikan teman diskusi, buat ngobrol serius atau berdebat” Andre menepuk pipi
saya pelan “terus juga masih ada juga temanmu dan ‘adik’mu. Teman kamu yang
lain juga masih banyak kan..”
“Look,
you have me and those 4 friends with whom you can have a discussion, to have a
serious conversation or having an argument” Andre patted my cheek gently “there
are your friend and your ‘brother’. Beside, you still have many other
friends..”
Saya memeluk lengannya. Bergelung nyaman dalam pelukannya.
I
hugged his arm. Curled up comfortably in his embrace.
“Itu alasan kenapa kita punya banyak teman” lanjut Andre
“supaya kita bisa saling mengisi”
“That
is why we have many friends” Andre went on “so we can fill each other”
Kami terdiam sejenak.
We
went quiet for few seconds.
“Mungkin juga seniormu itu merasa dia bisa bebas melepaskan
diri dari ketegangan kerja dikantornya ketika dia ketemu kamu. Kalau
dikantornya sendiri belum tentu dia bisa sesantai atau sebebas seperti kalau
dia berada di tempat kerja kamu”
“Perhaps
your senior feels he can get off the tension in his office when he is with you.
He can’t be as relax or completely be himself as when he is at your workplace”
Saya tertawa kecil.
I
laughed lightly.
“Ya, sepertinya sih memang begitu”
“Yep,
I thought that too”
“Karena kamu tipe orang yang cuekan, orang berasa tidak perlu jaim sama kamu”
“And,
you are an easy going person that make others feel
at ease because they don’t have to pretend when they are with you”
“Kamu juga tidak gampang tersinggung. Tidak ngambekan. Kalau
marah, tidak pernah lama. Kamu lucu. Kamu spontan. Kamu tidak berpura-pura ke
dia. Ya, dia berasa aman dengan kamu”
“You
don’t get mad easily. Not someone with bad tantrum. Even if you are upset, it
doesn’t last long. You are funny. Spontaneous. You don’t pretend when you are
with him. So yes, he feels at ease being with you”
“Dia mungkin tidak bisa dijadikan orang untuk berdiskusi
atau ngobrol serius tapi dia memastikan kamu aman dan tentram di situ. Karena
itu membahagiakan dia juga mengetahui kamu kerja di situ dengan aman dan
tentram”
“He
probably can’t be a person to have a discussion with or to have a serious
conversation but he makes sure that you are safe and comfortable in that place.
It makes him happy to know that you work safely and comfortably there”
Saya menggeliat “mmm..”
I
stretched my body “mmm..”
Dia benar.
He
is right.
Jadi begitulah. Saya berpikir-pikir.
So
there it goes. I gave it a thought.
“Sudahlah, jangan jadi terlalu sedih karenanya” Andre
mencium saya “kalian berdua bisa saling melonggarkan urat syaraf karena rasa
humor kalian kan sama. Nanti kalau kamu ingin diskusi, ngobrol serius atau
berdebat, lakukan itu dengan orang lain”
“Come
on, don’t be that sad” Andre kissed me “the two of you can loosened each other's nerves
because you both have the same sense of humor. Now, when you want to have a discussion,
serious conversation or argument, do it with other people”
Yah, jadi masalah terselesaikan..
No comments:
Post a Comment