Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, October 25, 2023

SI BLOGGER TANPA PENDUKUNG

Tema hari keempat adalah: support system dalam menjalani peran sebagai blogger. 


Suwer tekewer-kewer, urusan blogging akan menjadi sangat mulus lus lus bagaikan selendang sutra seandainya saya punya support system.


Apa pula maksudnya support system sebagai blogger? Weleh, masa ga tau? Itu loh, maksudnya, para pendukung atau hal-hal yang mendukung kegiatan sebagai blogger.


Trus, apakah saya punya?


Mmm ... sejenak merenung. Mmm ... mmm ... masih merenung sambil merem melek.


Woi! Udah! Udah! Itu lagi merenung atau lagi ngeden di atas kloset sih? Gubrak! Dah, ga perlu diperjelas.


Seandainya saya punya support system sebagai blogger, harusnya di kantor ada seorang aspri yang bisa saya perintahkan untuk mengetik surat, menghubungi pengkhotbah untuk hari Minggu, pergi ke toko untuk beli kopi beserta kawan-kawannya, trus pulangnya dia mencatat duit yang keluar untuk belanja itu ke laporan petty cash dan dia juga yang terpuyeng-puyeng bikin liturgi ibadah, bikin slide untuk ibadah, warta digital, dia yang kelimpungan menghubungi kiri kanan mencari orang yang mau mengganti worship leader yang sakit tipesnya tiba-tiba kumat. Aspri yang malang ini juga yang harusnya mengambil alih seribu satu pekerjaan lainnya sehingga ringanlah hati dan pikiran saya dari segala beban.


Tanpa kesibukan, tanpa tekanan dan tanpa sejibun pekerjaan yang beraneka ragam itu tentu akan membuat saya bisa duduk dengan santai sambil menikmati secangkir teh panas di depan komputer sementara angin cepoi cepoi dari ac berhembus pelan, menyejukkan ruangan yang terisi dengan harumnya bau lilin aromaterapi yang nyala apinya memantulkan bayang-bayang misterius di dinding, lampu yang diredupkan semakin menciptakan aura yang dibutuhkan oleh seorang blogger untuk menulis.


Ide demi ide segera bermunculan dan jari jemari lincah menari di atas tuts-tuts komputer. Ah, indahnya. Jangankan membuat satu postingan sehari, tujuh postingan pun pasti bisa kelar dikerjakan dalam hanya beberapa jam.

Seandainya saya punya support system sebagai blogger, seharusnya setibanya di rumah dari kantor, tak perlulah saya mengajak jalan anjing saya, sesudahnya tak perlu juga saya terbirit-birit memberi makan dua ekor anjing, menyapu, mengelap mereka dengan tisu basah, menyapu lantai, mencuci piring, menyiapkan beras yang akan dimasak esok harinya, menyemprot ruangan dengan obat nyamuk dan memastikan semua pintu sudah terkunci rapat.


Alangkah indahnya hidup sebagai blogger seandainya begitu tiba di rumah dan membuka pintu, saya hanya perlu meletakkan tas, mengganti baju, mandi, makan dan kemudian berkonsentrasi membuat postingan karena di rumah pun saya punya support system yang mengambil alih seluruh pekerjaan hingga waktu, tenaga dan mood saya bisa terfokus hanya untuk blogging, blogging dan blogging. Oh, jangankan tantangan memposting satu postingan selama seminggu, lima postingan untuk sehari pun jadi perkara encer.


Tapi semua itu cuma khayalan. Kenyataannya adalah, sudah hampir jam sepuluh malam ketika saya bisa duduk dan mulai mengejar ketinggalan saya. Berharap pada hari terakhir ini saya bisa membuat empat postingan lagi.


Yah, semoga bisa. Bukan hadiah yang saya harapkan. Konsistensi yang sedang saya perjuangkan.


Kalian mungkin bertanya tidak adakah seorangpun yang mendukung saya?


Jadi begini, saya bekerja di kantor yang irit pegawai. Yang bekerja di kantor ini diharapkan (baca: dituntut) untuk serba bisa dan serba sanggup. Dari mulai belanja keperluan kantor sampai mendesain warta mingguan dapat dilakukan sendiri. Dari mengelap kaca jendela sampai ke perkara urusan mencetak buku acara untuk pernikahan pun harus bisa.


Sulit? Tidak juga. Orang bilang 'Bisa karena terbiasa.' Saya sudah melakukan pekerjaan ini selama dua belas tahun. Dari yang rumit sampai akhirnya jadi makanan sehari-hari.


Handal ya. Babak belur, sangat. Karena berbeda dengan orang yang di kantornya melakukan hanya satu jenis pekerjaan saja, sampai dia bosan karena tidak ada variasi, saya malah jungkir balik saking pekerjaan saya terlalu banyak variasinya.


Bayangkanlah ini, sedang sibuk dengan liturgi dan slide ibadah, tiba-tiba worship leader mengirim pesan whatsapp "Ke, gue kayaknya ga bisa tugas Minggu ini. Gue sakit. Tipes gue kumat." Mimpi buruk betul kalau di tengah minggu atau saat h-2 ada pemain musik atau worship leader yang berhalangan karena itu artinya saya yang harus cari penggantinya. Nah, jadi tugas saya bertambah satu.


Di tengah-tengah semua itu, ada yang menghubungi, minta alamat atau minta ditransfer pembayaran ini itu, ada yang kirim surat lewat email, ada yang minta dibuatkan surat, ada yang minta uang untuk beli snack untuk pengkhotbah hari minggu.


Ketika jam menunjukkan pukul 4.30 sore, otak saya sudah jadi bubur rasanya. 


Sambil bersiap-siap untuk pulang hati berkata: ntar di angkot ngeblog deh.

Kenyataan: di dalam angkot saya terkantuk-kantuk atau duduk dengan tatapan kosong, otak tak mampu lagi diajak berkompromi untuk mikir. Seluruh inspirasi, ide dan mas ilham pun menguap entah kemana.


Di rumah gimana? Tak punya pembantu. Gaji pembantu mahal, bo. Kerja cuma untuk 3-4 jam saja selama sebulan minta bayaran setengah jeti. Mending dikerjain sendiri dong.


Apa ga ada orang lain di rumah yang bisa bantu?


Ibu saya meninggal tahun 2017. Ayah saya meninggal bulan Juni tahun ini. Saya tidak punya kakak atau adik. Suami tidak ada. Tunangan saya jauh di Amerika sana.


Jadi ya saya sendirian di kantor dan di rumah. Mau tidak mau smua harus dikerjakan sendiri.


Sebelum mama meninggal, saya masih lebih bisa aktif menulis karena mama papa masih bisa mengerjakan kerjaan di rumah dan pada waktu itu kantor saya belum jadi full kantor cabang hingga pekerjaan belum jadi sebanyak setelah tahun 2020.


Untuk blogger yang punya support system... Wah, sungguh saya iri. Kepengen banget saya punya sepasukan bala bantuan di kantor dan di rumah.


Tapi yah, kenyataannya tidak ada. Positifnya adalah saya punya mental baja, ga cengeng. Kendalanya adalah saya ngeblog dengan sisa tenaga. Itu sebabnya tahun ini blog saya mati suri sejak bulan Januari.


Ini saja rasanya tidak mungkin saya menuntaskan challenge menulis satu postingan setiap hari selama seminggu. Untuk menyelesaikan postingan ini saja perlu perjuangan melawan rasa capek, ngantuk dan selingan ngobrol dengan yayang mbeb di Amerika sono.


Maaf bila hanya empat postingan yang bisa saya buat dan itu pun urutan ngepostnya sudah melewati jadwal. Mudah-mudahan bisa dimengerti sikon yang harus saya hadapi yang bikin membuat satu postingan satu hari itu jadi sesuatu hal yang butuh perjuangan. 


Tapi saya gembira bisa ikut dengan event ini. Kembali ngeblog itu rasanya bahagia banget.


INDIHE, NO MENYE MENYE, PLEASE

Tema di hari ketiga ini tentang film atau drama favorit yang ga bosen ditonton berkali-kali.

 

Walah, mak min Kumpulan Emak Blogger rupanya pengen tau apa kita-kita para member KEB ini ngefans berat sama film tertentu, yang biarpun sudah ditonton berkali-kali, tapi tetap ga ada bosennya.

 

Btw mak min, ssttt, sini deh… saya bisikin, gini, saya tipe orang yang bosenan. Buat urusan film, jarang ada film yang bisa bikin saya mau nonton lebih dari dua kali. Kecuali kalau filmnya bener-bener luar biasa.

 

Luar biasa apanya? Ya, bisa dalam alur ceritanya, kelucuannya atau karena akting para pemerannya.

 

Saya harus putare otake nih, mak min, nyari film apa yang kira-kira ga bakal bikin saya bosan walaupun sudah lebih dari sekali saya tonton… daaaaann…. akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada film ini:

 

Three idiots.

 



Film ini saya masukkan dalam kategori luarbiasa karena dia adalah film India pertama yang sanggup bikin saya duduk manis menonton dari awal sampai akhir tanpa sekalipun mengalihkannya ke film lain.

 

Bayangkan, saudara sekalian. Seorang Keke yang paling anti sama film India bisa menonton sebuah film India dari awal sampai akhir. Bisa tertawa sekaligus meneteskan air mata haru. Bisa jatuh hati pada pemeran utamanya. Bisa tetap teringat pada adegan-adegan dalam film itu bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak saya menontonnya.

 

Nah. Jadi apa kehebatan film ini sih? Penasaran?

 

Satu, ada terjemahan Bahasa Inggris. Paling kesel kan kalau nonton film asing yang tidak ada terjemahannya atau tidak didubbing ke Bahasa Inggris. Wuh, berasa nonton film bisu.

 

Dua, ini film sederhana tapi alurnya enak dan seimbang. Ada tentang masa awal sekolah, ketika masuk ke lingkungan yang serba baru, berasa asing di sana, tidak kenal siapa-siapa, ketemu sama orang-orang yang nyebelin, lalu tanpa sengaja menjalin pertemanan atas dasar rasa senasib. Kemudian mengalir ke masa-masa mulai kuliah, ketemu dosen yang nyebelin, harus ngerjain tugas yang aneh, bolos kuliah, tinggal di asrama, liburan.

 

Nah, untuk poin kedua ini rasanya semua orang yang pernah mengalami masa-masa sekolah atau kuliah pasti bisa merasakan ‘dejavu’ dan itu yang bikin film satu ini tidak terjebak dalam stereotype film India yang biasanya cuma tentang cinta, cinta, cinta dan cinta.

 

Ketiga, kisah persahabatan tiga mahasiswa yang masing-masing punya latar belakang berbeda tapi dipersatukan satu kampus, satu kelas, satu rasa senasib dan satu kekesalan pada teman sekelas dan pada seorang dosen diolah dengan sangat rapi serta memikat oleh penulis cerita dan ditampilkan sedemikian cantik oleh sutradara dan diperankan dengan baik sekali oleh para pemeran inti sehingga saya terhanyut sepenuhnya dalam cerita itu tanpa mampu menolaknya.

 

Keempat, pesan moral yang disampaikan lewat cerita film Three Idiots ini sebetulnya adalah mengenai pribahasa lama yang berkata “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Itu sudah terjadi berkali-kali tapi manusia seringkali terlalu bebal hingga tidak menyadari atau menolak untuk membuka mata hatinya sehingga terjebaklah dia dalam keangkuhan yang sungguh tolol saat menjatuhkan penilaian dangkal secara sepihak.

 

Kelima, ini adalah film India yang paling paling amat sangat sedikit sekali menampilkan adegan menari-nari sambil menyanyi atau menyanyi sambil memeluk pohon. Yaps, itulah alasan utama kenapa saya jadi ogah nonton film India. Halah mak! Kagak tahan sama adegan nari-nari, nyanyi-nyanyi dan nangis-nangis. Mosok toh, sedih nyanyi, marah nyanyi, kesal nyanyi, mau pergi nyanyi, lagi masak juga nyanyi… lama-lama ga sabaran saya nontoninnya. Mana bahasanya kagak ngerti. Wakakak banget kan?

 

Keenam, humor humor humor. I mean, hidup sehari-hari sudah penuh dengan segala keruwetan, tantangan, kesedihan dan segala macam hal yang bikin kita sutres, trus, kita pulang dan ingin melegakan hati, mengurai segala benang kusut yang ada di pikiran, melupakan sejenak segala kesengsaraan dan … nonton film atau sinetron yang isinya …. Nangiiiiiiiis mulu, jejeritan marah kayak dedemit kurang sajen. Ya ampun. Yang ada sih, bukannya jadi lega hati, malah bikin tambah rusuh.

 

Nah, Three Idiots memasukkan banyak sekali unsur kelucuan tanpa membuat orang merasa harus terpaksa tertawa. Adegan-adegan konyolnya pun benar-benar kelihatan alami tanpa dibuat-buat. Misalnya, ketika dua sahabat ini sedang dikejar-kejar oleh tokoh antagonis dan seorang di antara mereka menemukan ide untuk mengambil kendi berisi abu almarhum ayah dari si tokoh antagonis. Tentu ini membuat penonton heran. Di tengah-tengah adegan kejar-kejaran kok bisa-bisanya dia menyambar guci berisi abu almarhum ayah si tokoh antagonis itu? Buat apa? Bahkan tadinya saya tidak tahu kalau guci itu berisi abu jenasah. Semua baru menjadi jelas ketika dua tokoh utama itu terpepet di dalam kamar mandi. Tidak bisa kemana-mana. Saat itu baru jelaslah bagaimana abu jenasah bisa menyelamatkan seseorang. Kok bisa? Ya, si tokoh utama yang menyambar guci tadi membuka tutup kloset dan mengancam si tokoh antagonis bahwa dia akan membuang abu almarhum ayahnya ke dalam kloset kalau si tokoh antagonis itu nekad juga menghajar mereka.

 

Saya ngakak sejadi-jadinya. Kocak pol. Dan ini hanya satu dari sekian banyak kelucuan lainnya yang dihadirkan dalam film Three Idiots yang mampu membuat saya terpaku dan kemudian jadi terkesan. Selamanya.

 

Ketujuh, tokoh perempuan itu bukan yang utama. Nah, ini yang penting. Film sering menganggap kehadiran perempuan bisa dipakai untuk menjadi faktor penjual demi menarik penonton atau menaikkan rating. Tapi di film ini, tokohnya semua adalah laki-laki karena ceritanya memang tentang persahabatan tiga orang mahasiswa laki-laki, kehidupan di asrama pria dan konfliknya pun adalah dengan dosen berjenis kelamin laki-laki. Tapi semua itu tidak bikin film jadi terasa kering kerontang karena minus kehadiran perempuan cantik nan bohay yang bersikap jinak-jinak merpati. Tidak. Filmnya tetap menarik dari awal sampai akhir.

 

Delapan, kehidupan dan persahabatan para lelaki ini akhirnya memang menerima kehadiran seorang perempuan cantik tapi tidak terkesan jadi seperti kisah romantika picisan. Tokoh perempuan ini cantik tapi punya karakter dan terasa pas diselipkan dalam cerita dan menjadi bagian dari kehidupan serta klimaks film. Tidak bikin jadi eneg. Tetap menarik tanpa dipaksakan.

 

Sembilan, kemaskulinan lelaki tidak ditampilkan lewat tubuh berotot, badan tinggi atau kemampuan fisiknya. Tidak juga lewat segala kegiatan kaum laki-laki seperti ajang baku hantam atau kebut-kebutan. Tapi tidak lantas berarti pemerannya jadi seperti Lucinta Luna. Ya, nggaklah. Kemachoan mereka tetap terlihat nyata lewat sikap dan kepribadiannya, … buat saya, seorang lelaki itu tampak amat sangat menarik dari dua hal itu.

 

Gimana mak min? Sudah nonton filmnya?




Sunday, October 22, 2023

BLOGGER PENYENDIRI

Tema di hari kedua bener-bener bikin jadi malu sendiri.

 

Punya banyak teman di komunitas blog?

 

Ada sih, tapi cuma segelintir. Saking dikitnya bisa dihitung pakai satu tangan. Hiks. Kebayang kan sebegitu dikitnya. Lha kok bisa?

 

Karena saya blogger penyendiri. Bukan dalam artian anti sosial yaaa, karena dalam keseharian saya menjalin kontak dengan banyak orang di tempat kerja. Muka dan nama saya dikenal oleh banyak orang tidak hanya di tempat saya bekerja, tapi juga di cabang dari kantor ini. Lalu ada banyak mantan murid saya ditambah dengan orang tua dan keluarga mereka. Lalu tetangga-tetangga saya juga kenal dengan saya.

 

Tapi kalau ditanya berapa banyak teman yang saya miliki?

 

Nah. Itu pertanyaan yang agak sulit dijawab. Pertama, karena saya belum pernah mengadakan sensus untuk mengetahui berapa banyak teman yang saya miliki. Kedua, karena hubungan pertemanan itu kadang bisa berat sebelah dalam artian seseorang yang saya anggap teman belum tentu menganggap saya sebagai temannya juga. Ketiga, karena saya seorang penyendiri. Keempat, karena saya lebih banyak bergaul dengan komunitas penulis.

 

Mari saya bahas satu persatu.

 

BERAPA JUMLAH TEMAN YANG DIMILIKI OLEH SESEORANG?

Seorang yang punya sifat tertutup (introvert), pemalu atau penyendiri bisa lebih cepat memberikan jawaban ketika pertanyaan di atas ini diajukan kepadanya. Kenapa? Karena dia menarik diri dari pergaulan atau membatasi pergaulannya maka dia hafal betul berapa banyak teman yang dimilikinya.

 

Tapi kalau pertanyaan itu diajukan kepada seorang extrovert atau seorang public figure, tentu jari-jari pada kedua belah tangan dan kakinya tidak akan cukup untuk dipakai menghitung berapa jumlah teman yang dimilikinya karena jumlahnya tidak terhingga.

 

Ketika saya membaca tema hari kedua dari Blog Challenge Kelompok Emak Blogger ini, mau tak mau saya terpaksa nyengir kuda.

 

Punya banyak teman di komunitas blog?

 

Kok ya kayak sedang melakukan survei untuk mengetahui di komunitas Emak Blogger ini apakah anggotanya saling berteman? Kalau iya, masing-masing punya teman berapa banyak? Lalu ujung-ujungnya bisa dijadikan pertanyaan, kalau di komunitas ini ada ratusan atau mungkin sudah ribuan anggota, kok kenapa masing-masing anggota tidak saling berteman atau kalaupun berteman lewat komunitas ini, kenapa temannya dikit amat?

 

Kalau tema hari kedua ini dimaksudkan bukan cuma untuk membuat statistik angka pertemanan yang dimiliki oleh setiap anggotanya, tapi juga untuk berupaya mencari cara agar para anggota yang tidak saling kenal atau untuk mereka yang tidak mendapatkan teman dalam komunitas Emak Blogger ini bisa menjadi saling kenal dan kemudian menjalin pertemanan, wah, saya acungin jempol karena ini adalah hal yang sangat baik.

 

AKULAH TEMANMU DAN KAU TEMANKU

Dulu waktu saya masih jadi guru Taman Kanak-Kanak, ada satu lagu yang diawali oleh kalimat tersebut. Kata-katanya sederhana tapi cukup mengena. Bahwa pertemanan itu harus berjalan dua arah. Tidak mungkin hanya satu arah karena tentunya aneh kalau saya menganggap seseorang sebagai teman tapi orang itu tidak menganggap saya sebagai temannya.

Apakah ini hal yang aneh? Tidak. Hal ini sangat sering terjadi. Dua orang atau lebih yang sering menghabiskan waktu bersama dan melakukan banyak hal bersama hingga di mata orang luar mereka akan terlihat sebagai sekelompok orang yang saling berteman belum tentu benar mereka adalah teman.

 

Kebersamaan dan kesamaan minat tidak menjadi jaminan yang membuat dua orang atau beberapa orang dalam suatu kelompok atau komunitas yang sama menjadi teman.

 

Teman adalah urusan hati. Ketika kita merasakan ikatan batin dengan seseorang atau beberapa orang dan mereka merasakan hal yang sama untuk kita, maka itu adalah dasar dan ikatan pertemanan. Tanpa itu pertemanan hanyalah sebatas bibir dan setipis kulit.

 

Saya tidak menganggap diri saya sebagai seorang introvert tapi saya lebih suka sendiri. Dalam dunia blogging pun demikian. Saya tidak menutup diri tapi saya tipe yang menuliskan apa yang saya sukai dan kemudian melemparkannya kepada dunia dan tidak terlalu merasa harus menjalin hubungan dengan sesama blogger atau dengan pembaca blog saya.

 

KOMUNITASMU, KOMUNITASKU, KOMUNITAS KITA?

Saya termasuk dalam mereka yang memperlakukan komunitas seperti sendok dan garpu ketika akan makan. Karena walaupun saya punya makanan lengkap yang enak-enak tapi tanpa sendok dan garpu, atau setidaknya sendok, proses makan tentu menjadi sedikit terhalang atau malah bisa menjadi tidak nyaman. Makan dengan tangan tentu bisa dilakukan tapi tidak bisa dilakukan di setiap tempat dan di setiap momen.

 

Jadi sebagai blogger, saya punya pengalaman atau pemikiran yang saya tuangkan menjadi satu bentuk tulisan dan tulisan tersebut saya jadikan satu postingan di dalam blog saya. Lalu, apakah selesai sampai di situ saja? Tentu saja tidak. Saya memerlukan ‘sendok dan garpu’ agar makanan yang saya makan bisa masuk ke dalam perut saya. Nah, dalam upaya agar pengalaman atau pemikiran dalam postingan itu bisa sampai ke pembaca, saya memerlukan satu media dan komunitas blogger adalah alat atau media tersebut.

 

Sama seperti saya menghargai fungsi ‘sendok dan garpu’, saya juga menghargai dan berterima kasih kepada setiap komunitas blogger yang saya ikuti. Mereka adalah alat yang saya pakai agar setiap postingan saya bisa sampai ke tujuannya, yaitu kepada pembaca.

 

Apakah saya harus berteman dengan setiap anggota dalam komunitas itu? Tentu saja tidak. Saya ramah dan membuka diri tapi saya tetap seorang blogger penyendiri. Apakah saya menjadi terlihat aneh di mata komunitas atau di mata anda sebagai pembaca blog? Entahlah. Tiap orang punya penilaiannya sendiri.

 

* * *

 

Punya banyak teman di komunitas blog?

 

Itu adalah pertanyaan pertama di tema hari kedua. Saya sudah menuliskan alasan dan pendapat saya mengenai hal tersebut jadi marilah melompat ke pertanyaan berikutnya.

 

(Kalau memang punya banyak teman di komunitas blog) mengapa akrab dengan teman tersebut?

 

Kalau saya bertanya kepada kamu “Hei, kamu punya banyak teman di sekolah atau di tempat kerja?” dan jawabanmu adalah iya.

 

Saya akan mengajukan pertanyaan kedua, “Kenapa kamu bisa jadi akrab dengan mereka?” Kira-kira apa jawabanmu?

 

Saya sudah menuliskan sebelumnya bahwa teman adalah urusan batin. Minat dan kegiatan bersama belum tentu bisa menjadikan seseorang sebagai teman atau menjadikan dirimu sebagai seorang yang dianggapnya teman.

 

Kalau ada yang bertanya kepada saya, apa yang bisa membuat saya menjadi akrab dengan seseorang? Tanpa ragu saya akan menjawab, karena orang itu memiliki hati yang tulus kepada saya. Dia tidak bersikap seperti seorang teman tapi di belakang saya dia menusuk punggung saya. Kepercayaan dan ketulusan sangat penting untuk saya.

 

Bagaimana pendapatmu? Setuju?




Thursday, October 19, 2023

MATI OGAH, HIDUP MEGAP-MEGAP

Begitulah nasib sedih blog tersayang ini. Judulnya mati suri. Mati ogah tapi hidupnya bagai megap-megap menarik napas. Hiks, sedih.

 

Padahal ketika dulu saya memulainya pada bulan Oktober 2010, saya memulainya dengan penuh semangat. Di jaman ketika internet tidak secanggih, sekuat, secepat dan semudah sekarang, justru saya lebih rajin dan lebih berkomitmen untuk memasukkan postingan ke blog ini. Kalau dilihat dari statistiknya, dalam setahun saya bisa menulis puluhan dan bahkan sampai ratusan postingan. Itu terjadi dari tahun 2010 sampai tahun 2017. Lalu mulai dari tahun 2018 sampai ke tahun ini, postingan berkurang drastis menjadi hanya belasan saja.

 

Kenapa bisa jadi begitu? Saya juga tidak tahu. Lupa apa yang awalnya bikin semangat ngeblog jadi turun demikian drastis. Dari yang hampir setiap hari ngeposting, turun menjadi sebulan sekali saja postingnya. Lalu pelan-pelan makin berkurang hingga akhirnya hanya posting setiap beberapa bulan sekali. Yang paling parah adalah tahun ini. Dari bulan Januari sampai Oktober 2023 ini, saya hanya menghasilkan satu postingan.

 

Kalau bukan karena sedang mengikuti Blog Challenge yang diadakan oleh Kumpulan Emak Blogger, saya yakin tahun 2023 ini akan berlalu tanpa saya tergerak untuk membuat postingan baru dan hanya pasrah membiarkan satu postingan saja yang bertengger menghiasi daftar postingan saya di tahun 2023.

 

Ok, ok. Saya bersalah penuh dibalik absennya saya dalam dunia berbloggingan. Saya tidak bermaksud untuk mencari sejuta alasan pembenaran diri. Postingan perdana di  Blog Challenge ini bukanlah untuk menyodori pembaca dengan cerita melankolik demi membuat semua akan menunduk takzim dalam hening sambil berkata “Ya, kami mengerti.”

 

Saya juga tidak akan bersembunyi di balik seribu satu kambing hitam yang kebingungan ketika diseret naik ke atas podium dan menerima banner bertuliskan “Salahkan mereka saja, sayang.”

 

Tidak! Tidak! Tidak!

 

Mari, saya akan mereview balik ke tahun-tahun ketika saya masih amat sangat produktif menjadi blogger karena segala sesuatu itu pasti ada awalnya dan bagi saya tahun 2010 itu dimulai dengan keinginan memasukkan kegiatan kelas saya ke dalam blog yang kemudian saya share ke Facebook.

 

Tahun 2005-2011 saya mengajar di sebuah taman kanak-kanak kecil di daerah Ciomas, Bogor. Dari yang hanya sebagai asisten guru sampai akhirnya menjadi wali kelas playgroup dan wali kelas TK A. Bukan cuma itu saja, saya juga mengajar kelas Bahasa Inggris di TK B.

 

Nah, sejak hari pertama saya bekerja di taman kanak-kanak itu, saya melihat bahwa orang tua murid selalu ingin tahu mengenai pelajaran dan kegiatan apa saja yang diajarkan di kelas anak mereka. Tidaklah mudah untuk mendapatkan informasi itu dengan menanyakan kepada anak berusia tiga, empat atau lima tahun karena kemampuan logika, minat serta daya ingat setiap anak berbeda.

 

Seorang anak yang suka pada pelajaran menggambar tentu lebih bisa mengingat apa saja yang diajarkan oleh gurunya di kelas menggambar, jadi umumnya dia akan bisa menjawab ketika ditanya mengenai gambar, bentuk atau warna yang diajarkan oleh bapak atau ibu gurunya. Beberapa anak bahkan bisa sampai menjabarkan secara rinci mengenai bentuk atau gradasi warna yang dipelajarinya.

 

Tapi bagaimana dengan anak yang tidak menyukai pelajaran menggambar? Selain tentu saja hasil pekerjaan menggambar atau mewarnainya tidak sebagus atau serapi hasil pekerjaan temannya yang senang menggambar, anak tipe ini tidak mampu mengingat apa yang tadi dipelajarinya dalam kelas menggambar. Ketika ditanya, jawabannya antara “Lupa” atau hanya mengangkat bahu, membuat orang tuanya penasaran, kesal atau bingung.

 

Bertanya pada guru tentu membutuhkan perjuangan tersendiri karena waktu yang serba terbatas. Guru tidak bisa mengobrol selama jam kerja, hampir tidak punya jam istirahat hingga tentu tidak bisa berharap bisa bebas mengobrol bahkan di jam istirahatnya dan di jam pulang, orang tua yang sering tidak punya banyak waktu untuk nongkrong dulu di sekolah untuk bicara dengan guru anaknya. Seandainya pun waktunya ada, dari pengalaman saya, tetap sulit untuk bisa mendapatkan fokus dan perhatian penuh dari si guru yang harus mengawasi murid-muridnya di jemput oleh penjemputnya masing-masing, yang belum dijemput, yang belum selesai mengerjakan tugas dan segala macam hal lainnya yang perlu diperhatikannya.

 

Sekolah punya kurikulum. Guru menerapkannya dalam bentuk program belajar dan program kegiatan. Tapi orang tua belum tentu tahu dan mengerti apa saja kurikulum itu serta apa saja program belajar dan kegiatan yang dibuat oleh guru. Jadi setiap tahun ajaran sebetulnya orang tua itu seperti sedang berjalan meraba-raba dalam kegelapan, berusaha untuk mengerti dari buku pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan kepada anak-anak mereka.

 

Saya berpikir untuk menuliskan apa saja sih yang saya ajarkan dan kegiatan apa saja yang saya berikan di dalam kelas. Tidak dalam bentuk laporan tapi dalam bentuk postingan blog. Jadi orang tua yang ingin tahu bisa membacanya dalam blog saya.

 

Kemudian pertengahan tahun 2011 saya terpaksa harus berhenti dan berganti profesi. Tidak lagi sebagai guru di sekolah. Saya menjadi karyawan biasa. Saya mulai agak kehilangan sumber untuk dijadikan postingan. Karena itu saya mulai menulis campur aduk dari hal-hal kecil sampai sengaja jadi agak rajin traveling supaya bisa ada bahan untuk dijadikan tulisan.

 

Awal tahun 2017 ibu saya meninggal. Itu pukulan berat untuk saya karena walaupun almarhumah sudah lanjut usianya dan kondisi kesehatannya memang sudah menurun tapi saya tidak pernah membayangkannya untuk pergi demikian cepat. Saya selalu mempercayai bahwa mama akan bertahan hidup lebih lama lagi. Kepergiannya merupakan pukulan bagi saya dan almarhum ayah saya.

 

Saya perhatikan tahun 2017 adalah awal postingan blog saya mulai menurun. Saya seperti mulai kehilangan motivasi untuk menulis.

 

Tahun-tahun selanjutnya adalah perpaduan dari berbagai hal. Ayah saya bertambah usia dan berkurang dalam hal kemampuan fisik serta kesehatannya. Lalu saya yang harus mengurusi bukan hanya papa tapi juga pekerjaan rumah tangga selain pekerjaan kantor yang makin lama makin banyak. Kemudian saya mengalihkan fokus saya dari sebagai penulis blog menjadi penulis buku. Saya rajin ikut kelas-kelas menulis dan menghasilkan beberapa buku antologi. Semua ini membuat saya makin malas untuk menulis di blog, di samping beberapa alasan pribadi lainnya yang ikut menambah kemalasan itu; rencana saya untuk menikah dan puncaknya adalah ketika ayah saya sakit lalu meninggal beberapa bulan lalu membuat saya tiba-tiba harus hidup sendiri, harus mengurusi rumah sendiri, menghadapi banyak rencana yang harus dimodifikasi dan menyembuhkan diri dari depresi.

 

Apakah saya akan kembali aktif sebagai blogger? Saya harap Blog Challenge ini bisa mendorong saya kembali aktif.