Hari Senin (28/10) saya berangkat dari rumah sekitar jam 8
pagi. Agak merasa bersalah juga pada ayah saya karena saya tidak memberitahukan
pagi itu saya tidak akan menginap di rumah kenalan saya.
I
left the house at around 8 am that Monday (Oct 28th). Felt a little
guilty for not telling my father that I was not going to spend a night at my
acquaintance’s place.
Rencana awal memang demikian. Tapi ibu dari kenalan saya itu
sakit sehingga dia harus merawatnya. Jadi saya akhirnya menghubungi seorang
teman lama. Dia gembira sekali ketika tahu saya ingin mengunjungi dan juga
menginap semalam dirumahnya.
That
was the actual plan. But the mother of my acquaintance fell ill and she had to
nurse her. So I contacted my old friend. She was so happy to know I would visit
and also spend a night at her place.
Tapi teman saya itu tinggal di Cengkareng, Jakarta.
But
my friend lives in Cengkareng, Jakarta.
Kalau dari Bogor, itu jauh, bo!
It
is so far away from Bogor, dude!
Seumur hidup, saya belum pernah ke Cengkareng. Saya buta
total daerah itu.
All
of my life I have never been to Cengkareng. I am totally lost.
Teman saya memberi petunjuk arah menuju rumahnya. Naik bis
Transjakarta dari Beos, turun di halte Harmoni, ganti bis Transjakarta yang ke
arah Kalideres. Turun di Ramayana Cengkareng. Sambung lagi dengan angkot dan
turun di depan Perumahan Taman Palem Lestari. Dia akan jemput saya disitu.
My
friend gave direction to her house. Take the Transjakarta bus from Beos, get
off at Harmoni, take another Transjakarta bus to Kalideres. Get off at Ramayana
supermarket in Cengkareng. Get a public vehicle to her housing complex where
she will meet me.
Saya yakin saya bisa sampai ke rumahnya sekalipun saya belum
pernah sama sekali kesana.
I
was certain I could get there though I have never been there before.
Tapi saya terlalu mengenal ayah saya. Bisa heboh dia kalau
tahu saya akan pergi sendirian ke Cengkareng.
But
I know my father all too well. He would go crazy if he knew I would go all by
myself to Cengkareng.
Ayah saya tidak pernah memberi dukungan bila saya ingin
menginap di rumah teman. Sekalipun rumah teman itu jaraknya tidak jauh dari
rumah kami. Setiap kali saya mengatakan saya ingin menginap di rumah teman,
komentar ayah saya selalu “Ah, buat apa?”
My
father never gives support when I want to spend a night at a friend’s house.
Eventhough the house is not too far from our house. Everytime I tell him I want
to spend a night at a friend’s house, his respond is always the same “What is
that for?”
Bahkan setelah saya dewasa, setiap kali saya mengatakan saya
akan menginap di kantor karena urusan kerjaan, ayah saya keberatan dan
mengajukan berbagai alasan dari mulai ‘nanti tidur dimana?’ sampai ‘nanti malam
dan paginya makan gimana?’.. seakan-akan saya akan menginap di tengah hutan
belantara di Papua sana.
Even
as an adult, whenever I tell him I’d spend a night at the office due to work,
my father show reluctantance and fussed about ‘where are you going to sleep?’
to ‘what are you going to have for dinner and breakfast’ as if I were spending
a night in the jungle of Papua.
Jadi setiap kali saya akan menginap atau pergi jalan agak
jauh, kami berdua pasti akan saling tarik urat dulu.
So
everytime I am going to spend a night somewhere or go to far places, the two of
us would have argumentation about it.
Perdebatan yang melelahkan dan selalu membuat saya sebal.
An
exhausting argumentation that always upset me.
Saya heran juga. Semasa muda dulu ayah saya itu berandalan,
tukang keluyuran, tidak jarang berkelahi fisik.
It
puzzles me though. Many years ago when he was young, my father was a brad, he
would wandered on the street, been in many fights.
Tapi ke saya, anak perempuannya, dia amat sangat
melindungi.
But
to me, his daughter, he is so over protective.
1971. My father & I |
Hanya saja, dia lupa, saya
anaknya. Gen dalam dirinya mengalir dalam diri saya. Kami tidak hanya mirip
secara fisik. Sifat kami pun mirip.
It’s
just that he forgets, I am his daughter.
His genes ran in me. I am not just his resemblance in physic. We have same
characters.
Keberanian dan kenekatannya menurun pada saya.
I
inherit his daredevil guts.
Jadi hari Senin itu dengan membulatkan seluruh tekad, saya
berangkat ke stasiun Bogor. Saya tidak gentar sekalipun sudah lama sekali saya
tidak naik kereta sendiri. Dan stasiun serta sistimnya serba baru.
So
I pulled all my nerve on that Monday and I left to Bogor train station. It
didn’t deter me though it has been so long since the last time I took a train
and now the station and the system are all new.
Saya sudah dengar tentang tiket yang diganti dengan kartu
magnetis seperti kartu kredit.
I
have heard they replaced the ticket with magnetic card that looks like credit
card.
Kartu itu akan di program oleh petugas di loket sesuai dengan
rute tiap penumpang; hanya sekali jalan atau rute pp.
The
card will be programmed by the counter officer according to each passenger’s
route; one way (single trip) or round way (multi trip).
Untuk mencegah agar kartu jangan hilang atau rusak, setiap
penumpang harus membayar uang jaminan sebesar Rp.5.000 yang dapat di klaim di
stasiun tujuan dalam tenggang waktu satu minggu.
The receipt |
To prevent the card from lost or damaged, every passenger must pay guarantee fee of Rp.5.000 which is refundable within one week.
Tapi pagi itu saya bingung melihat ada 5 jalur antrian yang
panjang meliuk seperti ular.. ya ampun, mana yang menuju loket kartu dan mana
yang loket untuk mereka yang ingin mengembalikan kartu dan mengklaim uang
jaminan. Ga seru dong kalau sudah ngantri lama.. eh, ternyata salah jalur..
But
that morning it confused me to see there were 5 long queque lines.. gosh, which
one to the card counter and which was to the counter for returned card and
refund guarantee money? It wouldn’t be fun to be in the queque long only to
find out that it was the wrong one..
Dalam keadaan begini ya, harus rajin dan berani nanya pada
siapa saja. Jangan malu, jangan ragu. Tapi juga tidak usah jadi senewen. Santai
sajalah.
In
this kind of situation, don’t be shy or hesitate to ask people. But lightened
up. Don’t get so tense.
Berhubung saya tidak merasa dikejar waktu dan dalam suasana
jalan-jalan, saya tenang-tenang saja.
Since
I wasn’t in a hurry and in travelling mode, I enjoyed every second of it.
Kereta berikutnya yang
menuju Jakarta ada di jalur tiga. Akan berangkat pukul 09.01 wib.. saya
mendengar pengumuman itu.
The next train to
Jakarta is in line three. Will leave at 09.01.. I heard the announcer passing the
information.
Cieee… gaya… berangkat jam sembilan lewat semenit katanya?
Wow..
cool… it says, the train leaves at one minute passed nine?
Saya naik ke kereta itu dan memperhatikan jam tangan saya.
Eh, betul lho, berangkatnya memang jam segitu.. wah, canggih kalau kereta
melayu yang terkenal dengan jam karetnya sekarang bisa tepat waktu.
I
got on the train and watched my wrist watch. Well, what do you know, it really
left on time.. superb if this well known country that can’t keep things go on
time now able to run better timing system.
Saya baru dapat tempat duduk setelah kereta sampai di
stasiun Gondangdia.. untung saya berdiri menyender dan bertemu dengan seorang
ibu yang ramah yang akhirnya jadi teman mengobrol sehingga perjalanan itu tidak
terasa lama. Dan pegalnya berdiri lebih dari setengah jam juga jadi tidak
terasa..
I
found an empty seat after the train got to Gondangdia station.. luckily I could
lean on the pole and I met a friendly lady who made a nice conversation with
me, making the long trip felt short. And my feet didn’t feel cramp for standing
for more than half hour..
Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari Bogor ke
Jakarta. Melewati 22 stasiun.. yap, saya hitungin lho.. hehe..
It
took about an hour from Bogor to Jakarta. Passing 22 train stations.. yep, I
counted them.. lol..
Googling to find photo of this e-ticket |
Sampai di stasiun Beos, Kota, saya bingung memikirkan
‘nasib’ kartu saya. Mau saya pulangkan dan ambil uang jaminan atau boleh saya
bawa menginap semalam? Tanya kiri, tanya kanan, ternyata bisa saja dibawa
pulang. Besok tinggal minta petugas loket untuk isi lagi sesuai dengan tarif
ongkos pulang ke Bogor.
the receipt |
Once
I got at Beos station, it puzzled me to think about my card. Should I return it
and had my guarantee money refunded or could I take it with me for a night? I
asked around, yep, I could take it home. I only need to ask the officer in the
counter to fill it with the fares when I want to return to Bogor.
Setelah lega urusan per-kartu-an selesai… nah, sekarang ke
Museum Fatahilah, pikir saya penuh semangat.
Relieved
this card stuff was taken care… now, to Fatahilah Museum, I thought excitedly.
Daerah Kota menyimpan kenangan masa kanak-kanak karena
ketika saya masih SD, kantor ibu saya berada tidak jauh dari Museum Fatahilah
sehingga setiap kali ayah saya membawa saya pergi untuk menjemput ibu saya,
ayah saya dan saya melewatkan waktu dengan makan bakmi atau es krim dan
kemudian mengunjungi museum itu.
Kota
area keeps childhood nostalgia for me because when I was in elementary school,
my mother worked in a company that was not far from Fatahilah Museum so
whenever my father took me there to pick her from work, he and I would have
noodle or ice cream and then visited the museum.
Saya menyukai Kota karena alasan itu. Setiap kali saya
berada di Kota, saya merasa seperti terlempar ke masa ketika usia saya baru
7-10 tahun.
I
like Kota for that reason. Everytime I was there, I felt I was thrown into the
past when I was 7-10 years old.
Tapi pagi itu saya bingung. Kota banyak berubah. Lebih
parahnya lagi, saya lupa jalan menuju Museum Fatahilah.
But
that morning I was confused. Kota changed a lot. Worst, I forgot the way to
Fatahilah Museum.
Tanya kiri, tanya kanan, akhirnya sampai juga saya disitu.
Tapi museum sedang dalam perbaikan dan ditutup selama 3 bulan!
I
asked around and could get myself there. But it was under renovation and thus,
is closed for 3 months!
Saya hanya bisa memotret dari luar.
I
could only take few photos from its front yard.
Sedih juga saya. Jauh-jauh saya dari Bogor, sampai
didepannya dan ternyata dia ditutup. Dari semua tempat di Kota, hanya tinggal
dia satu-satunya yang masih tetap berada ditempatnya. Tempat-tempat kemana saya
pernah dibawa pergi oleh ayah saya, mulai dari tukang bakmi, es krim, roti
bakar sampai ke bekas kantor ibu saya, sekarang sudah tidak ada.
It
saddened me. I came this far from Bogor, now I stood infront of it and it was
closed. Of all the places in Kota, the museum is the only site that still exist
exactly where it was. Other places that my father took me from the noodle
vendor, the ice cream parlor, toast seller to my mother’s former office were
all history.
Bukan hanya itu. Adik bungsu saya pun sudah tidak ada.
Not
just that. My youngest sister was gone too.
Dia meninggal tahun 1981, ketika usianya baru 5 tahun.
She
passed away in 1981, when she was just 5 years old.
Saya sudah lupa bagaimana rasanya punya adik. Tapi masih
tersimpan sisa-sisa ingatan bagaimana dulu dia, saya dan ayah saya mengunjungi
museum ini. Bagaimana kami berdua berlarian menaiki tangga, terpesona menatap
sebuah lemari besar di suatu ruangan, memandang keluar jendela, penuh rasa
ingin tahu mengintip penjara bawah tanahnya, duduk beristirahat di teras…
I
have already forgot how it felt to have a sister. But I keep the memories of
how she and I along with our father visited this museum. How the two of us ran
up the stairs, amazed at the big cabinet in a room, watching out through the
window, peeking curiously at the underground cell, resting at the terrace..
Mungkin setelah mengalami satu tahun yang luar biasa yang
sempat membuat saya depresi dan mengira hidup saya berhenti, saya ingin kembali
ke masa lalu. Masa lalu pun bukanlah masa-masa terbaik dalam hidup saya tapi
saat itu semuanya masih terasa sederhana.
Maybe
after having one hell of a year that put me into depression and made me thought
my life was nearly ended, I wanted to go back to the past. It is not the best
part in my life but it was when things looked simple.
Saya akan kembali,
bisik saya dalam hati sambil menatap Museum Fatahilah, 3 bulan lagi saya akan mengambil cuti dan saya akan kembali khusus
untuk mengunjungi kamu. Saya janji.
I will return, I wishpered in my
heart as I stared at Fatahilah Museum, I
will take my leave in another 3 months and I will return just to visit you. I
promise.
Saya tidak bisa berlama-lama. Perjalanan masih panjang dan
sekitar jam 12 teman saya akan menjemput saya didepan kompleks perumahannya.
I
couldn’t stay long. I still had a long ride and my friend would pick me up at
her housing complex entrance at around noon.
Jadi saya kembali ke stasiun Kota dan kembali
terbingung-bingung memikirkan bagaimana caranya untuk dapat sampai ke terminal
bis Transjakarta yang letaknya berseberangan tapi tidak ada jalan ke situ.
So
I returned to Kota train station and again got confused thinking how to find
the way to get to Transjakarta bus station which is just across the street but I
saw no entrance.
Tengok kiri, tengok kanan.. nanya ke tukang buah.. Oh,
ternyata ada jalur bawah tanah (underpass). Seperti subway. Keren.
I
looked around… asking a fruit vendor… Oh, there is underpass. Like a
subway. Cool.
Kalau anda keluar dari pintu stasiun Kota yang menuju Museum
Fatahilah, tinggal belok ke kiri dan berjalan saja menyusur. Perhatikan pelang
petunjuk (disebelah kiri) menuju terminal bis Transjakarta. Didepannya banyak
pedagang kaki lima.
If
you take Kota train station exit door that led to Museum Fatahilah, once you
get out through that exit door, turn left and just walk through the sideroad.
Watch for the signage (on the left side of the road) of where the underpass entrance is. There are many food vendors infront of it.
Saya sempat membuat foto setelah berada didalamnya.
I
took some photos once I was in it.
Naik bis Transjakarta membutuhkan kesigapan dan siap mental.
Soalnya saya ngeri melihat pintu tidak berpalang, posisinya tinggi dan orang
berdiri mengantri. Salah gerak, keseimbangan badan kurang baik atau tiba-tiba
terdorong oleh orang yang berdiri dibelakang kita.. wih, bisa terjun bebas
langsung ke jalanan yang lalu lintasnya ramai.
googling result |
Riding
on Transjakarta bus means you need flexibility and guts. It scared me when I saw
there is no safety gate door, it is high and people lined up infront of it. One
wrong move, bad balance or being pushed by someone from behind us.. yep, you
would go diving on the crowded road.
googling to find a photo of transjakarta bus stop |
Lalu kalau dapat supir bis yang kurang handal, posisi bis
bisa agak jauh dari pintu terminal sehingga ada celah yang harus kita langkahi.
Aduh, ngerinya.. kalau salah melangkah atau terdorong orang dari belakang dan
kaki kita nyeblos ke celah itu.. tamatlah riwayat tulang kaki..
If
the bus driver is not too expert, the bus can’t get close to the terminal gate
so there is a gap that passenger should walk over. Geez, scarry.. one wrong
step or being pushed by someone from behind and we step right into that gap..
there goes your feet..
Belum lagi gaya menyetir setiap supir berbeda. Ada yang
halus dan berhati-hati tapi ada yang mungkin mantan supir truk pengangkut
sapi.. jadi jalannya.. astaga.. dipikirnya yang diangkut itu sapi dan bukan
manusia..
And
every driver has different driving style. There are those who drives smoothly
and carefully while others made me think that driver probably worked as truck
driver that carried cows before he became Transjakarta bus driver because the
way he drove was like he carried cows and not people.
Soal keramahan dan kepedulian juga berbeda. Setelah transit
di Halte Harmoni, supir bis Transjakarta berikut keneknya yang melayani rute
Harmoni-Kalideres sama sekali tidak pedulian bahkan ketika saya sudah
mengatakan bahwa saya turun di Ramayana Cengkareng karena saya tidak tahu apa
nama haltenya.
Harmoni transjakarta bus stop (googling result) |
Hospitality
and careness are different too. After took a transit at Harmoni bus stop, the
driver and his assistant that served the route Harmoni-Kalideres, were so
ignorant even after I told them I would get off at Ramayana Cengkareng because
I didn’t know the name of the bus stop near that place.
Kalau bukan karena diberitahu oleh seorang penumpang yang
juga turun di halte itu, saya pasti akan terbawa sampai ke Kalideres.
If
it was not for another passenger who told me to get off as she herself got off
in that same bus stop, I would be taken to Kalideres.
Wah, kalau tidak karena harus buru-buru turun, pasti bakal
saya maki-maki dulu supir dan kenek itu.
If
not wasn't because I had to get it off right away, I would yell at that driver and his
assistant.
Penumpang itu juga yang menunjukkan kepada saya tempat
angkot yang harus saya naiki untuk menuju kompleks perumahan teman saya.
That
same passenger also showed me where I could get the car to my friend’s housing
complex.
Setelah berada dalam angkot, saya bingung bagaimana caranya
memberitahu supir, saya harus turun dimana karena saya duduk paling belakang.
Dan sekali lagi saya bertemu dengan sesama penumpang yang baik hati memberitahu
supir dan juga memberitahu saya dimana saya harus turun.
Once
I got in the car, I was confused thinking how I could I let the driver know
where I would get off since I sat in the back. And once again I met a nice
fellow passenger who kindly told the driver and also let me know where I should
get off.
Dan akhirnya mendaratlah saya didepan kompleks perumahan
Taman Palem Lestari Cengkareng. Tapi perjuangan belum selesai. Kali ini bingung
mencari dimana Pujasera. Nanya orang lagi dong. Penjual minuman di halte bis
menunjuk ke arah kiri.
So
I finally landed at the Taman Palem Lestari Cengkareng housing complex
entrance. But it led me to another confusion. Where is the food centre. A
vendor at the bus stop pointed to the left.
Oh ternyata ada didepan mata. Tinggal menyeberang sedikit.
Jalan menyusur disebelah kiri. Belok ke kiri. Sampai deh.
Oh
it was infront of me. I needed to cross the street. Walked on the sideroad.
Turned left. Yes, I got there.
Saya masuk. Duduk di bangku kosong. Minum. Menghela napas.
Perjalanan yang luar biasa untuk seorang Keke, pergi sendiri ke tempat yang
seumur hidupnya belum pernah dia kunjungi.. perjalanan yang tidak terbayangkan
akan pernah saya lakukan mengingat hanya 3-4 bulan lalu saya masih berjuang
menghadapi menstruasi saya yang luar biasa banyaknya.
I
got in. sat in an empty seat. Had a drink. Sighed. One hell of trip for Keke,
went to a place she has never been to all of her life.. an unthinkable trip
considering that less than 3-4 months ago I was battling my one hell of
menstruation.
Tapi toh saya berhasil. Saya capek. Kepala saya pusing.
Perut saya lapar. Saya kepanasan. Namun hati saya terisi oleh rasa bahagia dan
bangga … hei, kamu berhasil! Kamu sampai
disini.
But
I made it. I felt tired. I had headache. I felt hungry. I was sweating. However
my heart filled with happiness and pride, .. hey, you made it, girl! You got to this place.
Saya mengirimkan sms pendek ke Andre “Christopher Colombus sudah menjejakkan kaki di Cengkareng”..
I
sent short text to Andre “Christopher
Colombus has set foot on Cengkareng”..
Hp saya segera berdering.
My
cellphone rang.
Saya dengar suara Andre tertawa.
I
heard him laughing.
“Berhasil!” seru saya semangat.
“I
have made it!” I exclaimed excitedly.
“Kamu betul-betul perempuan kepala batu” dia berkata gemas
sambil masih tertawa.
“You
are really one hell of a stubborn woman” he said while still laughing.
Yap. Betul sekali, coy. Tidak ada satu kesusahan, penyakit
atau manusia paling jutek di dunia ini yang akan benar-benar bisa mengalahkan
Keke! Saya masih berdiri dengan tegak dan semakin kokoh setelah melewati semua
itu.
Yep.
Got that right, dude. There is no hardship, illness or the most bitch in this
world that can bring down Keke. I am still standing tall and getting tougher
after going through them all.
Teman saya tiba kira-kira 5 menit kemudian.
My
friend arrived 5 minutes later.
Cerita reuni kami disambung ke postingan yang berikutnya.
No comments:
Post a Comment