Saya sudah lupa apa yang membuat saya dan Santi akhirnya
jadi teman karib. Kami memang teman sekelas di STIE Perbanas, satu angkatan.
Tapi seingat saya saat itu dia punya teman karib lain sementara saya sedang
tidak minat untuk punya sahabat.
I have forgot what brought
Santi and I to become bestfriends. We were classmates in STIE Perbanas, shared
the same academic year. But as long as I could recall, she already had a
bestfriend while I had no interest of having one.
Saya memang agak angin-anginan dalam urusan keterikatan
dengan seseorang. Saya ramah ke semua orang tapi saya agak enggan untuk terikat
pada satu orang.
I am a bit picky when it
comes to committing myself to someone. I am friendly to everybody but it is not
an easy thing for me to bound myself to one person.
Selain itu, saya ingin mandiri. Selama masa sekolah SD, SMP
dan SMA, saya selalu berteman dengan orang-orang berkepribadian dominan. Lama
kelamaan saya bosan jadi terus-menerus menjadi bayangan. Jadi begitu lepas dari
SMA, saya bertekad saya harus menjadi diri sendiri.
Besides, I wanted to be
on my own. I spent my years in elementary school, junior dan highschool making
friends with dominant charactered people. It bored eventually to become a
shadow. So once I graduated highschool, I made my mind to become my own person.
Entah kapan persisnya saya dan Santi mulai jadi dekat.
Mungkin awalnya karena kami dan beberapa teman sekelas lainnya tanpa sengaja
mengelompokkan diri.
I can’t remember when
exactly Santi and I became close. Maybe it started when we and another
classmates unintentionally made a group.
Sepanjang masa sekolah, pelajaran berhitung selalu jadi
momok yang menakutkan buat saya. Otak saya bukan otak matematika. Bakat saya
ada dibidang sastra dan bahasa asing. Jadi bayangkanlah bagaimana tersiksanya
saya setiap kali berhadapan dengan pelajaran berhitung.
All of my time in
school, any subject that required me to work with numbers had always freaked me
out. I don’t have the brain that is good in math. I am into literature and
foreign language. So you can imagine how it tortured me when I had to work with
numbers.
Tapi begitu lepas SMA, ayah saya memasukkan saya ke akademi
perbankan. Dan saya bertemu lagi dengan beberapa matakuliah yang mengharuskan
saya mengutak-atik angka.
But after graduated from
highschool, my father enrolled me in banking academy. And I had to deal with
numbers again in few subjects.
Sekian belas tahun kemudian ayah saya sempat mengatakan
penyesalannya telah memasukkan saya ke Perbanas setelah melihat bahwa
sebetulnya bakat, minat dan kemampuan saya lebih ke bidang pendidikan, sastra,
bahasa dan fotografi. Tapi mungkin memang sudah harus demikian perjalanan hidup
saya karena kalau saya mengambil bidang studi yang berbeda, saya tidak akan
berada di tempat dimana saya berada sekarang ini.
Many years later my
father said his regret for having me enrolled in Perbanas after seeing my
talent, interest and ability are in education, literature, foreign language and
photography. But maybe that was how my life should be because if I took
different major, I wouldn’t be here, I wouldn’t work here.
Hidup itu aneh. Hidup itu sebuah misteri.
Life is unlogical. Life
is a mystery.
Hidup membawa saya belajar selama 3 tahun di Perbanas.
Life brought me to study
in Perbanas for 3 years.
3 tahun saya pusing setiap kali berhadapan dengan pelajaran
berhitung.
For 3 years it gave me
the headache whenever I had to work with numbers.
3 tahun saya harus putar otak bagaimana caranya supaya nilai
saya tidak jeblok dalam pelajaran-pelajaran itu.
For 3 years I looked for
every way to avoid me flunked in those subjects.
Beruntunglah saya memiliki teman-teman sekelas yang pintar
dan juga baik.
Lucky me to have
classmates that were smart and kind.
Sugeng, Ferizal, Yana, Edith, Dewi Untari, Yuska, Rudi adalah
beberapa orang mantan teman sekelas yang saya datangi setiap kali saya menemui
kesulitan dalam matakuliah yang mengharuskan saya berkutat dengan angka.
Sugeng, Ferizal, Yana, Edith,
Dewi Untari, Yuska, Rudi were few former classmates whom I turned to whenever I
couldn’t understand the subjects that had me worked with numbers.
Santi yang juga tidak terlalu kuat dalam pelajaran berhitung
akhirnya menggabungkan diri dengan kami.
Santi who was not good
in same subjects joined herself with us.
Akhirnya dia malah jadi lebih dekat dengan saya dari pada
dengan sahabatnya.
She eventually became
more closed to me than with her bestfriend.
Saya bahkan satu-satunya mantan teman kuliah di Perbanas
yang tetap menjalin kontak dengan dia selama 23 tahun ini.
I am the only former
friend in Perbanas who makes regular contact with her in these 23 years.
Setelah lulus dari Perbanas tahun 1993, kami hanya bertemu
sekali pada tahun 1998.
We met just once after
we graduated from Perbanas in 1993 and that was in 1998.
Sejak itu pula sampai sebelum hari Senin, 28 Oktober 2013
lalu, sudah berapa kali dia ingin mengunjungi saya setiap kali dia, suami dan
anak-anaknya berwisata ke Bogor. Tapi niatnya tidak pernah kesampaian.
Eversince that and
before that Monday, October 28th, 2013, she had always wanted to see
me whenever she, her husband and children went vacationing in Bogor. There were
always things that kept the plan had to be cancelled.
Saya pun tidak pernah berniat untuk mengunjunginya setelah
saya dan orang tua pindah ke Bogor tahun 1998. Jarak rumah kami terlalu jauh.
Dan dulu nyali saya tidak sebesar sekarang untuk mau pergi sendiri kesana.
In other hand I never
had the intention to visit her after me and my parents moved to Bogor in 1998.
The distance of our hometowns are too far. And I didn’t have this much nerve to
go there all by myself.
Hari Senin, 28 Oktober 2013 itu pun sebetulnya juga bukan
merupakan rencana awal saya untuk mengunjungi dan menginap semalam dirumahnya.
That Monday, October 28th,
2013 was not my actual plan to visit and spent a night at her place.
Saya mempunyai daftar berisi 7 tempat yang ingin saya
kunjungi. Satu diantaranya adalah rumah seorang kenalan saya ditempat kerja.
Tapi rencana untuk menginap disana pada hari Senin itu harus dibatalkan karena
dia harus merawat ibunya yang baru sembuh sakit.
I have a list that has 7
places I want to go to. One of them is an acquaintance’s place. But the plan to
spend a night there on that Monday had to be cancelled since she had to nurse
her recovering mother.
Santi, yang sama sekali tidak ada dalam daftar, muncul
begitu saja dalam benak saya.
Santi, who was not in
the list, just came into my mind.
Padahal Andre menawari saya untuk pergi saja dengan dia ke
Bandung ketika dia mengetahui batalnya rencana awal itu dan setelah melihat
saya demikian kecewa karenanya.
Infact, Andre offered me to
go with him to Bandung when he knew about the cancelled plan and after seeing
me so disappointed.
Tapi untuk alasan yang sampai sekarang pun masih tidak bisa
saya mengerti, saya menolak.
But for some reason that
I still am not able to understand, I turned it down.
Dorongan hati saya demikian kuatnya untuk mengunjungi Santi
sekalipun untuk itu saya harus sedikit adu argumentasi dengan Andre yang
keberatan saya pergi kesana sendirian dan saya setengah berbohong pada ayah
saya dengan tidak mengatakan bahwa hari Senin itu saya tidak pergi untuk
menginap di rumah kenalan saya.
My heart felt a strong
urge to visit Santi though to do that I had to have a little argumentation with
Andre who disagreed to have me go there alone and I had to sort of lied to my
father for not telling him that I left that Monday not to my acquaintance’s
place.
Hidup itu aneh. Hidup itu sebuah misteri.
Life is unlogical. Life
is a mystery.
Karena pola dalam kehidupan saya adalah banyak hal yang saya
rencanakan atau yang saya inginkan dan yang bahkan saya perjuangkan, yang saya
upayakan mati-matian, malah tidak jalan. Sementara yang sama sekali tidak
terpikir, justru itu yang akhirnya terlaksana.
Because my life seems to
have this pattern that makes many things I have planned or wanted and what I
have fought for so hard, were stuck. While others that never even crossed my mind,
worked.
Perjalanan panjang dari Bogor sampai ke rumah Santi di
Cengkareng, Jakarta merupakan uji nyali dan uji badan buat saya.
The long ride from Bogor
all the way to Santi’s place in Cengkareng, Jakarta was a test to my nerve and
physic.
Dari bulan Juli 2012 sampai Juli 2013 siklus menstruasi saya
berubah drastis.
My menstruation cycle
changed drastically from July 2012 to July 2013.
Sejak awal saya mendapat menstruasi pada umur 15 tahun
sampai sebelum bulan Juli 2012 itu, siklusnya hanya 3 hari dan jumlahnya sangat
sedikit. Sesuatu yang saya syukuri karena saya tidak sabaran menghadapi kodrat
saya sebagai perempuan untuk hal yang satu itu.
Eversince I have got my
first menstruation when I was 15 years old to the time before that July 2012, I
had it for only 3 days and it was in small quantity. Something I felt grateful
because I don’t have the patience to deal with that one particular side of
womanhood.
Lalu tiba-tiba mulai bulan Juli 2012 menstruasi saya keluar
amat sangat banyak. Lalu berlangsung selama hampir sebulan. Berhenti hanya 1-2
minggu, lalu keluar lagi.
And out of the blue
starting from July 2012 my menstruation came like a flood. It went for almost a
month. Stopped for 1-2 weeks and started bleeding again.
Awalnya saya kira saya mengalami perubahan hormon saat
memasuki usia 40an.
At first I thought I was
having hormonal changes as I was in my 40s.
Saya belum berpikir negatif. Jadi baru kira-kira 3 bulan
kemudian saya pergi ke ginekolog. Tapi hasil USG tidak menunjukkan ada sesuatu
yang abnormal dalam rahim dan indung telur saya.
I didn’t have any
negative thoughts. So it took about 3 months later before I went to a
gynecologist. USG showed no abnormality in my uterus or ovaries.
Obat tidak berhasil menormalkan menstruasi saya.
Medicine didn’t work to
normalize my menstruation.
November 2012.. depresi mulai menyerang saya.
November 2012..
depression started to hit me.
Februari-Maret-April 2013.. ibu saya sakit. Dua kali masuk
rumah sakit. Begitu gawat keadaannya sampai saya mengira maut akan mengambil
nyawanya.
February-March-April
2013.. my mother was ill. She was hospitalized twice. She was so in bad shape
that I thought death would take her away.
Depresi saya semakin parah pada waktu itu.
My depression got to its
worst point at that time.
Menstruasi saya semakin parah juga.
My menstruation got to
its worst condition as well.
Ginekolog kedua yang saya temui di rumah sakit PMI memberi
saya diagnosa yang sama sekali tidak membesarkan hati. Ada 3 kemungkinan yang
menyebabkan menstruasi saya jadi ngaco; ketidaknormalan hormon, tumor/mium,
gejala awal kanker rahim.
The second gynecologist
I went to see in PMI hospital gave bleak prognosis. There were 3 possibilities
that caused this crazy menstruation; hormones abnormality, tumor, early
sympthom of uterus cancer.
Dia memberi saya 2 macam obat. Kalau obat itu tidak berhasil
menghentikan atau mengurangi pendarahan maka bukan ketidaknormalan hormon yang
jadi penyebabnya.
He gave me 2 meds. If
they couldn’t stop or ceased the bleeding then it wasn’t caused by abnormality
in hormones.
Umur saya baru 41 tahun ketika itu dan saya diperhadapkan
pada kemungkinan adanya tumor atau kanker rahim?!
I was just 41 at that
time and I was faced to the possibilities of having tumor or uterus cancer?!
Ibu saya sedang di rawat di rumah sakit yang sama ketika
itu. Keadaannya membuat kami semua mengira maut sudah dekat.
My mother was
hospitalized in that same hospital at that time. She was so in bad shape that
we thought death was close.
Sesuatu yang tidak bisa saya terima karena saya selalu
berkeyakinan bahwa suatu hari nanti kehidupan kami akan menjadi lebih baik.
Orang tua saya harus melihat dan merasakan ketika kehidupan ekonomi kami
membaik.
Something that I couldn’t
accept because I always believe that one day our lives will get better. My
parents must see and live it when things get better financially.
Tapi keadaan kesehatan ibu saya dan saya menjadi demikian
buruk.
But my mother’s health
and my own health became that worst.
Saya mulai bertanya-tanya apakah segala keinginan,
cita-cita, ambisi, impian dan harapan saya selama ini hanya sesuatu yang
kosong? Bahwa selama bertahun-tahun saya sedang menipu diri untuk mempercayai
bahwa semua itu dapat terjadi pada suatu hari nanti?
I started to ask if
everything I had in my wishes, plans, ambition, dreams and hopes were nothing
but empty stuff? That for years I fooled myself to believe that one day they
would come true?
Keseluruhan mental saya ambruk pada hari itu.
I had a complete mental
breakdown on that day.
Berhari-hari sesudahnya saya bagaikan mayat hidup. Saya
menjalani aktivitas tanpa merasa hidup. Saya kehilangan tujuan hidup.
Days after that I lived
my life like a zombie. I did my activities without feeling like a living human.
I lost my life purpose.
Tapi saya tetap berhasil menutup rapat-rapat hal ini.
But I succeededly hid
it.
Hanya segelintir orang-orang terdekat yang paling saya
percayai yang mengetahui tentang hal ini karena saya tetap seorang yang
tertutup, yang tidak mau heboh, lagi pula menjalaninya saja sudah terasa berat
apalagi harus menceritakan pada orang-orang yang belum tentu bisa mengerti dan
belum tentu bisa berempati pada keadaan saya.
Only very few closest
and trusted people knew about this because I am still a private person, someone
who dislike make a fuss, besides it was already felt hard to live it let alone
to tell it to people whom I doubt could understand nor could emphatize with my
situation.
Namun kemudian berangsur-angsur kesehatan ibu saya membaik.
But my mother’s health
slowly improved.
Begitu pula dengan menstruasi saya.
So does my menstruation.
Tapi saya merasa hidup membuat saya babak belur. Saya harus
berjuang untuk dapat kembali berdiri tegak.
But I feel life has
given me lots of black and blue. I had to struggle to get back on my feet.
Perjalanan saya ke rumah Santi adalah cara saya untuk
membuktikan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan
sebelumnya, bahwa saya bisa melakukannya sendiri, bahwa saya mendapatkan
kembali kepercayaan diri, yakin bahwa saya mampu dan saya tetap hidup.
My trip to Santi’s place
was my way to prove that I can do things I have never done before, that I can
do that on my own, that I get my self confident back, that I can and that I am
still alive.
Saya telah mengalami banyak hal. Dan hidup belum berhenti.
Tidak sekarang.
I have been through a
lot. And life has not stopped. Not now.
Saya berhasil mengalahkan tidak hanya penyakit dan kesusahan
tapi juga depresi, kemarahan, ketakutan, kesedihan, kecemasan dan keputusasaan.
I have not just overcome
illness and hardship but also depression, anger, fear, sadness and desperation.
Santi juga bukan sembarang teman. Dia sahabat. Saudara.
Santi is not just a
friend. She is a bestfriend. A sister.
Sama seperti saya, kehidupan juga telah membuat dia babak
belur.
Just like me, life has
made her black and blue.
Dia kehilangan anak sulungnya, dia menghadapi tahun-tahun
panjang ketika pernikahannya bermasalah, dia kehilangan limpa dan juga ayahnya.
She lost her eldest
child, she dealt with many years of having marital problems, she lost her lymph
and she lost her father.
Selama 23 tahun itu kami mengetahui kesusahan dan
kebahagiaan satu dengan lainnya. Kami saling berbagi suka duka, saling
menguatkan, saling menghibur dan saling menasehati.
For 23 years we knew
about each other’s ups and downs. We shared it, we consoled each other, cheered
and advised one another.
Ketika akhirnya kami bertemu, dia amat sangat gembira. Saya
juga tapi sikap kami sesuai dengan tipe kepribadian masing-masing. Saya seorang
introvert.. sementara Santi.. kok rasanya dia sekarang jadi makin pede, makin
bawel dan makin lucu.. hehe.. dulu dia tidak seperti itu.
When we finally met, she
was so very happy. So I was but each of us reacted according to our type of
personalities. I am an introvert.. while Santi.. it seems she has become more
confident, more noisy and funnier.. lol.. she was not like that before.
Dia lebih banyak bicara. Ceritanya seakan tidak ada
habisnya.
She was the talker. It
seemed she has so many things to tell.
Saya lebih banyak menjadi pendengar dan dia membuat saya
banyak tertawa dengan segala ceritanya, gaya berceritanya dan gurauannya.
I was more a listener
and she made me had lots of laugh over hearing her stories, the way she told
them and her jokes.
Kehidupan memberikan banyak hal pada kami dan telah merubah
kami. Itu saya lihat dalam dirinya dan dia juga pastilah melihatnya dalam diri
saya.
Life has given us so
many things and has changed us. I could see it in her and she must has seen it
in me.
Tapi kehidupan tidak merubah persahabatan dan persaudaraan
kami.
But life does not change
our friendship and sisterhood.
Saya berharap semua itu akan tetap dan selalu ada selamanya.
No comments:
Post a Comment