Selasa sore (6/8) Dio dan Dite datang untuk les bahasa
Inggris. Rumah saya langsung jadi ramai. Bergantian suara mereka dan suara saya
terdengar. Diselingi dengan canda tawa atau teguran.
Tuesday (August
6th) afternoon Dio and Dite came for their English tutoring. My
house soon became merry with their voices and mine filled it. Cheerful laugh
interspersed with reprimand.
Tapi kehadiran mereka kali ini menghibur hati saya yang
masih agak kurang baik karena baru saja di tinggal pulang oleh Andre.
But their
presence cheered my gloomy heart after just having left by Andre.
“Mbak kok tidak datang?” tanya saya menanyakan Joan, kakak
mereka.
“Your
sister doesn’t come?” I referred to their sister, Joan.
Saya sebetulnya lebih dulu kenal Joan dari pada dengan kedua
adiknya, Dio dan Dite. Sekitar 3 tahun lalu dia dan beberapa temannya datang ke
taman kanak-kanak tempat saya mengajar ketika mobil jemputannya mampir untuk
menjemput murid-murid taman kanak-kanak.
I knew
Joan before I even met her two brothers, Dio and Dite. About 3 years ago she and
her friends came to the kindergarten where I taught as a teacher when her bus
school stopped by to pick up the kindergarten students.
Lama tidak bertemu, kira-kira 2 tahun kemudian mereka
bertiga ikut les di tempat saya dan saat itulah saya bertemu dengan Dio dan
Dite untuk pertama kalinya.
It was
quite a while, about 2 years that I didn’t meet her and it was a meeting
because she and her two brothers were enrolled in my English tutoring. I met
Dio and Dite for the first time.
Dio yang lincah dan Dite yang tenang tapi ternyata lucu
cepat akrab dengan saya.
The
energetic Dio and the calm but funny Dite quickly built a close bond with me.
Joan? Ah, Joan adalah misteri bagi saya. Ketika pertama
kalinya saya bertemu dengannya, dia begitu ceria, lincah, lucu dan agak montok.
Kami mengobrol, bercanda, saling meledek dan sampai sepakat berfoto bersama.
Joan? Ah, Joan is a mystery for me. The first time I met her, she was so cheerful, energetic, funny and a little chubby. We chatted, joked, teased and agreed to take a picture.
Ketika kira-kira 2 tahun kemudian saya bertemu lagi
dengannya saat dia datang bersama adik-adiknya ke rumah saya untuk les, saya
kaget karena melihat perubahan fisik dan sifatnya.
So when
about 2 years later I met her again when she and her brothers came to my house
for their English tutoring, I was surprised to see the change in her appearance
and personality.
Dia lebih kurus dan pendiamnya yang luar biasa itu yang
bikin saya bertanya-tanya apa yang terjadi dalam waktu 2 tahun itu. Saya bahkan
sempat berpikir apakah ini Joan yang sama yang pernah beberapa kali datang ke
taman kanak-kanak tempat saya mengajar itu.
She has
lost lots of weight and her quietness made me wonder what have happened to her
in those 2 years. I was even thought was this the same Joan who several times
came to the kindergarten where I taught.
Beberapa bulan kemudian barulah Joan bisa menjadi sedikit
terbuka. Mau bicara, mengobrol dan bercanda. Tapi tetap terkesan diam. Saya
tidak sepenuhnya bisa menyatu dengan dia, tidak seperti dengan adik-adiknya.
It took
few months to make Joan feel loosened. She talks, chat and joke. But she is
still quiet. I can’t really blend in with her as I do to her brothers.
Di waktu saya sedang memikirkan Joan, saya teringat belum
lama ini saya melewatkan waktu selama hampir 4 jam berada di ruangan bersama
seorang remaja putri yang hanya setahun lebih tua dari Joan.
When I
was thinking about Joan, I remember that not long ago I spent nearly 4 hours
being in a room with a teenage girl who is probably just a year older than
Joan.
Bersama dengannya, saya mengobrol, bercanda dan bernyanyi
bahkan ikut menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik dari youtube. Kami
seperti dua orang teman yang tidak berbeda umur.
With her,
I talked, joked and sang, even did a little dancing when the music from youtube
was playing. We were just like friends who don’t have huge different in age.
Saya berpikir-pikir, seandainya saya menikah pada usia 27-29
tahun, maka pada usia 42 ini tentulah anak sulung saya sebaya dengan Joan.
I
wondered, if I got married when I was 27-29 years old, at 42 my oldest child
would be just the same age with Joan.
Kira-kira anak itu akan menjadi seperti siapa ya?
What
would the child be like?
Kalau menuruni gen saya, dia akan menjadi pribadi yang
pendiam dan perasa. Sedangkan kalau mengikuti gen ayahnya, pastilah akan
kebalikannya karena saya selalu tertarik pada orang-orang yang berkepribadian lincah,
periang dan bawel.
If the
child got my gene, he/she would be quiet and sensitive. But if the child got
his/her father’s gene, he/she would have a different personality because I
always attracted to people who are energetic, cheerful and talkactive.
Kehidupan saya memang menjadi kurang rumit tanpa kehadiran
anak tapi benarkah itu membuat saya menjadi lebih bahagia? Namun apakah memiliki anak juga akan membuat saya semakin bahagia?
My life
is less complicated without the presence of a child but would it make me
happier? And could a child make me happier?
Entahlah..
No comments:
Post a Comment