Kalau soal jalan-jalan, dari umur 6-7 tahun saya sudah di
ajak jalan dengan orang tua.
When it comes to traveling, my
parents have been taking me on trips since I was around 6-7 years old.
Lucunya, orang tua saya justru melarang saya pergi-pergi
sendiri.
Funny thing is, my parents are the
ones who not allowed me to make my own traveling.
Jangankan untuk bepergian sendiri, untuk menginap semalam di
rumah teman saja membutuhkan perjuangan panjang sebelum ijin itu keluar.
Let alone having my own traveling,
spending a night at a friend’s
house took quite an effort before they gave me the
permit.
Jadi selama puluhan tahun saya tidak pernah punya pikiran
apalagi keberanian untuk traveling sendirian.
So for many years I never had any
thought nor guts to travel on my own.
Kalau pun saya pergi jalan-jalan, itu pasti dengan seorang
atau beberapa teman atau dengan pacar.
When I went traveling, it always
with the company of one or few friends or with my boyfriend.
Terus kenapa kok sekarang mendadak berubah?
So why suddenly change now?
Oh, itu ada ceritanya..
Oh, there is a story behind it..
Yang pasti adalah saya banyak berubah setelah mengalami
masa-masa sukar selama satu setengah tahun terakhir ini.
One thing for sure is I have changed
a lot after having hardship in the past one and a half years.
Masa-masa sukar apa sajakah itu? Aduh, kalau mau diceritakan
lagi dari awal bisa jadi panjang banget jadi telusuri saja postingan-postingan
saya sebelumnya karena saya sudah beberapa kali menuliskannya.
What kind of hardships are they? Awww,
if I had to write them again from the start it would make a long story so just
go to my previous posts because I have several times written about them.
Setelah melalui kesulitan-kesulitan itu, saya
berkesimpulan bahwa apa yang tidak akan membunuh saya berarti tidak akan
menghentikan kehidupan.
After got through those
hardships, I came to a conclusion that what won’t kill me won’t
stop life either.
Saya menjadi lebih menghargai hidup.
I became more appreciative toward
life.
Kehidupan terlalu singkat dan karenanya terlalu berharga
untuk dibiarkan lewat begitu saja.
Life is too short and thus too
precious to let it passing me by.
Memaksa diri keluar dari ketakutan, kecemasan, kemarahan,
kesedihan, keputusasaan dan bahkan dari depresi adalah cara untuk membuat diri
saya bisa melihat bahwa hidup bukan sesuatu yang penuh dengan penderitaan tapi
sebagai sesuatu yang harus bisa saya hargai dan nikmati juga.
Forcing myself to get out of fear,
worries, anger, desperation and even depression is my way to make myself see
that life is not a pit filled with misery but it is something that I can
appreciate and enjoy.
Dan cara yang saya pakai untuk bisa keluar dari semua emosi
serta pikiran negatif itu adalah dengan pergi traveling sendirian karena di
saat-saat demikian saya mendapat kesempatan untuk melatih dan memperkuat
keyakinan diri serta keberanian.
And my way to get rid those
negative emotion and thoughts are by traveling on my own as it gives me chance to train and strengthened my self-confident
and my guts.
Traveling sendirian merupakan cara saya untuk mengatakan dan
meyakinkan diri bahwa ‘Hei, kamu masih hidup. Kamu pasti berhasil. Kamu tidak
boleh dikalahkan oleh apa pun. Kamu tidak boleh menyerah’.
Making independent traveling is my
way to say and convince myself that ‘Hey, you are alive.
You will make it. You can’t be defeated by
anything. You just can’t give up’.
Saya menjadi lebih santai ketika menghadapi segala tantangan
yang saya temui dalam perjalanan.
I am more relaxed when facing any
kind of challenges in the trip.
Dan selama itu pula saya mendapat kesempatan untuk menikmati
serta menghargai hal apa pun yang saya temui atau dapatkan, entah besar atau
kecil, entah menyenangkan atau menyebalkan.
And during the trip I got a chance
to enjoy and appreciate any thing I met or got, big or small, good or bad.
Dengan melakukan perjalanan sendirian, saya mengenali,
mengakui dan diperhadapkan pada keterbatasan, kelemahan dan kekurangan yang ada
dalam diri saya tanpa membuat semua itu menjadi sesuatu yang menakutkan, yang
tidak bisa diatasi atau tidak bisa dirubah.
Through my independent traveling, I
came to recognize, admit and face my limitation, weaknesses and imperfection
without turning them all into frightening monster neither they are unsolveable
or unchangeable.
Selain itu traveling sendirian = KEBEBASAN.
Besides that, independent traveling
= FREEDOM.
Pernah melihat seekor kerbau yang sedang membajak di sawah?
Ever seen a buffalo plowing in
paddy field?
Pernah melihat seekor kuda menarik gerobak?
Ever seen a horse pulling a cart?
Ada persamaan di antara kedua hewan itu. Keduanya mengenakan
kekang.
Those animals share one thing in
common. Both are tied with curbs.
Saya harus bekerja tidak hanya untuk menghidupi diri saya
sendiri. Itu adalah tali kekang pertama.
I have to work not just to feed
myself. It is the first curb.
Sebagai orang bayaran saya bekerja menghambakan diri pada
mereka atau pada tempat yang membayar saya. Itu adalah tali kekang kedua.
Being a person on payroll, I work
serving those who or to the place that pay me. It is the second curb.
Masih terdaftar sebagai pengikut agama tertentu mengharuskan
saya hidup mengikuti aturan tertentu demi iming-iming ‘masuk surga’. Bahkan
ketika saya sudah tidak lagi mempercayai semua itu, setiap orang disekitar saya
masih memaksa saya untuk tetap tampil sebagai seorang beragama. Itu adalah tali
kekang ketiga.
Still registered as a believer to
one religion force me to live under certain rules, being promised to ‘enter
heaven’. Even after I no longer have faith
in those things, people around me still force me to appear myself as a
believer. It is the third curb.
Saya telah melakukan beberapa pemberontakan dalam upaya
untuk membebaskan diri dari tali-tali kekang itu. Menjadi penulis dan pergi
traveling sendirian memberikan saya kebebasan yang saya cari dan butuhkan.
I have done few rebellion to set
myself free of those curbs. Being a writer and going on independent traveling
give me the freedom I seek and need.
Hal lain yang membuat saya lebih suka traveling sendirian
adalah karena tidak perlu harus menyesuaikan diri dengan sikon yang menyangkut
waktu, keuangan, mood, kesehatan atau
mentalitas orang lain.
Other thing that makes independent
traveling is more suitable for me is because I don’t have to adjust
myself with other people’s time, financial,
mood, health or mentality.
Belum lama ini misalnya, beberapa kawan berencana untuk
pergi ke suatu obyek wisata. Semangat. Antusias. Tapi mendekati hari H, ada
yang mengajukan syarat ‘mau pergi kalau ada…’, yang lain beralasan kondisi
jalan menuju lokasi obyek wisata itu tidak bisa ditempuh oleh kendaraannya.
Not long ago for instance, few
friends planned to go to a site. They were excited. Full of enthusiasm. But approaching
the D day, one gave a condition ‘will come along if
there would be…’, while other said
the road to the site is too tough for his vehicle.
Pada akhirnya mereka batal pergi.
At the end they called it off.
Saya sungguh amat sangat heran sekaligus kecewa melihat
orang-orang ini yang semuanya lelaki dan berusia jauh lebih muda dari saya,
jauh lebih kuat serta lebih sehat dari saya ternyata begitu mudahnya menyerah,
begitu gampangnya mundur ketika menghadapi tantangan.
I was and still am very much amazed
and disappointed to see those people who are all young men, much younger,
stronger and healthier than me would give up so easily, backing off when facing
challenges.
Jadi hanya saya yang tetap pergi ke obyek wisata itu pada
hari tersebut. Membawa kondisi badan yang tidak seratus persen sehat dan kuat
karena saya sedang menstruasi, tekanan darah saya ketika di ukur sehari
sebelumnya menunjukkan angka mengejutkan yaitu 95/70, lalu pada hari
keberangkatan itu cuaca mendung bahkan agak gerimis, di tambah lagi dengan
kenyataan bahwa saya tidak tahu persisnya letak obyek wisata itu karena
keterangan yang saya dapatkan sangat samar dan saya pergi kesana memakai
kendaraan umum. Sendirian.
So I was the only one who went to
that site on that day. Brought with me my physical condition that was not one
hundred percent healthy and strong because I was having my menstruation, a day
before that I had my blood pressure checked and it showed an alarming scale of
95/70, it was cloudy and a little drizzling on the departure day, added with
the fact that I didn’t know where the
exact location of the site as I just given blur information and I used public
transportation to go there. All by myself.
Tapi saya berhasil sampai di lokasi obyek wisata tersebut.
Itulah Curug Luhur. Saya telah menuliskan tentang perjalanan saya kesana dalam
postingan sebelumnya.
But I’ve
made it there. It was Curug Luhur (Luhur Waterfall). I have written about my
traveling there in my previous post.
Pengalaman terakhir itu semakin meyakinkan saya bahwa
traveling sendiri lebih cocok untuk diri saya. Setidaknya saya mengetahui
dengan pasti dan dapat mengukur keseriusan, kesiapan dan tekad yang ada di
dalam diri saya.
No comments:
Post a Comment