Kalau bukan karena permintaan orang-orang yang saya sayangi,
hari Rabu (25/9) itu saya pasti sudah bablas pulang.
If it
wasn’t because the request from the people I love, I would definitely go
straight home on that Wednesday (Sept 25th).
Pertama adalah ‘adik’ saya yang beberapa kali minta saya
supaya ikut dalam acara yang diadakan hari Rabu sore itu. Sekali pun alasan yang
diberikannya terdengar agak tidak masuk akal, tapi..
The
first is my ‘brother’ who asked me to attend it. Though I found his reason was
a bit not make sense, still..
Duh, keluh saya dalam hati, coy, elu bikin gue susah nolak.
Geez,
I sighed quietly, dude, you make me can’t say no.
Sama seperti dia, senior saya juga meminta saya untuk datang
sejak dari beberapa minggu sebelumnya. Bahkan ketika saya menelponnya hari Rabu
pagi, beliau masih minta saya untuk datang.
Not just him, my senior has been asking me to attend it even from few weeks
earlier. He asked me again when I called him on Wednesday morning.
Duh, lagi-lagi saya mengeluh dalam hati, bapak.. bapak..,
gimana saya mau nolak?
Geez, once
again I sighed quietly, sir, you make me can’t say no.
Saya merutuki diri sendiri. Saya lemah terhadap orang-orang
yang saya sayangi.
I am
angry to myself. I am weak toward the people I love.
Saya berkali-kali menolak permintaan Andre untuk pindah ke
negerinya karena cinta saya pada orang tua saya terlalu besar. Mereka
bergantung pada diri saya. Tidak akan sampai hati saya meninggalkan mereka.
So
many times have I turned down Andre’s request for me to move with him to his
country because my love to my parents is too big. They depend on me. I don’t
have a heart to leave them.
Cinta saya pada orang-orang tertentu membuat saya
mengorbankan banyak hal..
My
love to certain people make me give many sacrifices.
Saya kesal pada diri sendiri. Saya lemah terhadap
orang-orang yang saya sayangi.
I am
upset with myself. I am weak toward the people I love.
Biar pun saya pemarah, tidak sabaran dan keras kepala, tapi
kasih saya pada orang-orang tertentu membuat saya mau saja menjalani, melakukan
atau menerima hal-hal yang sebetulnya membangkitkan amarah saya atau membuat
saya nyaris gila karena merasa tidak sabaran.
Eventhough
I am a short tempered person, with thin patience and stubborness, but my love
for certain people make me willing to go through, do or accept things that
actually making me mad or drew me crazy out of impatience.
Hari Rabu itu misalnya, saya sebetulnya sudah amat sangat
capek.
That
Wednesday for example, I was actually feeling so exhausted.
Saya tipe manusia pagi. Semakin siang, tenaga, semangat dan
konsentrasi saya semakin berkurang.
I am a
morning person. My energy, spirit and concentration are become less and less by
the passing hour.
Jadi hari Rabu sore itu saya membawa sisa-sisa tenaga dan
semangat saya.
I came
with what was left in my energy and spirit on that Wednesday afternoon.
Rasa kantuk yang luar biasa membuat mata saya perih. Susah
payah saya menahan supaya tidak menguap. Tapi tak ayal, saya sempat merasa
hampir tertidur.. ketika saya duduk dan menundukkan kepala.
I felt
so sleep that it hurt my eyes. I tried so hard not to yawn. But still, I felt I
dozed off.. as I sat there and bowed my head down.
Acaranya sama sekali tidak menggugah semangat saya. Bahkan
saya langsung teringat pada jaman sekolah di SMP dan SMA dulu ketika kami
melakukan diskusi di dalam kelas.
The
thing they had there was not lifting my spirit. I was even reminded to the old
time back in Junior highschool and highschool when we had discussion in the
classroom.
Amat sangat membosankan!
It was
so boring!
Saya jenis orang yang memilih belajar langsung dari
kehidupan.
I am
the kind of person who prefer to learn from life itself.
Saya akan menguap lebar kalau anda mendatangi saya dan
mengocehi saya tentang isi sebuah buku, apalagi kalau saya melihat anda hanya
fasih mengucapkannya tapi tidak bisa menerapkannya dalam kehidupan dan pada
diri anda sendiri terutama ketika masalah mendatangi hidup anda.
I
would give you a big yawn if you came to me and lecture me about a book,
especially when I see that you are only good at speaking about it without
really apply it in your own life or on yourself at times when problems came to
your life.
Jangan berikan kepada saya segudang teori. Saya bisa
menghapalkannya sendiri.
Don’t
give me piles of theories. I can memorize them by myself.
Tapi bergunakah segudang teori itu ketika badai kehidupan
datang? Atau ketika rasanya matahari tidak akan pernah terbit lagi.
But
would those piles of theories came in handy when the storm of life strikes? Or
at times when it seems the sun will never rise anymore.
Bicaralah tentang hal-hal seperti itu dan jangan berikan kepada saya materi yang mengingatkan saya pada pelajaran semasa sekolah dulu.
Talk about those kind of things and don't give me stuff that reminds me to the old days in school.
Kepala saya semakin lama semakin terasa berat dan pusing.
I felt
headache grew bigger and bigger as the clock ticking.
Kalau bukan karena rasa sayang saya pada ‘adik’ saya yang
sangat besar, saya pasti langsung angkat kaki begitu saya merasa yang sedang
disuguhi kepada saya ini sama sekali tidak ada gunanya bagi saya.
If I
don’t love my ‘brother’ s much, I would definitely leave the moment I felt what
they gave me there was useless for me.
Kalau bukan karena rasa sayang dan hormat saya yang sangat
besar untuk senior saya, saya, tidak akan mau saya duduk menyabarkan diri di
dalam ruangan itu sementara hati saya digerogoti oleh rasa bosan dan sebal.
If it
was not for my tremendous love and respect toward my senior, I wouldn’t sit there
and told myself to be patient right at the time my heart was grew thin out of
boredom and upsetness.
Saya memukul kepala saya dengan kesal. Inilah yang tidak
saya ingini. Saya menjadi lemah ketika saya mulai melibatkan emosi saya pada
orang-orang di sekitar saya. Yaitu ketika saya mengasihi mereka.
I patted
my head out of upsetness. I don’t want this. I am weak when I involved my
emotion. It is when I start to love the people around me.
Biar pun jumlahnya cuma segelintir, tapi buat saya
segelintir itu pun menunjukkan bagaimana saya sudah melanggar prinsip saya
sendiri untuk tidak melibatkan perasaan dengan mereka.
Their
number probably is very few but to me that is enough to show me that I have
violated my own principle of not to have emotionally involved with them.
Ya, saya ramah dan baik kepada semua orang. Tapi saya
berprinsip hal itu harus dikerjakan tanpa harus melibatkan perasaan. Semua demi
menjaga hubungan kerja atau perkawanan yang baik saja. Jangan jadi mencintai
seorang pun dari mereka.
Yes, I
am friendly and kind to everybody. But it is in my principle that it has to be
done without involving any feelings. It is done for the sake of keeping a good
work relationship or friendship. Don’t ever love them.
Ketika saya berhenti bekerja dari taman kanak-kanak itu,
yang membuat saya susah tidur dan menangis di malam hari selama berhari-hari
adalah karena saya terlanjur mencintai murid-murid saya yang masih bersekolah
di sana dan juga beberapa rekan guru.
When I
quited my job at that kindergarten, what made me had sleeping problem and
cried at night for days was because I loved my students who were studying there
and for few fellow teachers.
Ketika mantan atasan saya yang orang Jepang itu harus
kembali ke negerinya karena perusahaan kami di tutup saat krismon tahun 1998,
saya memeluknya sambil menangis ketika mengantarkannya di bandara.
When
my former Japanese superior had to return to his country after our company was
closed due to 1998 monetary crisis, I hugged him and cried when I came along to
the airport.
Hampir 2 tahun kami bekerja di satu kantor yang sama.
Hubungan kami bukan lagi sebatas atasan dan sekretaris. Kami berteman,
bersahabat, saling mengasihi seperti kakak adik.
We
worked in the same company for nearly 2 years. We were not just boss and
secretary. We were friends, bestfriends, we loved each other like brother and
sister.
Sementara itu hubungan saya dan Andre mungkin aneh di mata orang. Saya
menyayanginya tapi tidak mampu untuk membiarkan diri saya menjadi miliknya
sepenuhnya. Saya menolak ikut ke negerinya, saya menolak dinikahinya, saya
minta supaya hubungan kami tidak terikat sehingga masing-masing kami bebas
untuk pergi dengan orang lain dan bila akhirnya seorang dari kami jatuh cinta
pada orang lain maka yang lain harus dapat menerima dan melepaskannya.
In the meantime my
relationship with Andre maybe seen unusual for some people. I love him but I
can’t let myself to completely be his. I don’t want to move to his country, I
don’t want to get married with him, I asked that our relationship be made into
open relationship so each of us is free to date others and when one of us fall
in love with other person then the other party will let him / her go.
Semua karena satu alasan; cinta akan melemahkan saya. Dan
pada akhirnya akan menyakiti hati.
All
for one reason; love weakened me. And eventually it only led to heartache.
Setiap kali saya bertengkar dengan ayah atau ibu saya,
setiap kali itu pula amarah itu berbalik menyakiti diri saya sendiri karena
rasa sayang saya kepada mereka membuat amarah itu pada akhirnya seperti merobek
jiwa saya sendiri.
Everytime
I had a fight with my father or mother, everytime the anger turned against me
and hurt myself because my love for them made it ribbed my own soul.
Setiap kali saya lepas kendali dan marah pada ‘adik’ saya,
apakah hal itu membuat saya lega, puas atau gembira? Apakah ego saya bersorak
kegirangan?. Tidak. Saya justru di dera oleh rasa bersalah, di siksa oleh
penyesalan. Apalagi kalau dia diam dan tidak membalas.
Everytime
I lost control and blew up at my ‘brother’, would it relieved, satisfied or
made me happy? Would my ego cheered happily?. No. I have even driven by guilt,
tortured by regret. Especially when he was quiet.
Ketika saya mengamuk pada Andre, apakah itu membuat saya
merasa superior?. Tidak. Hal itu malah menghancurkan hati saya.
When I
enraged wildly to Andre, would it make me feel superior?. No. It crushed my
heart instead.
Rabu itu, sudah lewat jam 6 ketika acara selesai.
That
Wednesday, it was already passed 6 pm when it was done.
Di luar hujan deras.
It was
pouring rain outside.
Kendaraan yang katanya akan disediakan untuk mengantar
peserta acara ini ternyata tidak ada.
The
car that was said would be provided to drive home the participants was not
there.
Saya heran memikirkan kenapa selama 2 minggu tidak ada yang
memikirkan rencana cadangan kalau mobil yang mau di pinjam ternyata tidak bisa
di pinjam.
I was
puzzled to think that wouldn’t anyone have backup plan incase the car couldn’t
be borrowed.
Oh ya, sewa angkot.. itu rencana cadangannya.
Oh
yeah, rented the public car.. that was the backup plan.
Tapi yang saya lihat saat itu adalah semua hanya ribut
bicara tentang menyewa angkot. Kenapa tidak langsung saja keluar dan minta
seseorang untuk mencarikan angkot? Kenapa harus bertanya pada saya dan ibu-ibu
lain apa perlu menyewa angkot.
But
what I saw was everyone talked about renting it. Why not just got out there and
asked someone to get it. Why should ask me and other ladies about renting it?
Saya terlalu capek, terlalu mengantuk, terlalu pusing,
terlalu lapar, terlalu kedinginan, terlalu bingung, terlalu tegang dan terlalu
sebal untuk bersuara.
I
was too tired, too sleepy, too dizzy, too hungry, too cold, too confused, too
tense and too upset to say a word.
Saya tidak mau ngomel, tidak mau menggerutu, tidak mau
bersikap konyol cuma gara-gara urusan kendaraan untuk pulang.
I
didn’t want to get mad, neither to grumble, certainly didn’t want to act silly
just because the transportation to get me home.
Saya pikir kalau tidak ada mobil, persetan, saya punya kaki
dan duit kok. Saya bisa pulang sendiri.
I
thought to myself if there isn’t any car to drive us home, hell, I have my
own feet and money. I can go home by myself.
Yang harus saya perhitungkan adalah hujan deras dengan angin
dingin.
What I
should think is the pouring rain with freezing wind.
Tapi saya sudah tinggal di kota hujan ini selama 15 tahun.
Saya sudah mengantisipasi kondisi cuaca dengan selalu membawa payung, topi atau
jaket. Tapi dengan hujan sederas itu saya perlu payung yang lebih besar dan
saya menyimpan satu di kantor. Juga jaket.
But I
have lived in this rainy town for 15 years. I have anticipated the weather by
always bringing umbrella, hat or jacket. But I need bigger umbrella in this
pouring rain and I keep one in the office. So does the jacket.
Jadi tanpa berkata apa-apa, saya keluar dari ruangan.
So
without saying a word, I left the room.
Saya ambil payung dan jaket saya. Lalu terpikir oleh saya..
I took
my umbrella and jacket. Then it just crossed my mind..
“Say, kamu ada dimana sekarang?”
“Hun,
where are you now?”
“Di Fatmawati” jawab Andre “Kenapa?”
“At
Fatmawati” said Andre “Why?”
Yah, terbanglah semangat saya. Andre sedang di daerah
Fatmawati, Jakarta.
There went
my spirit. Andre was in Fatmawati area, Jakarta.
“Ga apa-apa. Saya pikir kamu bisa jemput saya”
“Nothing.
I was wondering if you could come and pick me up”
“Saya lagi nemuin beberapa klien baru. Memangnya kamu ada
dimana?”
“I was
meeting some new clients. Where are you anyway?”
“Di kantor”
“In
the office”
“Oh? Lembur? Ada acara?”
“Oh?
Overtime? Some event?”
“Ada acara. Sekarang sudah selesai. Tapi belum bisa pulang.
Hujan besar di sini. Saya pikir kamu di rumah. Pingin minta di jemput”
“Some
event. It is done now. But I can’t go home. It’s pouring rain here. I thought
you were at home. I need a lift home”
“Saya mungkin sampai sana lebih dari sejam” jawab Andre
setelah diam sejenak “Kamu mau nunggu?. Kalau mau, saya buru-buru pulang
sekarang”
“It
may take me more than an hour to get there” said Andre a moment later “Do you
want to wait for me?. Because if you do, I will leave now”
Wah, bisa garing saya nungguin dia. Lagi juga kasihan dia
harus terbirit-birit pulang.
No, I
can’t wait that long. Beside, I don’t want him to go back in such a hurry.
“Tidak usah deh. Saya bisa pulang sendiri”
“That’s
okay. I can go home by myself”
“Yakin?”
“Are
you sure?”
Ya, saya yakin. Dengan mantap saya kembali ke dalam ruangan
untuk pamit pada senior saya dan orang-orang yang masih ada di sana.
Yes, I
am sure. I walked firmly to the room to tell my senior and others that I would
leave.
Saya kalah cepat membuka mulut karena begitu melihat saya
masuk ruangan, senior saya langsung berkata “Keke, kita sewa angkot buat antar
kamu pulang ya”
I
wasn’t quick to speak because once my senior saw me entered the room, he
quickly said to me “Keke, we rent the car to drive you home, ok”
Dalam hati saya mau tertawa sekaligus menjerit kesal.
I felt
like laughing and screaming out of my upsetness.
Jadi soal sewa angkot masih belum diputuskan juga?
Astaga! Dari mulai saya keluar ruangan untuk ambil payung dan jaket, pakai
jaket dan telpon Andre, kemudian mengunci pintu-pintu.. urusan per-angkotan belum juga beres? Aduh, ngapain harus
nungguin saya balik ke ruangan, pak? Apa pun keputusan bapak, saya ngekor aja
deh.
So the
renting car matter hasn’t been decided? Goodness! From the time I left the room
to get my umbrella and jacket, put on the jacket and called Andre, locked the doors.. that matter
hasn’t been settled? Why should wait for me to return to the room, sir? I take
whatever decision you make, sir.
Kalau saya ini banteng, mungkin dari hidung saya sudah
keluar asap saking kesalnya. Hehe.
If I
were a bull, smoke probably would come out f my nose out of my upsetness. Lol.
Akhirnya angkot pun datang. Saya memanggil rekan saya yang
saya tahu memang ahli menawar dan tahu jalan.
And
the car arrived at last. I called my colleague that I know is a good bargaining
person and knows the route well.
Akhirnya semua beres. Senior saya memberi saya uang untuk
membayar sewa angkot itu. Dan saya pun langsung naik ke angkot tanpa banyak
bicara lagi.
Things
were settled at last. My senior gave me money to pay the rent fee. And I got
into it with less words to say.
Selintas saya melihat senior saya berdiri di depan pintu.
Memperhatikan kami.
I took
a glimpse at my senior standing infront of the gate. Watching us.
Di dorong oleh rasa capek dan kesal, saya bahkan tidak
pamit sebelum pulang. Saya nyaris tidak bersuara.
Forced
by nausea and upsetness made me didn’t even said ‘goodbye’ to him. I barely
spoke.
Sementara saya bicara pada rekan-rekan saya yang berada di
angkot, saya merasa rasa nyeri menusuk hati saya.
As I
talked to my acquaintances in the car, I felt a sharp pain in my heart.
Saya telah marah pada seseorang yang saya sayangi dan kini
amarah itu berbalik menyakiti hati saya. Saya menyesali diri karena rasa marah
itu demikian menguasai diri saya.
I was
mad to someone I love and that anger turned back to hurt me. I felt sorry that
it really got into me.
Ingin rasanya saya melompat turun dari angkot dan berkata
pada senior saya, ‘Saya sungguh tidak marah. Saya hanya sedikit kehilangan akal
sehat saya karena saya capek, lapar dan kedinginan. Janganlah terlalu
mencemaskan saya. Saya hanya perlu mandi, makan dan tidur. Besok pagi saya akan
kembali normal’
I felt
like jumping out of the car to tell my senior ‘I am not really mad. I am just
loosing my common sense, just a little of it, because I am tired, I am hungry
and cold. Don’t worry too much about me. I just need a bath, dinner and sleep. I
will be back to normal in the morning’
Saya tidak akan merasa seperti ini pada orang-orang yang
tidak saya kasihi.
No comments:
Post a Comment