Hari Kamis sore (28/11) sepulang dari kantor, saya mendapati
ibu saya tertidur sambil duduk di sofa di ruang tamu.
That Thursday
afternoon (Nov 28th) I got home from the office to find my mother
slept on the livingroom sofa.
Dia bahkan tidak terbangun ketika saya membuka dan menutup
pintu, tetap pulas sekali pun ayah saya dan saya bicara dengan suara agak
keras.
She didn’t wake
up when I opened and closed the door, not even by the loud voice of my father
and I when we spoke.
“Teler gara-gara obat” kata ayah saya.
“Pretty much
sedated by the medicine” said my father.
Yah, masih mending begitu deh dari pada menemuinya dalam
keadaan seakan napasnya akan putus.
Yeah, it is so much
better than to see her as if she was about to take her last breath.
Sehari sebelumnya, jam 4 pagi, ayah saya membangunkan saya.
Panik. Ibu saya dalam keadaan demikian.
Yesterday, it
was 4 am, my father woke me up. Panic. My mother was in that kind of condition.
Saya nyaris jatuh dari tempat tidur ketika meloncat bangun
dan hampir menabrak pintu ketika berjalan tersaruk-saruk keluar kamar.
I nearly fell off my bed when I jumped out of it and almost bumped into the door as I walked
stagerly out of the bedroom.
Ibu saya memiliki masalah dengan kelenjar tiroid atau yang
lebih dikenal umum sebagai penyakit gondok. 7 bulan lalu kondisinya demikian
parah sampai kami semua mengira akhir hidupnya sudah tiba.
My mother has
thyroid gland problem. 7 months ago her condition was so critical that we all
thought she would pass away.
Setelah 7 bulan, obat untuk mengobati kelenjar tiroidnya itu
memberi dampak samping yang membuat tubuh ibu saya seperti tidak mampu
menyimpan tenaga. Jadi ketika dia melakukan aktivitas fisik (yang tidak
membutuhkan banyak enerji), ibu saya merasa seperti akan pingsan.
After 7 months,
the medicine for her thyroid gland gave side effect. It made my mother’s body
seemed unable to keep enough energy. So when she did light physical activity
(which didn’t need lots of energy) my mother felt she would pass out.
Dia takut. Ketakutan. Panik.
She was scared.
Freaking out. Panic.
Semakin dia panik, semakin kacau detak jantungnya. Dan ini
membuatnya semakin takut dan lebih panik.
The more she
panicked, her heart beat went crazy. And this made her more scared and more
panic.
Persis seperti lingkaran setan.
It screwed her
up.
Ayah saya terbawa suasana. Ikut panik. Ikut takut. Bingung.
My father got
carried away. Joined the club. Panic. Terrified. Confused.
Saya terpaksa harus membentak mereka. Tidak ada pilihan.
I had to yelled
loudly at them. No other choice.
Dalam keadaan-keadaan seperti ini (untuk diketahui, ini
bukan yang pertama kalinya) orang tua saya tidak membutuhkan satu orang lagi
untuk ikut panik atau ketakutan bersama mereka, serta jelas tidak membutuhkan
seorang yang menangis.
In that kind of
situation (FYI, it wasn’t the first time) my parents definitely didn’t need one
more person to join in the panic and terrified club, clearly didn’t need
someone weeping.
Pernah melihat seorang yang hampir tenggelam? Bagaimana dia
demikian takut dan panik sehingga membuat dirinya malah sulit untuk di tolong.
Dia bahkan bisa membuat penolongnya ikut tenggelam.
Have you seen
someone drowning? How that person got so scared and panic that it made it
difficult to rescue him/her. That person could even make his/her rescuer
drowned too.
Saya tidak bisa berenang. Tapi saya suka bermain air di
kolam renang. Kadang malah sedikit terlalu berani. Akibatnya sekali pernah saya
hampir tenggelam.
I can’t swim.
But I like splashing in the swimming pool. Sometimes being too dare devil. And
once it made me almost drown.
Dalam keadaan takut dan panik, naluri saya adalah berusaha
untuk dapat mengambang. Saya demikian sibuk berkonsentrasi untuk mengambang
dalam ketakutan dan kepanikan itu sampai saya tidak menyadari Andre sudah
memegangi saya.
Scared and
panic, my insting was to try to keep my head above water. I was so occupied,
full concentration on doing it, moved by fear and panic that I didn’t realize
Andre was holding me.
Dan dia kewalahan memegangi saya.
And it was
difficult for him to hold me.
Untuk ukuran orang asia, saya terhitung tinggi dan berat.
Tapi untuk ukuran orang barat, saya ini mungil dan ringan.
In Asian
standard, I am quite tall and heavy. But for western standard, I am small and
light.
Dalam keadaan normal, seorang laki-laki asia dengan tinggi
dan berat rata-rata tidak akan menemui kesulitan untuk memegangi saya sampai
saya tidak bisa bergerak. Tapi pada hari itu saya membuat Andre, seorang barat
yang bertubuh lebih tinggi dan jauh lebih besar dari saya kewalahan memegangi
saya karena ketakutan dan kepanikan memberi saya kekuatan yang amat sangat
besar.
In normal
condition, an Asian man with average height and weight could easily hold me
until I couldn’t move. But on that day I made Andre, a western man who is so
much taller and heavier than me couldn’t hold me as fear dan panic have given
me a tremendous power.
Jadi dia memukul bahu saya sekuat-kuatnya.
So he slapped my
shoulder as hard as he could.
Karena kaget, saya jadi berhenti bergerak tidak karuan di
dalam air.
Surprised by the sharp pain feeling, it
stopped me kicking and splashing like crazy in the water.
“Sekarang dengar saya” suara keras dan tegas Andre menguasai
kesadaran saya “Saya memegang kamu. Saya tidak akan membiarkan kamu tenggelam.
Sekarang berpeganglah pada saya”
“Now listen to
me” Andre’s loud and firm voice filled my consciousness “I am holding you. I
won’t let you drown. Now hold on to me”
Malamnya saya lihat bahu saya biru lebam. Tapi saya tidak
marah pada Andre. Dia harus melakukannya untuk menghentikan ketakutan dan
kepanikan saya serta mengembalikan akal sehat saya.
In the evening I
saw my shoulder was bruished. But I didn’t mad at Andre. He had to do that to
get me out of my fear and panic, also to put some senses back into me.
Jadi demikian juga saya ketika menghadapi orang tua saya
pada saat mereka sedang dikuasai takut, cemas dan panik.
It is the same
way I do to my parents whenever they were overcome by fear, worries and panic.
Bukan karena saya jahat tapi karena dari pengalaman,
kelemahlembutan malah bikin mereka jadi seperti anak kecil yang maunya minta
digendong.
It is not being
mean to them but experience showed me that gentleness made them looked like a
toddler wanting to be carried.
Bagaimana jadinya kalau mengikuti maunya mereka yang seperti
itu. Saya tidak ada di rumah selama kira-kira 10 jam selama 6 hari seminggu.
Kalau saya membiarkan mereka lembek, saya juga yang nantinya repot kalau sebentar-sebentar
saya harus pulang untuk membujuk-bujuk atau sering-sering di telpon. Wah, bisa
cepat di pecat saya kalau begitu.
What would it be
if I let them be like that. I am out of the house for about 10 hours for 6 days
in a week. If I let them meek, it would put me in trouble as I had to go home
to soothe their feelings or get called often by them. I would soon be fired if
it were the case.
Jadi saya mengeraskan hati dan mengeraskan suara. Itu selalu
berhasil menghentikan ketakutan dan kepanikan mereka.
So I hardened my
heart and raised my voice up. It always worked to get fear and panic off them.
Tapi pada Kamis malam, sendirian dalam kamar.. dan saya
berpikir-pikir tentang ibu saya.
But on Thursday
night, all alone in my room.. and I thought about my mother.
Ibu saya lahir di akhir tahun 1934 sebagai anak bungsu dari
5 bersaudara.
My mother was
born at the end of 1934, the youngest of 5 siblings.
Anak bungsu. Anak kesayangan. Anak yang terlalu di manja.
Tumbuh menjadi seorang yang berwatak keras dan sulit.
The youngest.
The apple’s of the eye. The most spoiled one. Grew into a strong charactered
and yet difficult person.
Saya mengingat ibu saya sebagai orang terdekat saya, orang
yang sangat saya sayang dan orang yang paling sering bentrok dengan saya karena
saya menuruni sifat kerasnya, pemarahnya dan keras kepalanya.
I remember my
mother as the closest one to me, someone I love so much and someone with whom I
had many arguments since I inherit her strong character, her short temper and
her stubbornness.
Saya mengingat ibu saya sebagai seorang yang pintar yang
dibuat frustrasi oleh saya karena berlainan dengan dia yang selalu menjadi
juara kelas, saya hampir selalu menjadi juru kunci dalam urutan ranking di
kelas dan goblok ampun-ampunan dalam pelajaran berhitung.
I remember my
mother as a smart person who got frustrated by me because unlike her who was a
bright student, I flunked myself at the bottom of the list in class and was so
dumb in math.
Ibu saya mencintai musik dan bersuara indah. Saya mencintai
musik hanya sebagai sesuatu untuk di dengar.
My mother loves
music and has nice voice. I love music only as something to be listened to.
Ibu saya memberikan kepada saya bakatnya dalam bidang
sastra. Saya menemukan koleksi buku-bukunya, buku-buku sastra karya
penulis-penulis terkenal, beberapa diantaranya adalah buku-buku berisi puisi.
Tapi dia tidak pernah menjadi seorang penulis atau sastrawan. Saya yang menjadi
penulis.
My mother
inherited me with her talent in literature. I found her books collection,
literature books written by famous writers, some of them are books on poetry.
But she never become a writer. It is me who become a writer.
Ibu saya menanamkan disiplin keras kepada saya. Dia
mengajari saya untuk beraktivitas sesuai jam. Dia melatih saya untuk
mengembalikan benda yang saya ambil ke tempat semula. Dia membiasakan saya
untuk mempersiapkan segala yang akan saya bawa esok harinya dari malam
sebelumnya. Semua itu menjadi kebiasaan dan bahkan bagian dari pribadi saya.
My mother
instilled me with stern discipline. She taught me to make a schedule and stick
with it. She trained me to return the thing I take right where I took it. She
made me prepare the things I am going to take the next day from the previous
night. All have become my habit and in some ways also my personality.
Ibu saya menyadari dan mengakui bahwa dibesarkan sebagai
anak yang di manja adalah hal yang menyenangkan tapi cepat atau lambat akan
menjerat leher sendiri. Karena itu dia berupaya untuk tidak terlalu memanjakan
saya. Jadi ketika saya memintanya untuk mengajari saya mengetik, dia mengambil
selembar kertas dan menuliskan jari kelingking kiri untuk huruf a-q-z, jari
manis kiri untuk huruf s-w-x, dst.. dan menyuruh saya berlatih sendiri. Usia saya
17 tahun waktu itu dan setiap ada waktu, saya duduk di depan mesin tik untuk
berlatih sendirian.
My mother
realized and admitted that it is fun to be spoiled but sooner or later it would
become something that strangled one’s own neck. It is why she tried not to
spoil me too much. So when I asked her to teach me to type, she took a sheet of
paper and wrote left pinkie is for the letters a-q-z, left ring finger is for
s-w-x letters, etc.. and told me to go practice it myself. I was 17 at that
time and whenever I had spare time, I would sit infront of the type writer to
practice it.
Dimana pun saya bekerja, saya membuat kagum orang dengan
kemampuan saya mengetik dengan 10 jari tanpa saya melihat pada tuts-tuts huruf
pada keyboard komputer atau mesin tik, apalagi kalau saya melakukannya dengan
cepat atau sambil menggumamkan lagu, sambil bicara dengan orang lain atau sembari
menelpon. Semua itu adalah berkat ibu saya dan kegigihan saya melatihnya secara
otodidak.
Where ever I
work, I have made people impressed seeing me typing with my 10 fingers without
put my eyes on the keyboard, not to mention if I typing fast or doing it while
humming a song, talk to someone or while talking on the phone. It is all thanks
to my mother and my self-trained.
Ibu saya adalah orang pertama yang saya temui ketika saya
sedang jatuh cinta dan orang pertama yang saya datangi ketika saya menangis
karena patah hati.
My mother was
the first one I went to when I fell in love and the first one I turned to when
I cried over a broken heart.
Dan saya lupa entah sudah berapa puluh kali saya
melakukannya.
And I can’t
remember how many times I have done it.
Tapi saya tidak pernah memberitahukannya tentang Andre. Dia
tahu saya punya banyak teman bule, entah itu teman pena dari jaman sekolah,
teman dari teman atau teman yang saya kenal dari jejaring sosial seperti
facebook. Dia tidak pernah mempertanyakannya. Dan saya tidak pernah
menceritakannya.
But I never tell
her about Andre. She knew I have many foreign friends, whether they are old
pen-friends, friend’s of friend or somebody I knew from social network such as
facebook. She never asks. And I never say a word about it either.
Ibu saya pernah menjadi seorang wanita karir. Perempuan
mandiri. Dia melepaskannya demi saya dan ayah saya.
My mother was
once a career woman. An independent one. She gave them up for me and my father.
Saya mulai bekerja sejak tahun 1994.
I joined the
workforce since 1994.
Saya tidak pernah berpikir untuk berhenti kerja kalau saya
menikah. Saya bukan tipe perempuan rumahan. Saya bisa sakit atau cepat mati
kalau saya cuma jadi ibu rumah tangga.
I never thought
of quitting my job when I am married. I am not a housewife type. I would fall
ill or died sooner if I just being a stay home housewife.
Kalau pun saya punya keinginan seperti itu, yang saya
inginkan adalah cuti kerja 1-2 tahun untuk sekolah lagi atau menjadi tenaga
sukarela atau menekuni hobi menulis serta memotret atau mendedikasikan waktu 1
tahun untuk pergi backpacking berkeliling Indonesia, asia dan eropa.
If I had the
thought to quit my job, what I want is taking a 1-2 years leave to go back to
school or becoming a volunteer or focus on my writing and photography or giving
1 year to go backpacking in Indonesia, Asia and Europe.
Ibu saya sudah terbiasa mendengar berbagai macam
pemikiran saya yang bagi orang lain di nilai tidak biasa. Dia tidak selalu
menyetujuinya tapi tidak mengurangi kepercayaannya pada saya.
My mother is
used to hear so many of my thoughts that for other people are seen to be out of
the ordinary. She doesn’t always approve those thoughts but it never makes her
has trust me less.
Ibu saya, sama seperti orang tua mana pun, menginginkan saya
untuk menikah dan berkeluarga. Tapi sekian tahun lewat dan akhirnya dia menganggap
kebahagiaan saya jauh lebih penting dari suatu pernikahan atau cucu.
My mother, just
like any other parents, wanted me to get married and have my own family. But
years passed by and she came to a conclusion that my happiness is far most
important than a marriage or grandchildren.
Saya telah mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya tidak
menginginkan pernikahan. Saya bukan orang yang mudah untuk dipahami, saya bukan
pribadi yang bisa dijadikan pendamping untuk seumur hidup kalau seorang laki-laki
tidak dapat memahami serta dapat menerima segala kerumitan, keindahan dan
keanehan dalam diri saya.
I have told my
parents that I don’t want marriage. I am not an easy person to be understood, I
am not an easy character to live with if a man can’t understand and accept all
of my complexities, beauties and weirdness.
Saya bersyukur bahwa sebagai seorang dari generasi kuno, ibu
saya memiliki pemikiran maju. Dia bisa menerima ketika saya mengatakan, atau lebih tepatnya menghiburnya, bahwa kalau pun saya menikah maka saya akan
menikah dengan laki-laki yang telah memiliki anak sehingga anaknya akan menjadi
anak saya sendiri dan ibu saya akan memiliki cucu juga pada akhirnya. Ada beberapa pertimbangan mengapa saya tidak ingin dan tidak sanggup menjalani masa 9 bulan dan 10 hari itu.
I am glad that
my mother, being born in ancient time, has progressive thinking. She could
accept it when I told her or it was rather to soothe her that when I am married
someone, I will married a man who has a child or children so his child/children
will be mine as well and my mother eventually will have grandchild/children. There are some consideration why I don't want and I think I can't go through those 9 months and 10 days.
Dan ibu saya akan berulang tahun pada tanggal 5 Desember
ini.
And my mother
will have her birthday on December 5th.
Saya tidak tahu hadiah apa yang akan saya berikan padanya.
I don’t know
what present will I give her.
Yang saya inginkan adalah dia hidup cukup lama untuk dapat
melihat dan ikut menikmati ketika segala yang saya inginkan, cita-citakan dan
harapkan menjadi kenyataan. Karena semua itu tidak saya buat hanya untuk diri
saya.
What I wish is
for her to live long enough to see and enjoy the fruits of my dreams and hopes
when they all come true. Because I don’t make them all just for myself.
Dan begitulah sedikit kisah tentang ibu saya.
And so that is a
little tale about my mother.
Bagaimana dengan kisah ibu anda?