Siap melayani anda..
kira-kira begitulah terjemahan bebasnya.
Andre pernah beberapa kali membawa saya makan di restoran
fine dining.
AMUZ French Fine Dining Restaurant, Jakarta |
Andre took me to
dine in fine dining restaurant several times.
Wah, restoran macam
apa itu.., Buat yang belum tahu..
What kind of restaurant is that.., for those who don’t know..
Saya punya deskripksi sendiri tentang tempat itu..
I have my own
description about it..
Tempat makan yang mengharuskan kita berpakaian rapi dan
resmi;
A place to dine
that requires us to dress neat and formal;
Harus mengerti tentang table manner;
Gotta know table
manner;
Diatas meja makan ada setidaknya tiga macam sendok, tiga
macam garpu, tiga macam pisau, tiga macam gelas yang semuanya beda bentuk dan
beda ukuran karena fungsinya berbeda;
On the dining
table, there are at least three kinds of spoon, three kinds of fork, three
kinds of knife, three kinds of glass which all came in different shape and
different size as they are used for different meals and different drinks.
Selain itu, harga makanannya mahal, porsinya imut, di perut
rasanya melayang.. hehe..
And, the price
is expensive, the portion is tiny, feels them floating in my stomach.. lol..
Saya sejuta kali lebih suka makan di warteg atau di tukang
jualan pinggir jalan dari pada di restoran-restoran seperti itu.
I’d a million of
times better dined in food vendor on the street than in those restaurants.
Tapi di restoran fine dining ada seorang pelayan yang akan
menghampiri begitu kita masuk, menyapa dengan ramah dan sopan, menarikkan kursi
untuk kita, menyodorkan menu, menuangkan air atau wine ke gelas kita..
But in fine
dining restaurant there is a waiter that will approach us once we get inside,
greets us nicely and politely, pulls the chairs for us, hands out the menu,
pours the water or wine in our glass..
Pokoknya pelayanannya pasti memuaskan.
Giving the
satisfactory service.
Tapi apakah menjadi pelayan itu enak?
But is it fun
being a servant?
Pembantu rumah tangga adalah orang yang pertama bangun di
pagi hari dan orang yang terakhir pergi tidur di malam hari.
A house maid is
the first one who gets up in the morning and the last one who goes to bed at
night.
Apakah menjadi pelayan adalah merupakan pilihan hati
seseorang?
Is being a
servant a heart’s choice?
Apakah seorang pelayan menerima penghargaan dan upah tinggi?
Is a servant get
high appreciation and high wage?
Pekerjaan sebagai pelayan adalah pekerjaan fisik yang paling
melelahkan, yang meminta banyak pengorbanan fisik serta perasaan, tapi menerima
upah yang tidak sebanding dengan semua yang telah diberikannya.
Being a servant
means doing exhausting physical work, makes lots of physical and mental
sacrifice, accepting wage that can’t compensate them all.
Sebagian besar mereka yang bekerja sebagai pelayan menerima
pekerjaan itu karena tidak memiliki pilihan. Lebih baik bekerja sebagai pelayan
dari pada sama sekali tidak bekerja. Apalagi di jaman ekonomi semakin sulit
seperti sekarang ini.
Most people who
work as servants accept the job because they have no other choice. Better work
as servant than not having work at all. Especially in the present economical
condition.
Dan mereka pun menjalani pekerjaan itu. Tanpa banyak keluh
karena memang mengeluh pun tidak akan ada gunanya. Tidak menggerutu karena
sudah mensyukuri bisa bekerja.
And they just do
their work. Less complain knowing that it is useless. Not grumbling thinking it
is better to have a job than none at all.
Kalau anda selalu memiliki banyak pilihan dalam hidup, maka
anda tidak akan bisa mengerti bagaimana rasanya harus menjalani hidup tanpa
memiliki banyak pilihan atau bahkan tanpa memiliki pilihan sama sekali kecuali
menjalani apa yang ada.
If you have many
options in your life, then you can’t understand how it feels to live a life
with less options or even have none except to live whatever is laid before you.
Kalau anda selalu memiliki banyak pilihan dalam hidup, maka
anda akan berteriak memprotes, mengeluh dan menggerutu ketika anda menghadapi
situasi yang memberikan sedikit ketidaknyamanan.
If you have many
options in your life, you would yell, protesting, complain and grumble when you
face small discomfort situation.
Seorang yang saya kenal pernah melakukannya.
Somebody I know
did that once.
Setelah dia keluar dari ruangan saya, saya dan teman saya
saling berpandangan.
After that
person left my room, me and my friend glanced at each other.
“Lantas bagaimana dengan kita berdua ya, Ke?” teman saya
bertanya “Setiap hari Minggu kita berdua sampai paling pagi disini. Kadang
malah sebelum jam 6.30 pagi”
“Then how about the
two of us, right, Keke?” my friend asked me “Every Sunday we get here before
everyone else. Sometimes we even get here before 6.30 am”
Saya hanya tersenyum. Pikiran kami sama.
I just smiled.
We had same thought.
“Kamu bangun jam berapa setiap hari Minggu?” teman saya
bertanya lagi “Kalau aku sih tempat kostnya dekat sini. Tapi rumah kamu lebih
jauh dan kadang kamu sampai sini lebih cepat dari aku”
“What time do
you get up on Sunday?” my friend asked me again “My rented place is nearby. But
your house is farther and sometimes you get here earlier than me”
“Jam 4 pagi” jawab saya singkat.
“4 am” was my
short reply.
“Dari rumah berangkat jam berapa?”
“What time do
you leave your house?”
“Kadang jam 6, kadang sebelum jam 6”
“Sometimes at 6
am, sometimes before 6 am”
Kami berpandangan dan kemudian tertawa geli.
We looked at
each other and laughed in chorus.
“Lantas begitu sampai disini, kita atur-atur semua ya kan,
Ke?” dia bertanya lagi.
“Once we get
here, we arrange things, don’t we, Keke?” she asked me again.
Saya hanya tertawa. Oleh karena rasa geli dan ironi.
I just laughed.
Tickled and out of irony.
“Kita ga pernah ngeluh ya, Ke?”
“We never
complained right, Keke?”
Iba juga saya mendengar pertanyaannya. Teman saya yang hanya
setahun lebih tua dari saya ini sering kali membuat saya merasa seakan saya
jauh lebih tua dari dia karena dia lebih lugu dari saya.
I felt my heart
moved by her question. My friend who is just a year older than me but most of
the times make me feel older than her because she is more naive than me.
Saya lebih kasihan pada dia.
I feel pity for
her.
Karena kalau saya, itu resiko jabatan. Saya bekerja disini.
Saya dibayar untuk melakukan apa pun yang harus saya lakukan demi kelancaran
pekerjaan saya.
Because I know
the things I do is the consequence of my job. I work here. I am paid to do
anything I must do for the sake of my work.
Jadi kalau saya harus bangun jam 4 pagi, berangkat dari
rumah jam 6 pagi supaya bisa sampai ditempat kerja jam 6.30 atau sebelum jam
segitu dan sudah jungkir balik mengatur apa yang harus di atur, merapikan apa
yang harus dirapikan dan menyempurnakan apa yang harus disempurnakan ketika
orang-orang lain mungkin baru bangun, baru sarapan, baru mandi atau baru
siap-siap berangkat dari rumah pada jam-jam segitu; maka semuanya itu saya
lakukan karena saya memang dibayar untuk melakukan pekerjaan saya.
So if I have to
get up at 4 am, leave to work at 6 am so I can get here at 6.30 am or before
that and juggling with things that need my finishing touch while others may
just get up, have breakfast, take a bath or get ready to leave their house at
those hours; I do it all because I am paid to do my work.
Tapi teman saya ini tidak menerima bayaran seperak pun. Dia
tidak bekerja disini. Dia bukan pegawai ditempat ini.
But my friend
gets no payment. She doesn’t work here. She is not an employee in this place.
Dan dengan segala kerelaan hatinya dia datang awal,
melakukan apa pun yang bisa dilakukannya, membantu apa pun yang bisa
dibantunya, tetap berupaya untuk datang sekalipun badannya tidak sehat atau
baru sembuh sakit, tetap bersabar sekalipun digerutui karena dia tidak bisa
datang karena belum sehat atau karena ibunya sakit.
With such a big
heart, she came early, do anything she can do, help anything she feels she
incapable to help, making herself to come despite of her poor health or having
just recovered from an illness, keeping the patience though she received
complain or grumbling over her absence out of her health or her mother’s ailing
health.
Dia adalah pelayan sejati. Pelayanan yang dilakukannya
adalah pelayanan murni.
She is the real
servant. Her service is the genuine one.
Saya malu untuk mengeluh didepannya.
I feel ashamed
to grumble when she is with me.
Kehidupan memberikan saya banyak pelajaran. Satu diantaranya
adalah bahwa orang-orang yang paling tidak memiliki pilihan dalam hidup adalah
mereka yang paling tahan uji, paling sabar dan justru yang paling bisa
bersyukur.
Life has given
me so many lesson. One of them are the fact that people who have less option in
life are those who have lots of endurance, patience and have grateful heart.
Sementara mereka yang memiliki banyak kemudahan, memiliki
banyak kelebihan dan memiliki banyak pilihan dalam hidup justru adalah
orang-orang yang paling lemah, paling cengeng, paling tidak bisa bersyukur dan
anehnya juga paling susah untuk berbahagia.
No comments:
Post a Comment